Thursday, 5 June 2014

SISTEM PEMBELAJARAN MADRASAH DAN PESANTREN



SISTEM PEMBELAJARAN MADRASAH DAN PESANTREN
A.           Gambaran Model Pembelajaran Di Pesantren
1.             Pengertian Model Pembelajaran

Model Pembelajaran berasal dari kata Model dan Pembelajaran. Model berarti pola (contoh, acuan, ragam) dari suatu yang akan dibuat atau dihasilkan.[1] Sedangkan istilah dari pembelajaran berarti proses, cara menjadikan orang atau makhluk hidup untuk belajar. Sedangkan belajar itu sendiri merupakan suatu perubahan dalam tingkah laku dimana perubahan itu dapat mengarah pada tingkah laku yang lebih baik,tetapi juga ada kemungkinan mengarah kepada tingkah laku yang lebih buruk.[2]  Sehingga dapat dirumuskan bahwa model pembelajaran adalah suatu pola atau ragam yang dibuat untuk menjadikan orang atau makhluk hidup untuk belajar. Istilah ini sering digunakan dalam lembaga pendidikan baik formal maupun non formal.
Dalam perkembanganya, model pembelajaran yang ada selalu membawa kepada pembaharuan yang bertujuan untuk dapat meningkatkan kualitas dari sebuah lembaga pendidikan  dan mampu menciptakan anak didik yang berkualitas pula. Metodel pembelajaran mempunyai andil yang cukup besar dalam kegiatan belajar mengajar. Kemampuan yang diharapkan dapat dimiliki oleh anak didik ditentukan oleh kerelevansian penggunaan suatu metode yang sesuai dengan tujuan. Itu berarti bahwa tujuan pembelajaran akan dapat dicapai dengan penggunaan metode yang tepat, sesuai dengan standar keberhasilan yang diantri dalam suatu tujuan. Sedang pembelajaran itu sendiri merupakan proses pendorong atau pemberi peluang bagi tumbuhnya konsep dari dalam diri setiap peserta didik secara aktif. Pembelajaran bukan hanya memorasi dan recal, bukan pula sekedar penekanan pada penguasaan pengetahuan  tentang apa yang diajarkan, tetapi lebih ditekankan pada internalisasi tentang apa yang diajarkan sehingga tertanam dan berfungsi sebagai muatan nurani dan dihayati serta dipraktekkan dalam kehidupan sehari-hari .                                                                                                                                                                                                                   
2.             Pengertian Pondok Pesantren
Istilah pondok pesantren adalah dua istilah yang merujuk pada satu pengertian. Orang jawa biasanya menyebut dengan pondok atau pesantren saja, tetapi ada juga yang menyebut dengan cara digabung yaitu pondok pesantren. Hal tersebut bukanlah hal yang prinsip, karena apabila hanya disebut pondok atau pesantren kebanyakan orang sudah paham dengan segala hal yang dimaksud. Pondok pesantren merupakan sebuah bentuk pendidikan keIslaman non formal yang melembaga di Indonesia dengan ciri khusus yaitu mengajarkan tentang agama Islam.
Secara bahasa pondok diambil dari bahasa arap yaitu funduk yang artinya ruang tidur, wisma atau hotel sederhana.[3] Dan kata pondok yang dipakai dalam bahasa Indonesia lebih menekankan pada kesederhanaan, yang sinonimnya adalah kamar, gubuk dan rumah kecil.[4] Dalam pengertian yang lain, pondok berarti asrama para santri atau tempat tinggal yang terbuat dari bamboo.[5] Sedangkan kata pesantren berasal dari kata santri dengan awalan pe dan akhiran en yang berarti tempat tinggal para santri.
John berpendapat bahwa istilah santri berasal dari Tawil yang berarti guru ngaji. Sedangkan Cliford berpendapat bahwa istilah tersebut berasal dari istilah Shantri dalam bahasa India berarti orang yang tahu buku-buku agama hindu, dan dalam bahasa sastra kata santri  mempunyai arti buku-buku suci, buku-buku agama, atau buku-buku tentang ilmu pengetahuan.[6]
Menurut Cliford bahwa pengertian santri berasal dari dari kata shantri  yang artinya ilmuwan hindu yang pandai menulis  yang dalam pemakaian bahasa modern memiliki dua arti, yaitu: Dalam arti yang sempit adalah seorang pelajar sekolah agama yang disebut pondok pesantren.
Dalam arti yang luas  atau lebih umum kata santri mengacu pada seseorang  anggota bagian penduduk jawa  yang menganut agama Islam dengan sungguh-sungguh  dan menjalankan sholat lima waktu serta sholat di Masjid pada hari jum’at dan sebagainya.[7]
Sedangkan menurut H.M. Arifin yang dimaksud dengan pondok pesantren adalah sebagai berikut : “ Suatu lembaga pendidikan agama yang tumbuh serta diakui masyarakat sekitarnya, dengan sistim asrama dimana para santri menerima pendidikan melalui sistem pendidikan dan madrasah yang sepenuhnya dibawah kedaulatan dari leadership seseorang atau beberapa kyai dengan ciri khas bersifat karesmatik serta independen dalam segala hal.[8]
Dari uraian di atas, maka arti dari Pondok Pesantren adalah sebuah lembaga pendidikan diluar sekolah (non formal) yang tumbuh dan berkembang dari dan dalam masyarakat untuk melayai berbagai kebutuhan. Pesantren dapat melayani kebutuhan pendidikan  ketika masyarakat haus akan ilmu pengetahuan, adanya krisis moral, apalagi ketika lembaga pendidikan modern belum mampu  menembus ke pelosok desa, Pondok Pesantren menjadi simbol yang menghubungkan dunia pesantren dengan dunia luar. Dengan demikian perubahan yang terjadi dalam masyarakat mau tidak mau akan dipengaruhi oleh dinamika pesantren.
3.             Tujuan dan Kurikulum  Pendidikan Pesantren
Berbeda dengan lembaga-lembaga pendidikan lainya yang pada umumnya  menyatakan tujuan pendidikanya dengan jelas. Pesantren terutama pesantren-pesantren salaf biasanya tidak merumuskan secara eksplisit dasar dan tujuan pendidikanya. Namun bukan berarti bahwa pendidikan pesantren  itu berlangsung tanpa arah dan tujuan, hanya saja tujuan itu tidak dirumuskan secara sistematis dan dinyatakan secara eksplisit.
Hal ini  ada hubunganya dengan sifat kesederhanaan  pesantren yang sesuai dengan dorongan berdirinya dimana Kyai mengajar  dan santri belajar adalah semata-mata  untuk ibadah dan tidak dikaitkan dengan orientasi tertentu dalam lapangan kehidupan  atau tingkat jabatan tertentu dalam herarchi social atau birokrasi kepegawaian.
Tujuan pendidikan  yang diselenggarakan dapat diketahui dengan jalan mengatakan secara langsung  kepada penyelenggara dan pengasuh  pesantren atau dengan cara memahami fungsi-fungsi yang dilaksanakan baik dalam hubunganya dengan santri maupun dengan masyarakat sekitarnya. Menurut Mastuhu  tujuan dari pendidikan pesantren adalah Menciptakan dan mengembangkan kepribadian muslim, yaitu kepribadian yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhannya, berakhlak mulia, bermanfaat bagi masyarakat atau berkhidmah kepada masyarakat dengan jalan menjadi kawulo atau abdi masyarakat sekaligus menjadi rosul yaitu pelayan masyarakat sebagaimana kepribadian Nabi Muhammad SAW (mengikuti sunah Nabi), maupun berdiri sendiri, bebas dan teguh dalam kepribadian ditengah-tengah masyarakat (Izzul Islam walmuslimin) serta mencintai ilmu dalam rangka mengembangkan kepribadian Indonesia.[9] Dari rumusan tujuan tersebut tampak jelas bahwa pendidikan pesantren sangat menekankan pentingnya tegaknya Islam ditengah-tengah kehidupan sebagai sumber utama moral  yang merupakan kunci keberhasilan hidup bermasyarakat. Nenurut W. M. Dixon  diyakini sebagai dasar yang paling kuat bagi pebentukan moral, dan apabila penghargaan  kepada ajaran  agama merosot maka akan sulit mencari pemggantinya. Disamping berfungsi sebagai lembaga pendidikan dengan tujuan seperti dirumuskan diatas, pesantren juga mempunyai fungsi sebagai tempat penyebaran dan penyiaran agama Islam.
Hal ini dapat kita ketahui  dari sejarah berdirinya pesantren-pesantren pada generasi awal dimana tujuan para kyai mendirikan pesantren ialah sebagai tempat menyiarkan agama Islam dan menyiapkan guru-guru yang akan meneruskan usaha terrsebut dikalangan umat .
Sejalan dengan tidak dirumuskanya tujuan pendidikan secara  eksplisit, maka pada sebagian pesantren istilah kurikulum  tidak dapat  ditemukanya walaupun esensi materinya dalam praktek pengajaran, bimbingan rokhani dan latihan  kecakapan dalamkehidupan sehari-hari pesantren, yang semunya itu merupakan kesatuan dalam proses pendidikanya. Pesantren lama memang belum mengenal kebiasaan merumuskan secaratajam materi pelajaran dalam bentuk kurikulum. namun demikian dapat dinyatakan bahwa kurikulum pesantren sebenarnya meliputi seluruh kegiatan yang diikuti santri selama sehari semalam. Diluar pelajaran formal banyak kegiatan yang bernilai pendidikan dilakukan, disana seperti mengurus kebutuhan sendiri, mengatur kepentingan bersama  latihan berdikari, ibadah dengan tertib dan lain lain.
Apabila ditinjau dari mata pelajaran yang diberikan  secara formal oleh kyai, maka pelajaran yang dapat dianggap sebagai kurikulum berkisar pada ilmu pengetahuan agama dan sebagai faknya. Pesantren-pesantren yang sudah terkenal biasanya memiliki spesialisasi kajian cabang tertentu dalam ilmu agama. Para santri yang berminat mengkaji bidang-bidang tertentu bisa datang dengan bebas ke pesantren tersebut  kemudian pergi setelah menyelesaikan, karenaitu di dunia pesantren dikenal istilah tabarukan sebuah predikat yang menggambarkan semangat dan kecintaan yang tinggi terhadap ilmu pengetahuan.
Dalam perkembanganya untuk menjawab tuntutan era modernyang melingkupinya, banyak pesantren yang menambah pengetahuan sekular dalam kurikulumnya disamping pemahaman agama yang menjadi cirri khasnya sejak semula.  Dewasa ini kurikulum pesantren meliputi 4 type : Ngaji (mempelajari kitab kuning), Pengalaman (pendidikan moral), Sekolah (Pendidikan umum), serta kursus dan ketrampilan. Empat kurikulum ini mengkombinasi dalam bentuk yang berbeda-beda sehingga menghasilkan berbagai variasi. Dua tipe pertama selalu menjadi bagian dari pendidikan pesantren dan membentuk inti identirasnya, sedangkan dua tipe yang lainya  merefleksikan aspek-aspek baru dari identitas pesantren dan pertemuanya dengan kebutuhan masyarakat Indonesia yang berubah-ubah.
4.             Perkembangan Dan Bentuk Pondok Pesantren 
Sejak awal pertumbuhan dalam bentuknya yang khas dan bervariasi, pondok pesantren terus berkembang, namun perkembangan yang signifikan muncul setelah terjadi persinggungan dengan sistem persekolahan atau juga dikenal dengan sistem madrasah yaitu sistem pendidikan dengan pendekatan klasikal lawan dari individual yang berkembang di pondok pesantren sebelumnya. Model pendidikan Islam dalam bentuk madrasah tidak hanya dikembangkan diluar pondok pesantren, tetapi juga diserap oleh pondok pesantren baik untuk memperbaharui ataupun memberi pengayaan terhadap sistem yang sebelumnya sudah berjalan. Dengan demikian perkambangan pondok pesantren yang selain menyelenggarakan pendidikan dengan sistem madrasah, tetap menyelenggarakkan sistem pembelajaran dengan pendekatan individual. sementara itu masih banyak pondok pesantren yang tetap mempertahankan sistem pembelajaran dengan pendekatan individual  tanpa menyelenggarakan pendidikan Islam dengan sistem madrasah.
Dari berbagai ragam dan kombinasi kurikulum yang ada dan berkembang di pondok pesantren, melahirkan aneka ragam model pesantren yang berkembang di Negara Indonesia. Model-model itu merupakan jawaban masing-masing terhadap tuntutan era modern yang tidak mengkin dihindari. Namun secara garis besar dapat dikelompokkan menjadi empat bentuk, sebagai mana dituangkan dalam Peraturan Mentri Agama Nomor 3 tahun 1979 tentang bantuan kepada pondok pesantren,[10] yang mengkategorikan pondok pesantren menjadi :
a.       Pondok Pesantren Type A
Yaitu pondok pesantren yang seluruhnya dilaksanakan secara tradisional. Pesantren ini mempertahankan kemurnian identitas aslinya sebagai tempat mendalami ilmu-ilmu agama (Tafaqquh fiddin) bagi para santrinya. Semua materi yang diajarkan di pesantren ini sepenuhnya bersifat keagamaan yang bersumber dari kitab-kitab berbahasa arab yang ditulis oleh para ulama pada abad pertengahan (7-13 H) yang dikenal dengan kitab kuning. Tekhnik pengajaran yang diterapkan  menggunakan methode sorogan atau bandongan. Selain kedua methode tersebut Mastuhu  menyebutkan hafalan dan halaqoh[11]. Selanjutnya Mukti Ali alumni pondok pesantren Tremas Pacitan  mengidentifikasi beberapa karakteristik yang menjadi cirri khas pesantren sebagai berikut :
1)        Adanya hubungan yang akrab antara santri dan kyai, hal ini karena tinggal dalam satu Komplek.
2)        Tunduknya santri pada kyai
3)        Hidup hemat dan sederhana benar-benar dilakukan di pesantren
4)        Jiwa tolong menolong  dan suasana persaudaraan sangat mewarnai dalam pergaulan
5)        Kehidupan berdisiplin sangat ditekankan di pesantren
6)        Berani menderita untuk satu tujuan
7)        Kehidupan agama yang baik dapat diperoleh di pesantren
8)        Semangat menolong amat terasa di kalangan pesantren.[12]
b.      Pondok Pesantren Type B
Yaitu pondok pesantren yang menyelenggarakan pengajaranya secara klasikal. Pesantren ini memasukkan materi-materi umum dalam pengajaranya, namun dengan kurikulum yang disusun sendiri menurut kebutuhan dan tidak mengikuti kurikulum yang ditetapkan pemerintah secara nasional sehingga ijazah yang dikeluarkan tidak memendapatkan pengakuan dari pemerintah sebagai ijazah formal.
c.       Pondok Pesantren Type C
Yaitu pondok pesantren yang merupakan asrama saja sedangkan santrinya belajar di luar. Pesantren ini merupakan asrama pelajar Islam dimana santrinya belajar di sekolah-sekolah atau perguruan tinggi-perguruan tinggi di sekitarnya. Pendidikan agama diberikan diluar jam-jam sekolah sehingga bisa diikuti oleh semua santrinya.
d.      Pondok Pesantren Type D
Yaitu pondok pesantren yang menyelenggarakan sistem pondok pesantren sekaligus sistem sekolah atau madrasah. Pesantren yang menyelenggarakan pendidikan umum di dalamnya, baik berbentuk madrasah (Sekolah umum yang berciri khas Islam dibawah naungan Kementerian Agama) Maupun sekolah umum (dibawah naungan Kementerian Pendidikan Nasional) dalam berbagai jenjangnya, bahkan ada yang sanpai perguruan tinggi yang tidak hanya meliputi fakultas-fakultas keagamaan  melainkan juga fakultas-fakultas umum. Dengan demikian pesantren yang semula menfokuskan pendidikanya pada orientasi keakhiratan semata, dengan masuknya materi-materi secular  menjadi memperhatikan pula kepentingan keduniaan. Hal ini didasarkan kepada kesadaran bahwa dalam era modern orang tidak cukup hanya berbekal dengan moral yang baik saja, tetapi perlu melengkapi dirinya dengan keahlian dan ketrampilan yang relevan dengan kebutuhan kerja.   
5.             Potensi Pondok Pesantren
Telah dikatakan di atas bahwa pesantren berfungsi sebagai lmbaga pendidikan dakwah, kemasyarakatan dan bahkan lembaga perjuangan. Kelebihan yang selama ini dimiliki pesantren, tentunya menjadi aspek pendukung yang kuat bagi kehidupan kultur pesantren hingga saat ini. Pesantren pada dasarnya selalu menanamkan sepirit percaya pada diri sendiri, bersifat mandiri sederhana dan rasa solidaritas (ukhuwah) yang tinggi. Karakter seperti ini secara reflektif tampak pada alumni-alumni pesantren  yang sudah terjun di masyarakat luas. Sedangkan potensi-potensi kelembagaan lain yang cukup mendasar dari pesantren ini hal yang lebih bersifat fungsional dan potensional, antara lain :
a.       Potensi pendidikan
Sebagai lembaga pendidikan, pesantren ikut bertanggung jawab terhadap proses pencerdasan bangsa secara keseluruhan, sedangkan secara khusus pesantren bertanggungjawab atas kelangsungan tradisi keagamaan (Islam) dalam artian yang seluas-luasnya. Dari titk pandang ini, pesantren berangkat secara kelembagaan maupun inspiratif, memilih model yang dirasakan mendukung secara penuh tujuan dan hakekat pendidikan manusia itu sendiri yaitu membentuk manusia mukmin yang sejati punya kualitas moral dan intelektual.
Pada dasarnya pendidikan pesantren memang lebih mengutamakan pada aspek keagamaan dengan methode klasiknya hingga sekarang ini “teks book“ yang dipakai sebagai bahan dan materi pendidikanya terkait erat dengan buku-buku klasik tulisan ulama’ salaf yang di Indonesia popular dengan nama “Kitab kuning“.  Kitab-kitab kuning ini dibagi dan diklasifikasikan dalam  bentuk kurikulum dengan anotasi menurut taraf kemampuan anak didik (Santri atau siswa) dengan kelas masing-masing sesuai dengan taraf psikologi dan kognisinya.
Pesantren-pesantren pada awalnya memang berdiri dengan sarana yang sangat relative sederhana, sehingga sarana methode pendidikanya pun cukup unik. Kita menganal model pendidikn aganma dengan cara bandongan dan sorogan, yaitu seorang guru atau kyai membaca kitab, menerjemahkan dan menjelaskan maksud isi kitab, sementara itu para santri menyimaknya atau para santri membaca kitab yang ditentukan, sementara seorang guru atau kyai menyimak, mengoreksi apabila bacaanya salah. Model seperti ini hingga sekarang masih berlaku.
Namun demikian perkembangan sarana yang lebih lengkap, pendidikan pesantren mulai memakai model klasikal, sebagaimana pendidikan klasikal pada umumnya. Lebih dari itu pendidikan pesantren juga membuka diri untuk mata pelajaran umum. Ini berlangsung bukan hanya saja karena tuntutan zaman dan tuntutan perubahan social serta nilai-nilai, namun juga karena kesadaran yangterbuka untuk dunia pesantren, mengingat peran dan potensinya yang cukup besar bagi pembangunan bangsa. Lebih dari itu pesantren merupakan lembaga pendidikan yang punya khasanah intelektualisme yang tinggi, karena model-model pendidikan yang dilakukan tidak terikat secara psikologis oleh waktu, disamping para santri bebas belajar menurut fak dan materi yang disukai selama intelektualitasnya mampu.
Oleh karena itu, kenyataan yang ada  Ulama’-alama’ besar di Indonesia semuanya pernah mengenyam pendidikan pesantren  karena selamaini belum ada pendidikan yang mampu melahirkan kader ulama’ seperti yang dimiliki pesantren, walaupun sementara ini ada usaha inovatif melalui sistem lintas untuk mendidik kader ulama’ dengan pendidikan pasca santri, tetapi sistem ini baru coba-coba.
b.      Potensi Da’wah
Sebagai lembaran “Amar ma’ruf nahi mungkar“ Pesantren punya tugas yang cukup serius yaitu secara partisipatif menjadi lembaga dakwah. Apa yang kemudian bisa dilakukan oleh pesantren secara institusional berfungsi sebagai institusi da’wah. Sedangkan selamaini da’wah biasanya dilakukan perseorangan untuk menyebarkan agama Islam, atau organisasi-organisasi keagamaan yang memperioritaskan diri dalam lapangan da’wah.
Da’wah secara kelembagaan yang dilakukan oleh pesantren disamping secara fungsional (melalui fungsi-fungsi kependidikandan kulturalnya ), yang lebih penting juga da’wahnya secara actual (bil-hal) dengan terlibat langsung menangani obyek da’wah  (masyarakat luas). Melalui kegiatan-kegiatan social ekonomi, da’wah bil-hal ini ternyata mendapat respon yang cukup positif karena nilai-nilai Islam yang bersangkut paut dengan masalah pembangunan kaum lemah dan etos kerja, dapat ditejemahkan dalam bentuk yang nyata. Pada giliranya pesantren menjadi lembaga swadaya masyarakat Islam (LSMI) yang tidak hanya menangani masalah-masalah teori keilmuan saja, namun secara emansipatoristik terjun membebaskam kaum yang tertyindas dan kaum miskin.
Pemikiran awal dari kepedulian pesantren untuk menangani problematika social secara langsung, mengacu pada realitas social itu sendiri, bahkan pesantren yang mempunyai akar kuat di lapisan social bawah disatupihak potensi pembebasan bagi keterbelakangan kaum bawah, namun padakenyatanya kauma bawah ini belum mendapatkan sentuhana actual, khususnya dari segi sosial ekonominya sehingga dikhawatirkan terjadi kesenjangan cultural  bahkan struktura antara kaum santri dengan masyarakat pedesaan. Maka dari itu, emansipasi pesantren dalam pembangunan masyarakat sebenarnya menjadi dua sisi mata uang yang harus bergandeng. Pada giliranya pendekatan aktual ini melahirkan wahana sosial yang didasarkan sebagai refleksi atas keagamaan yang dilembagakan oleh pesantren.
c.       Potensi Kemasyarakatan
Betapa besar potensi pesantren dalam mengembangkan masyarakat bawah, bukan saja potensi tersebut menjadi peluang setrategis pengembangan masyarakat, pesantren itu sebagai lembaga kemasyarakatan dan memang demikian kenyataanya yang berlangsung secara moral, pesantren adalah milik masyarakat luas sekaligus sebagai anuatan berbagai keputusan sosial, politik, agama dan etika. 

B.            Madrasah
1.             Pengertian  Madrasah
Jika dikaji dari pengertian bahasa, istilah madrasah merupakan isim makan (Nama tempat), berasal dari kata Darosa yang bermakna tempat orang belaja.[13] Dari akar makna tersebut kemudian berkembang menjadi istilah yang kita pahami sebagai tempat pendidikan, khususnya yang bernuansa agama Islam.
Mahmud Yunus menyatakan sangat kesulitan ketika harus menelusuri asal usul kata “madrasah”. Dari sudut pendidikan agama Islam kata untuk memperjelas hal tersebut paling tidak terdapat tiga teori :
Pertama  Sejalan dengan pertumbuhan dan penyebaran agama Islam di wilayah baru, selalu dibarengi dengan penyampaian ajaran Islam  kepada masyarakatnya, sehingga muncul istilah madrasah. Sebagai gambaran untuk memperjelas argumentasi tersebut, diantaranya dikemukakan Kholifah pada masa Khulafa’ Al Rosyidin mengadakan perluasan wilayah ke seluruh penjuru, khususnya wilayah yang dukuasai Romawi dan Persia, dengan mengirim bala tentara yang juga Ulama’ ke wilayah-wilayah tersebut. Setelah menguasai wilayah-wilayah dimaksud ulama’ juga bala tentara itu mengajarkan ilmu sesuai dengan keahlian mereka. Kondisi yang demikian inilah yang kemudian diidentifikasi Mahmud Yunus sebagai pusat-pusat pendidikan Islam.
Kedua  Madrasah muncul pertama kali adalah Madrasah Nidhomiyah (Kurang Lebih tahun 1064 M) Yakni lembaga pendidikan Islam yang didirikan oleh Nidham Al Mulk. Dengan munculnya madrasah nidhamiyah tersebut baru diikuti oleh madrasah-madrasah lain. Pendapat ini banyak diikuti sejarawan masa lalu. Khususnya sejarawan pendidikan Islam.
Ketiga  Madrasah yang muncul pertama kali dalam sejarah peradaban Islam adalh madrasah baihaqiyyah (kurang lebih tahun 400 H) yang didirikan oleh Abu Hasan Ali Al- Baihaqi, pendapat ini banyak didukung oleh sejarawan konteporer yang mencoba untuk keluar dari lingkungan formalisme.
Dalam perkembanganya, istilah madrasah (dari jaman pertengahan) yakni ketika Islam ada pada masa yang gemilang, istilah tersebut digunakan untuk lembaga pendidikan tinggi, dimana metode yang digunakan dengan halaqoh, mengadakan pengkajian yang sangat mendalam terhadap masing-masing mazdhab dan dilaksanakan oleh orang-orang dewasa dan telah memiliki bekal keilmuan yang mantap, namun penggunaan istilah madrasah pada saat sekarang, khususnya di Indonesia, dipahami yakni madrasah digunakan untuk satu nama lembaga pada tingkat dasar dan pertengahan yang diikuti oleh anak-anak dan remaja dan relative belum didukung dengan keilmuan yang mantap.
Dari perkembangan istilah Madrasah pada masa awalnya sampai diakui sebagai nama lembaga pendidikan resmi di Indonesia, seperti tertuang dalam UU No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, setidaknya tergambar proses adanya proses perubahan suatu istilah sebagai akibat adanya perubahan social politik umat Islam secara keseluruhan.
2.             Eksistensi Madrasah
Eksistensi madrasah dalam tradisi pendidikan Islam di Indonesia tergolong fenomena modern yang dimulai sekitar abad ke-20. Buku-buku tentang sejarah pendidikan Islam di Indonesia sejauh ini tidak pernah menginformasikan adanya lembaga pendidikan yang disebut madrasah pada awal penyebaran Islam di bumi Indonesia ini. Evolusi kelembagaan pendidikan di wilayah ini  pada umumnya bermula dari pesantren, madrasah dan sekolah. Madrasah di Indonesia bisa dianggap sebagai perkembangan lebih lanjut atau pembaharuan dari lembaga pendidikan pesantren atau surau. Madrasah berdiri atas inisiatif dan realisasi dari pemahaman sistem pendidikan Islam yang telah ada. Pembaharuan tersebut menurut Karl Sternbrink (1986) meliputi tiga hal yaitu :
a.    Usaha menyempurnakan sisitem pendidikan pesantren
b.    Penyesuaian dengansisten pendidikan barat
c.    Upaya menjebatani antara sestem pendidikan tradisional pesantren dan sistem  pendidikan   barat
Madrasah sebagai lembaga ppendidikan Islam kini ditempatkan sebagai pendidikan sekolah dalam Sistem Pendidikan Nasional. Munculnya SKB tiga Menteri (Menteri Agama, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan dan Menteri Dalam Negeri) menandakan bahwa eksitensi madrasah cukup kuat beriringan dengan sekolah umum. Disamping itu munculnya SKB tiga Menteri tersebut juga dinilai sebagai langkah positif bagi peningkatan mutu madrasah baik dari status, nilai ijazah maupun kurikulumnya. Di dalam salah satu diktumnya pertimbangan SKB tersebut disebutkan perlunya diambil langkah-langkah untuk meningkatkan mutu pendidikan pada madrasah agar lulusan dari madrasah dapat melanjutkan atau pindah ke sekolah-sekolah umum dari sekolah dasar sampai ke perguruan tinggi.

C.           Integrasi Pesantren Dan Madrasah
Perkembangan dari pesantren ke madrasah muncul pada awal abad 20, sebagai akibat dari perasaan kurang puas terhadap sistem pesantren yang terlalu sempit dan terbatas pada pengajaran ilmu-ilmu fardhu ‘ain.[14] Paling tidak terdapat dua hal yang melatarbelakangi tumbuhnya sistem madrasah di Indonesia, yakni faktor pembaharuan Islam dan respon terhadap politik pendidikan HIndia Belanda.[15] Kemunculan dan perkembangan madrasah tidak bisa dilepaskan dari gerakan pembaharuan Islam dan kemudian dikembangkan oleh organisasi-organisasi Islam baik di Jawa, Sumatera, maupun Kalimantan. Pendidikan dipandang sebagai aspek setrategis dalam bentuk pandangan keIslaman masyarakat. Dalam kenyataanya, pendidikan yang terlalu berorientasi pada ilmu-ilmu ubudiyah, sebagaimana ditunjukkan dalam pendidikan di Surau, masjid dan pesantren, pandangan keIslaman masyarakat agaknya kurang memberikan perhatian kepada masalah-masalah sosial, politik, ekonimi dan budaya. Oleh karena itu, untuk melakukan pembaharuan terhadap pandangan dan tindakan masyarakat itu langkah setrategis yang harus ditempuh adalah memperbaharui sistem pendidikanya.
Sebagai lembaga pendidikan yang dilahirkan oleh pesantren maka madrasah memiliki kesamaan visi atau bahkan merupakan continuity dari pesantren. Sistem madrasah yang diperkenalkan oleh pesantren menitik beratkan  pada keilmuan agama Islam, disamping pengetahuan umum yang dapat meningkatkan kepekaan terhadap masalah-masalah social dan lingkungan. Keberadaan ini diperkuat lagi dengan sikat non-kooperatif para pendirinya terhadap pemerintah colonial belanda. Lembaga ini sengaja tidak memerlukan anak didik sebagai tenaga kerja dan madrasahnya tidak diproyeksikan pada orientasi lapangan kerja.
Madrasah dan pesantren bahkan menentang Priyayisme yang sengaja diangkat oleh belanda. Ijazah-ijazah sebagai  tanda keberhasilan pendidikan murid, belum mampu mengubah pandangan dari dasar menuntut ilmu hanya kepada Allah SWT (Liwajhillah) kearah pandangan yang sifatnya duniawi.  Dari sini imbullah watak kemandirian, sebagai cirri utama dan identitas madrasah dan pesantren.
Banyak pesantren kecil yang tidak menyesuaikan dengan perubahan dalam 20 tahun terakhir, telah tutup karena kurangnya santri. Pesantren kecil yang berorientasi tradisional masih bisa dijumpai. Dan dari lembaga-lembaga inilah diberlakukan suatu strategi yang membolehkan santri memasuki sekolah dan memusatkan diri pada pengajian-pengajian Islam yang komplememter sebelum dan terutama sesudah jam-jam sekolah. Strategi ini mudah dilakukan dan pesantren bisa mempertahankan sebagian besar orientasi aslinya. Tetapi yang jelas ada fungsi yang hilang yakni pendidikan komprehensif lama hanya menjadi pelengkap pendidikan saja. Selain itu ada ketidak sesuaian yang signifikan dalam praktek-praktek pedagogis dua lembaga. Akibatnya bisa sangat merusakkan pendidikan pesantren, ketidaksesuaian ini dapat dikurangi jika pesantren menawarkan program sekolah yang mengarah kepada ijazah yang diakui pemerintah. Setrategi yang kedua ini diterapkan terutama oleh pesantren besar yang memiliki biaya yang besar.
Pada pengembanganya banyak berdiri madrasah-madrasah untuk sekolah menengah, selain untuk sekolah dasar dalam kurikuluim 24 jam  dan memodifikasi metode-metode pengajaran sekolah pemerintah. Ruang lingkup untuk memodifikasi dibatasi, paling tidak dalam kerangka kurikulum dan buku-buku teks. Dalam upaya untuk menggabungkan pengajaran sekolah kedalam program pengajaran, aktifitas-aktifitas pesantren lainya harus dikurangi atau dihilangkan seluruhnya. Beberapa telah mengambil selangkah lebih maju dan memperkenalkan sekolah menengah umum yang terlepas dari madrasah pada siang hari. Beberapa lainya menawarkan sekolah umum pada pagi dan madrasah pada waktu siang, karena itu beberapa pesantren telah memiliki lembaga-lembaga pendidikan yang sangat besar, dan telah melaksanakan program-program pendidikan tersier. Program-program ini berlaku untuk berbagi profesi sebagai juru dakwah, guru agama dan hakim Islam.
Akibat dari proses adopsi program-program yang diakui pemerintah bagi pesantren pada dasarnya masih belum bisa dijelaskan. Pada satu pihak ada keyakinan bahwa kekuatan intergasi praktek-praktek pendidikan pondok dapat menghasilkan pendidikan agama yang baik dan pendidikan umum yang baik, dan menetralisasi beberapa komplain terdapat keprihatinan bahwa control eksternal program pemerintah yang ketat dan mekanisme-mekanismenya yang intern secara setruktural merubah motivasi belajar di pesantren.



[1] Poerwodarminto,Kanus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta:Balai Pustaka,1982).hlm. 662.
[2] Muhibbin, Psikologi Pendidikan Suatu Pendekatan Baru, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya,Rosda Grup.1995) hlm.88.
[3] Soedjoko,Profil Pesantren,(Jakarta:LP3ES,1974)hlm .13.
[4] Poerwodarminto,Kanus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta:Balai Pustaka,1982).hlm. 246.
[5] Zamakhsari Dhofier,hlm.18
[6] Cliford, Geerez, The Religion Of Jawa, (Jakarta:Chikago,1976) hlm.268.
[7] Ibid  hlm .268.
[8] arifin, Muhammad, Kapita Selekta Pendidikan Islam dan Umum, (Jakarta:Bulan Bintang,1991) hlm.240.
[9] Mastuhu,Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren,Suara Kajian  Tentang Unsur dan  Nilai Sistem Pendidikan,(Jakarta:INIS,1994)hlm.56.
[10] Depag RI,Pondok Pesantren dan Madrasah Diniah,Pertumbuhan dan Perkambangannya, (Jakarta:2003).hlm.15.
[11] Mastuhu,Dinamika Sistem  Pendidikan Pesantren,seri XX,(Jakarta:INIS,1994)hlm.61.
[12] Mukti Ali,Beberapa Persoalan Agama Dewasa Ini,(Jakarta:Rajawali Press,1981).hlm.17-18.
[13] Muhammad Earid Wadji,Dairat al-Ma’arif,jilid 4,Dairat al-Ma’arif,(Bairut:1971)hlm..
[14] Maksum,Madrasah Sejarah dan Perkembanganya, (Jakarta : Logos,1999) hlm.80
[15] Ibid, hlm.82

No comments:

Post a Comment