SISTEM PEMBELAJARAN MADRASAH DAN PESANTREN
A.
Gambaran
Model Pembelajaran Di Pesantren
1.
Pengertian Model Pembelajaran
|
Dalam perkembanganya, model pembelajaran yang ada
selalu membawa kepada pembaharuan yang bertujuan untuk dapat meningkatkan
kualitas dari sebuah lembaga pendidikan
dan mampu menciptakan anak didik yang berkualitas pula. Metodel pembelajaran mempunyai andil yang cukup besar dalam kegiatan
belajar mengajar. Kemampuan yang diharapkan dapat dimiliki oleh anak didik ditentukan oleh kerelevansian
penggunaan suatu metode yang sesuai dengan tujuan. Itu berarti bahwa tujuan
pembelajaran akan dapat dicapai dengan penggunaan metode yang tepat, sesuai dengan
standar keberhasilan yang diantri dalam suatu tujuan. Sedang pembelajaran itu
sendiri merupakan proses pendorong atau pemberi peluang bagi
tumbuhnya konsep dari dalam diri setiap peserta didik secara aktif.
Pembelajaran bukan hanya memorasi dan recal, bukan pula sekedar penekanan pada penguasaan
pengetahuan tentang apa yang diajarkan,
tetapi lebih ditekankan pada internalisasi tentang apa yang diajarkan sehingga
tertanam dan berfungsi sebagai muatan nurani dan dihayati serta dipraktekkan
dalam kehidupan sehari-hari .
2.
Pengertian
Pondok Pesantren
Istilah pondok pesantren adalah dua istilah yang merujuk pada satu pengertian.
Orang jawa biasanya menyebut dengan pondok atau pesantren saja, tetapi ada juga
yang menyebut dengan cara digabung yaitu pondok pesantren. Hal tersebut
bukanlah hal yang prinsip, karena apabila hanya disebut pondok atau pesantren
kebanyakan orang sudah paham dengan
segala hal yang dimaksud. Pondok pesantren merupakan
sebuah bentuk pendidikan keIslaman non formal yang melembaga di Indonesia
dengan ciri khusus yaitu mengajarkan tentang agama Islam.
Secara bahasa pondok diambil dari bahasa arap yaitu funduk yang
artinya ruang tidur, wisma atau hotel sederhana.[3] Dan kata pondok yang dipakai dalam bahasa Indonesia lebih
menekankan pada kesederhanaan, yang sinonimnya adalah kamar, gubuk dan rumah
kecil.[4] Dalam pengertian yang lain, pondok berarti asrama para santri atau
tempat tinggal yang terbuat dari bamboo.[5] Sedangkan kata pesantren berasal dari kata santri dengan awalan pe
dan akhiran en yang berarti tempat tinggal para
santri.
John berpendapat bahwa istilah santri berasal dari Tawil yang berarti
guru ngaji. Sedangkan Cliford berpendapat bahwa istilah tersebut berasal dari istilah Shantri
dalam bahasa India berarti orang yang tahu buku-buku agama hindu, dan dalam
bahasa sastra kata santri mempunyai arti
buku-buku suci, buku-buku agama, atau buku-buku tentang ilmu pengetahuan.[6]
Menurut Cliford bahwa pengertian santri berasal
dari dari kata shantri yang artinya
ilmuwan hindu yang pandai menulis yang
dalam pemakaian bahasa modern memiliki dua arti, yaitu: Dalam arti yang sempit
adalah seorang pelajar sekolah agama yang disebut pondok pesantren.
Dalam arti yang luas atau lebih umum kata santri mengacu pada seseorang anggota bagian penduduk jawa yang menganut agama Islam dengan
sungguh-sungguh dan menjalankan sholat
lima waktu serta sholat di Masjid pada hari jum’at dan sebagainya.[7]
Sedangkan menurut H.M. Arifin yang dimaksud dengan pondok pesantren
adalah sebagai berikut : “ Suatu lembaga pendidikan agama yang tumbuh serta
diakui masyarakat sekitarnya, dengan sistim asrama dimana para santri menerima pendidikan
melalui sistem pendidikan dan madrasah yang sepenuhnya dibawah kedaulatan dari
leadership seseorang atau beberapa kyai dengan ciri khas bersifat karesmatik
serta independen dalam segala hal.[8]
Dari uraian di atas, maka arti dari Pondok Pesantren adalah sebuah
lembaga pendidikan diluar sekolah (non formal) yang tumbuh dan berkembang dari dan dalam
masyarakat untuk melayai berbagai kebutuhan. Pesantren dapat melayani kebutuhan
pendidikan ketika masyarakat haus akan ilmu pengetahuan,
adanya krisis moral, apalagi ketika lembaga pendidikan modern belum mampu menembus ke pelosok desa, Pondok Pesantren menjadi simbol yang menghubungkan
dunia pesantren dengan dunia luar. Dengan demikian perubahan yang terjadi dalam
masyarakat mau tidak mau akan dipengaruhi oleh dinamika pesantren.
3.
Tujuan dan
Kurikulum Pendidikan Pesantren
Berbeda dengan lembaga-lembaga pendidikan lainya yang
pada umumnya menyatakan tujuan
pendidikanya dengan jelas. Pesantren terutama pesantren-pesantren salaf
biasanya tidak merumuskan secara eksplisit dasar dan tujuan pendidikanya. Namun
bukan berarti bahwa pendidikan pesantren
itu berlangsung tanpa arah dan tujuan, hanya saja tujuan itu tidak
dirumuskan secara sistematis dan dinyatakan secara eksplisit.
Hal ini ada
hubunganya dengan sifat kesederhanaan
pesantren yang sesuai dengan dorongan berdirinya dimana Kyai
mengajar dan santri belajar adalah
semata-mata untuk ibadah dan tidak
dikaitkan dengan orientasi tertentu dalam lapangan kehidupan atau tingkat jabatan tertentu dalam herarchi
social atau birokrasi kepegawaian.
Tujuan pendidikan yang diselenggarakan dapat diketahui dengan
jalan mengatakan secara langsung kepada
penyelenggara dan pengasuh pesantren
atau dengan cara memahami fungsi-fungsi yang dilaksanakan baik dalam hubunganya
dengan santri maupun dengan masyarakat sekitarnya. Menurut Mastuhu tujuan dari pendidikan pesantren adalah Menciptakan
dan mengembangkan kepribadian muslim, yaitu kepribadian yang beriman dan bertaqwa
kepada Tuhannya, berakhlak mulia, bermanfaat bagi masyarakat atau berkhidmah
kepada masyarakat dengan jalan menjadi kawulo atau abdi masyarakat sekaligus
menjadi rosul yaitu pelayan masyarakat sebagaimana kepribadian Nabi Muhammad
SAW (mengikuti sunah Nabi), maupun berdiri sendiri, bebas dan teguh dalam
kepribadian ditengah-tengah masyarakat (Izzul Islam walmuslimin) serta
mencintai ilmu dalam rangka mengembangkan kepribadian Indonesia.[9] Dari rumusan
tujuan tersebut tampak jelas bahwa pendidikan pesantren sangat menekankan
pentingnya tegaknya Islam ditengah-tengah kehidupan sebagai sumber utama
moral yang merupakan kunci keberhasilan
hidup bermasyarakat. Nenurut W. M. Dixon
diyakini sebagai dasar yang paling kuat bagi pebentukan moral, dan
apabila penghargaan kepada ajaran agama merosot maka akan sulit mencari
pemggantinya. Disamping berfungsi sebagai lembaga pendidikan dengan tujuan seperti
dirumuskan diatas, pesantren juga mempunyai fungsi sebagai tempat penyebaran dan penyiaran agama
Islam.
Hal ini dapat kita ketahui dari sejarah berdirinya pesantren-pesantren
pada generasi awal dimana tujuan para kyai mendirikan pesantren ialah sebagai
tempat menyiarkan agama Islam dan menyiapkan guru-guru yang akan meneruskan
usaha terrsebut dikalangan umat .
Sejalan dengan tidak dirumuskanya tujuan
pendidikan secara eksplisit, maka pada
sebagian pesantren istilah kurikulum
tidak dapat ditemukanya walaupun
esensi materinya dalam praktek pengajaran, bimbingan rokhani dan latihan kecakapan dalamkehidupan sehari-hari
pesantren, yang semunya itu merupakan kesatuan dalam proses pendidikanya.
Pesantren lama memang belum mengenal kebiasaan merumuskan secaratajam materi pelajaran
dalam bentuk kurikulum. namun demikian dapat dinyatakan bahwa kurikulum
pesantren sebenarnya meliputi seluruh kegiatan yang diikuti santri selama
sehari semalam. Diluar pelajaran formal banyak
kegiatan yang bernilai pendidikan dilakukan, disana seperti mengurus kebutuhan
sendiri, mengatur kepentingan bersama
latihan berdikari, ibadah dengan tertib dan lain lain.
Apabila ditinjau dari mata pelajaran yang diberikan secara formal oleh kyai, maka pelajaran yang
dapat dianggap sebagai kurikulum berkisar pada ilmu pengetahuan agama dan
sebagai faknya. Pesantren-pesantren yang sudah terkenal
biasanya memiliki spesialisasi kajian cabang tertentu dalam ilmu agama. Para
santri yang berminat mengkaji bidang-bidang tertentu bisa datang dengan bebas
ke pesantren tersebut kemudian pergi setelah
menyelesaikan, karenaitu di dunia pesantren dikenal istilah tabarukan
sebuah predikat yang menggambarkan semangat dan kecintaan yang tinggi terhadap
ilmu pengetahuan.
Dalam perkembanganya untuk menjawab tuntutan era
modernyang melingkupinya, banyak pesantren yang menambah pengetahuan sekular
dalam kurikulumnya disamping pemahaman agama yang menjadi cirri khasnya sejak semula. Dewasa ini kurikulum
pesantren meliputi 4 type : Ngaji (mempelajari kitab kuning), Pengalaman (pendidikan
moral), Sekolah (Pendidikan umum), serta kursus dan ketrampilan. Empat
kurikulum ini mengkombinasi dalam bentuk yang berbeda-beda sehingga
menghasilkan berbagai variasi. Dua tipe pertama selalu menjadi bagian dari
pendidikan pesantren dan membentuk inti identirasnya, sedangkan dua tipe yang
lainya merefleksikan aspek-aspek baru dari
identitas pesantren dan pertemuanya dengan kebutuhan masyarakat Indonesia yang
berubah-ubah.
4.
Perkembangan
Dan Bentuk Pondok Pesantren
Sejak awal pertumbuhan dalam bentuknya yang khas dan bervariasi, pondok
pesantren terus berkembang, namun perkembangan yang signifikan muncul setelah terjadi
persinggungan dengan sistem persekolahan atau juga dikenal dengan sistem madrasah yaitu sistem
pendidikan dengan pendekatan klasikal lawan dari individual yang berkembang di pondok
pesantren sebelumnya. Model pendidikan Islam dalam bentuk madrasah tidak
hanya dikembangkan diluar pondok pesantren, tetapi juga diserap oleh pondok
pesantren baik untuk memperbaharui ataupun memberi pengayaan terhadap sistem yang sebelumnya
sudah berjalan. Dengan demikian perkambangan pondok pesantren yang selain
menyelenggarakan pendidikan dengan sistem madrasah, tetap menyelenggarakkan sistem
pembelajaran dengan pendekatan individual. sementara itu masih banyak pondok
pesantren yang tetap mempertahankan sistem pembelajaran dengan pendekatan
individual tanpa menyelenggarakan
pendidikan Islam dengan sistem madrasah.
Dari berbagai ragam dan kombinasi kurikulum yang ada dan berkembang
di pondok pesantren, melahirkan aneka ragam model pesantren yang berkembang di
Negara Indonesia. Model-model itu merupakan jawaban masing-masing terhadap tuntutan era
modern yang tidak mengkin dihindari. Namun secara garis besar dapat
dikelompokkan menjadi empat bentuk, sebagai mana dituangkan dalam Peraturan
Mentri Agama Nomor 3 tahun 1979 tentang bantuan kepada pondok pesantren,[10] yang
mengkategorikan pondok pesantren menjadi :
a. Pondok Pesantren
Type A
Yaitu pondok pesantren
yang seluruhnya dilaksanakan secara tradisional. Pesantren ini mempertahankan kemurnian
identitas aslinya sebagai tempat mendalami ilmu-ilmu agama (Tafaqquh fiddin)
bagi para santrinya. Semua materi yang diajarkan di pesantren ini sepenuhnya bersifat
keagamaan yang bersumber dari kitab-kitab berbahasa arab yang ditulis oleh para
ulama pada abad pertengahan (7-13 H) yang dikenal dengan kitab kuning. Tekhnik
pengajaran yang diterapkan menggunakan
methode sorogan atau bandongan. Selain kedua methode tersebut Mastuhu menyebutkan hafalan dan halaqoh[11]. Selanjutnya
Mukti Ali alumni pondok pesantren Tremas Pacitan mengidentifikasi beberapa karakteristik yang
menjadi cirri khas pesantren sebagai berikut :
1)
Adanya
hubungan yang akrab antara santri dan kyai, hal ini karena tinggal dalam satu
Komplek.
2)
Tunduknya
santri pada kyai
3)
Hidup
hemat dan sederhana benar-benar dilakukan di pesantren
4)
Jiwa
tolong menolong dan suasana persaudaraan
sangat mewarnai dalam pergaulan
5)
Kehidupan
berdisiplin sangat ditekankan di pesantren
6)
Berani
menderita untuk satu tujuan
7)
Kehidupan
agama yang baik dapat diperoleh di pesantren
b. Pondok Pesantren
Type B
Yaitu pondok pesantren
yang menyelenggarakan pengajaranya secara klasikal. Pesantren ini memasukkan
materi-materi umum dalam pengajaranya, namun dengan kurikulum yang disusun
sendiri menurut kebutuhan dan tidak mengikuti kurikulum yang ditetapkan
pemerintah secara nasional sehingga ijazah yang dikeluarkan tidak
memendapatkan pengakuan dari pemerintah sebagai ijazah formal.
c. Pondok Pesantren
Type C
Yaitu pondok pesantren yang merupakan asrama saja sedangkan
santrinya belajar di luar. Pesantren ini merupakan asrama pelajar Islam dimana
santrinya belajar di sekolah-sekolah atau perguruan tinggi-perguruan tinggi di
sekitarnya. Pendidikan agama diberikan diluar jam-jam sekolah sehingga bisa
diikuti oleh semua santrinya.
d. Pondok
Pesantren Type D
Yaitu pondok pesantren yang menyelenggarakan sistem pondok pesantren
sekaligus sistem sekolah atau madrasah. Pesantren yang menyelenggarakan
pendidikan umum di dalamnya, baik berbentuk madrasah (Sekolah umum yang berciri khas Islam
dibawah naungan Kementerian Agama) Maupun sekolah umum (dibawah naungan Kementerian Pendidikan Nasional) dalam berbagai jenjangnya, bahkan ada yang sanpai perguruan tinggi
yang tidak hanya meliputi fakultas-fakultas keagamaan melainkan juga fakultas-fakultas umum. Dengan demikian pesantren
yang semula menfokuskan pendidikanya pada orientasi keakhiratan semata, dengan
masuknya materi-materi secular menjadi
memperhatikan pula kepentingan keduniaan. Hal ini didasarkan kepada kesadaran
bahwa dalam era modern orang tidak cukup hanya berbekal dengan moral yang baik
saja, tetapi perlu melengkapi dirinya dengan keahlian dan ketrampilan yang
relevan dengan kebutuhan kerja.
5.
Potensi Pondok
Pesantren
Telah dikatakan di atas bahwa pesantren berfungsi sebagai lmbaga
pendidikan dakwah, kemasyarakatan dan bahkan lembaga perjuangan. Kelebihan yang
selama ini dimiliki pesantren, tentunya menjadi aspek pendukung yang kuat bagi
kehidupan kultur pesantren hingga saat ini. Pesantren pada dasarnya selalu
menanamkan sepirit percaya pada diri sendiri, bersifat mandiri sederhana dan
rasa solidaritas (ukhuwah) yang tinggi. Karakter seperti ini secara
reflektif tampak pada alumni-alumni pesantren
yang sudah terjun di masyarakat luas. Sedangkan potensi-potensi kelembagaan lain yang cukup
mendasar dari pesantren ini hal yang lebih bersifat fungsional dan potensional,
antara lain :
a.
Potensi pendidikan
Sebagai lembaga pendidikan, pesantren ikut bertanggung jawab terhadap
proses pencerdasan bangsa secara keseluruhan, sedangkan secara khusus pesantren
bertanggungjawab atas kelangsungan tradisi keagamaan (Islam) dalam
artian yang seluas-luasnya. Dari titk pandang ini, pesantren berangkat secara
kelembagaan maupun inspiratif, memilih model yang dirasakan mendukung secara
penuh tujuan dan hakekat pendidikan manusia itu sendiri yaitu membentuk manusia
mukmin yang sejati punya kualitas moral dan intelektual.
Pada dasarnya pendidikan pesantren memang lebih mengutamakan
pada aspek keagamaan dengan methode klasiknya hingga sekarang ini “teks book“
yang dipakai sebagai bahan dan materi pendidikanya terkait erat dengan
buku-buku klasik tulisan ulama’ salaf yang di Indonesia popular dengan nama “Kitab
kuning“. Kitab-kitab kuning ini dibagi
dan diklasifikasikan dalam bentuk
kurikulum dengan anotasi menurut taraf kemampuan anak didik (Santri atau siswa)
dengan kelas masing-masing sesuai dengan taraf psikologi dan kognisinya.
Pesantren-pesantren pada
awalnya memang berdiri dengan sarana yang sangat relative sederhana, sehingga
sarana methode pendidikanya pun cukup unik. Kita menganal model pendidikn
aganma dengan cara bandongan dan sorogan, yaitu seorang guru atau kyai membaca
kitab, menerjemahkan dan menjelaskan maksud isi kitab, sementara itu para
santri menyimaknya atau para santri membaca kitab yang ditentukan, sementara seorang
guru atau kyai menyimak, mengoreksi apabila bacaanya salah. Model seperti ini
hingga sekarang masih berlaku.
Namun demikian perkembangan sarana yang lebih
lengkap, pendidikan pesantren mulai memakai model klasikal, sebagaimana pendidikan
klasikal pada umumnya. Lebih dari itu pendidikan pesantren juga membuka diri
untuk mata pelajaran umum. Ini berlangsung bukan hanya saja karena tuntutan
zaman dan tuntutan perubahan social serta nilai-nilai, namun juga karena
kesadaran yangterbuka untuk dunia pesantren, mengingat peran dan potensinya
yang cukup besar bagi pembangunan bangsa. Lebih dari itu pesantren merupakan
lembaga pendidikan yang punya khasanah intelektualisme yang tinggi, karena
model-model pendidikan yang dilakukan tidak terikat secara psikologis oleh
waktu, disamping para santri bebas belajar menurut fak dan materi yang disukai
selama intelektualitasnya mampu.
Oleh karena itu, kenyataan yang ada Ulama’-alama’ besar di Indonesia semuanya
pernah mengenyam pendidikan pesantren
karena selamaini belum ada pendidikan yang mampu melahirkan kader ulama’
seperti yang dimiliki pesantren, walaupun sementara ini ada usaha inovatif
melalui sistem lintas untuk mendidik kader ulama’ dengan pendidikan pasca
santri, tetapi sistem ini baru coba-coba.
b.
Potensi Da’wah
Sebagai lembaran “Amar ma’ruf nahi mungkar“ Pesantren punya tugas yang
cukup serius yaitu secara partisipatif menjadi lembaga dakwah. Apa yang kemudian
bisa dilakukan oleh pesantren secara institusional berfungsi sebagai institusi
da’wah. Sedangkan
selamaini da’wah biasanya dilakukan perseorangan untuk menyebarkan agama Islam,
atau organisasi-organisasi keagamaan yang memperioritaskan diri dalam lapangan
da’wah.
Da’wah secara kelembagaan yang dilakukan oleh
pesantren disamping secara fungsional (melalui fungsi-fungsi kependidikandan
kulturalnya ), yang lebih penting juga da’wahnya secara actual (bil-hal)
dengan terlibat langsung menangani obyek da’wah
(masyarakat luas). Melalui kegiatan-kegiatan social ekonomi, da’wah bil-hal
ini ternyata mendapat respon yang cukup positif karena nilai-nilai Islam yang
bersangkut paut dengan masalah pembangunan kaum lemah dan etos kerja, dapat
ditejemahkan dalam bentuk yang nyata. Pada giliranya pesantren menjadi lembaga
swadaya masyarakat Islam (LSMI) yang tidak hanya menangani masalah-masalah
teori keilmuan saja, namun secara emansipatoristik terjun membebaskam kaum yang
tertyindas dan kaum miskin.
Pemikiran awal dari kepedulian pesantren untuk
menangani problematika social secara langsung, mengacu pada realitas social itu
sendiri, bahkan pesantren yang mempunyai akar kuat di lapisan social bawah
disatupihak potensi pembebasan bagi keterbelakangan kaum bawah, namun
padakenyatanya kauma bawah ini belum mendapatkan sentuhana actual, khususnya
dari segi sosial ekonominya sehingga dikhawatirkan terjadi kesenjangan
cultural bahkan struktura antara kaum santri
dengan masyarakat pedesaan. Maka dari itu, emansipasi pesantren dalam pembangunan
masyarakat sebenarnya
menjadi dua sisi mata uang yang harus bergandeng. Pada giliranya pendekatan aktual ini melahirkan
wahana sosial yang didasarkan sebagai refleksi atas keagamaan yang dilembagakan
oleh pesantren.
c.
Potensi Kemasyarakatan
Betapa besar potensi
pesantren dalam mengembangkan masyarakat bawah, bukan saja potensi tersebut
menjadi peluang setrategis pengembangan masyarakat, pesantren itu sebagai
lembaga kemasyarakatan dan memang demikian kenyataanya yang berlangsung secara moral,
pesantren adalah milik masyarakat luas sekaligus sebagai anuatan berbagai
keputusan sosial, politik, agama dan etika.
B.
Madrasah
1.
Pengertian Madrasah
Jika dikaji dari pengertian bahasa, istilah
madrasah merupakan isim makan (Nama tempat), berasal dari kata Darosa yang
bermakna tempat orang belaja.[13] Dari akar makna tersebut kemudian berkembang menjadi istilah yang kita pahami
sebagai tempat pendidikan, khususnya yang bernuansa agama Islam.
Mahmud Yunus menyatakan sangat kesulitan ketika
harus menelusuri asal usul kata “madrasah”. Dari sudut pendidikan agama Islam kata untuk memperjelas hal tersebut paling tidak
terdapat tiga teori :
Pertama Sejalan dengan pertumbuhan dan penyebaran
agama Islam di wilayah baru, selalu dibarengi dengan penyampaian ajaran Islam kepada masyarakatnya, sehingga muncul istilah
madrasah. Sebagai gambaran untuk memperjelas argumentasi tersebut,
diantaranya dikemukakan Kholifah pada masa Khulafa’ Al Rosyidin mengadakan perluasan wilayah ke
seluruh penjuru, khususnya wilayah yang dukuasai Romawi dan Persia, dengan
mengirim bala tentara yang juga Ulama’ ke wilayah-wilayah tersebut. Setelah menguasai wilayah-wilayah
dimaksud ulama’ juga bala tentara itu mengajarkan ilmu sesuai dengan keahlian mereka.
Kondisi yang demikian inilah yang kemudian diidentifikasi Mahmud Yunus
sebagai pusat-pusat pendidikan Islam.
Kedua Madrasah muncul pertama kali adalah
Madrasah Nidhomiyah (Kurang Lebih tahun 1064 M) Yakni lembaga pendidikan Islam
yang didirikan oleh Nidham Al Mulk. Dengan munculnya
madrasah nidhamiyah tersebut baru diikuti oleh madrasah-madrasah lain. Pendapat
ini banyak diikuti sejarawan masa lalu. Khususnya sejarawan pendidikan Islam.
Ketiga Madrasah yang muncul pertama kali dalam sejarah
peradaban Islam adalh madrasah baihaqiyyah (kurang lebih tahun 400 H) yang
didirikan oleh Abu Hasan Ali Al- Baihaqi, pendapat ini banyak didukung oleh
sejarawan konteporer yang mencoba untuk keluar dari lingkungan formalisme.
Dalam perkembanganya, istilah madrasah (dari jaman
pertengahan) yakni ketika Islam ada pada masa yang gemilang, istilah tersebut
digunakan untuk lembaga pendidikan tinggi, dimana metode yang digunakan dengan
halaqoh, mengadakan pengkajian yang sangat mendalam terhadap masing-masing mazdhab
dan dilaksanakan oleh orang-orang dewasa dan telah memiliki bekal keilmuan yang
mantap, namun penggunaan istilah madrasah pada saat sekarang, khususnya di
Indonesia, dipahami yakni madrasah digunakan untuk satu nama lembaga pada
tingkat dasar dan pertengahan yang diikuti oleh anak-anak dan remaja dan
relative belum didukung dengan keilmuan yang mantap.
Dari perkembangan istilah Madrasah pada
masa awalnya sampai diakui sebagai nama lembaga pendidikan resmi di Indonesia,
seperti tertuang dalam UU No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional,
setidaknya tergambar proses adanya proses perubahan suatu istilah sebagai
akibat adanya perubahan social politik umat Islam secara keseluruhan.
2.
Eksistensi
Madrasah
Eksistensi madrasah dalam tradisi pendidikan Islam di Indonesia
tergolong fenomena modern yang dimulai sekitar abad ke-20. Buku-buku tentang
sejarah pendidikan Islam di Indonesia sejauh ini tidak pernah menginformasikan
adanya lembaga pendidikan yang disebut madrasah pada awal penyebaran Islam di
bumi Indonesia ini. Evolusi kelembagaan pendidikan di wilayah ini pada umumnya bermula dari pesantren, madrasah
dan sekolah. Madrasah di Indonesia bisa dianggap sebagai perkembangan lebih
lanjut atau pembaharuan dari lembaga pendidikan pesantren atau surau. Madrasah
berdiri atas inisiatif dan realisasi dari pemahaman sistem pendidikan Islam
yang telah ada. Pembaharuan tersebut menurut Karl Sternbrink (1986) meliputi
tiga hal yaitu
:
a. Usaha menyempurnakan sisitem pendidikan
pesantren
b. Penyesuaian dengansisten pendidikan barat
c. Upaya menjebatani antara sestem pendidikan
tradisional pesantren dan sistem pendidikan
barat
Madrasah sebagai lembaga ppendidikan Islam kini ditempatkan sebagai
pendidikan sekolah dalam Sistem
Pendidikan Nasional. Munculnya SKB tiga Menteri (Menteri Agama, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan dan Menteri Dalam Negeri) menandakan bahwa
eksitensi madrasah cukup kuat beriringan dengan sekolah umum. Disamping itu
munculnya SKB tiga Menteri tersebut juga dinilai sebagai langkah positif bagi peningkatan mutu
madrasah baik dari status, nilai ijazah maupun kurikulumnya. Di dalam salah satu diktumnya pertimbangan SKB tersebut
disebutkan perlunya diambil langkah-langkah untuk meningkatkan mutu pendidikan
pada madrasah agar lulusan dari madrasah dapat melanjutkan atau pindah ke
sekolah-sekolah umum dari sekolah dasar sampai ke perguruan tinggi.
C.
Integrasi
Pesantren Dan Madrasah
Perkembangan dari pesantren ke madrasah muncul pada awal abad 20,
sebagai akibat dari perasaan kurang puas terhadap sistem pesantren yang
terlalu sempit dan terbatas pada pengajaran ilmu-ilmu fardhu ‘ain.[14] Paling tidak terdapat dua hal yang melatarbelakangi tumbuhnya sistem madrasah di
Indonesia, yakni faktor pembaharuan Islam dan respon terhadap politik pendidikan HIndia
Belanda.[15] Kemunculan dan
perkembangan madrasah tidak bisa dilepaskan dari gerakan pembaharuan Islam dan
kemudian dikembangkan oleh organisasi-organisasi Islam baik di Jawa, Sumatera, maupun
Kalimantan. Pendidikan dipandang sebagai aspek setrategis dalam bentuk
pandangan keIslaman masyarakat. Dalam kenyataanya, pendidikan yang terlalu
berorientasi pada ilmu-ilmu ubudiyah, sebagaimana ditunjukkan dalam pendidikan
di Surau, masjid dan pesantren, pandangan keIslaman masyarakat agaknya kurang
memberikan perhatian kepada masalah-masalah sosial, politik, ekonimi dan budaya. Oleh karena itu, untuk
melakukan pembaharuan terhadap pandangan dan tindakan masyarakat itu langkah
setrategis yang harus ditempuh adalah memperbaharui sistem pendidikanya.
Sebagai lembaga pendidikan yang dilahirkan oleh pesantren maka
madrasah memiliki kesamaan visi atau bahkan merupakan continuity dari
pesantren. Sistem madrasah yang diperkenalkan oleh pesantren menitik beratkan pada keilmuan agama Islam, disamping
pengetahuan umum yang dapat meningkatkan kepekaan terhadap masalah-masalah
social dan lingkungan. Keberadaan ini diperkuat lagi dengan sikat
non-kooperatif para pendirinya terhadap pemerintah colonial belanda. Lembaga ini
sengaja tidak memerlukan anak didik sebagai tenaga kerja dan madrasahnya tidak
diproyeksikan pada orientasi lapangan kerja.
Madrasah dan pesantren bahkan menentang Priyayisme yang
sengaja diangkat oleh belanda. Ijazah-ijazah sebagai tanda keberhasilan
pendidikan murid, belum mampu mengubah pandangan dari dasar menuntut ilmu hanya
kepada Allah SWT (Liwajhillah) kearah pandangan yang sifatnya duniawi. Dari sini imbullah watak kemandirian, sebagai
cirri utama dan identitas madrasah dan pesantren.
Banyak pesantren kecil yang tidak menyesuaikan dengan perubahan
dalam 20 tahun terakhir, telah tutup karena kurangnya santri. Pesantren kecil
yang berorientasi tradisional masih bisa dijumpai. Dan dari lembaga-lembaga
inilah diberlakukan suatu strategi yang membolehkan santri memasuki sekolah dan
memusatkan diri pada pengajian-pengajian Islam yang komplememter sebelum dan
terutama sesudah jam-jam sekolah. Strategi ini mudah dilakukan dan pesantren
bisa mempertahankan sebagian besar orientasi aslinya. Tetapi yang jelas ada
fungsi yang hilang yakni pendidikan komprehensif
lama hanya menjadi pelengkap pendidikan saja. Selain itu ada ketidak sesuaian
yang signifikan dalam praktek-praktek pedagogis dua lembaga. Akibatnya bisa
sangat merusakkan pendidikan pesantren, ketidaksesuaian ini dapat dikurangi
jika pesantren menawarkan program sekolah yang mengarah kepada ijazah yang
diakui pemerintah. Setrategi yang kedua ini diterapkan terutama oleh pesantren
besar yang memiliki biaya yang besar.
Pada pengembanganya banyak berdiri
madrasah-madrasah untuk sekolah menengah, selain untuk sekolah dasar dalam
kurikuluim 24 jam dan memodifikasi
metode-metode pengajaran sekolah pemerintah. Ruang
lingkup untuk memodifikasi dibatasi, paling tidak dalam kerangka kurikulum
dan buku-buku teks. Dalam upaya untuk menggabungkan pengajaran sekolah
kedalam program pengajaran, aktifitas-aktifitas pesantren lainya harus dikurangi atau dihilangkan
seluruhnya. Beberapa telah mengambil selangkah lebih maju dan memperkenalkan
sekolah menengah umum yang terlepas dari madrasah pada siang hari. Beberapa
lainya menawarkan sekolah umum pada pagi dan madrasah pada waktu siang, karena
itu beberapa pesantren telah memiliki lembaga-lembaga pendidikan yang sangat
besar, dan telah melaksanakan program-program pendidikan tersier. Program-program
ini berlaku untuk berbagi profesi sebagai juru dakwah, guru agama dan hakim Islam.
Akibat dari proses adopsi program-program yang diakui pemerintah bagi pesantren pada dasarnya masih belum
bisa dijelaskan. Pada satu pihak ada keyakinan bahwa kekuatan intergasi praktek-praktek
pendidikan pondok dapat menghasilkan pendidikan agama yang baik dan pendidikan
umum yang baik, dan menetralisasi beberapa komplain terdapat keprihatinan bahwa control
eksternal program pemerintah yang ketat dan mekanisme-mekanismenya yang intern
secara setruktural merubah motivasi belajar di pesantren.
[1] Poerwodarminto,Kanus Umum
Bahasa Indonesia, (Jakarta:Balai Pustaka,1982).hlm. 662.
[2] Muhibbin, Psikologi Pendidikan Suatu
Pendekatan Baru, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya,Rosda
Grup.1995) hlm.88.
[3] Soedjoko,Profil Pesantren,(Jakarta:LP3ES,1974)hlm
.13.
[4] Poerwodarminto,Kanus Umum
Bahasa Indonesia, (Jakarta:Balai Pustaka,1982).hlm. 246.
[5] Zamakhsari Dhofier,hlm.18
[7] Ibid hlm .268.
[8] arifin, Muhammad, Kapita Selekta Pendidikan
Islam dan Umum, (Jakarta:Bulan
Bintang,1991) hlm.240.
[9] Mastuhu,Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren,Suara
Kajian Tentang Unsur dan Nilai Sistem Pendidikan,(Jakarta:INIS,1994)hlm.56.
[10] Depag RI,Pondok Pesantren dan Madrasah Diniah,Pertumbuhan dan Perkambangannya, (Jakarta:2003).hlm.15.
[11] Mastuhu,Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren,seri XX,(Jakarta:INIS,1994)hlm.61.
[12] Mukti Ali,Beberapa Persoalan
Agama Dewasa Ini,(Jakarta:Rajawali Press,1981).hlm.17-18.
[13] Muhammad Earid Wadji,Dairat al-Ma’arif,jilid 4,Dairat
al-Ma’arif,(Bairut:1971)hlm..
[15] Ibid, hlm.82
No comments:
Post a Comment