BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sejak proklamasi kemerdekaan hingga saat sekarang ini
telah banyak pengalaman yang diperoleh
bangsa kita tentang kehidupan berbangsa dan bernegara. Dalam negara
Republik Indonesia,
pedoman acuan bagi kehidupan berbangsa dan bernegara itu adalah nilai-nilai dan
norma-norma yang termaktub dalam Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945,
sebagai sumber dan disain bagi terbentuknya kebudayaan nasional.
Namun kita juga telah melihat bahwa, khususnya dalam lima tahun terakhir, telah
terjadi krisis pemerintahan dan tuntutan reformasi (tanpa platform yang jelas)
yang menimbulkan berbagai ketidakmenentuan dan kekacauan. Acuan kehidupan
bernegara (governance) dan kerukunan sosial (social harmony) menjadi berantakan
dan menumbuhkan ketidakpatuhan sosial (social disobedience). Dari sinilah
berawal tindakan-tindakan anarkis, pelanggaran-pelanggaran moral dan etika,
tentu pula tak terkecuali pelanggaran hukum dan meningkatnya kriminalitas. Di
kala hal ini berkepanjangan dan tidak jelas
kapan saatnya krisis ini akan berakhir, para pengamat hanya bisa mengatakan
bahwa bangsa kita adalah “bangsa yang sedang sakit”, suatu kesimpulan yang
tidak pula menawarkan solusi.
Timbul
pertanyaan: mengapa bangsa kita dicemooh oleh bangsa lain? Mengapa pula ada
sejumlah orang Indonesia
yang tanpa canggung dan tanpa merasa risi dengan mudah berkata, “Saya malu menjadi
orang Indonesia” dan
bukannya secara Negara menantang dan mengatakan, “Saya siap untuk mengangkat Indonesia
dari keterpurukan ini”? Mengapa pula wakil-wakil rakyat dan para pemimpin
malahan saling tuding sehingga menjadi bahan olok-olok orang banyak? Mengapa
pula banyak orang, termasuk kaum intelektual, kemudian menganggap Pancasila
harus “disingkirkan” sebagai dasar Negara? Kaum intelektual yang sama di masa
lalu adalah penatar gigih, bahkan “manggala” dalam pelaksanaan Penataran P-4.
Pancasila adalah “asas bersama” bagi bangsa ini (bukan “asas tunggal”). Di
samping itu, makin banyak orang yang kecewa berat terhadap, bahkan menolak,
perubahan UUD 1945 (lebih dari sekedar amandemen) sehingga
perannya sebagai pedoman dan acuan kehidupan berbangsa dan bernegara
dapat diibaratkan sebagai menjadi lumpuh.
Perjalanan
panjang Negara enam dasawarsa kemerdekaan Indonesia telah memberikan banyak
pengalaman kepada warganegara tentang kehidupan berbangsa dan bernegara. Nation
and character building sebagai cita-cita membentuk kebudayaan nasional belum
dilandasi oleh suatu strategi budaya yang nyata (padahal ini merupakan konsekuensi dari dicetuskannya Proklamasi
Kemerdekaan sebagai “de hoogste politieke beslissing” dan diterimanya Pancasila
sebagai dasar Negara dan UUD 1945 sebagai dasar Negara)
B. Rumusan
Masalah
Berdasarkan
penjelasan tersebut di atas maka permasalahan yang dibahas dalam makalah ini
bagaimana perkembangan budaya bangsa Indonesia dan eksistensinya dalam
kehidupan bangsa yang pluralistik.
C. Tujuan
Tujuan
penulisan makalah ini adalah untuk mengetahui bagaimana perkembangan budaya
bangsa Indonesia
dan eksistensinya dalam kehidupan bangsa yang pluralistik.
D. Manfaat
Manfaat
yang diharapkan dari penulisan makalah ini adalah sebagai patokan bagi
masyarakat untuk tetap mengembangkan dan mempertahankan budaya bangsa dalam
proses globalisasi budaya.
BAB II
KERANGKA TEORI
A.
Definisi Kebudayaan
Kebudayaan
didefinisikan sebagai keseluruhan pengetahuan manusia sebagai makhluk sosial
yang digunakannya untuk memahami dan menginterprestasikan lingkungan dan
pengalamanya, serta menjadi landasan bagi tingkah-lakunya. Dengan demikian,
kebudayaan merupakan serangkaian aturan-aturan, petunjuk-petunjuk,
rencana-rencana, dan strategi-strategi yang terdiri atas serangkaian
model-model kognitif yang dipunyai oleh manusia, dan digunakannya secara
selektif dalam menghadapi lingkungannya sebagaimana terwujud dalam tingkah-laku
dan tindakan-tindakannya.
Kebudayaan
dapat didefinisikan sebagai suatu keseluruhan pengetahuan manusia sebagai
makhluk sosial yang digunakan untuk memahami dan menginterpretasikan lingkungan
dan pengalamannya, serta menjadi pedoman bagi tingkah lakunya.
Sebagai
pengetahuan, kebudayaan adalah suatu satuan ide yang ada dalam kepala manusia
dan bukan suatu gejala (yang terdiri atas kelakuan dan hasil kelakuan manusia).
Sebagai satuan ide, kebudayaan terdiri atas serangkaian nilai-nilai,
norma-norma yang berisikan larangan-larangan untuk melakukan suatu tindakan
dalam menghadapi suatu lingkungan sosial, kebudayaan, dan alam, serta berisi
serangkaian konsep-konsep dan model-model pengetahuan mengenai berbagai
tindakan dan tingkah laku yang seharusnya diwujudkan oleh pendukungnya dalam
menghadapi suatu lingkungan sosial, kebudayaan, dan alam. Jadi nilai-nilai tersebut
dalam penggunaannya adalah selektif sesuai dengan lingkungan yang dihadapi oleh
pendukungnya
Dari
berbagai sisi, kebudayaan dapat dipdang sebagai: (1) Pengetahuan yang diyakini
kebenarannya oleh masyarakat yang memiliki kebudayaan tersebut; (2) Kebudayaan
adalah milik masyarakat manusia, bukan daerah atau tempat yang mempunyai
kebudayaan tetapi manusialah yang mempunyai kebudayaan; (3) Sebagai pengetahuan
yang diyakini kebenarannya, kebudayaan adalah pedoman menyeluruh yang mendalam
dan mendasar bagi kehidupan masyarakat yang bersangkutan; (4) Sebagai pedoman
bagi kehidupan, kebudayaan dibedakan dari kelakuan dan hasil kelakuan; karena
kelakuan itu terwujud dengan mengacu atau berpedoman pada kebudayaan yang
dipunyai oleh pelaku yang bersangkutan.
Sebagai
pengetahuan, kebudayaan berisikan konsep-konsep, metode-metode, resep-resep,
dan petunjuk-petunjuk untuk memilah (mengkategorisasi) konsep-konsep dan
merangkai hasil pilahan untuk dapat digunakan sebagai pedoman dalam
menginterpretasi dan memahami lingkungan yang dihadapi dan dalam mewujudkan
tindakan-tindakan dalam menghadapi dan memanfaatkan lingkungan dan
sumber-sumber dayanya dalam pemenuhan kebutuhan-kebutuhan untuk kelangsungan
hidup. Dengan demikian, pengertian kebudayaan sebagai pedoman bagi kehidupan
adalah sebagai pedoman dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan hidupnya.
B.
Unsur-Unsur Kebudayaan
Untuk lebih mendalami kebudayaan perlu dikenal beberapa
masalah lain yang menyangkut kebudayaan antara lain unsur kebudayaan. Unsur kebudayan
dalam kamus besar Indonesia
berarti bagian dari suatu kebudayaan yang dapat digunakan sebagai suatu analisi
tertentu. Dengan adanya unsur tersebut, kebudayan disini lebih mengandung makna
totalitas dari pada sekedar perjumlahan usur-unsur yang terdapat di dalamnya.
Unsur kebudayaan terdiri atas :
1.
System regili dan upacaru keagamaan merupakan
produk manusia sebagai homoriligius. manusia yang mempunyai kecerdasan ,pikiran
,dan perasaan luhur ,tangapan bahwa kekuatan lain mahabesar yang dapat “menghitam-putikan”
kehidupannya.
2.
System organisasi kemasyarakatan merupakan produk manusia sebagia
homosocius.manusia sadar bahwa tubuh nay lemah.namun, dengan akalnya manusia
membuat kekuatan dengan menyusun organisasikemasyarakatan yang merupakan tempat
berkerja sama untuk mencapai tujuan baersama,yaitu meningatkan kesejahtraan
hidupnya.
3.
System mata pencarian yang merupakan produk dari manusia sebagai
homoeconomicus manjadikan tinkat kehudupan manusia secara umum terus
meningkat.contoh bercocok tanam, kemudian berternak ,lalu mengusahakan
kerjinan, dan berdagang.
C. Kebudayaan
Bangsa Indonesia
Di
masa lalu, kebudayaan nasional digambarkan sebagai “puncak-puncak kebudayaan di
daerah-daerah di seluruh Indonesia”.
Namun selanjutnya, kebudayaan nasional Indonesia
perlu diisi oleh nilai-nilai dan norma-norma nasional sebagai pedoman bagi
kehidupan berbangsa dan bernegara di antara seluruh rakyat Indonesia. Termasuk di dalamnya
adalah nilai-nilai yang menjaga kedaulatan negara dan integritas teritorial
yang menyiratkan kecintaan dan kebanggaan terhadap tanah air, serta
kelestariannya, nilai-nilai tentang kebersamaan, saling menghormati, saling
mencintai dan saling menolong antar sesama warganegara, untuk bersama-sama
menjaga kedaulatan dan martabat bangsa.
Gagasan tentang
kebudayaan nasional Indonesia
yang menyangkut kesadaran dan identitas sebagai satu bangsa sudah dirancang
saat bangsa kita belum merdeka. Hampir dua dekade sesudah Boedi Oetomo,
Perhimpunan Indonesia telah
menanamkan kesadaran tentang identitas Indonesia
dalam Manifesto Politiknya (1925), yang dikemukakan dalam tiga hakekat, yaitu:
(1) kedaulatan rakyat, (2) kemandirian dan (3) persatuan Indonesia.
Gagasan ini kemudian segera direspons dengan semangat tinggi oleh Sumpah Pemuda
pada tahun 1928.
Di masa awal Indonesia merdeka, identitas nasional
ditandai oleh bentuk fisik dan kebijakan umum bagi seluruh rakyat Indonesia (di
antaranya adalah penghormatan terhadap Sang Saka Merah-Putih, lagu kebangsaan
Indonesia Raya, Bahasa Nasional, pembentukan TKR yang kemudian menjadi TNI, PNS,
sistem pendidikan nasional, sistem hukum nasional, sistem perekonomian
nasional, sistem pemerintahan dan sistem birokrasi nasional). Di pihak lain,
kesadaran nasional dipupuk dengan menanamkan gagasan nasionalisme dan
patriotisme. Kesadaran nasional selanjutnya menjadi dasar dari keyakinan akan
perlunya memelihara dan mengembangkan harga diri bangsa, harkat dan martabat
bangsa sebagai perjuangan mencapai peradaban, sebagai upaya melepaskan bangsa
dari subordinasi (ketergantungan, ketertundukan, keterhinaan) terhadap bangsa
asing atau kekuatan asing.
Secara internal manusia dan masyarakat memiliki intuisi
dan aspirasi untuk mencapai kemajuan. Secara internal, pengaruh dari luar
selalu mendorong masyarakat, yang dinilai statis sekali pun, untuk bereaksi
terhadap rangsangan-rangsangan dari lingkungannya. Rangsangan besar dari
lingkungan pada saat ini datang dari media masa, melalui pemberitaan maupun
pembentukan opini. Pengaruh internal dan khususnya eksternal ini merupakan
faktor strategis bagi terbentuknya suatu kebudayaan nasional. Sistem dan media
komunikasi menjadi sarana strategis yang dapat diberi peran strategis pula
untuk memupuk identitas nasional dan kesadaran nasional.
BAB III
PEMBAHASAN
A.
Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kebudayaan
Bebera faktor yang mempengaruhi kebudayaan
secara garis besar adalah : a) factor kitaran (lingkungan hidup, geografis
mileu) factor lingkungan fisik lokasi geografis merupakan suatu corak budaya
sekelompok masyarakat; b) faktor induk bangsa ada dua pandangan berbeda mengenai
faktor induk bangsa ini, yaitu pandangan barat dan pandangan timur. Pandangan
barat berpendapat bahwa perbedaan induk bangsa dari beberapa kelompok
masyarakat mempunyai pengaru terhadap suatu corak kebudayaan. Berdasarkan
pandangan barat umumnya tingkat cauca soit dianggap lebih tinggi dari pada
bangsa lain,yaitu mingloid dan negroid. Sedangkan pandangan timur berpendapat
bahwa peran ihnduk bukan sebagai factor yang lebih dulu lahir dan cukup tinggi
pada saat bangsa barat masih “ tidur dalam kegelapan . hal itu lebih jelas
ketika dalam abad xx, bangsa jepang yang dapat diikatakan lebih rendah daripada
bangsa barat dan c) fakto saling kontak antar bangsa. Hubungan antar bangsa
yang makin mudah akibat sarana perhubungan yang makin sempurna menebabkan satu
bangsa mudah berhubungan dengan bangs lain.
Akibat daripada adanya hubungan ini dapat atau
tidak suatu bangsa mempertahankan jkebudayaanya tergantung pada kebudayaan
asing mana yang lebih kuat maka kebudayaan asli dapat bertahan lebih kuat.
Sebaliknya apabila kebudayaan asli lebih lemah daripada kebudayaan asing maka
lenyaplah kebudayaan aslidan terjadi budaya jajahan yang sifatnuya tiruan.
B.
Bangsa Yang Multikultural Sebagai Tantangan Kebudayaan
Bangsa Indonesia
Kita tidak dapat pula mengingkari sifat pluralistik
bangsa kita sehingga perlu pula memberi tempat bagi berkembangnya kebudayaan
sukubangsa dan kebudayaan agama yang dianut oleh warganegara Indonesia. Dalam kehidupan
sehari-hari, kebudayaan sukubangsa dan kebudayaan agama, bersama-sama
dengan pedoman kehidupan berbangsa dan
bernegara, mewarnai perilaku dan kegiatan kita. Berbagai kebudayaan itu
berseiringan, saling melengkapi dan saling mengisi, tidak berdiri
sendiri-sendiri, bahkan mampu untuk saling menyesuaikan (fleksibel) dalam percaturan hidup sehari-hari.
Dalam konteks itu pula maka ratusan suku-sukubangsa
yang terdapat di Indonesia perlu
dilihat sebagai aset negara berkat pemahaman akan lingkungan alamnya,
tradisinya, serta potensi-potensi budaya yang dimilikinya, yang keseluruhannya
perlu dapat didayagunakan bagi
pembangunan nasional. Di pihak lain, setiap sukubangsa juga memiliki hambatan
budayanya masing-masing, yang berbeda antara sukubangsa yang satu dengan yang
lainnya. Maka menjadi tugas negaralah
untuk memahami, selanjutnya mengatasi hambatan-hambatan budaya masing-masing
sukubangsa, dan secara aktif memberi
dorongan dan peluang bagi munculnya potensi-potensi budaya baru sebagai
kekuatan bangsa.
Banyak wacana
mengenai bangsa Indonesia
mengacu kepada ciri pluralistik bangsa
kita, serta mengenai pentingnya pemahaman tentang masyarakat Indonesia sebagai masyarakat yang
multikultural. Intinya adalah menekankan pada pentingnya memberikan kesempatan bagi berkembangnya
masyarakat multikultural itu, yang masing-masing harus diakui haknya untuk
mengembangkan dirinya melalui kebudayaan mereka di tanah asal leluhur mereka.
Hal ini juga berarti bahwa masyarakat multikultural harus memperoleh kesempatan yang baik untuk menjaga
dan mengembangkan kearifan budaya lokal mereka ke arah kualitas dan pendayagunaan
yang lebih baik.
Kelangsungan dan berkembangnya kebudayaan lokal perlu
dijaga dan dihindarkan dari hambatan. Unsur-unsur budaya lokal yang bermanfaat
bagi diri sendiri bahkan perlu dikembangkan lebih lanjut agar dapat menjadi bagian dari kebudayaan bangsa,
memperkaya unsur-unsur kebudayaan nasional.
Meskipun demikian, sebagai kaum
profesional Indonesia,
misi utama kita adalah mentransformasikan kenyataan multikultural sebagai aset
dan sumber kekuatan bangsa, menjadikannya suatu sinergi nasional, memperkukuh
gerak konvergensi, keanekaragaman.
Oleh karena itu, walaupun masyarakat multikultural
harus dihargai potensi dan haknya untuk
mengembangkan diri sebagai pendukung kebudayaannya di atas tanah kelahiran
leluhurnya, namun pada saat yang sama, mereka juga harus tetap diberi
ruang dan kesempatan untuk mampu melihat
dirinya, serta dilihat oleh masyarakat lainnya yang sama-sama merupakan
warganegara Indonesia, sebagai bagian dari bangsa Indonesia, dan tanah
leluhurnya termasuk sebagai bagian dari tanah air Indonesia. Dengan demikian,
membangun dirinya, membangun tanah leluhurnya, berarti juga membangun bangsa
dan tanah air tanpa merasakannya sebagai beban, namun karena ikatan kebersamaan
dan saling bekerjasama.
C.
Kondisi Budaya Indonesia Pada Era Globalisasi
Indonesia merupakan negara yang dapat dikatakan sebagai negara yang kaya akan
budayanya, dengan memiliki keragaman yang cukup bervariasi, dapat digunakan
sebagai penambah indahnya khasanah sebuah negara. Akan tetapi, mampukah Indonesia
pada jaman sekarang tetap mempertahankan integritas kebudayaannya. Apabila di
ulang kembali berbagai peristiwa yang terjadi, banyak kebudayaan Indonesia
yang telah di caplok oleh Negara-negara lain. Hal ini dapat membuktikan dengan
jelas bahwa belum adanya kekuatan hukum yang kuat yang dimiliki oleh bangsa Indonesia
tentang kebudayaannya. Sehingga akan menyebabkan kemudahan bagi bangsa lain
untuk mengambil dan mengakuinya.
Bukan hanya itu saja, kemajuan teknologi informasi pada
masa sekarang ini telah cepatnya merubah kebudayaan Indonesia menjadi kian merosot.
Sehingga menimbulkan berbagai opini yang tidak jelas, yang nantinya akan
melahirkan sebuah kebingungan di tengah-tengah berbagai perubahan yang
berlangsung begitu rumitnya dan membuat pusing bagi masyarakatnya sendiri.
Dan yang lebih memprihatinkan lagi, banyak kesenian dan
bahasa Nusantara yang dianggap sebagai ekspresi dari bangsa Indonesia akan terancam mati.
Sejumlah warisan budaya yang ditinggalkan oleh nenek moyang sendiri telah
hilang entah kemana. Padahal warisan budaya tersebut memiliki nilai tinggi
dalam membantu keterpurukan bangsa Indonesia pada jaman sekarang.
Sungguh ironis memang apabila ditelaah lebih jauh lagi.
Akan tetapi, kita tidak hanya mengeluh dan menonton saja. Sebagai warga negara
yang baik, mesti mampu menerapkan dan memberikan contoh kepada anak cucu
nantinya, agar kebudayaan yang telah diwariskan secara turun temurun akan tetap
ada dan senantiasa menjadi salah satu harta berharga milik bangsa Indonesia
yang tidak akan pernah punah.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Berdasarkan penjelasan pada pembahasan di atas maka
kesimpulan yang dapat dipaparkan pada makalah ini adalah sebagai berikut :
Pertama, rakyat Indonesia yang pluralistik
merupakan kenyataan, yang harus dilihat sebagai aset nasional, bukan resiko
atau beban. Rakyat adalah potensi nasional harus diberdayakan, ditingkatkan
potensi dan produktivitas fisikal,
mental dan kulturalnya.
Kedua, tanah air Indonesia
sebagai aset nasional yang terbentang dari Sabang sampai Merauke dan dari
Miangas sampai Rote, merupakan tempat bersemayamnya semangat kebhinekaan.
Adalah kewajiban politik dan intelektual kita untuk mentransformasikan
“kebhinekaan” menjadi “ketunggalikaan” dalam identitas dan kesadaran nasional.
Ketiga, diperlukan
penumbuhan pola pikir yang dilandasi oleh prinsip mutualisme, kerjasama
sinergis saling menghargai dan memiliki (shared interest) dan
menghindarkan pola pikir persaingan tidak sehat yang menumbuhkan eksklusivisme,
namun sebaliknya, perlu secara bersama-sama berlomba meningkatkan daya saing
dalam tujuan peningkatan kualitas sosial-kultural sebagai bangsa.
Keempat, membangun
kebudayaan nasional Indonesia harus mengarah kepada suatu strategi kebudayaan untuk dapat
menjawab pertanyaan, “Akan kita jadikan seperti apa bangsa kita?” yang tentu
jawabannya adalah “menjadi bangsa yang tangguh dan entrepreneurial,
menjadi bangsa Indonesia dengan ciri-ciri nasional Indonesia, berfalsafah dasar
Pancasila, bersemangat bebas-aktif mampu menjadi tuan di negeri sendiri, dan
mampu berperanan penting dalam percaturan global dan dalam kesetaraan juga
mampu menjaga perdamaian dunia”.
Kelima, yang kita hadapi
saat ini adalah krisis budaya. Tanpa segera ditegakkannya upaya “membentuk” secara tegas identitas
nasional dan kesadaran nasional, maka bangsa ini akan menghadapi kehancuran
B.
Saran
Kebudayaan
bangsa Indonesia
merupakan kebudayaan yang terbentuk dari berbagai macam kebudayaan suku dan
agama sehingga banyak tantangan yang selalu merongrong keutuhan budaya itu tapi
dengan semangat kebhinekaan sampai sekarang masih eksis dalam terpaan zaman.
Kewajiban kita sebagai anak bangsa untuk tetap mempertahankannya budaya itu
menuju bangsa yang abadi, luhur, makmur dan bermartabat.
DAFTAR PUSTAKA
Forum Rektor Indonesia
Simpul Jawa Timur (2003). Hidup Berbangsa dan Etika Multikultural. Surabaya: Penerbit Forum Rektor Simpul Jawa Timur
Universitas Surabaya.
Sulastomo (2003). Reformasi: Antara Harapan dan Realita. Jakarta: Penerbit Buku
Kompas.
Swasono, Meutia F.H. (1974). Generasi Muda Minangkabau di Jakarta:
Masalah Identitas Sukubangsa. Skripsi Sarjana. Jakarta: Fakultas Sastra UI.
--- (1999). “Reaktualisasi
dan Rekontekstualisasi Bhinneka Tunggal Ika dalam Kerangka Persatuan dan
Kesatuan Bangsa”, makalah pada seminar yang diselenggarakan oleh IAIN Syarif
Hidayatullah dan Yayasan Haji Karim Oei, Jakarta,
6 Mei.
--- (2000a). “Reaktualisasi Bhinneka Tunggal
Ika dalam Menghadapi Disintegrasi Bangsa”, makalah diajukan dalam Simposium dan
Lokakarya Internasional dengan tema
“Mengawali Abad ke-21: Menyongsong Otonomi Daerah, Mengenali Budaya Lokal,
Membangun Integrasi Bangsa”, diselenggarakan oleh Jurnal Antropologi Indonesia
bekerjasama dengan Jurusan Antropologi Universitas Hasanuddin, di Makassar, 1-5 Agustus 2000.
Swasono, S.E. (2003b). Kemandirian Bangsa,
Tantangan Perjuangan dan Entrepreneurship Indonesia. Yogyakarta:
Universitas Janabadra.
Tambunan,
A.S.S. (2002). UUD 1945 Sudah Diganti Menjadi UUD 2002 Tanpa Mandat Khusus
Rakyat. Jakarta:
Yayasan Kepada Bangsaku.
No comments:
Post a Comment