Makalah
HUKUM ISLAM DAN
TRANSFORMASI SOSIAL
MASYARAKAT
JAHILIYYAH:
STUDI HISTORIS
TENTANG KARAKTER EGALITER HUKUM ISLAM
Sulhani
Hermawan
Staf P3M dan Dosen Fiqh Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Surakarta
A.
Pendahuluan
Nabi Muhammad
saw mendapatkan wahyu dari Allah SWT pertama kali pada hari Senin tanggal 17
Ramadhan tahun ke-41 dari kelahirannya, bertepatan dengan tanggal 6 Agustus 610
M.[1]
Semenjak saat itu, Muhammad bin Abdullah
mengemban amanat nubuwwah dari Allah SWT untuk membawa agama
Islam ke tengah-tengah manusia, yang ternyata merupakan sebuah ajaran yang
merombak seluruh system social, terutama system hukum yang ada pada masyarakat
Jahiliyyah.[2]
Islam datang ke tengah-tengah masyarakat Jahiliyyah dengan membawa syari'ah
(system hukum) yang sempurna sehingga mampu mengatur relasi yang adil dan
egaliter antar individu manusia dalam masyarakat. Secara prinsip, kemunculan
Nabi Muhammad saw dengan membawa ajaran-ajaran egaliter, dapat dinilai sebagai
sebuah perubahan social terhadap kejahiliyyahan yang sedang terjadi di dalam
masyarakat, terutama system hukumnya, dengan wahyu dan petunjuk dari Allah SWT.[3]
Hukum Islam (Islamic
Law) merupakan perintah-perintah suci dari Allah SWT yang mengatur seluruh
aspek kehidupan setiap Muslim[4],
dan meliputi materi-materi-materi hukum secara murni serta materi-materi spiritual
keagamaan.[5]
Melalui penelitian sejarah yang empiris, Joseph Schacht menyebut Islamic Law
sebagai ringkasan dari pemikiran Islam, manifestasi way of life Islam
yang sangat khas, dan bahkan sebagai inti dari Islam itu sendiri.[6]
Pada periode
Islam awal, yaitu periode Islam di Makkah, hukum Islam dimulai dengan tetap
membiarkan praktek-praktek hukum yang telah ada di dalam masyarakat. Namun
kemudian, sebagaimana dikemukakan oleh Muhammad Hamidullah, secara bertahap,
berdasarkan wahyu (al-Qur'an) dan sunnah Nabi Muhammad saw, system hukum
yang telah menjadi kebiasaan pada masyarakat Jahiliyyah tersebut diperbaiki,
dirombak dan bahkan diganti sama sekali dengan system hukum Islam yang berbeda
dalam kurun waktu sekitar dua puluh tiga tahun.[7]
Sebagai
konsekuensi dari sebuah transformasi (perubahan) social, hukum Islam berposisi
sebagai hukum yang berbeda dan merombak hukum Jahiliyyah.[8]
Dalam sejarah, Nabi Muhammad saw beserta para pemeluk Islam awal benar-benar
membuat sikap kontra terhadap system hukum Jahiliyyah dalam perilaku dan tindak
tanduk mereka, sehingga mendapatkan pertentangan yang keras dari para tokoh
penegak system hukum Jahiliyyah. Dan bahkan kemudian, pendekatan Muhammad saw
sebagai pembawa Islam awal terhadap kelompok yang 'terpinggirkan' dalam
stratifikasi social untuk membawa ajaran Islam di masyarakat, juga menjadi poin
penting dalam konsekuensi tersebut.[9]
Makalah ini
berangkat sebuah pemahaman bahwa hukum Islam yang terlibat dengan sejarah
manusia –dalam konteks ini dengan hukum Jahiliyyah-, merupakan sebuah gejala
budaya dan bisa diteliti dengan pendekatan ilmu budaya serta
perangkat-perangkat metodologisnya.[10]
Dengan kelebihan dan kekurangannya, studi tentang perubahan social oleh hukum
Islam terhadap hukum Jahiliyyah sebagai latar belakang kemunculannya, yang
menjadi pembahasan dalam makalah ini, diupayakan mampu menjauhkan diri dari
sikap yang disebut Richard C. Martin sebagai fideistic subjectivism ataupun
scientific objectivism.[11]
Lebih penting lagi, sisi yang memotret keberpihakan Islam terhadap kaum mustadl'afin
menjadi sebuh penyadaran penting yang kritis terhadap adanya perubahan social
oleh hukum Islam di dalam masyarakat.
B.
Sistem Hukum
Jahiliyyah Masyarakat Arab Pra-Islam
Secara umum,
periode Makkah pra-Islam disebut sebagai periode Jahiliyyah yang berarti
kebodohan dan barbarian. Secara nyata, dinyatakan oleh Philip K. Hitti,
masyarakat Makkah pra-Islam adalah masyarakat yang tidak memiliki takdir
keistimewaan tertentu (no dispensation), tidak memiliki nabi tertentu
yang terutus dan memimpin (no inspired prophet) serta tidak memiliki
kitab suci khusus yang terwahyukan (no revealed book) dan menjadi
pedoman hidup.[12]
Merujuk kata
"Jahiliyyah" dalam al-Qur'an, yaitu dalam surat Ali Imron/3 ayat 154
(…yazhunnuna bi Allahi ghayra al-haqqi zhanna al-jahiliyyati…), surat
al-Ma'idah/5 ayat 50 (afahukma al-jahiliyyati yabghuna…), surat
al-Ahzab/33 ayat 33 (wala tabarrujna tabarruja al-jahiliyyati …)
dan surat al-Fath/48 ayat 26 (…fi qulubihmu al-hamiyyata hamiyyata
al-jahiliyyati…) sebagaimana ditunjuk oleh Philip K. Hitti[13]
dan diidentifikasi oleh Muhammad Fuad sebagai ayat-ayat yang mengandung kata
"Jahiliyyah",[14]
cukup memberikan sebuah petunjuk bahwa masyarakat Jahiliyyah itu memiliki
ciri-ciri yang khas pada aspek keyakinan terhadap Tuhan (zhann bi Allahi),
aturan-aturan peradaban (hukm), life style (tabarruj) dan
karakter kesombongannya (hamiyyah). Sehubungan dengan sejarah
kemanusiaan, hukum Jahiliyyah ternyata membuat keberpihakan pada kelompok
tertentu yang dapat disebut memiliki karakter rasial, feudal dan patriarkhis.
1. Karakter Rasial
Sifat pertama,
rasial, yang terdapat pada hukum Jahiliyyah bisa ditunjukkan dengan adanya
perasaan kebangsaan yang berlebihan (ultra nasionalisme) dan kesukuan ('ashabiyyah)
serta adanya pembelaan terhadap orang-orang yang berada dalam komunitas
kesukuan (qabilah) yang sama. Pada masyarakat Arab pra-Islam, dikenal
istilah al-'ashabiyyah atau al-qawmiyyah yang berarti
kecenderungan seseorang untuk membela dengan mati-matian terhadap orang-orang
yang berada di dalam qabilah-nya dan dalam qabilah lain yang
masuk ke dalam perlindungan qabilah-nya. Benar atau salah posisi
seseorang di dalam hukum, asal dia dinilai sebagai inner group-nya,
pasti akan selalu dibela mati-matian ketika berhadapan dengan orang yang dinilai
sebagai outer group-nya.[15]
Orang-orang
Arab pra-Islam memiliki perasaan kebangsaan yang luar biasa (ultra
nasionalisme). Mereka menganggap diri mereka (Arab) sebagai bangsa yang mulia
dan menganggap bangsa lain ('Ajam) memiliki derajat di bawahnya. Ibn Jarir
al-Thabari menceritakan sebuah peristiwa hukum perkawinan jahiliyyah yang
berkarakter rasial dengan didasari semangat ultra nasionalisme. Cerita tersebut
adalah kisah penolakan Nu'man Ibn Munzhir terhadap lamaran seorang raja Persia
Kisra Abruwiz pada anaknya yang bernama Hurqa karena adanya hukum Jahiliyyah
yang dipegangi oleh Nu'man bahwa bangsa Arab adalah bangsa "super" di
atas bangsa selain Arab dan oleh karenanya dilarang berhubungan nikah dengan
seorang 'ajam –sekalipun pelamarnya adalah seorang raja-, karena
diyakini bisa menurunkan kualitas ke-'Arab-an yang "super" pada diri
Nu'man dan anaknya.[16]
Dalam pergaulan
antar kelompok, orang Arab pra-Islam selalu membela anggota kelompok dan
kepentingan kelompoknya. Seseorang akan selalu dibela oleh anggota se-qabilah
(inner group) ketika berhadapan dengan anggota kelompok lain (outer
group), baik dalam posisi benar maupun dalam posisi salah.[17]
Kebenaran dan kesalahan seseorang ditentukan oleh keputusan masing-masing qabilah-nya.[18]
Sebuah contoh yang bisa dikemukakan adalah hukum berperang dan pembunuhan pada
masyarakat Jahiliyyah yang sangat ditentukan oleh perasaan 'ashabiyah.
Yaitu peristiwa perang Fijar yang sebenarnya terjadi pada bulan yang terlarang
untuk berperang (asyhur al-hurum) antara suku Kinanah dengan suku Qays
'Ailan (keduanya adalah nama suku dalam suku besar Quraysy) yang disaksikan
oleh Muhammad saw ketika berusia 14/15 tahun (beliau belum diangkat menjadi
Rasulullah). Perang tersebut terjadi karena pembelaan terhadap anggota kedua
suku masing-masing yang terlibat bentrok dan pembunuhan di pasar Ukaz, tanpa
mempertimbangkan kesalahan dari masing-masing orang yang dibela. Apapun
kondisinya, kalau ada salah satu anggota dari suatu kelompok terlibat bentrok,
maka dengan serta-merta seluruh anggota kelompoknya akan membela dia.[19]
2. Karakter Feudal
Karakter feudal
pada hukum Arab pra-Islam tergambar dengan adanya superioritas yang dimiliki
oleh kaum kaya dan kaum bangsawan di atas kaum miskin dan lemah. Kehidupan
dagang yang banyak dijalani oleh orang Arab Makkah pada waktu itu –yang
mengutamakan kesejahteraan materi-[20]
menjadikan tumbuhnya superioritas golongan kaya dan bangsawan di atas golongan
miskin dan lemah. Kaum kaya dan bangsawan Arab pra-Islam adalah pemegang tampuk
kekuasaan dan sekaligus menjadi golongan yang makmur dan sejahtera di Makkah,
kebalikan dari kaum miskin dan lemah.[21]
Sekalipun ada
nilai kebaikan (al-muru'ah) dalam masyarakat Arab pra-Islam, sebagaimana
yang tergambar dalam puisi-puisi Arab pra-Islam, yaitu bahwa salah satu kebaikan
yang harus dimiliki oleh pemimpin kelompok adalah kedermawanan -sebagaimana dicatat oleh Philip K. Hitti-,[22]
namun disebutkan oleh Lapidus bahwa masyarakat Arab pra-Islam mempunyai rasa
kebanggaan yang salah, yaitu neglect of the poor, neglect of almsgiving
and of support for the weaker member of the community (menampik orang
miskin, menolak memberi sedekah dan bantuan kepada anggota masyarakat yang
lemah).[23]
Sistem hukum dan sejarah perbudakan di kalangan Arab pra-Islam merupakan bukti
kuat adanya karakter feudal pada hukum Jahiliyyah masyarakat Arab pra-Islam
tersebut. Budak adalah manusia rendahan yang memiliki derajat jauh di bawah
rata-rata manusia pada umumnya, bisa diperjualbelikan, bisa diperlakukan apa
saja oleh pemiliknya, dan tidak memiliki hak-hak asasi manusia sewajarnya
selaku seorang manusia.[24]
3. Karakter Patriarkhis
Karakter
berikutnya yang melekat kuat pada hukum Jahiliyyah adalah patriarkhis. Dalam
penelitian Haifaa, kaum lelaki pada waktu itu memegang kekuasaan yang tinggi
dalam relasi laki-laki dengan perempuan, diposisikan lebih tinggi di atas kaum
perempuan, Kaum perempuan mendapatkan perlakuan diskriminatif, tidak adil dan
bahkan dianggap sebagai biang kemelaratan dan symbol kenistaan (embodiment
of sin). Dalam sistem hukum Jahiliyyah, perempuan tidak memperoleh hak
warisan, bahkan dijadikan sebagai harta warisan itu sendiri. Kelahiran anak
perempuan dianggap sebagai aib, sehingga banyak yang kemudian dikubur
hidup-hidup ketika masih bayi. Secara singkat, dalam istilah Haifaa, perempuan
diperlakukan sebagai a thing dan bukan sebagai a person.[25]
Kondisi
perempuan pada masa Jahiliyyah seperti dalam penelitian Haifaa tersebut,
tergambarkan dalam al-Qur'an surat al-Nahl/16 ayat 58-59 sebagai berikut (wa
idza busysyira ahaduhum bi al-untsa zhalla wajhuhu muswaddan wa huwa kazhim,
yatawara min al-qawmi min su'in ma busysyira bihi, ayumsikuhu 'ala hunin am
yadussuhu fi al-turab…). Ayat tersebut bercerita tentang sikap orang
Jahiliyyah dalam menanggapi berita kelahiran anak perempuannya yang dianggap
sangat memalukan, menurunkan harga diri orang tua dan keluarga, sehingga anak
perempuan tersebut kalau perlu dibunuh atau dikubur hidup-hidup. Cerita
tersebut dan beberapa cerita lain tentang perempuan Arab pra-Islam, cukup
mewakili gambaran tentang karakter patriarkhis pada system hukum Jahiliyyah.
Sistem hukum
Jahiliyyah pada masyarakat Arab pra-Islam dengan ketiga karakter utama seperti
yang dipaparkan di atas, kemudian menjadi latar belakang kemunculan Islam
dengan membawa perubahan social di dalam hukum yang revolusioner.[26]
C.
Hukum Islam
yang Revolusioner dan Egaliter
Secara jelas,
al-Qur'an menolak penggunaan hukum Jahiliyyah yang dinilai penuh dengan
pertimbangan hawa nafsu dan pemihakan terhadap kelompok tertentu yang berkuasa
di dalam masyarakat. Selanjutnya ditegaskan bahwa hukum Islam merupakan
satu-satunya hukum yang harus dipegangi oleh manusia karena berasal dari Allah
SWT dan membawa prinsip keadilan dan kesetaraan social.[27]
Pada periode
awal Islam, Nabi Muhammad saw menyebarkan ajaran Islam secara universal kepada
seluruh manusia, di bawah bimbingan wahyu Allah SWT. W.M. Watt merinci ajaran
Islam yang diajarkan oleh Nabi Muhammad saw pada periode awal Islam tersebut ke
dalam 5 (lima) tema pokok, yaitu; kebaikan dan kekuasaan Tuhan (God's Goodness
and Power), pengadilan Tuhan di akhirat (the Return to God for Judgement),
respon manusia untuk bersyukur dan menyembah Tuhan (Man's Response
–gratitude and worship), respon manusia di hadapan Tuhan untuk seorang
dermawan (Man Response to God –Generosity) dan risalah kenabian Muhammad
saw (Muhammad's own vocation).[28]
Inti ajaran
awal Nabi Muhammad saw adalah ajaran tawhid yaitu ajaran untuk beriman
kepada Allah yang Maha Esa, Yang Maha Kuasa, Pencipta alam semesta dan Penguasa
alam akhirat yang mengadili pertanggungjawaban seluruh makhluk-Nya (termasuk
manusia) atas semua perbuatannya.[29]
Konsekuensi logis dari ajaran ini adalah adanya kewajiban untuk menyembah dan
bersyukur kepada Tuhan serta kewajiban untuk menjadi egaliter dan saling
menyayangi antar sesame makhluk, terutama sesama manusia.[30]
Sementara itu, secara singkat bisa dikatakan bahwa dasar ajaran pada periode
awal tersebut adalah kesalihan keakhiratan, kemuliaan etis dan ibadah shalat,
seperti dikemukakan oleh Lapidus bahwa eschatological piety, ethical
nobility and prayer formed the basis of early Islam.[31]
Secara umum,
hukum Islam berdiri di atas prinsip-prinsip yang harus dipertahankan secara
absolut dan universal. Prinsip-prinsip tersebut, sebagaimana dikemukakan oleh
Masdar F. Mas'udi, adalah ajaran yang qath'i dan menjadi tolok ukur
pemahaman dan penerimaan hukum Islam secara keseluruhan.[32]
Prinsip-prinsip tersebut diidentifikasikan oleh Masdar yang antara lain adalah
prinsip kebebasan dan pertanggungjawaban individu,[33]
prinsip kesetaraan derajat manusia di hadapan Allah,[34]
prinsip keadilan,[35]
prinsip persamaan manusia di hadapan hukum,[36]
prinsip tidak merugikan diri sendiri dan orang lain,[37]
prinsip kritik dan kontrol sosial,[38]
prinsip menepati janji dan menjunjung tinggi kesepakatan,[39]
prinsip tolong menolong untuk kebaikan,[40]
prinsip yang kuat melindungi yang lemah,[41]
prinsip musyawarah dalam urusan bersama,[42]
prinsip kesetaraan suami-istri dalam keluarga,[43]
dan prinsip saling memperlakukan dengan ma'ruf antara suami dan istri.[44]
Berkenaan
dengan egalitarianitas dalam Islam, surat al-Hujurat/49 ayat 13 menegaskan
bahwa orang yang paling mulia di hadapan Allah SWT adalah orang yang paling
bertaqwa, bukan orang yang paling kaya, paling pandai atau paling berkuasa,
entah itu laki-laki atau perempuan dan entah berasal dari suku bangsa apapun.
Disebutkan di permulaan ayat bahwa manusia itu tercipta dari asal muasal yang
sama, yaitu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan yang kemudian tersebar
ke berbagai kelompok dan suku bangsa. Ditegaskan pula bahwa antar sesama
manusia perlu mengadakan komunikasi dan interaksi timbal balik. Ayat tersebut
diceritakan turun berkenaan dengan beberapa peristiwa, antara lain peristiwa
yang terjadi pada waktu fath al-makkah. Diceritakan bahwa Bilal bin
Rabah mengumandangkan seruan adzan dan dinilai oleh al-Harits bin Hisyam tidak
pantas karena Bilal adalah seorang "bekas" budak yang berkulit hitam.
Suhayl bin Amru merespon penilaian tersebut dengan menyatakan bahwa jika
perbuatan Bilal itu salah, tentu Allah SWT akan mengubahnya dan turunlah ayat
tersebut.[45]
Jika kemudian
ada aturan-aturan dalam hukum Islam yang kelihatannya tidak sesuai dengan
prinsip egaliter dan dan prinsip-prinsip lainnya, maka aturan tersebut harus
dipahami sesuai dengan konteks realitas sosial yang melingkupinya dan
memperhatikan fungsinya sebagai legal counter terhadap aturan-aturan
hukum non-egaliter yang berlaku pada masa Jahiliyyah. Sebagai contoh hukum
waris yang membagi harta warisan pada laki-laki dan perempuan dengan bagian
satu berbanding dua sebagaimana disebutkan di dalam al-Qur'an, menurut
pemahaman yang egaliter, sebagaimana diungkapkan oleh Masdar misalnya, harus
dipahami dengan memperhatikan dua hal yang penting. Pertama, dengan
memberi bagian warisan kepada perempuan serta mendudukkan laki-laki dan
perempuan sama-sama sebagai subyek penerima warisan, maka berarti hukum Islam
telah melakukan reformasi yang cukup revolusioner dan radikal terhadap hukum
Jahiliyyah yang telah ada sebelumnya, yaitu tidak menjadikan perempuan sebagai
subyek penerima harta warisan dan bahkan bisa menjadi harta warisan itu
sendiri. Kedua, setting sosial
ekonomi dalam kehidupan keluarga pada masa munculnya aturan hukum
tersebut adalah beban nafkah keluarga ditanggung oleh laki-laki, sehingga
pembagian warisan yang membagi laki-laki dengan bagian warisan yang lebih besar
daripada bagian warisan perempuan merupakan pembagian yang adil.[46]
Dengan begitu, maka aturan-aturan hukum Islam adalah aturan hukum yang memiliki
karakter egaliter, tidak rasial, tidak feudal dan tidak patriarkhal.
D.
Reaksi
Masyarakat Jahiliyyah Terhadap Islam dan Hukum Islam
Islam muncul
pada masyarakat Jahliliyyah dengan membawa perubahan sosial, melawan sistem
hukum yang telah ada sebelumnya.[47]
Dengan adanya perubahan yang signifikan oleh Islam terhadap hukum masyarakat
Arab pra-Islam, misi Islam mendapatkan sambutan dan respon dari masyarakat,
baik dari kelompok masyarakat yang menghendaki perubahan maupun dari kelompok
masyarakat yang menjadi penopang hukum Jahiliyyah yang telah ada.[48]
1. Penerimaan Islam Oleh Masyarakat Jahiliyyah
Para penerima
ajaran Islam awal, sebagaimana yang diidentifikasikan oleh Albert Hourani
terdiri dari beberapa pemuda (dalam jumlah yang relatif kecil) dari keluarga
Quraisy yang berpengaruh, beberapa orang (dalam jumlah yang relatif besar)
anggota keluarga-keluarga yang kecil dan lemah, orang-orang yang termasuk
anggota suku-suku yang berada di bawah perlindungan suku Quraisy dan beberapa
pekerja (tukang-tukang) serta beberapa orang budak.[49]
Orang-orang Jahiliyyah yang menyambut baik ajaran Islam —termasuk juga di
dalamnya para migran yang marginal dan kaum miskin— dikatakan oleh Lapidus
adalah orang-orang yang sangat tidak puas dengan kondisi moral dan kondisi
sosial yang ada dan kemudian menerima alternatif pengganti oleh Nabi Muhammad
saw. itu.[50]
Secara jelas,
orang yang mula-mula masuk Islam adalah kaum perempuan, yaitu istri Nabi
Muhammad saw., Khadijah binti Khuwaylid,[51]
lalu seorang pemuda Quraisy berusia 10 tahun, anak paman Nabi Muhammad saw.
yang lama diasuh oleh Nabi Muhammad saw., yaitu 'Ali bin Abi Thalib sebagai
anak laki-laki pertama yang mengikuti ajaran Nabi Muhammad saw.,[52]
disusul kemudian seorang budak pemberian Khadijah yang kemudian dimerdekakan
oleh Nabi Muhammad saw. sebelum beliau mendapat tugas nubuwwah, yaitu
Zayd bin Haritsah[53]
dan orang keempat berikutnya adalah seorang ansabu Quraisy li Quraisy
yang lemah lembut dan penyayang, yaitu Abu Bakr al-Siddiq bin Abu Quhafah, yang
mempunyai nama asli 'Abd Allah dan laqab 'Atiq.[54]
Dimulai dengan keempat orang tersebut, perlahan-lahan Nabi Muhammad saw. mulai
mendapat sambutan baik dari masyarakat Jahiliyyah lainnya yang mau menerima
perubahan, terutama dari kelompok yang diidentifikasikan di atas.
Nabi Muhammad
saw. selalu memberikan perlakuan yang egaliter kepada para pengikut Islam,
tanpa membeda-bedakan asal-usul, status sosial dan jenis kelaminnya. Nabi
Muhammad saw menjadi teladan utama bagi kaum muslim awal dengan memiliki sikap
yang rendah hati pada para pengikut Islam. Ada perintah Allah swt. —yang turun
3 tahun setelah turunnya wahyu yang pertama— dalam kerangka perintah untuk
menyebarkan Islam secara terang-terangan,[55]
yang memuat perintah untuk mempunyai sikap rendah hati kepada para
pengikut keimanan Islam yang telah ada.[56].
Tercatat dalam
sejarah, beberapa peristiwa yang menggambarkan kehidupan egaliter dan kontras
dengan hukum Jahiliyyah, antara lain peran yang besar dari seorang
perempuan bernama Khadijah binti Khuwaylid dalam nubuwwah Nabi Muhammad
saw. dan penyebaran Islam,[57]
pembebasan Bilal bin Rabah oleh Abu Bakr,[58]
penolakan Nabi Muhammad saw. terhadap sikap feodal dan rasial terhadap Bilal
bin Rabah,[59]
perubahan sikap 'Umar bin Khattab setelah rnasuk Islam yang menjadi penentang
hukum Jahiliyah[60]
dan beberapa peristiwa lainnya.
2. Pertentangan Jahiliyyah terhadap Transfromasi Sosial
Islam yang Dibawa Nabi Muhammad saw.
Sebelum Nabi
Muhammad saw. mengadakan perombakan terhadap seluruh bangunan hukum Jahiliyyah,
terutama yang diawali dengan persoalan keimanan dan ritual keagamaan,
hampir-hampir tidak ada satu pertentangan pun terhadap Islam dari masyarakat
Jahiliyyah.[61]
Namun setelah Nabi Muhammad saw. secara terang-terangan melakukan indzar
kepada masyarakat Jahiliyyah pra-Islam, Islam memperoleh pertentangan yang
hebat dari kelompok bangsawan yang kaya dan berkuasa pada masa Jahiliyyah,
yaitu kelompok Quraisy yang sebenarnya merupakan suku yang dimiliki oleh Nabi
Muhammad saw. sendiri.[62]55
Tor Andrae
menegaskan bahwa berdasarkan pada deskripsi dalam Al-Qur'an, pertentangan
antara Nabi Muhammad saw. (Islam) dengan kaum Quraysy Jahiliyyah,
memiliki dua aspek yang berhubungan erat yaitu aspek keagamaan dan aspek
sosial. Aspek keagamaan bermuara pada kepercayaan tentang Tuhan dengan
keharusan meninggalkan ritual sesembahan masing-masing qabilah untuk
kemudian beralih menyembah Allah yang Esa. Ditambah lagi dengan kepercayaan
tentang alam akhirat yang menjadi tempat pertanggungjawaban perbuatan manusia
yang belum pernah didengar oleh orang Quraisy dari nenek moyangnya. Ternyata,
aspek keagamaan yang dianut oleh suku-suku Jahiliyyah ini sekaligus menjadi
sebuah ikatan sosial yang mepersatukan anggota-anggota dari masing-masing suku.
Sehingga, menganut ajaran Islam berarti dianggap keluar dari ikatan kesukuan
yang telah ada dan mengubah tatanan kekuasaan pada masyarakat Jahiliyyah[63]
Dalam sejarah,
tercatat ada beberapa perbincangan dan debat antara Quraisy dengan Abu Thalib,
antara Quraisy dengan Nabi Muhammad saw. sendiri dan antara Quraisy dengan Raja
Najasyi di Abyssinia yang menyimpulkan beberapa keberatan Quraisy terhadap
Islam dan Nabi Muhammad saw. Paling tidak ada tiga kali perbincangan antara
Quraisy dengan Abu Thalib yang menjadi pelindung Nabi Muhammad saw.: (1) dengan
datang baik-baik,[64]
(2) dengan mencoba memberi tekanan yang dikaitkan dengan posisi Abu Thalib
dalam suku Quraisy,[65]
dan (3) dengan menawarkan pertukaran Muhammad saw. dengan Umarah bin al-Walid.[66]
Dalam
pembicaraan dengan Nabi Muhammad saw. sendiri tercatat paling tidak ada tiga
peristiwa yang penting yaitu (1) memaki-maki Nabi Muhammad saw. sebagai
penyihir, penyair, dukun, dan bahkan orang gila,[67]
(2) perbincangan di Hijr yang kemudian berakhir dengan menganggap Nabi Muhammad
saw. sebagai orang bodoh,[68]
dan (3) penawaran agar menghentikan ajaran Islam dan menjadi orang yang
paling kaya, paling berkuasa, paling mulia dan akan dilindungi dari gangguan
jin.[69]
Sedangkan perbicangan antara Quraisy dengan raja Najasyi di Abyssinia adalah
untuk meminta agar raja mengembalikan pengungsi Muslim Makkah ke tempat
asalnya.[70]
Pertentangan
Quraisy terhadap Islam yang tergambar dalam beberapa peristiwa perbincangan di
atas secara garis besar memuat keberatan Quraisy terhadap Nabi Muhammad saw.
yang dianggap telah melakukan beberapa kesalahan yang antara lain : sabb
al-alihah, 'aib a1-din, tasfih al-ahkam, syatm al-aba' dan tafriq al-jama'ah.[71]
Meski divonis melakukan beberapa kesalahan tersebut, Nabi Muhammad saw. tetap
menolak untuk menghentikan penyebaran ajaran Islam kepada masyarakat umum dan
menolak hukum yang memakai pola pikir Jahiliyyah. Ketetapan hati Nabi
Muhammad saw. ini tergambar dan pernyataan beliau kepada Abu Talib, ya 'amm
law wadha'uw al-syams ft yamini wa a1-qamar fi yasari 'a/a an atruka hadza
al-amr hatta yuzhhirahu Allahu aw ahlaka
fihi ma taraktuhu.[72]
Tampaknya
penolakan Quraysh terhadar Islam dan counter dari Nabi Muhammad saw.
terhadap penolakan tersebut berkaitan erat dengan perubahan hukum yang
mempengaruhi struktur sosial dan pola kepemimpinan masyarakat. Struktur social
dan kepemimpinan yang bernuansa pemihakan kepada kelompok kaya, bangsawan dan
penguasa, menuju ke struktur social dan kepemimpinan yang bernuansa egaliter
dan pemihakan kepada kelompok muastadl'afin dalam struktur social.
E. Penutup
Dengan latar belakang hukum Jahiliyyah pra-Islam yang
rasialis, feodal dan patriarkhis, Islam lahir dan muncul dengan membawa
perubahan hukum dengan karakter yang bertolak belakang dengan hukum Jahiliyyah.
Islam mengajarkan kesetaraan yang tergambar dari prinsip-prinsip dan
hukum-hukumnya serta perilaku Nabi Muhamad saw beserta para pengikutnya yang menghendaki
adanya kehidupan egaliter. Pertentangan Quraisy terhadap Islam yang berkaitan
erat dengan aspek keagamaan dan aspek sosial merupakan suatu kontra terhadap
sistem hukum Islam yang egaliter. Dan sebagai implikasinya, pemahaman terhadap
hukum Islam harus diikuti dengan kesadaran bahwa hukum Islam itu memiliki
karakter egaliter dan hal tersebut merupakan sebuah perubahan social dari hukum
Jahiliyyah yang tidak egaliter menjadi hukum Islam yang egaliter.
Demikianlah kesimpulan dari makalah ini, semoga bermanfaat.
[1] Muhammad
Ridho, Muhammad Rasul Allah Shalla
Alllahu 'alayhi wa Sallama, cet. V (Kairo: Dar al-Ihya' al-'Arabiyyah, 1966
M / 1385 H) hlm. 59.
[2] Marshal G. S.
Hodgson, The Venture of Islam: Conscience and History in a World
Civilization, Vol. I The Classical Age of Islam (Chicago: Chicago
University Press, 1974), hlm. 174.
[3] Robert Roberts, The
Social Laws of the Qur'an: Considered and Compared with Those of the Hebrew and
other Ancient Codes, cet. I (London: Curzon Press, 1990), hlm. 2.
[4] Joseph Schacht, An
Introduction to Islamic Law, cet. II (Oxford: Oxford University Press,
1964), hlm. 1.
[5] S.D. Goitein,
"The Birth-Hour of Muslim Law; an Essay in Exegesis" dalam Jurnal The
Muslim World, vol. L (Hartdford: The Hartdford Seminary Foundation, 1960),
hlm. 23.
[6] Schacht, An
Introduction…, hlm. 1.
[7] Muhammad
Hamidullah, The Emergence of Islam, Afzal Iqbal (translator and editor),
cet. I (Islamabad: Islamic Research Institut, 1993), hlm. 64.
[8] Andrew Rippin, Muslims;
Their Beliefs and Practices, vol. I The Formative Period, cet. I
(London: Routledge, 1990), hlm. 10.
[9] Lihat Marshal G.
S. Hodgson, The Venture of Islam…, hlm. 174.
[10] Ini bukan berarti
bahwa Islam diyakini hanya sebagai hasil kreasi manusia semata, namun Islam
tetap diyakini sebagai wahyu yang datang dari Allah SWT, lihat M. Atho Mudzhar,
Pendekatan Studi Islam Dalam teori dan Praktek, cet. I (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 1998), hlm. 37-38.
[11] Richard C. Martin, Approach
to Islam Religious Studies (Tucson: Arizona Press, 1985), hlm. 2.
Bandingkan dengan M. Atho Mudzhar yang menyatakan adanya dua pendekatan yang
saling berlawanan dalam memahami Islam, yaitu idealist approach dan reductionist
approach, M. Atho Mudzhar, Pendekatan Studi Islam…, hlm. 43.
[12] Philip K. Hitti, History
of Arabs from Earliest Times to the Present, edisi X (London: The Macmillan Press, 1974), hlm. 87.
[13] Ibid.
[14] Lihat Muhammad Fuad
Abd al-Baqi, al-Mu'jam al-Mufahras li Alfadz al-Qur'an al-Karim, cet. I
(ttp.: Dar al-Fikr, 1986 M / 1406 H), hlm. 184.
[15] LIhat nukilan dari al-'Aruba
fi Mizan al-Qawmiyyah, hlm 10 yang terdapat dalam Ali Husni al-Khurbuthuli,
Ma'a al-'Arab (I): Muhammad wa al-Qawmiyyah al-'Arabiyyah, cet. II
(Kairo: al-Mathbu'ah al-Haditsah, 1959), hlm. 5.
[16] Nukilan dari
al-Thabari, Tarikh al-Tabari, II: 150-156 dalam buku 'Ali Abd al-Wahid
Wafi, al-Musawah fi al-Islam, Anshari Umar Sitanggal dan Rosichin
(penterjemah) (Bandung: al-Ma’arif, 1984), hlm. 17-18.
[17] 'Ali Husni
al-Khurbuthuli menyatakan bahwa orang Arab pra-Islam (Jahiliyyah) benar-benar
selalu membela anggota qabilah-nya, baik dalam posisi menganiaya (zhalim)
maupun dalam posisi teraniaya (mazhlum), lihat 'Ali Husni
al-Khurbuthuli, Ma'a al-'Arab (I) …, hlm. 21.
[18] Lihat Ibid.,
hlm. 6.
[19] Lihat Ibn Hisyam, al-Sirah
al-Nabawiyyah li Ibn Hisyam, notasi oleh Mushthafa al-Saqa, dkk., cet. II
(Mesir: Syirkah Maktabah wa Mathba'ah Mushthafa al-Babi al-Halabi wa Awladihi,
1955 M / 1375 H), jilid I, hlm. 184.
[20] W.
Montgomery Watt, Muhammad: Prophet and Statesman, cet. II
(Oxford: Oxford University Press, 1969), hlm. 51-52.
[21] M.A. Shaban, Islamic
History: A New Interpretation I A.D. 600-750, cet. IX (Cambridge: Cambridge
University Press, 1971), hlm. 8.
[22] Philip K. Hitti, History
of Arab…, hlm. 95.
[23] Ira M. Lapidus, A
History of Islamic Societies, cet. X (Cambridge: Cambridge University
Press, 1995), hlm. 24.
[24] Lihat Washington
Irving, Life of Mahomet (London: J.M. Dent & Son Lt., 1949), hlm.
13-14.
[25] Lihat Haifaa A.
Jawad, The Rights of Women in Islam; An Authentic Approach, cet I (New
York: S.T. Martin's Press, 1989), hlm. 1-3.
[26] Lihat Ira M.
Lapidus, A History of Arab…, hlm. 19-20.
[27] Ayat al-Qur'an surat Al-Ma'idah ayat 50
berbunyi, "afa hukma al-jahiliyyati yabghuna. Wa man ahsanu min Allahi
hukman li qawmin yuqinun". Ayat ini didahului dengan ayat yang
menerangkan perintah Allah SWT untuk memerangi dan menggunakan hukum Islam yang
telah diturunkan oleh Allah SWT, lihat surat
Al-Ma'idah ayat 48-49.
[28] W.M. Watt, Muhammad;
Prophet and Statesman, cet. II (reprint) (Oxford: Oxford University Press,
1969), hlm. 23-24.
[29] Marshal G.S.
Hodgson, The Venture… I:163.
[30] Ira M. Lapidus, A
History…, hlm. 24.
[31] Ibid.
[32] Masdar Farid
Mas'udi, Islam dan Hak-Hak Reproduksi Perempuan: Dialog Fiqh Pemberdayaan,
cet. II (Bandung: Mizan, 1997), hlm. 29-30.
[33] Surat al-Zalzalah/99 ayat 7-8, Fa man
ya'mal mitsqala dzarrotin khairan yarahu. Ma man ya'mal mitsqala dzarrotin
syarran yarahu.
[34] Surat al-Hujurat/49 ayat 13, Ya ayyuha
al-nassu inna khalaqnakum min dzakarin wa untsa wa ja'alnakum syu'uban wa
qaba'ilan li ta'arafu, inna akramakum 'inda Allahi atqakum.
[35] Surat Al-Ma'idah/5
ayat 8, I'dilu huwa aqrabu li al-taqwa.
[36] Surat Al-Ma'idah/5
ayat 8, ..Wa la yajrimannakum syana'anu qawmin 'ala alla ta'dilu… dan
juga hadits riwayat al-Bukhari, Ya ayyuha al-nassu innama halaka al-ladzina
min qablikum annahum kanu idza saraqa fihim al-syarifu tarakahu wa idza saraqa
fihim al-dha'ifu aqamu 'alayhi al-haddu wa aymu Allahi, law anna Fatimata binta
Muhammadin saraqat laqatha'tu yadaha.
[37] Surat al-Baqarah/2 ayat 279, La tadzlimuna
wa la tudzlamuna dan Hadits riwayat Ibn Majah, La dharara wa la dhirara.
[38] Surat al-'Ashr/103 ayat 1-3, Wa al-'Ashri,
inna al-insana lafi khusrin, illa al-ladzina amanu wa 'amilu al-shalihati wa
tawashaw bi al-haqqi wa tawashau bi al-shabri.
[39] Surat al-Isra'/17 ayat 34, …Wa awfu bi
al-'ahdi, inna al-'ahda kana mas'ulan
[40] Surat al-Ma'idah/5 ayat 2, Wa ta'awanu
'ala al-birri wa al-taqwa.
[41] Surat al-Nisa'/4 ayat 75, Wa ma lakum la
tuqatiluna fi sabili Allahi wa al-mustadh'afina min al-rijali wa al-nisa'I wa
al-wildani…
[42] Surat al-Syura/42 ayat 38, Wa amruhum
syura baynahum.
[43] Surat al-Baqarah/2 ayat 187, …Hunna
libasun lakum wa antum libasun lahunna…
[44] Surat al-Nisa'/4 ayat 19, …Wa 'asyiru
hunna bi al-ma'ruf…
[45] Abu al-Hasan 'Ali
bin Ahmad al-Wahidi, Asbab al-Nuzul, Abu al-Qasim Hibatullah ibn Salamah
Abu Nashr (pentahqiq), (Kairo: Maktabah al-Dakwah, t.t.), hlm. 295.
[46] Masdar F. Mas'udi, Islam
dan Hak-Hak Reproduksi…, hlm. 52-53.
[47] Joseph Schacht, An
Introduction to Islamic Law…, hlm. 10.
[48] Marshal G.S.
Hodgson, The Venture…, I: 174.
[49] Albert Hourani, A
History of The Arab Peoples, cet. I (Cambridge: Belknap Press of Harvard
University Press, 1992), hlm. 17.
[50] Ira M. Lapidus, A
History,.., hlm. 24.
[51] Ibn Hisyam, al-Sira,..,
I: 240
[52] Ibid, hlm.
245
[53] Ibid., hlm.
247-248
[54] Ibid., hlm.
249-250
[55] Ibid., hlm.
262
[56] wa andzir
'asyirataka al-aqrabin wakhfidh janahaka
li man 'ittaba'aka min al-mu 'minin…
[57] Tercatat bahwa
Khadijah adalah orang yang menenangkan kegelisahan Nab Muhammad saw. setelah
menerima wahyu, meyakinkan Nabi Muhammad saw. terhadap kebenaran tentang
datangnya wahyu dari Allah swt., penyumbang harta untuk kepentingar Islam dan
sebagainya. Lihat Ibn Hisyam, Ibid, him. 237-239.
[58] Bilal dimerdekakan
tanpa syarat oleh Abu Bakr dari tuannya, Umayyah bin Khalaf, lihat Ibn Hisyam, Ibid.,
him. 317-318.
[59] Rasulullah
memperingatkan Abu Dzar al-Ghifari yang memanggil Bilal dengar sebutan Ibn
al-sawda' dan beliau mengatakan, innaka imru 'un fika Jahiliyya. laysa
li ibn 'I baydha' 'ala ibn a l-sawda' fadhl illa bi al-taqwa aw 'amal salih,
lihat 'Ali Abd a1-Wahid Wafi, al-Musawah..., him. 11-12.
[60] Umar menangis
apabila mengingat perbuatannya pernah membunuh anak perempuannya sendiri
hidup-hidup dan pernah menjadi peminum minuman keras pada masa Jahiliyyah,
lihat Ibn Hisyam, Sira..., I: 400-402.
[61] Tor Andrae, Mohammed
The Man and His Faith (Mohammed Sein Leben und Sem Glaube), Theophil Menzel
(translator), cet. I (New York: Harper Torchbooks, 1960), hlm.116
[62] Ibid., hlm.
117-118
[63] Ibid., hlm
120-122.
[64] Ibn Hisyam, al-Sira.
„ I: 265.
[65] Ibid.
[66] Ibid., hlm.
266-267.
[67] Ibid., him.
289.
[68] Ibid.
[69] Ibid., him.
293-294.
[70] Sebelumnya,
beberapa pengikut Nabi Muhammad saw. hijrah dan minta perlindungan pada raja Abyssinia dan kemudian wakil Quraisy datang serta meminta
agar para pengungsi dikembalikan dengan sejumlah kompensasi hadiah, namun raja Abyssinia menolak untuk mengekstradisi mereka karena
percaya terhadap kebenaran ajaran Muhammad saw. yang sesuai dengan isyarat di
dalam kitab Injil, Ibid., him. 300.
[71] Lihat A. Guillaume,
The Life of Muhammad, A Translation of Ibn Ishaq's Sirat Rasul Allah,
cet. Ill (Karachi: Pakistan Branch Oxford University Press, 1970), hlm. nx-no
[72] Ibn Hisyam, al-Sira...,
I: 265-266.
No comments:
Post a Comment