IBADAH
Syarat Ibadah
Secara etimologi ibadah berarti
merendahkan diri serta tunduk. Di dalam syara', ibadah mempunyai banyak
definisi, tetapi makna dan maksudnya satu. Di antara definisi itu, ibadah
adalah sebutan yang mencakup seluruh apa yang dicintai dan diridhai Allah, baik
berupa ucapan atau perbuatan, yang dhahir maupun yang batin. Dan ini adalah
definisi ibadah yang paling lengkap.
Ibadah itu terbagi menjadi ibadah
hati, lisan dan anggota badan. Rasa khauf (takut), raja' (mengharap), mahabbah
(cinta), tawakkal (ketergantungan), raghbah (senang), rahbah (cemas) adalah
ibadah qalbiyah (yang berkaitan dengan hati). Sedangkan tasbih, tahlil, tahmid,
takbir, dan syukur dengan lisan dan hati adalah ibadah lisaniyah qalbiyah
(lisan dan hati). Sedangkan shalat, zakat, haji, jihad, puasa adalah ibadah
badaniyah qalbiyah (fisik dan hati). Serta masih banyak lagi macam-macam ibadah
yang berkaitan dengan hati, lisan dan badan.
Ibadah inilah yang menjadi tujuan
penciptaan manusia. Allah berfirman, "Dan
Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembahKu. Aku
tidak menghendaki rizki sedikit pun dari mereka dan Aku tidak menghendaki
supaya mereka memberi Aku makan. Sesungguhnya Allah Dialah Maha Pemberi rizki
Yang Mempunyai Kekuatan lagi sangat Kokoh." (Adz-Dzaariyat : 56 - 58).
Allah memberitahukan, hikmah
penciptaan jin dan manusia adalah agar mereka melaksanakan ibadah kepada Allah
. Dan Allah Maha Kaya, tidak membutuhkan ibadah mereka, akan tetapi merekalah
yang membutuhkan-Nya; karena ketergantungan mereka kepada Allah, maka mereka
menyembah-Nya sesuai dengan aturan syari'at-Nya. Maka siapa yang menolak
beribadah kepada Allah, ia adalah sombong. Siapa yang menyembahNya tetapi
dengan selain apa yang disyari'atkanNya maka ia adalah mubtadi' (pelaku
bid'ah). Dan siapa yang hanya menyembahNya dan dengan syari'atNya, maka dia
adalah mukmin muwahhid (yang mengesakan Allah). Ayat di atas menegaskan,
aktifitas 24 jam seorang muslim haruslah karena motivasi ibadah.
Ibadah itu banyak macamnya. Ia mencakup semua macam keta'atan yang tampak pada lisan, anggota badan dan yang lahir dari hati. Seperti dzikir, tasbih, tahlil, dan membaca Al-Qur'an; shalat, zakat, puasa, haji, jihad, amar ma'ruf nahi mungkar, berbuat baik kepada kerabat, anak yatim, orang miskin dan ibnu sabil; cinta kepada Allah dan Rasul-Nya, khasyyatullah (takut kepada Allah), inabah (kembali) kepadaNya, ikhlas kepadaNya, sabar terhadap hukumNya, ridha terhadap qadha'-Nya, tawakkal, mengharap nikmat-Nya dan takut dari siksaNya.
Jadi, ibadah mencakup seluruh
tingkah laku seorang mukmin jika diniatkan qurbah (mendekatkan diri kepada
Allah) atau apa-apa yang membantu qurbah. Bahkan adat kebiasaan yang mubah pun
bernilai ibadah jika diniatkan sebagai bekal untuk ta'at kepada Allah. Seperti
tidur, makan, minum, jual-beli, bekerja mencari nafkah, nikah dan sebagainya.
Berbagai kebiasaan tersebut jika disertai niat baik (benar) maka menjadi
bernilai ibadah yang berhak mendapatkan pahala. Karenanya, tidaklah ibadah itu
terbatas hanya pada syi'ar-syi'ar yang biasa dikenal.
Ibadah adalah perkara tauqifiyah. Artinya tidak ada suatu bentuk ibadah pun yang disyari'atkan kecuali berdasarkan Al-Qur'an dan As-Sunnah. Apa yang tidak disyari'atkan berarti bid'ah mardudah (bid'ah yang ditolak), sebagaimana sabda Nabi saw, "Barangsiapa melaksanakan suatu amalan tidak atas perintah kami, maka ia ditolak." (Muttafaq 'alaih). Maksudnya, amalnya ditolak dan tidak diterima, bahkan ia berdosa karenanya, sebab amal tersebut adalah maksiat, bukan ta'at. Kemudian manhaj yang benar dalam pelaksanaan ibadah yang disyari'atkan adalah sikap pertengahan. Antara meremehkan dan malas dengan sikap ekstrim serta melampaui batas. Allah SWT berfirman kepada Nabi-Nya saw, "Maka tetaplah kamu pada jalan yang benar, sebagaimana diperintahkan kepadamu dan (juga) orang-orang yang telah bertaubat beserta kamu dan janganlah kamu melampaui batas." (Huud : 112).
Ayat
Al-Qur'an ini adalah garis petunjuk bagi langkah manhaj yang benar dalam
pelaksanaan ibadah. Yaitu dengan beristiqamah dalam melaksana-kan ibadah pada
jalan tengah, tidak kurang atau lebih. Sesuai dengan petunjuk syari'at
sebagaimana yang diperintahkan. Allah SWT berfirman, "Dan janganlah kamu melampaui batas." (Huud : 112). Tughyan
adalah melampaui batas dengan bersikap terlalu keras dan memaksakan kehendak
serta mengada-ada. Ia lebih dikenal dengan ghuluw.
Ketika
Rasulullah saw mengetahui bahwa tiga orang dari shahabatnya melakukan ghuluw
dalam ibadah, di mana seorang dari mereka berkata, "Saya puasa terus dan tidak berbuka," dan yang kedua berkata,
"Saya shalat terus dan tidak tidur,"
lalu yang ketiga berkata, "Saya
tidak menikahi wanita." Maka beliau saw bersabda, "Adapun saya, maka saya berpuasa dan berbuka,
saya shalat dan tidur, dan saya menikahi wanita. Maka barangsiapa tidak
menyukai jejakku maka dia bukan dari (bagian atau golongan)ku." (HR.
Al-Bukhari dan Muslim).
Golongan Pertama, Yang mengurangi makna ibadah serta meremehkan pelaksanaannya. Mereka meniadakan berbagai macam ibadah dan hanya melaksanakan ibadah-ibadah yang terbatas pada syi'ar-syi'ar tertentu dan sedikit, yang hanya diadakan di masjid-masjid saja. Tidak ada ibadah di kantor, di rumah, di toko, di bidang sosial, politik, juga tidak ada dalam peradilan kasus sengketa dan dalam perkara-perkara kehidupan lainnya.
Memang
masjid mempunyai keistimewaan dan harus dipergunakan dalam shalat fardhu lima
waktu. Akan tetapi ibadah mencakup seluruh aspek kehidupan muslim, baik di
masjid maupun di luar masjid.
Golongan
Kedua, Yang
bersikap berlebih-lebihan dalam praktek ibadah sampai batas ekstrim; yang
sunnah mereka angkat sampai menjadi wajib, sebagaimana yang mubah mereka angkat
menjadi haram. Mereka menghukumi sesat dan salah orang yang menyalahi manhaj
mereka, serta menyalahkan pemahaman-pemahaman lain. Padahal sebaik-baik
petunjuk adalah petunjuk Nabi saw dan seburuk-buruk perkara adalah yang bid'ah.
Lalu, agar
bisa diterima, ibadah disyaratkan harus benar. Dan ibadah itu tidak benar kecuali
dengan dua syarat:
Ikhlas
karena Allah semata, bebas dari syirik besar dan kecil. Dalilnya adalah firman
Allah SWT, "Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah
dengan memurnikan ibadah (ikhlas) kepadaNya dalam (menjalankan) agama dengan
lurus." (Al-Bayyinah : 5).
Sesuai
dengan tuntunan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam. Dalilnya adalah sabda
Rasulullah, "Barangsiapa mengada-adakan (suatu hal yang baru) dalam
urusan (agama) kami, yang bukan merupakan ajarannya maka akan ditolak."
(Muttafaq 'alaih).
Syarat pertama adalah konsekwensi
dari syahadat laa ilaaha illallaah, karena ia mengharuskan ikhlas beribadah
hanya untuk Allah Y dan jauh dari syirik kepada-Nya. Dan syarat kedua adalah
konsekwensi dari syahadat Muhammadur Rasulullah, karena ia menuntut wajibnya
ta'at kepada Rasul, mengikuti syari'atnya dan meninggalkan bid'ah atau
ibadah-ibadah yang diada-adakan.
Syaikhul
Islam mengatakan, "Inti agama ada dua pokok yaitu kita tidak menyembah
kecuali kepada Allah, dan kita tidak menyembah kecuali dengan apa yang Dia
syari'atkan, tidak dengan bid'ah." Sebagaimana Allah SWT berfirman, "Barangsiapa
mengharap perjumpaan dengan Tuhan-Nya maka hendaknya ia mengerjakan amal shalih
dan janganlah ia mempersekutukan seorang pun dalam beribadah kepada
Tuhannya." (Al-Kahfi : 110).
Amal Yang Dicintai Allah
Diriwayatkan oleh Abdullah bin
Mas'ud Radhiyallahu 'Anhu, ia berkata, aku bertanya kepada Rasulullah saw,
"Amal apa yang paling dicintai Allah Azza Wajalla?, beliau menjawab,
"Shalat tepat pada waktunya". Aku bertanya, kemudian apa lagi?,
beliau menjawab, "Berbuat baik terhadap kedua orangtua". Aku
bertanya, kemudian apa lagi?, beliau menjawab: "Jihad fi sabilillah".
Ia berkata, Demikian Rasulullah saw mengabarkannya kepadaku, seandainya aku
meminta tambahan, niscaya beliau menambahkannya". (HR. Bukhari dan Muslim)
Hadis di atas menjelaskan kedudukan
dan tingkatan amal di sisi Allah Ta'ala. Amal yang dimaksud oleh hadis itu
adalah amal badani (kasat mata), sebab amal yang afdhal (paling utama) dan
paling dicintai Allah adalah beriman kepada-Nya, hal ini berdasarkan hadis Abu
Hurairah Radhiyallahu 'Anhu, bahwasanya seseorang telah bertanya kepada
Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam, Amal apakah yang paling afdhal?,
beliau menjawab,"Iman kepada Allah dan Rasul Nya". Ditanyakan,
kemudian apa lagi?, beliau menjawab, "Jihad di jalan Allah".
Ditanyakan, lalu apa lagi?, beliau menjawab, "Haji mabrur".
Dengan demikian, kedua hadis yang
menerangkan amal paling afdhal tersebut tidak bertentangan, sebab masing-masing
berdiri menurut konteksnya. Perlu diketahui pula, ada beberapa hadis yang
menerangkan keutamaan amal akan tetapi tidak sama urutannya dengan hadis di
atas. Untuk mendudukkan hal tersebut, Ibnu Hajar berkomentar, "Dalam
menjelaskan perbedaan jawaban Rasulullah ketika ditanya tentang amal yang
paling utama, para ulama menerangkan, bahwasanya perbedaan jawaban tersebut
berdasarkan perbedaan kondisi para sahabat yang bertanya. Rasulullah
Shallallahu 'Alaihi Wasallam mengajarkan kepada setiap kaum sesuai dengan apa
yang mereka perlukan dan sukai. Jihad misalnya, pada permulaan Islam adalah
amal yang paling utama, sebab jihad merupakan wasilah untuk melakukan berbagai
amal tersebut. Disamping itu, banyak nash-nash yang menjelaskan bahwa shalat
lebih afdhal daripada zakat, tetapi dalam kondisi sangat dibutuhkan dan
genting, zakat bisa menjadi lebih utama".
Di antara dalil yang menguatkan
bahwa terdapat derajat dan tingkatan amal di sisi Allah adalah sabda Rasulullah,
"Iman itu ada 73 cabang, yang paling tinggi adalah kalimah La Ilaha
Illallah dan yang paling rendah adalah menyingkirkan duri dari jalan, dan malu
adalah termasuk cabang dari iman".
Hadis yang sedang kita bahas ini
juga menguatkan adanya sifat cinta bagi Allah. Dalam hal ini aqidah Ahlus
Sunnah wal Jama'ah lah yang menetapkan sifat-sifat bagi Allah secara haqiqi
(bukan majazi), seperti apa yang ditetapkan oleh Allah terhadap diri-Nya
sendiri. Di dalam Al-Qur'an terdapat 43 kali sifat cinta yang dinisbatkan
kepada Allah Ta'ala, di antaranya adalah, "... dan Allah mencintai
orang-orang yang berbuat baik". (Al Baqarah: 195). "... sesungguhnya
Allah mencintai orang-orang yang bertawakkal". (Ali- Imran:159). "...
maka sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang bertakwa". (Ali Imran:
76). "... sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berbuat
adil". (Al Maidah: 42) dan lain sebagainya.
Sebagai bentuk keadilan Allah, maka
Dia tidak mencintai orang-orang kafir (30: 45) para pemboros (7: 31),
orang-orang yang melampaui batas (7: 55), para perusak (28: 77), orang-orang
yang dzalim (42: 40) dan lain-lain. Disamping itu, banyak hadis yang menegaskan
bahwa Allah memiliki sifat cinta. Di antaranya hadis dari Ibnu Abbas, bahwa
Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam berkata kepada Abdullah bin Qais, "Engkau
mempunyai dua sifat yang di cintai Allah yaitu penyayang dan sabar". (HR.
Muslim)
Meskipun kita mengetahui bahwa Allah
memiliki sifat cinta, tetapi tidak dibenarkan mempertanyakan bagaimana
wujudnya, sebab jawabannya di luar batas pengetahuan manusia, demikian pula
halnya dengan sifat-sifat Allah yang lain.
Keutamaan suatu amal atas amal yang
lain sebagaimana penjelasan hadis di muka, memang disebabkan bahwa amal
tersebut lebih utama menurut asalnya.Tetapi keutamaan amal itu atas lainnya
terkadang bergeser disebabkan sesuatu hal, seperti oleh perubahan waktu dan
keadaan. Banyak contoh yang bisa menjelaskan hal ini. Bertasbih dan menyucikan
Allah misalnya, ia lebih utama daripada istighfar (memohon ampunan kepada
Allah), tetapi pada saat jiwa bergetar hebat karena perasaan dosa, maka
istighfar lebih utama. Bahkan terkadang suatu amal yang utama menjadi makruh
karena perbedaan situasi dan kondisi, seperti bau mulut. Nabi Shallallahu
'Alaihi Wasallam membenci mulut yang berbau ketika berada di tengah masa,
tetapi pada saat lain beliau bersabda, "Sungguh... bau mulut orang yang
sedang berpuasa itu lebih wangi di sisi Allah daripada aroma minyak
kasturi". (Al Hadis)
Demikian pula dengan rendah hati
kepada sesama muslim, ia merupakan hal yang utama sebab Allah tidak menyukai
orang yang sombong lagi membanggakan diri. Tetapi sombong dan membanggakan diri
ketika menghadapi musuh dan untuk menghinggapkan rasa takut di hatinya, adalah
termasuk hal yang utama.
Dalam masalah yang penting ini, Ibnul
Qayyim menjelaskan, "Membaca Al Qur'an lebih utama daripada dzikir,
sedangkan dzikir lebih utama daripada do'a," jika masing-masing dipandang
secara berdiri sendiri. Tetapi amal yang lebih rendah keutamaannya terkadang
bisa menggeser kedudukan amal yang lebih afdhal darinya, hal itu seperti
bertasbih dalam ruku' dan sujud.
Bertasbih ketika ruku' dan sujud
lebih utama daripada membaca Al Qur'an pada keduanya, bahkan membaca Al Qur'an
ketika ruku' dan sujud justru dilarang. Demikian pula bertasbih setelah selesai
shalat lebih utama daripada membaca Al Qur'an pada waktu yang sama, menjawab
azan dan menirukan ucapan muazin adalah lebih utama daripada membaca Al Qur'an
meskipun kita mengetahui, bahwa Al Qur'an lebih utama atas semua perkataan
manusia sebagaimana keutamaan Allah atas segenap makhluk-Nya, tetapi
masing-masing ungkapan dan ucapan terdapat maqam dan tempatnya sendiri-sendiri.
Jika pada suatu maqam dan keadaan
terdapat ungkapan dan perkataan khusus tetapi justru ia mengeluarkan ungkapan
dan perkataaan yang lain maka hikmah dan maslahah yang dicari menjadi hilang
dan tidak berpihak kepadanya.
Hal lain seperti orang yang
melalaikan membaca Al Qur'an dan zikir, karena ketika melakukan keduanya ia
tidak bisa khusyu', kemudian ia berdo'a dan hatinya bisa penuh tunduk dan
khusyu' hanya kepada Allah, maka ketika itu do'a lebih bermafaat bagi dirinya
meski secara asal, membaca Al Qur'an dan zikir lebih utama dan lebih besar
pahalanya daripada ber-do'a. Dan tentu berbeda antara keutamaan sesuatu yang sejak
awal memang melekat pada dirinya dengan keutamaan sesuatu karena sebab-sebab
luar, masing-masing mesti diberi sesuai dengan haknya.
Segala sesuatu harus ditempatkan pas
pada tempatnya. Termasuk dalam bab ini adalah bahwa surat Al Ikhlas sama dengan
sepertiga Al Qur'an. Meskipun demikian, surat tersebut tidak menyamai ayat-ayat
mawaris, thalaq, khulu' dan lainnya pada saat ayat-ayat tersebut diperlukan.
Ayat-ayat tersebut tentu lebih bermanfaat daripada membaca surat Al Ikhlas.
Hal-hal seperti inilah yang
seyogya-nya diketahui oleh setiap muslim dalam masalah keutamaan amal, sehingga
ia tidak melalaikan amal yang kurang utama karena mengejar amal yang utama.
Jika demikian maka iblislah yang beruntung merenggut keutamaan itu".
Pentingnya shalat tepat pada waktunya.
Yang dimaksud shalat disini adalah
shalat fardhu (wajib). Shalat amat agung fadhilah dan pahalanya, ia merupakan
rukun Islam yang kedua setelah syahadat. Shalat adalah tiang agama, agama tidak
akan bisa tegak berdiri kecuali dengan menegakkan dan mendirikan shalat. Allah
berfirman, "... dan dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah
dari (perbuatan-perbuatan) keji dan munkar". (Al Ankabut: 45)
Jika suatu umat menegakkan shalat
maka mereka akan ditunjuki pada jalan kebaikan dan akan hilang kekejian dan
kemunkaran dari mereka. Perintah mendirikan shalat dan menjaganya banyak kita
dapatkan dalam Al Qur'an, seperti dalam 2: 238, 5: 12, 11: 114, 17: 78, 20: 14,
31: 17 dan banyak lagi yang lainnya.
Bagi laki-laki hendaknya memelihara dan
melakukan shalat dengan berjamaah di masjid. Rasulullah Shallallahu 'Alaihi
Wasallam telah bersabda, "Barangsiapa
mendengar azan tetapi tidak mendatangi (memenuhi panggilan itu) maka tiada
shalat baginya, kecuali karena ada uzur". (Al Hadis)
Perintah mendirikan
shalat dengan berjamaah atas kaum laki-laki, juga berdasarkan hadis riwayat Abu
Hurairah Radhiyallahu 'Anhu yang menceritakan seorang buta yang memohon
keringanan dari Nabi untuk tidak berjamaah karena tiada seorangpun yang
menuntunnya ke masjid, namun ketika ia mengaku mendengar azan lantas Nabi
mencabut keringanan itu kembali.
Shalat adalah termasuk pelebur dosa
yang paling agung. Dari Abu Hurairah, ia mendengar Rasulullah Shallallahu
'Alaihi Wasallam bersabda, "Tahukah
kalian, jika di depan pintu salah seorang kalian terdapat sungai lalu ia mandi
di dalamnya lima kali setiap hari, apakah masih tersisa kotoran daripada-nya?"
Mereka menjawab, "Tidak akan tersisa
sedikitpun kotoran dari padanya". "Sesungguhnya para munafik itu menipu Allah, dan Allah membalas tipuan
mereka. Apabila mereka berdiri untuk shalat mereka berdiri dengan malas. Mereka
bermaksud riya (dengan shalat) di hadapan manusia. Dan tidaklah mereka menyebut
Allah kecuali sedikit sekali". (An Nisa: 142)
Besok pada
hari kiamat, shalat adalah amal yang pertamakali dihisab. Dari Abu Hurairah ia
berkata, Rasul Shallallahu 'Alaihi Wasallam bersabda, "Sesungguhnya amal seseorang yang pertama
kali dihisab pada hari kiamat adalah shalatnya. Apabila shalatnya baik, maka ia
benar-benar beruntung dan berhasil, tetapi jika shalatnya rusak maka ia
benar-benar merugi. Jika dari shalat fardhunya ada sesuatu yang kurang maka
Allah berfirman, "Lihatlah, apakah hamba-Ku memiliki shalat sunnah,
sehingga dengannya shalat fardhunya disempurnakan?. Kemudian seluruh amalnya
(baru) dihisab". (HR. Turmudzi)
dari:
(Disarikan dari risalah Ahabbul A'mal)
(Disarikan dari risalah Ahabbul A'mal)
No comments:
Post a Comment