Jika Imam Qunut
Subuh Apakah Makmum Harus Ikut Qunut? Kapankah Makmum Harus Sesuai Imam dan
Kapankah Boleh berbeda?
Ada beberapa pertanyaan yang mengganjal, terutama terkait kondisi
mengikuti imam dalam sholat.
1. Bagaimana bila kita tahu dari kebiasaannya selama ini imam duduk
tawarruk, apakah kita juga duduk tawarruk tatkala raka’at terakhir sholat
subuh?
2. juga, bagaimana bila kita tidak tahu kebiasaan duduk imam (misalnya
karena kita ada di masjid lain)?
3. bila kita ada di shaf pertama dan ada persis di sekitar belakang
imam, apakah boleh kita melihat sejenak ke arah imam untuk melihat bagaimana ia
duduk? atau, sebaliknya, bagaimana kalau kita ada di shaf kedua, ketiga, dst.
tapi benar-2 tdk tahu kebiasaan duduk imam?
Jawab :
Pertanyaan seperti ini sama dengan pertanyaan-pertanyaan berikut ini:
- Apakah jika imam menggerak-gerakan jarinya tatkala tasyahhud maka makmum juga harus ikut menggerak-gerakan jarinya, padahal sang makmum tidak meyakini akan sunnahnya menggerak-gerakan jari tatkala tasyahhud? Dan jika sebaliknya?
- Apakah jika imam mengangkat kedua tangan tatkala hendak sujud maka makmum juga harus mengangkat kedua tangannya (padahal sang makmum tidak meyakini disunnahkannya hal tersebut)? Dan jika sebaliknya?
- Apakah jika imam hendak sujud dengan meletakkan kedua lututnya terlebih dahulu sebelum kedua tangannya apakah makmum juga harus demikian?, sementara makmum meyakini didahulukannya kedua tangan sebelum kedua lutut?, dan jika sebaliknya?
- Apakah jika imam melakukan duduk istirahat -tatkala hendak berdiri ke rakaat ke dua atau ke rakaat ke empat- maka makmum juga harus duduk istirahat (padahal sang makmum tidak meyakini adanya duduk istirahat)?, dan jika sebaliknya?
- Apakah jika imam qunut subuh maka sang makmum juga harus qunut subuh? (padahal sang makmum meyakini tidak disyari’atkannya qunut subuh)
- Untuk menjawab pertanyaan tersebut maka kita harus paham apa saja perkara-perkara yang sang makmum harus mengikuti imam dan tidak boleh menyelisihinya?
Para pembaca yang budiman, nash yang berkaitan dengan permasalahan ini
adalah sabda Nabi
إنما جُعِلَ
الْإِمَامُ لِيُؤْتَمَّ بِهِ فإذا صلى قَائِمًا فَصَلُّوا قِيَامًا فإذا رَكَعَ
فَارْكَعُوا وإذا رَفَعَ فَارْفَعُوا وإذا قال سمع الله لِمَنْ حَمِدَهُ فَقُولُوا
رَبَّنَا وَلَكَ الْحَمْدُ وإذا صلى قَائِمًا فَصَلُّوا قِيَامًا وإذا صلى
جَالِسًا فَصَلُّوا جُلُوسًا أَجْمَعُونَ
“Hanyalah dijadikan imam adalah untuk diikuti, maka jika imam sholat
berdiri maka sholatlah kalian (wahai para mekmum-pent) berdiri juga, jika imam
ruku’ maka ruku’lah kalian, dan jika imam bangkit maka bangkitlah, dan jika
imam berkata “Sami’allahu liman hamidahu” ucapkanlah “Robbanaa wa lakalhamdu”.
Jika imam sholat berdiri maka sholatlah berdiri, dan jika imam sholat duduk
maka sholatlah kalian seluruhnya dengan duduk” (HR Al-Bukhari no 657)
Rasulullah juga bersabda:
إنما جُعِلَ
الْإِمَامُ لِيُؤْتَمَّ بِهِ فلا تَخْتَلِفُوا عليه فإذا رَكَعَ فَارْكَعُوا …
“Hanyalah dijadikan imam untuk diikuti, maka janganlah kalian
menyelisihinya, jika ia ruku’ maka ruku’lah kalian…” (HR Al-Bukhari no 689)
Ibnu Hajar berkata, “Dan kondisi pengikut (makmum) adalah tidak mendahului orang yang diikutinya (imam), dan juga tidak menyertainya, dan juga tidak berdiri lebih maju di hadapannya, akan tetapi ia memperhatikan gerakan dan kondisi sang imam lalu ia segera menyusul sebagaimana gerakan sang imam” (Fathul Baari 2/178)
Ibnu Hajar berkata, “Dan kondisi pengikut (makmum) adalah tidak mendahului orang yang diikutinya (imam), dan juga tidak menyertainya, dan juga tidak berdiri lebih maju di hadapannya, akan tetapi ia memperhatikan gerakan dan kondisi sang imam lalu ia segera menyusul sebagaimana gerakan sang imam” (Fathul Baari 2/178)
Berkata An-Nawawi : “Hadits ini dalil akan wajibnya makmum untuk
mengikuti imam dalam takbir, berdiri, duduk, ruku’, sujud, dan hendaknya ia
melakukannya setelah imam. Maka ia bertakbirotul ihroom setelah imam selesai
bertakbirotul ihrom. Jika bertakbirotul ihrom sebelum imam bertakbirotul ihrom
maka tidak sah sholatnya. Ia ruku’ setelah imam mulai ruku’ dan sebelum imam
berdiri dari ruku’. Jika ia menyertai imam (dalam ruku’-pent) atau mendahului
imam maka ia telah berbuat keburukan akan tetapi sholatnya tidak batal.
Demikian juga sujud. Dan ia member salam setelah imam selesai salam, jika ia
salam sebelum imam salam maka sholatnya batal, kecuali jika ia berniat untuk
memisahkan diri dari jama’ah sholat. Dan ada khilaf dalam permasalahan ini…”
(Al-Minhaaj 4/131)
An-Nawawi juga berkata, “Adapun sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
Hanyalah dijadikan imam untuk diikuti maka maknanya menurut Imam As-Syafi’i dan
sekelompok ulama yaitu (diikuti) pada perbuatan-perbuatan (gerakan-gerakan)
yang dzohir (nampak), karena boleh saja seseorang yang sholat fardu bermakmum
kepada orang yang sholat sunnah dan sebaliknya, demikian juga seorang yang
sholat asar bermakmum kepada orang yang sholat dzuhur dan sebaliknya.
Malik dan Abu Hanifah radhiallahu ‘anhumaa dan para ulama yang lain
berkata bahwasanya hal ini tidak diperbolehkan. Mereka berkata bahwasanya makna
hadits adalah imam diikuti pada gerakan-gerakan dan juga pada niat (jadi niat
harus sama antara imam dan makmum-pent). As-Syafii –radhiallahu ‘anhu- dan para
ulama yang sepakat dengannya berdalil dengan bahwasanya Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam mengimami (dua kelompok dari) para sahabat di Batn Nakhl
tatkala sholat khouf dua kali, sekali bersama kelompok pertama dan yang kdua
bersama kelompok yang kedua. Maka sholat beliau yang kedua adalah sunnah adapun
(para sahabat dari kelompok yang kedua) yang bermakmum di belakang Nabi sholat
mereka adalah fardhu. Demikian juga hadits Mu’adz tatkala beliau setelah sholat
isya bersama Nabi maka beliaupun setelah itu mendatangi kaum beliau lalu
mengimami mereka, maka sholat tersebut sunnah di sisi Mu’adz dan wajib di sisi
kaumnya.
Hal ini menunjukan bahwa mengikuti imam hanya wajib pada
perbuatan-perbuatan (gerakan-gerakan) yang dzohir (Al-Minhaaj 4/134)
Al-Hafidz Ibnu Hajar menjelaskan bahwa yang lebih menguatkan pendapat
Imam An-Nawawi ini (madzhab As-Syafi’i) bahwasanya kewajiban mengikuti imam
yang pada gerakan-gerakan yang dzhohir karena yang disebutkan oleh Nabi dalam
hadits adalah ruku’, takbir, bangkit dari ruku’ dan semacamnya, adapun niat
maka tidak disebutkan dalam hadits (lihat Fathul Baari 2/178)
Dari penjelasan di atas jelaslah bahwa makmum hanya wajib mengikuti
gerakan-gerakan dzohir sang imam, jika sang imam bertakbir maka ia bertakbir
pula, jika imam rukuk maka ia segera ruku’ juga dan demikian juga jika imam
duduk atau berdiri. Hal ini dimaksudkan agar makmum tidak mendahului imam atau
terlambat mengikuti imam.
Adapun gerakan-gerakan yang tidak mengakibatkan penyelisihan terhadap
imam berupa mendahului atau keterlambatan maka tidak wajib bagi makmum untuk
mengikuti imam.
Sebagai contoh jika sang imam tatkala duduk tasyahhud sholat subuh
dengan tawarruk sedangkan sang makmum meyakini sunnahnya duduk iftirosy maka
tidak wajib bagi sang makmum untuk meniru cara duduk sang imam. Karena hal ini
sama sekali tidak berkaitan dengan penyelisihan berupa mendahului atau
keterlambatan.
Demikian juga jika ternyata sang imam tidak menggerak-gerakan jarinya
sementara sang makmum meyakini sunnahnya menggerak-gerakan jari tatkala
tasyahhud maka tidak wajib bagi sang makmum untuk mengikuti sang imam.
Syaikh Al-’Utsaimiin berkata, “Adapun perkara yang mengantarkan kepada
penyelisihan imam maka imam harus diikuti (tidak boleh diselisihi-pent), adapun
perkara yang tidak menyelisihi imam –seperti mengangkat kedua tangan tatkala
hendak ruku’ jika ternyata sang imam tidak mengangkat kedua tangannya sedangkan
makmum memandang disyari’atkannya mengangkat kedua tangan- maka tidak mengapa
bagi makmum untuk mengangkat kedua tangannya. Karena hal ini tidak
mengakibatkan penyelisihan terhadap imam atau keterlambatan (dalam mengikuti
imam).
Demikian juga halnya dalam masalah duduk, jika imam tidak duduk tawarruk
sedangkan sang makmum memandang disyari’atkannya duduk tawarruk atau sebaliknya
maka sang makmum tidak mengikuti sang imam, karena sang makmum tidak
menyelisihi sang imam dan juga tidak terlambat (dalam mengikuti sang imam).
(Majmuu’ Fataawaa wa rosaail As-Syaikh Al-’Utsaimiin15/79)
No comments:
Post a Comment