KEPEMIMPINAN DALAM
MANAJEMEN
BERBASIS SEKOLAH
Oleh: Mulyo Prabowo *)
PENDAHULUAN
Di Jerman: Weber dan di Perancis: Durkheim adalah tokoh-tokoh yang
mendasari berdirinya sekolah. Menurut mereka pendidikan adalah untuk menjaga
kelangsungan hidup masyarakat kecil atau besar, pandangan mereka merupakan paham sturktural-fungsional. Salah
satu bukunya On Moral Education menyatakan bahwa, masyarakat itu berkembang karena
adanya differensiasi pekerjaan (devision of labor), perkembangannya dari
mekanik ke organik. Secara bertahap kondisi ini menyebabkan melemahnya
konsensus moral di dalam masyarakat, maka untuk dapat bertahan mereka harus
terus membangun konsensus tersebut.
Pertanyaannya kemudian adalah: Siapakah yang
harus membangun konsensus tersebut? Apakah tugas ini mampu diemban oleh gereja
atau keluarga? Jawabannya adalah: Tidak ! Dengan demikian yang harus menjaga konsensus moral tidak lain
adalah guru (atas nama negara) melalui
sekolah. Ketika masyarakat berkembang, maka konsensus sukar untuk dipertahankan.
Peranan guru menjadi sangat sentral dan sekolah merupakan wahana untuk itu. Ada
3 (tiga) hal penting yang merupakan
core, yang diperlukan untuk membangun konsensus moral yaitu:
- Disiplin (orang yang dapat membangun internal moral)
- Freedom/kebebasan (diberikan ruang untuk bergerak)
- Tanggungjawab (Suyata, 2010)
Hal di atas banyak dikritik dengan
argument, bahwa negara dikuasai oleh kelompok tertentu yang mengatasnamakan negara;
sedang Guru bekerja atas nama pemerintah dan untuk kepentingan kelompok tertentu.
Pada masa lalu di Perancis, terjadi tarik-menarik antara Gereja dan Negara dalam
hal pengelolaan sekolah. Ketika
persekolahan diserahkan kepada gereja
banyak muncul persoalan,Oleh sebab itu, maka
ada asumsi bahwa negara harus ambil bagian atau turut campur dalam masalah persekolahan. Pada saat ini ada
kecenderungan otonomisasi, privatisasi, atau swastanisasi sekolah meskipun hal
ini masih menjadi perdebatan. Di Kanada, hampir semua sekolah dikelola swasta;
di Australia, hampir semua sekolah dikelola oleh negara. Di Indonesia, sebagian
sekolah-sekolah dikelola oleh negara dan sebagian lainnya dikelola oleh swasta dengan ciri khasnya
masing-masing.
Sejarah persekolahan di Indonesia sudah
dimulai sejak jaman penjajahan dengan segala permasalahannya. Sejak Indonesia
merdeka, ekspektasi negara, masyarakat, dan keluarga terhadap sekolah
sedemikian besar, sehingga setiap
pemerintahan di negara ini selalu menjadikan isu pendidikan dan sekolah menjadi
sentral untuk menunjukkan kepada masyarakat bahwa negara sangat “concern” dalam
rangka legitimasi pemerintahannya. Dengan disahkannya UU Sisdiknas tahun 2003,
terjadi pergeseran paradigma pendidikan dari sentralistik menjadi
desentralistik. Pasal 51 UU Sistem Pendidikan Nasional
No. 20//2003 menyatakan bahwa “Pengelolaan satuan pendidikan anak usia dini,
pendidikan dasar, dan pendidikan menengah dilaksanakan berdasarkan standar
pelayanan minimal dengan prinsip manajemen berbasis sekolah/madrasah”.
Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) merupakan konsep pengelolaan sekolah yang
ditujukan untuk meningkatkan mutu pendidikan di era desentralisasi pendidikan.
Manajemen berbasis sekolah diharapkan mampu menjawab tantangan jaman dan
ekpektasi negara, masyarakat, serta keluarga terhadap sekolah.
Untuk mewujudkan harapan terhadap sekolah dan persekolahan
tersebut, maka masih dibutuhkan beberapa faktor pendukung lainnya, antara lain
adalah faktor pemimpin atau kepemimpinan yang mampu mengarahkan sebuah visi
menjadi misi bersama. Pertanyaannya kemudian adalah pemimpin atau kepemimpinan
seperti apa yang mampu mengawal kebijakan manajemen berbasis sekolah tersebut
sampai ke tujuan yang diharapkan.
MANAJEMEN BERBASIS SEKOLAH ( School
Based Management)
Menurut Miftah Thoha (1999), saat ini sedang
berlangsung perubahan paradigma manajemen pemerintahan. Beberapa perubahan
tersebut antara lain:
a.
Dari orientasi manajemen yang diatur oleh negara ke orientasi pasar. Aspirasi masyarakat
menjadi pertimbangan pertama dalam mengolah dan menetapkan kebijaksanaan untuk
mengatasi persoalan yang timbul.
b.
Dari orientasi manajemen pemerintahan yang otoritarian ke demokrasi. Pendekatan
kekuasaan bergeser ke sistem yang mengutamakan peranan rakyat. Kedaulatan
rakyat menjadi pertimbangan utama dalam tatanan yang demokratis
c.
Dari sentralisasi kekuasaan ke desentralisasi kewenangan. Kekuasaan tidak lagi
terpusat di satu tangan melainkan dibagi ke beberapa pusat kekuasaan secara
seimbang.
d.
Sistem pemerintahan yang jelas batas dan aturannya seakan-akan menjadi negara
yang sudah tidak jelas lagi batasnya akibat pengaruh dari tata-aturan global.
Keadaan ini membawa akibat tata-aturan yang hanya menekankan tata-aturan
nasional saja dan kurang menguntungkan dalam percaturan global Fenomena ini
berpengaruh terhadap dunia pendidikan sehingga desentralisasi pendidikan adalah
sesuatu yang tidak bisa dihindari. Tentu saja desentralisasi pendidikan bukan
berkonotasi negatif, yaitu untuk mengurangi wewenang atau intervensi pejabat
atau unit pusat melainkan lebih berwawasan keunggulan. Kebijakan umum yang
ditetapkan oleh pusat sering tidak efektif karena kurang mempertimbangkan
keragaman dan kekhasan daerah.Di samping itu membawa dampak ketergantungan
sistem pengelolaan dan pelaksanaan pendidikan yang tidak sesuai dengan
kebutuhan masyarakat setempat (lokal), menghambat kreativitas, dan menciptakan
budaya menunggu petunjuk dari atas.
Dengan demikian desentralisasi pendidikan bertujuan untuk
memberdayakan peranan unit bawah atau masyarakat dalam menangani persoalan
pendidikan di lapangan. Banyak persoalan pendidikan yang sepatutnya bisa
diputuskan dan dilaksanakan oleh unit tataran di bawah atau masyarakat. Hal ini
sejalan dengan apa yang terjadi di kebanyakan negara. Faktor-faktor pendorong
penerapan desentralisasi pendidikan terinci sbb:
·
Tuntutan orangtua,
kelompok masyarakat, para legislator, pebisnis, dan perhimpunan guru untuk
turut serta mengontrol sekolah dan menilai kualitas pendidikan.
·
Anggapan bahwa
struktur pendidikan yang terpusat tidak dapat bekerja dengan baik dalam
meningkatkan partisipasi siswa bersekolah.
·
Ketidakmampuan
birokrasi yang ada untuk merespon secara efektif kebutuhan sekolah setempat dan
masyarakat yang beragam.
·
Penampilan kinerja
sekolah dinilai tidak memenuhi tuntutan baru dari masyarakat.
·
Tumbuhnya
persaingan dalam memperoleh bantuan dan pendanaan. (Nuril Huda, 1999)
Pada era otonomi daerah dan desentralisasi pendidikan muncul
kebijakan program dari Departemen Pendidikan Nasional, yaitu Manajemen Berbasis
Sekolah (MBS). Program ini merupakan upaya
peningkatan mutu pendidikan melalui pendekatan pemberdayaan sekolah dalam
mengelola institusinya. Munculnya gagasan ini dipicu oleh ketidakpuasan atau
kegerahan para pengelola pendidikan pada level operasional atas keterbatasan
kewenangan yang mereka miliki untuk dapat mengelola sekolah secara mandiri.
Umumnya dipandang bahwa para kepala sekolah merasa nirdaya karena terperangkap
dalam ketergantungan berlebihan terhadap konteks pendidikan. Akibatnya, peran
utama mereka sebagai pemimpin pendidikan semakin dikerdilkan dengan rutinitas
urusan birokrasi yang menumpulkan kreativitas berinovasi. Desentralisasi
pendidikan mencakup tiga hal, yaitu:
a. Manajemen berbasis
lokasi
b. Pendelegasian wewenang
c. Inovasi kurikulum
Di mancanegara, seperti Amerika Serikat, pendekatan
ini sebenarnya telah berkembang cukup lama. Pada 1988 American Association of
School Administrators, National Association of Elementary School Principals,
and National Association of Secondary School Principals, menerbitkan dokumen
berjudul school based management, a strategy for better learning. Di Indonesia,
gagasan penerapan pendekatan MBS ini muncul belakangan sejalan dengan
pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi pendidikan sebagai paradigma baru
dalam pengoperasian sekolah. Selama ini, sekolah hanyalah kepanjangan tangan birokrasi
pemerintah pusat untuk menyelenggarakan urusan politik pendidikan.
Para pengelola sekolah sama sekali tidak memiliki
banyak kelonggaran untuk mengoperasikan sekolahnya secara mandiri. Semua
kebijakan tentang penyelenggaran pendidikan di sekolah umumnya diadakan di
tingkat pemerintah pusat atau sebagian di instansi vertikal dan sekolah hanya
menerima apa adanya. Apa saja muatan kurikulum pendidikan di sekolah adalah
urusan pusat, kepala sekolah dan guru harus melaksanakannya sesuai dengan
petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknisnya. Anggaran pendidikan mengalir dari
pusat ke daerah menelusuri saluran birokrasi dengan begitu banyak simpul yang
masing-masing menginginkan bagian. Tidak heran jika nilai akhir yang diterima
di tingkat paling operasional telah menyusut lebih dari separuhnya. Pada
kenyataannya selama ini lebih dari separuh dana pendidikan sebenarnya dipakai
untuk hal-hal yang sama sekali tidak atau kurang berurusan dengan proses
pembelajaran di level yang paling operasional, sekolah (Agus Dharma, 2003).
Lebih lanjut dikatakan bahwa dalam pendekatan MBS ini,
tanggung jawab pengambilan keputusan tertentu mengenai anggaran, kepegawaian,
dan kurikulum ditempatkan di tingkat sekolah dan bukan di tingkat daerah,
apalagi pusat. Melalui keterlibatan guru, orang tua, dan anggota masyarakat
lainnya dalam keputusan-keputusan penting itu, MBS dipandang dapat menciptakan
lingkungan belajar yang efektif bagi para murid. Dengan demikian, pada dasarnya
MBS adalah upaya memandirikan sekolah dengan memberdayakannya.
Dengan kebijakan MBS tersebut, maka institusi
sekolah sebagai unit operasional secara langsung menangani segala hal yang
berkaitan mempunyai peran yang sangat besar. Seluruh komponen persekolahan
yakni kepala sekolah, para guru, komite sekolah dan masyarakat harus berbenah
diri dan terlibat aktif dalam rangka meningkatkan mutu pendidikan. Namun
permasalahan yang muncul kemudian adalah siapakah yang harus berperan memimpin dan
bagaimanakah mengembangkan kepemimpinan untuk mewujudkan konsep ideal kebijakan
MBS tersebut. Desentralisasi dan otonomi merupakan suatu given pada saat ini,
sementara sebagian besar mind set para pemimpin di daerah maupun unit sekolah
kadang masih bersifat sentralistik.
KEPEMIMPINAN (Leadership)
Definisi pengembangan kepemimpinan
(leadership development) adalah perluasan kapasitas sesorang untuk menjadi
efektif dalam peran dan proses kepemimpinan. Peran dan proses kepemimpinan
merupakan peran dan proses yang memungkinkan kelompok orang dapat bekerja
bersama dengan cara yang produktif dan bermanfaat. Ada tiga hal penting dalam definisi
pengembangan kepemimpinan ini, yaitu:
1.
Pengembangan kepemimpinan
diarahkan pada pengembangan kapasitas inividu, atau tujuan utamanya adalah
kapasitas individu
2.
Apa yang membuat seseorang
efektif dalam peran dan proses kepimimpinan. Setiap orang dalam kehidupaannya
harus mengambil peran dan berpartisipasi dalam proses kepemimpinan agar dapat
melaksanakan tanggung jawabnya dalam masyarakat sekitarnya, oragnisasi dimana
mereka bekerja, kelompok professional dimana mereka diakui keberadaannya,
tetangga dimana mereka bermasyarakat, dan seterusnya.
3.
Individu dapat memperluas
kapasitas kepemimpinannya. Kuncinya adalah bahwa setiap orang bisa belajar,
tumbuh dan berubah (Cynthia D. McCauley, Russ . Moxley, Ellen Van Velsor, 1998:4)
Untuk
lebih jelasnya, maka perlu kiranya mencermati dialog antara the manager and the
sage dalam buku “Handbook of Leadership Development”, berikut:
“Is experience
the best teacher?” the bright young asked the sage. “Can I develop as a leader
from experience?”. “Some people have said that experience is the best teacher,”
replied the sage. “But some experiences don’t teach”. “So experience is not the
best teacher?”. “Not exaltly that, “ said the sage. “It is just that not every
experience offers important leadership lessons”. “So where I do learn ? What
experiences will be help to me ?”. “It is the experiences that challenge you
that are development,” the sage responded, “the experiences that stretch you,
that force you to develop new abilities if you are going to survive and
succeed” (1998:1).
Dialog di atas menunjukkan bahwa
pengalaman merupakan faktor yang penting dalam pengembangan kepemimpinan,
walaupun tidak semua pengalaman dapat menjadi guru yang baik. Berdasar
penelitian kunci utama pengembangan kepemimpinan adalah penilaian, tantangan,
dan dukungan. Faktor keturunan ternyata hanya memberikan sumbangan
yang kecil bagi kepemimpinan seseorang, sebagian besar karena faktor pengalaman
sesudah dewasa.
Banyak yang
berpendapat bahwa sebuah organisasi akan efektif, apabila dikelola dengan manajemen
yang baik. Pendapat ini tidak salah
seluruhnya, akan tetapi sebenarnya faktor kepemimpinan-lah yang mampu
menggerakkan organisasi menjadi efektif, sementara para manajemen akan
menjalankan tugasnya agar lebih efisien. Selama beberapa dekade, banyak orang
yang menekankan manajemen karena lebih mudah diajarkan dibanding dengan
kepemimpinan. Dengan menekankan pada aspek manajemen, banyak persoalan yang tidak
terlacak dan akan menimbulkan arogansi. Hal tersebut menyebabkan transformasi organisasi
menjadi semakin sulit.
Manajemen adalah seperangkat proses yang
dapat menjaga sistem yang kompleks, terdiri dari orang dan teknologi dan
berjalan secara perlahan. Aspek-aspek terpenting dalam manajemen meliputi
perencanaan, penganggaran, organizing, staffing, pengawasan, dan pemecahan
masalah. Kepemimpinan adalah seperangkat proses yang menciptakan organisasi mampu
mengadaptasi pada lingkungan yang berubah secara signifikan. Kepemimpinan
mendefinisikan seperti apakah masa depan itu, membimbing orang sesuai dengan
visi tersebut, dan memberi inspirasi kepada mereka untuk membuat hal itu
terjadi meskipun banyak hambatan (John P. Kotter, 1996). Untuk lebih jelasnya akan ditunjukkan dalam bagan tentang manajemen versus
kepemimpinan sebagai berikut:
|
|
Sumber:
“Leading Change” oleh John P. Kotter, 1996:26.
PENGEMBANGAN KEPEMIMPINAN DALAM
MANAJEMEN BERBASIS SEKOLAH (MBS)
Dengan diundangkannya
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen
serta Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang SISDIKNAS,
maka seluruh institusi yang berkaitan dengan UU tersebut otomatis harus
melaksanakan sesuai dengan ketentuan yang termaktub di dalamnya. Sesuai dengan
amanat UU tersebut, maka paradigma pendidikan berubah dari yang bersifat
sentralistik menuju ke arah desentralistik.
Perubahan paradigma ini mempunyai
dampak yang luas di bidang pendidikan dan persekolahan di Indonesia.Seluruh
institusi pendidikan siap atau tidak harus mulai merubah dan berubah sesuai
dengan ketentuan undang-undang. Berlandaskan ketentuan UU No. 20 Tahun 2003
diluncurkan kebijakan tentang persekolahan, yakni Manajemen Berbasis Sekolah
(MBS).
Sebelum desentralisasi, beberapa sekolah
di Indonesia sudah ada yang melaksanakan proses Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) secara mandiri dan mereka mampu
mengatasi banyak masalah-masalah yang berkaitan dengan pengembangan sekolah
secara internal.. Sekarang ini beberapa propinsi di Indonesia mulai mencoba menerapkan MBS karena dukungan
yang diberikan dari Pemerintah Daerah dan Dinas Pendidikan.. Pelaksanaan
MBS sekarang terbukti dapat mengubah kebudayaan
dan sistem, sehingga sekolah berkembang efektif dan "sustainable".
Terjadi transformasi yang sangat luar biasa bagi perkembangan sekolah
Seluruh
komponen persekolahan yakni kepala sekolah, para guru, komite sekolah dan
masyarakat harus berbenah diri. terlibat dan berperan dalam rangka meningkatkan
kualitas mutu sekolah. .
Sesuai dengan etos MBS peran setiap pihak sangat diperlukan dalam setiap
pengambilan keputusan di sekolah, melalui proses terbuka, diskusi dan saling tukar
pikiran dalam rangka mendukung guru di lapangan dan proses belajar-mengajar
secara maksimal. Di dalam MBS, tidak
ada peserta (stakeholder) yang dianggap superior. Semua stakeholder,
Dewan Pendidikan, guru baru, atau orang tua yang petani, masing-masing membawa input (pengalaman) dan kebutuhan
mereka ke meja diskusi untuk mencari jalan terbaik bagi keperluan mereka
sendiri.
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa
kebijakan MBS adalah kebijakan yang mendorong kemandirian dan memberdayakan
potensi sekolah-sekolah di Indonesia. Keterlibatan maksimal dari berbagai
pihak, antara lain Kepala Sekolah, guru, orang tua, Dewan Pendidikan, dan Dinas
Pendidikan di daerah benar-benar diharapkan bagi suksesnya MBS dalam
meningkatkan kualitas pendidikan.
Namun pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana
efektivitas institusi sekolah dalam
menerapkan kebijakan MBS dalam rangka meningkatkan kualitas pendidikan.
Berdasar teori di atas, dikatakan bahwa efektivitas organisasi tidak hanya tergantung
dari kemampuan manajerial, melainkan faktor kepemimpinan (leadership). Kemudian,
siapakah yang paling berkepentingan dan siapakah yang harus menjadi pemimpin
(leader) agar kebijakan MBS mencapai tujuannya?
Secara teoritis, semua pihak memang harus
terlibat aktif yakni kepala sekolah, para guru, komite sekolah dan masyarakat
yang peduli. Akan tetapi pada prakteknya, peran Kepala Sekolah dan Komite
Sekolah sangat menentukan; kepemimpinan Kepala Sekolah dan Ketua Komite Sekolah
paling menentukan kebijakan sekolah seperti tanggung jawab pengambilan
keputusan tertentu mengenai anggaran, kepegawaian, dan kurikulum.
Dengan melihat tanggung jawab besar tersebut,
maka pengembangan kepemimpinan dari Kepala Sekolah dan Pemilihan Ketua Komite
Sekolah perlu mendapat perhatian yang serius. Kepala Sekolah dan Ketua Komite
Sekolah perlu diperhadapkan pada serangkaian
pengalaman belajar seperti yang mampu pengembangkan kepemimpinannya.
Dalam buku “Handbook Leadership Development” (1998) diungkapkan bahwa hanya
elemen pengalaman yang mengandung penilaian, tantangan, dukungan merupakan
pengalaman yang akan mengembangkan kepemimpinan seseorang.
Namun pada prakteknya, Kepala Sekolah sebenarnya merupakan aktor
yang paling diharapkan berperan sebagai pemimpin dalam MBS untuk mewujudkan
visi menjadi misi yang feasible bagi
peningkatan pelayanan dan kualitas sekolah. Pihak-pihak lain seperti, komite
sekolah, para guru, orangtua, dewan pendidikan dan dinas pendidikan diharapkan
menyumbang pada pengembangan kepemimpinan Kepala Sekolah dalam hal, penilaian,
tantangan, dan dukungan.
PENUTUP
Manajemen
Berbasis Sekolah (School-Based Management) merupakan kebijakan bidang
persekolahan di Indonesia. Kebijakan ini diambil sebagai konsekuensi berlakunya
undang-undang tentang otonomi daerah. Sejalan dengan itu terjadi perubahan di
bidang pendidikan dari sentralisasi menuju ke desentralisasi pendidikan. Perubahan paradigma pendidikan di Indonesia
ini, di satu sisi memberikan keleluasaan pada daerah tingkat II maupun sekolah
untuk mengatur dirinya sendiri, di lain sisi pemerintah daerah maupun sekolah
masih tertanam mind set sentralistik seperti yang selama ini berlangsung.
Kegamangan menjalankan kebijakan ini menuntut
kepemimpinan yang mampu mengarahkan serta mewujudkan visi menjadi misi bersama
yang feasible. Kepala Sekolah diharapkan mampu berperan sebagai aktor yang
memimpin demi tercapainya tujuan yang diharapkan. Namun, keberhasilan dari
Kebijakan Manajemen Berbasis Sekolah ini dapat tercapai dengan baik apabila
didukung partisipasi stake holder, yakni pemerintah daerah tingkat II melalui
Dinas Pendidikan, Kepala Sekolah, Komite Sekolah, para guru, dan masyarakat
yang terpanggil untuk bersama-sama meningkatkan kualitas mutu pendidikan di
sekolah setempat.SEMOGA !
DAFTAR
PUSTAKA
Agus Dharma. 2003. Manajemen Berbasis Sekolah. hhtp://www.ed. Manajemen Berbasis
Sekolah.html
American Association of School
Administrators, National Association of Elementary School Principals, and
National Association of Secondary School Principals. 1988. School-Based Management: A Strategy for
Better Learning. Arlington, Virginia.
Cynthia D. McCauley, Russ S. Moxley, Ellen
Van Velsor. 1998. The Centre For
Creative Leadership: Handbook of Leadership Development. San Francisco:
Jossey-Bass Publisher
Kotter, John. 1996. Leading Change. Boston, Massachusetts: Harvard Business School
Press.
No comments:
Post a Comment