Saturday, 26 April 2014

CERPEN HITAM BIRU PESANTREN



HITAM BIRU PESANTREN

Puji, sebuah nama yang tak asing diterima telinga. Dengan nama lengkap Puji Lestari, seorang gadis jelita berumur 17 tahun, yang sudah 5 tahun lamanya menetap pada sebuah bangunan tua di kaki gunung sumeru, desa ketep, kecamatan ngaglik, kabupaten Mojono. dengan ditemani beberapa orang sebaya, sejawat, seperjuangan ia menghabiskan waktunya bersama mereka susah dan senang. Kurang lebih 100 gadis sebaya yang menetap bersamanya. Hanya dengan berteman bintang, bernaung pada sinar rembulan, dan berselimutkan angin malam ia bersama temannya menghadapai malam, tak terkecuali malam minggu yang biasa digunakan kebanyakan gadis untuk bersenang-senang dengan anu mereka.
Bangunan tua yang dihuni itu terdiri dari 10 ruang tidur berukuran 7x8 meter persegi, 1 dapur lengkap dengan perlengkapannya, 10 ruang MCK, dan 1 musholla. Dengan sangat kokoh bangunan itu berdiri tegak di atas tanah seluas 1000 m2 sejak tahun 1912 dan dikenal dengan sebutan Pondok Pesantren Al Ulum Sumeru.
Hari itu sabtu, 12 Juli 2012 pekerjaan puji masih seperti dulu: masak, tidur, ngobrol, dan intinya ngaji, tak lupa ia menghabiskan waktu untuk bersenang-senang, gembira dengan teman-temannya meski ia dilarang untuk keluar dari area pesantren al ulum. Meski ia dilarang namun rasa senang akan keindahan ilmu tak dapat mengalahkan hasratnya untuk keluar area pesantren.
Seperti biasanya setiap tahun, pesantren al ulum mengadakan tes/imtihan/ujian kenaikan tingkat bagi santri yang menetap di pesantren. Tes dilaksanakan 2 kali dalam 1 tahun, yaitu pada bulan rabiul awal dan sya’ban. Kebetulan mulai hari jum’at, tanggal 17 agustus 2012 mendatang bertepatan dengan 1 sya’ban 1433 dan menjadi agenda besar puji untuk lebih sering belajar daripada ngobrol-ngobrol menghabiskan waktu sia-sia dengan teman-temannya. Dan sebagai persiapan untuk menghadapi ujian itu, kini mulai 01 agustus 2012 puji lebih sering menyendiri di kamar dengan ditemani 1 buah nadzoman Alfiyah Ibnu Malik, 1 paket Hadits Bukhori yang berisi 4 jilid, dan beberapa kitab penunjang pelajaran yang akan diujikan kelak.
KH. Muhsin adalah sosok yang pantas dijunjung tinggi di sumeru dan sekitarnya. Sosok perangai yang santun, sopan, penuh hikmah dalam memutuskan masalah, dan cerdas dalam memecahkan masalah, dan akrab dengan panggilan Gus Muh. Sudah 26 tahun Gus Muh mengasuh pondok pesantren al ulum, setelah beliau menikah dengan Nyai Duriyah dari Cirebon. Tetap exist dalam berdakwah dan senantiasa menyebarkan ajaran Islam di sumeru dan sekitarnya meski Gus Muh dikaruniai 4 putra dan 3 putri. Habibullah sebagai putra pertama berumur 25 tahun, nasrun putra kedua 24 tahun dan sedang menempuh pendidikan di kairo mesir, ifa nur laili putri ketiga 23 tahun dan masih duduk di bangku Ma’had Ali S1 Sumeru jurusan tahfid Alquran, Mansur putra keempat berumur 21 tahun dan sedang menempuh studi di pondok pesantren Jombang, gozali putra kelima 18 tahun masih duduk di bangku SMA kelas 3 sekaligus menjabat Ketua IPNU Komisariat SMA Ma’arif Sumeru dan Wakil Ketua IPNU Cabang Ngaglik, fada putri keenam berumur 17 tahun dan masih duduk di bangku SMA kelas XI, dan qorry putri terakhir berumur 16 tahun masih duduk di bangku SMA kelas X sekaligus belajar di pesantren salaf Al Irfan Mojotengah, dan menjabat sebagai ketua IPPNU Komisariat Pesantren Al Irfan.
“tak terasa sekarang sudah tanggal 15 agustus!” ujar dewi, teman puji sekamar yang kebetulan menjadi teman setingkat dengannya. Dengan gaya tenang dan tanpa rasa bersalah puji menjawab “memang apa salahnya kalau sekarang sudah tanggal 15 agustus 2012?”. Dengan gaya mengingatkan dan mengejek puji yang mungkin saja beranggapan kalau puji lupa bahwa 2 hari lagi adalah waktu perdana menghadapi ujian “Ya Allah… Ji. 2 hari lagi itu kan tanggal 17 Agustus, dan kita sudah mulai perdana ujian kenaikan. Masa kamu lupa tanggal ma hari itu?”. “ooo…” jawab puji dengan gaya kurang bersemangat menerima informasi dari dewi. Dewi bingung  merasakan tingkah puji yang tak bersemangat menghadapi ujian kenaikan. Rasa penasaran dan rasa was-was menghantui dewi dengan gaya puji yang tidak seperti biasanya. Puji selalu ceria dan selalu cerewet dalam menanggapi suatu informasi, namun kali ini puji terlihat sepele menghadapi ujian dan menerima informasi dari dewi.
Malam 16 agustus 2012 pukul 23.00 WIB dewi mendekati puji yang sedang khusyu’ menghafal bait-bait alfiyah ibnu malik bab Na’at. “bismillahirrahmanirrahim An na’tu imma rofi’ul limudlmari… ya’udu…… ya’udu…. eeemmmm…” tiba-tida “DER…!!!” getak dewi mengagetkan puji dari belakang, “Masya Allah… wi, apa salahnya ngetuk pintu, ucap salam dan nanya pujinya ada? Haha” hentak puji dengan nada marah campur geli. “ji, kamu kenapa to kok ga kaya biasanya. Kamu kaya bukan puji yang aku kenal, bukan puji yang sok cerewet, bukan puji yang sok tahu, bukan puji yang super semangat, bukan puji yang bikin hidup kamar ini dengan gurauan yang sok kemana-mana, bukan puji yang sok bikin ulah, bukan puji yang selalu bla bla bla?” to the point dewi bertanya pada puji yang belakangan berlagak aneh dan tidak seperti biasanya. Jawab puji “ga ada apa-apa kok, kapan-kapan aja aku kasih tau kamu masalah yang aku hadapi ato mungkin insya Allah sehabis ujian, setelah masa aku sibuk dengan pelajaran telah usai aku kasih tau deh masalah aku!”.
Hari demi hari berlalu, kini sabtu 23 agustus 2012 malam hening dengan desus angin sepoi berhiaskan mendung berselimut embun dingin menyambut puji yang sedang menyepi di kamarnya. Kala itu puji berteman dengan butiran-butiran air yang keluar dari bola mata dan masih menghadap sebuah nadzom waroqot fi ushul al fiqhi yang masih terbuka di halaman 23 bab ushul as sholah. ujian kenaikan telah dilaksanakan tanpa halangan, mungkin puji mengeluarkan air mata karena rasa bimbang, susah, senang, dan bingung menjadi satu. Susah dan bimbangnya karena 3 hari mendatang, senin 26 agustus 2012 adalah pengumuman hasil ujian dan rasa senangnya timbul karena 2 hari kemudian, 27 agustus 2012 awal mulai libur panjang pesantren akhir tahun dan menjadi kesempatan bagi puji untuk berkunjung dan membantu pekerjaan orang tua di rumahnya yang terletak di dusun sitikan ropoh kecamatan kepil kabupaten wonosobo.
Dengan mengendap-endap layaknya tentara yang sedang berlatih di sebuah bukit dewi dan nina mendekati puji yang sedang terisak-isak menundukkan kepala berlambarkan sebuah paket tisu dan beberapa potong tisu yang sudah digunakan. Tanpa bertanya kepada puji dewi menepuk pundak puji “ji…mang sebenarnya kamu kenapa to? kangen orang tua di rumah? Atau khawatir nilai ga bagus? Ato takut ga lulus ujian tahun ini?”. Puji masih belum menjawab, hanya balasan isak tangisan yang diterima dewi dan nina. Nina yang tidak tahu menahu dari mana, mulai kapan, dan apa sebabnya puji menangis, tiba-tiba air mata nina ikut-ikutan keluar malahan lebih parah dan lebih keras bersuara dibanding puji yang sedang dilanda masalah. “eh…nina, ngapain kamu ikut-ikutan nangis?” ejek dewi yang kurang tau kalau nina orangnya cengeng. “emang kenapa kalo aku nangis? Ada masalah? Ihik, ihik” jawab nina membela diri. Dengan berkata lembut sambil mengusap jilbab merah puji yang agak kusam didera air mata, dewi melanjutkan perbincangan “udah ji, jangan nangis lagi. Kasih tau aja masalah kamu sama kita-kita siapa tau aja diantara kita ada yang bisa bantu nyelesaiin masalah, atau… paling ga’ ya kita udah tahu masalah kamu dan kapan-kapan kita punya solusi, kita sharing ke kamu!”. Puji masih tetap terdiam menanggapi pertanyaan dewi. Dewi tambah merasa bimbang dan bingung dengan puji yang super berubah.
Satu setengah jam puji merintih dan meneteskan air mata. Tepat Pukul 24.45 situasi sudah agak tenang dan fikiran puji mulai hening kembali, dengan perlahan puji mencurahkan isi hatinya di hadapan kedua teman sekamarnya, “gini, sudah 5 tahun aku berada di sini, kurang 1 tahun lagi aku ngejalanin Ujian Akhir sebagai tanda kelulusan, ketika ingat hal itu spontan aku langsung ingin menangis. Selain aku khawatir tentang hasil ujian dan tingkat kelulusan, sebelum aku masuk ke pesantren ini, ayah ibuku sudah memberikan pesan padaku ‘ji, ngaji yang bener ya! Jangan nakal, pokoknya kamu harus jadi orang yang membanggakan buat ayah ibu dan keluargamu, jangan sampai usaha ayah dan ibu dalam memperjuangkan kamu di pesantren al ulum sia-sia! Dan hal yang perlu diingat lagi kalau masalah jodoh jangan dipikirkan, ayah dan ibu sudah punya rencana tentang itu. Pokoknya setelah kamu lulusan dari pesantren al ulum kamu tidak usah khawatir tentang hal itu’. Terus aku Tanya sama ayah pemuda itu siapa yah? Ayah hanya tersenyum seperti menyembunyikan tikus dalam selimut, spontan ketika aku ingat hal itu, air mataku tak tahan untuk keluar…ihik, ihik, ihik…!!!”. Dewi yang mendengan cerita dari puji dengan lega tersenyum “hem hem gitu to ceritanya, ngomong dong dari kemaren-kemaren, jadi kita gak khawatir sama keadaan kamu yang berubah total!”. “terus gimana solusinya wi? Ihik, ihik..” Tanya puji yang menangis lagi karena teringat perkataan ayahnya. “gini aja, kamu tenangin dulu perasaan kamu, kalau keadaan sudah kembali seperti semula, kamu ceria, kamu gembira, kamu yang sok bikin ulah, dan kamu yang suka ini itu ini itu, kita bahas bersama. Mungkin aku akan ajak temenku dari kamar 7 yang kebetulan aku pernah dengar curhatan dari dia masalah yang sama dengan permasalahan kamu. Namanya alfi temen sedusun ma aku, aku kenal baek ma dia meski kita jarang bertemu di area pesantren, tapi aku yakin dia pasti punya solusi tentang masalah kamu, kamu tenang saja, jangan mempersulit dan memperbanyak atau memperbesar masalah! OK?” dewi menasehati puji dengan memberikan support besar dan memeluk badan puji yang kurus tinggi 150 cm dengan berat badan 45 kg itu. Sambil tersenyum menatap puji, dewi kembali memberikan support “senyum to ji…!!hem hem”. Puji mulai merekahkan bibirnya kembali dengan senyuman yang lugu dan lega sambil berkata “terima kasih wi udah mau bantu aku nyariin solusi permasalahan yang aku hadapi”, “ga apa-apa yang penting inget, kita masih di pesantren dan inget tugas kita di pesantren. Belajar, belajar, dan belajar guna hidup mendatang” peringatan puji dimunculkan dalam forum keheningan itu.
Tepat pukul 3 dinihari bel pesantren telah dibunyikan. Tak terasa Puji dan dewi  telah begadang semalaman dengan curhatan-curhatan puji yang begitu perih, nina tertidur pulas ketika puji mulai menceritakan masalah yang dihadapinya. Di waktu ini seluruh pengurus bergilir masuk kamar untuk membangunkan santri yang masih tidur untuk melaksanakan shalat tahajjud dan mujahadah bersama, seluruh santri dibangunkan baik santri itu sedang suci ataupun berhalangan. Bagi santri yang sedang suci/tidak berhalangan diwajibkan melaksanakan shalat tahajjud dan witir, sedangkan santri yang sedang terkena halangan diwajibkan untuk mengikuti mujahadah bersama di aula pesantren al ulum. Dalam situasi mujahadah yang penuh khidmat itu, puji dan dewi tak tahan menahan kantuk yang menyerangnya, akhirnya dengan ikhlas dan rela kedua santri itu tertidur pulas dengan posisi duduk sambil memegang biji tasbih di tangan mereka. Memang sudah menjadi kebiasaan keusilan santri ketika ada santri yang tertidur ketika mujahadah dilaksanakan, santri itu tidak dibangunkan tapi ditunggu sampai ibu nyai durriyah berkeliling mengitari bangunan pesantren untuk mencari santri yang masih tidur ketika waktu shubuh sudah tiba. Dan alangkah terkejutnya puji dan dewi ketika mereka membuka mata dan terdapat di depannya 1 paket snack yang sudah tersedia lengkap dengan peralatan makannya, ada 2 gelas kopi, 2 gorengan dan 2 bungkus kerupuk, lengkap dengan 2 piring nasi. “masya Allah wi…kita dimana? Kenapa ada makanan kaya gini?”, dewi dengan mata sayup menjawab “ga tau lah ji, kita lanjutin tidur saja! Makanan itu ga usah dihiraukan!”. Ternyata pukul 05.30 yang lalu Ny. Duriyah telah mengelilingi pesantren dan membawa senampan makanan ringan untuk kedua makhluk istimewa yang tertidur ketika mujahadah berlangsung itu. Namun rasa lapar telah menghanyutkan naluri puji untuk melahap makanan yang sudah tersedia, dan alangkah terkejutnya puji ketika ia sedang makan mendapati seluruh santri menonton dirinya ibarat televise yang berada di tengah lapangan “Ya Allah, ada apa ini? Kenapa semua santri melihat aku kaya gitu?”. Dan lebih terkejut lagi ketika terdengan suara penggilan menggema dari mushalla “kepada santri yang bernama puji lestari dan dewi fatmawati dimohon untuk menghadap pengasuh pondok pesantren pukul 07.00 WIB”. Dengan bergumam dalam hati karena bingung, puji berkata “kenapa? Ada acara apa jam tujuh? Memang sekarang jam berapa?”. Dengan gaya yang biasa puji lakukan, sok PD, sok Yes, sok Eyip, ia berlagak mencari-cari jam linguk kanan linguk kiri akhirnya ia menemukan yang ia cari, rasa kaget bercampur malu terlihat pada dirinya dibuktikan dengan memerahnya wajah puji, dan dengan muka kusam agak kebiru-biruan bercampur mata sayup karena belum tersentuh air, ia berteriak keras dengan reaksi kaget “Astaghfirullah…. Sudah jam 06.30, jadi….jadi…jadi…?!” suara puji terputus, perkataan itu dilanjutkan oleh salah satu santri yang menonton dirinya “ji, shalat subuh dulu udah jam setengan tujuh!”. Dengan memendam rasa malu puji membangunkan dewi yang masih tertidur pulas di aula, dan dengan segera mereka mengambil air wudlu dan berjama’ah shalat dhuha spion (istilah pesantren untuk shalat subuh yang diqodlo pada waktu shalat sunat dhuha). Setelah melaksanakan shalat, tiba saatnya puji dan dewi menghadap pengasuh. Dengan sopan dan penuh ta’dzim dan hormat puji mengucap salam di depan kediaman pengasuh.
Setelah menunggu sekitar 30 menit, Gus Muh didampingi Ny. Duriyah menemui puji dan dewi. Watak sabar dan berwibawa tampak pada diri Gus Muh sembari bertanya “apakah kamu yang bernama puji lestari binti kholidin wonosobo, dan kamu yang bernama dewi fatmawati binti sudarno temanggung?”, mereka mengiyakan pertanyaan perdana kyai. Lantas yang mengagetkan mereka berdua adalah ketika Gus Muh tahu kalau mereka berdua tadi malam begadang sampai pagi hingga mereka tertidur ketika mujahadah dilaksanakan sampai shalat subuh spion yang mereka lakukan. Kebingungan mereka adalah kenapa Gus Muh tahu tentang hal itu, padahal beliau tidak berada di lokasi tempat mereka mencurahkan isi hati. Memang begitulah watak kyai pengasuh pesantren, mereka dapat mengetahui isi dan suatu kejadian meski tidak berada di tempat yang bersangkutan. Dan kekagetan mereka berlebih dan menjulak tinggi ketika Gus Muh memberikan dawuh yang dirasa memberatkan hati kedua gadis tersebut “kalian berdua telah melakukan hal yang sangat bagus, begadang di malam hari. Namun kalian telah terlena dengan begadang kalian sehingga kurang memanfaatkan waktu yang begitu baik untuk kalian manfaatkan, maka sebagai imbalan karena kelenaan kalian, maka jam 09.00 nanti aku minta tolong supaya WC Pondok itu kalian bersihkan seluruhnya!”. Begitulah Gus Muh dengan bijaknya tidak menyebutkan suatu kesalahan dengan kesalahan namun hanya menyebutnya dengan kekurangan dan menyebut hukuman dengan imbalan amaliyah. Hal itu dilaksanakan oleh Gus Muh karena sebagai uswatun hasanah haruslah memiliki kebijakan yang lebih dan harus menjaga perkataan.
Waktu menunjukkan pukul 09.00, tiba waktunya bagi puji dan dewi untuk melaksanakan tugas dari pengasuh pesantren yakni membersihkan MCK yang berjumlah 10 ruang itu. Dengan ikhlas lahir batin mereka berdua melaksanakan tugas yang dibebankan kepada mereka hingga selesai tugas pukul 11.30 WIB saatnya untuk istirahat sambil menunggu adzan dhuhur dikumandangan di masjid roudloh dusun sebelah.
Hari demi hari terlalui deperti biasanya, tak terasa 1 tahun telah berlalu saatnya puji, dewi dan teman seangkatan setingkat dengan mereka melaksanakan ujian akhir kelulusan. Rasa was-was dan tidak tenang melanda seluruh santri 1 angkatan tersebut. Ada 20 santri yang masih aktif dan menjadi santri setingkat puji. Seperti tahun lalu, puji yang selalu gembira kembali menjadi perenung di kamar dan kini saatnya dewi memanggil temannya untuk mencurahkan pengalaman kepada puji dan dewi.
Tepat pukul 22.00 WIB tanggal 23 oktober 2013 saat semua santri sibuk di rumah karena tanggal itu adalah waktu liburan panjang akhir tahun bulan sya’ban, dewi mengajak alfi menemui puji di kamarnya. “Assalamu’alaikum…” bisik dewi di depan pintu kamar puji sambil mengendap-endap mendekati puji yang tersungkur di atas sajadah merah dengan muka berbasah air mata. Karena tahu puji sedang syhok pada masalah yang dihadapinya, dewi langsung masuk saja dan menghampiri puji. “Ji, nih alfi temen aku yang tahun lalu aku ceritain udah pernah memiliki masalah sama persis kaya kamu. Tapi maaf aku agak telat ngajak dia nemuin kamu sampai kamu harus nunggu 1 tahun lamanya” kata puji membuka pertemuan. Dengan masih dihiasi isak tangis, puji menyahut pembukaan dewi “Oya, gak apa-apa yang penting dia udah mau bantui aku.” Dilanjut “Kamu bener udah pernah punya kasus kaya aku yang kurang aku tau jalan keluarnya gimana?!” Tanya puji pada alfi yang konon sudah pernah mengalami kejadian sama seperti kejadian yang dialami puji. Lantas jawaban agak panjang segera dilontarkan alfi “Ya, bener aku pernah punya kasus kaya kamu. Dulu ketika aku masuk pesantren, aku hanya diberi kesempatan nyantri disini selama 3 tahun, namun setelah kian lama aku berfikir cari solusi akhirnya aku dapat menetap disini selama 6 tahun.”. puji masih kebingungan karena jawaban itu belum mengandung makna “tapi gimana caranya?” lanjut puji. “solusi terbaik dari permasalahan kamu Cuma 1, sowan pengasuh saja. Mau ga mau kamu harus mau minta keterangan dan penjelasan dari beliau, karena dengan kebijakan yang keluar dari fatwa pengasuh kamu akan menemukan solusi dari permasalahan kamu.” Jawaban yang agak memuaskan namun kurang mengena itu diterima puji dengan jawaban “ya, besok aku sowan pengasuh saja.” Setelah ngobrol-ngobrol permasalahan mereka dan sharing pengalaman, tak terasa waktu menunjukkan pukul 02.30, lantas dewi, puji dan alfi istirahat sejenak untuk mempersiapkan tenaga guna kegiatan besok pagi.
Pagi telah tiba, waktunya puji menghadap pengasuh. Rasa tidak tenang terpancar di wajah puji yang kelihatan resah dan grogi. “Assalamu’alaikum” nada lirih itu terdengar dari depan pintu depan kediaman pengasuh. “Wa’alaikumussalam warahmatullahi wabarokatuh, siapa ya?” suara halus dan berwibawa menjawab dari dalam kediaman pengasuh. “Saya puji lestari”. Lantas Gus Muh menemui puji dan bertanya tentang maksud kedatangan puji yang sampai berani sowan kepada pengasuh sendirian. Dengan nada lirih dan cerita yang awut-awutan karena grogi dan banyak fikiran yang melanda, puji menceritakan semua masalah yang dihadapinya tentang perjodohannya oleh orang tua puji dengan seseorang yang belum ia kenal. Gus Muh tersenyum mendengar seluruh keluh kesah dari santri mungil itu, sembari menghidupkan korek api dan mengambil sebatang rokok Gudang Garam Internasional, Gus Muh menjawab dan member saran dengan bijak kepada puji “sudah enam tahun kamu disini, masalah jodoh itu masalah Allah. Kita hanya diberi kesempatan untuk mencari bukan menemukan, dan alangkah baiknya jika kamu pulang dulu, musyawarahlah pada orang tuamu tentang hal itu, atau panggil saja ayah ibumu supaya berkenan rawuh kesini. Biar aku yang bermusyawarah kepada mereka.” Tak lama setelah puji diberi dawuh oleh pengasuh, segera puji mengabarkan kepada orang tuanya untuk segera sowan kepada pengasuh. Sidang antara orang tua puji dengan pengasuh berlangsung seru. Kurang lebih 3 jam mereka bermusyawarah hingga akhirnya perjodohan yang dulu telah direncanakan digagalkan dan puji berhak untuk melanjutkan pendidikannya di pesantren al ulum. Namun dengan 1 syarat, puji diberi kesempatan 3 tahun lagi untuk menempuh pembelajaran di pesantren al ulum dan rencananya puji akan dinikahkan pada Habibullah Muhsin putra pertama Gus Muh yang sudah berumur sekitar 29 tahun setelah kembali dari studi di kairo mesir. Begitulah hitam pekat permasalahan yang dialami puji, dan kebiruannya akan dinikahkan dengan putra seorang kyai yang sangat terhormat, sabar, dan berwibawa.

No comments:

Post a Comment