HITAM
BIRU PESANTREN
Puji, sebuah
nama yang tak asing diterima telinga. Dengan nama lengkap Puji Lestari, seorang
gadis jelita berumur 17 tahun, yang sudah 5 tahun lamanya menetap pada sebuah
bangunan tua di kaki gunung sumeru, desa ketep, kecamatan ngaglik, kabupaten
Mojono. dengan ditemani beberapa orang sebaya, sejawat, seperjuangan ia
menghabiskan waktunya bersama mereka susah dan senang. Kurang lebih 100 gadis
sebaya yang menetap bersamanya. Hanya dengan berteman bintang, bernaung pada
sinar rembulan, dan berselimutkan angin malam ia bersama temannya menghadapai
malam, tak terkecuali malam minggu yang biasa digunakan kebanyakan gadis untuk
bersenang-senang dengan anu mereka.
Bangunan tua
yang dihuni itu terdiri dari 10 ruang tidur berukuran 7x8 meter persegi, 1
dapur lengkap dengan perlengkapannya, 10 ruang MCK, dan 1 musholla. Dengan
sangat kokoh bangunan itu berdiri tegak di atas tanah seluas 1000 m2 sejak
tahun 1912 dan dikenal dengan sebutan Pondok Pesantren Al Ulum Sumeru.
Hari itu sabtu,
12 Juli 2012 pekerjaan puji masih seperti dulu: masak, tidur, ngobrol, dan
intinya ngaji, tak lupa ia menghabiskan waktu untuk bersenang-senang, gembira
dengan teman-temannya meski ia dilarang untuk keluar dari area pesantren al
ulum. Meski ia dilarang namun rasa senang akan keindahan ilmu tak dapat
mengalahkan hasratnya untuk keluar area pesantren.
Seperti
biasanya setiap tahun, pesantren al ulum mengadakan tes/imtihan/ujian kenaikan
tingkat bagi santri yang menetap di pesantren. Tes dilaksanakan 2 kali dalam 1
tahun, yaitu pada bulan rabiul awal dan sya’ban. Kebetulan mulai hari jum’at, tanggal
17 agustus 2012 mendatang bertepatan dengan 1 sya’ban 1433 dan menjadi agenda
besar puji untuk lebih sering belajar daripada ngobrol-ngobrol menghabiskan
waktu sia-sia dengan teman-temannya. Dan sebagai persiapan untuk menghadapi
ujian itu, kini mulai 01 agustus 2012 puji lebih sering menyendiri di kamar
dengan ditemani 1 buah nadzoman Alfiyah Ibnu Malik, 1 paket Hadits Bukhori yang
berisi 4 jilid, dan beberapa kitab penunjang pelajaran yang akan diujikan
kelak.
KH. Muhsin
adalah sosok yang pantas dijunjung tinggi di sumeru dan sekitarnya. Sosok
perangai yang santun, sopan, penuh hikmah dalam memutuskan masalah, dan cerdas
dalam memecahkan masalah, dan akrab dengan panggilan Gus Muh. Sudah 26 tahun Gus
Muh mengasuh pondok pesantren al ulum, setelah beliau menikah dengan Nyai
Duriyah dari Cirebon. Tetap exist dalam berdakwah dan senantiasa menyebarkan
ajaran Islam di sumeru dan sekitarnya meski Gus Muh dikaruniai 4 putra dan 3
putri. Habibullah sebagai putra pertama berumur 25 tahun, nasrun putra kedua 24
tahun dan sedang menempuh pendidikan di kairo mesir, ifa nur laili putri ketiga
23 tahun dan masih duduk di bangku Ma’had Ali S1 Sumeru jurusan tahfid Alquran,
Mansur putra keempat berumur 21 tahun dan sedang menempuh studi di pondok
pesantren Jombang, gozali putra kelima 18 tahun masih duduk di bangku SMA kelas
3 sekaligus menjabat Ketua IPNU Komisariat SMA Ma’arif Sumeru dan Wakil Ketua
IPNU Cabang Ngaglik, fada putri keenam berumur 17 tahun dan masih duduk di
bangku SMA kelas XI, dan qorry putri terakhir berumur 16 tahun masih duduk di
bangku SMA kelas X sekaligus belajar di pesantren salaf Al Irfan Mojotengah,
dan menjabat sebagai ketua IPPNU Komisariat Pesantren Al Irfan.
“tak terasa
sekarang sudah tanggal 15 agustus!” ujar dewi, teman puji sekamar yang
kebetulan menjadi teman setingkat dengannya. Dengan gaya tenang dan tanpa rasa
bersalah puji menjawab “memang apa salahnya kalau sekarang sudah tanggal 15 agustus
2012?”. Dengan gaya mengingatkan dan mengejek puji yang mungkin saja
beranggapan kalau puji lupa bahwa 2 hari lagi adalah waktu perdana menghadapi
ujian “Ya Allah… Ji. 2 hari lagi itu kan tanggal 17 Agustus, dan kita sudah
mulai perdana ujian kenaikan. Masa kamu lupa tanggal ma hari itu?”. “ooo…”
jawab puji dengan gaya kurang bersemangat menerima informasi dari dewi. Dewi bingung
merasakan tingkah puji yang tak
bersemangat menghadapi ujian kenaikan. Rasa penasaran dan rasa was-was
menghantui dewi dengan gaya puji yang tidak seperti biasanya. Puji selalu ceria
dan selalu cerewet dalam menanggapi suatu informasi, namun kali ini puji
terlihat sepele menghadapi ujian dan menerima informasi dari dewi.
Malam 16
agustus 2012 pukul 23.00 WIB dewi mendekati puji yang sedang khusyu’ menghafal
bait-bait alfiyah ibnu malik bab Na’at. “bismillahirrahmanirrahim An na’tu imma
rofi’ul limudlmari… ya’udu…… ya’udu…. eeemmmm…” tiba-tida “DER…!!!” getak dewi
mengagetkan puji dari belakang, “Masya Allah… wi, apa salahnya ngetuk pintu,
ucap salam dan nanya pujinya ada? Haha” hentak puji dengan nada marah campur
geli. “ji, kamu kenapa to kok ga kaya biasanya. Kamu kaya bukan puji yang aku
kenal, bukan puji yang sok cerewet, bukan puji yang sok tahu, bukan puji yang
super semangat, bukan puji yang bikin hidup kamar ini dengan gurauan yang sok
kemana-mana, bukan puji yang sok bikin ulah, bukan puji yang selalu bla bla bla?”
to the point dewi bertanya pada puji yang belakangan berlagak aneh dan tidak
seperti biasanya. Jawab puji “ga ada apa-apa kok, kapan-kapan aja aku kasih tau
kamu masalah yang aku hadapi ato mungkin insya Allah sehabis ujian, setelah
masa aku sibuk dengan pelajaran telah usai aku kasih tau deh masalah aku!”.
Hari demi hari
berlalu, kini sabtu 23 agustus 2012 malam hening dengan desus angin sepoi
berhiaskan mendung berselimut embun dingin menyambut puji yang sedang menyepi
di kamarnya. Kala itu puji berteman dengan butiran-butiran air yang keluar dari
bola mata dan masih menghadap sebuah nadzom waroqot fi ushul al fiqhi yang
masih terbuka di halaman 23 bab ushul as sholah. ujian kenaikan telah
dilaksanakan tanpa halangan, mungkin puji mengeluarkan air mata karena rasa
bimbang, susah, senang, dan bingung menjadi satu. Susah dan bimbangnya karena 3
hari mendatang, senin 26 agustus 2012 adalah pengumuman hasil ujian dan rasa
senangnya timbul karena 2 hari kemudian, 27 agustus 2012 awal mulai libur
panjang pesantren akhir tahun dan menjadi kesempatan bagi puji untuk berkunjung
dan membantu pekerjaan orang tua di rumahnya yang terletak di dusun sitikan
ropoh kecamatan kepil kabupaten wonosobo.
Dengan
mengendap-endap layaknya tentara yang sedang berlatih di sebuah bukit dewi dan
nina mendekati puji yang sedang terisak-isak menundukkan kepala berlambarkan
sebuah paket tisu dan beberapa potong tisu yang sudah digunakan. Tanpa bertanya
kepada puji dewi menepuk pundak puji “ji…mang sebenarnya kamu kenapa to? kangen
orang tua di rumah? Atau khawatir nilai ga bagus? Ato takut ga lulus ujian
tahun ini?”. Puji masih belum menjawab, hanya balasan isak tangisan yang
diterima dewi dan nina. Nina yang tidak tahu menahu dari mana, mulai kapan, dan
apa sebabnya puji menangis, tiba-tiba air mata nina ikut-ikutan keluar malahan
lebih parah dan lebih keras bersuara dibanding puji yang sedang dilanda
masalah. “eh…nina, ngapain kamu ikut-ikutan nangis?” ejek dewi yang kurang tau
kalau nina orangnya cengeng. “emang kenapa kalo aku nangis? Ada masalah? Ihik,
ihik” jawab nina membela diri. Dengan berkata lembut sambil mengusap jilbab
merah puji yang agak kusam didera air mata, dewi melanjutkan perbincangan “udah
ji, jangan nangis lagi. Kasih tau aja masalah kamu sama kita-kita siapa tau aja
diantara kita ada yang bisa bantu nyelesaiin masalah, atau… paling ga’ ya kita
udah tahu masalah kamu dan kapan-kapan kita punya solusi, kita sharing ke kamu!”.
Puji masih tetap terdiam menanggapi pertanyaan dewi. Dewi tambah merasa bimbang
dan bingung dengan puji yang super berubah.
Satu setengah
jam puji merintih dan meneteskan air mata. Tepat Pukul 24.45 situasi sudah agak
tenang dan fikiran puji mulai hening kembali, dengan perlahan puji mencurahkan
isi hatinya di hadapan kedua teman sekamarnya, “gini, sudah 5 tahun aku berada
di sini, kurang 1 tahun lagi aku ngejalanin Ujian Akhir sebagai tanda
kelulusan, ketika ingat hal itu spontan aku langsung ingin menangis. Selain aku
khawatir tentang hasil ujian dan tingkat kelulusan, sebelum aku masuk ke
pesantren ini, ayah ibuku sudah memberikan pesan padaku ‘ji, ngaji yang bener
ya! Jangan nakal, pokoknya kamu harus jadi orang yang membanggakan buat ayah
ibu dan keluargamu, jangan sampai usaha ayah dan ibu dalam memperjuangkan kamu
di pesantren al ulum sia-sia! Dan hal yang perlu diingat lagi kalau masalah
jodoh jangan dipikirkan, ayah dan ibu sudah punya rencana tentang itu. Pokoknya
setelah kamu lulusan dari pesantren al ulum kamu tidak usah khawatir tentang
hal itu’. Terus aku Tanya sama ayah pemuda itu siapa yah? Ayah hanya tersenyum
seperti menyembunyikan tikus dalam selimut, spontan ketika aku ingat hal itu,
air mataku tak tahan untuk keluar…ihik, ihik, ihik…!!!”. Dewi yang mendengan
cerita dari puji dengan lega tersenyum “hem hem gitu to ceritanya, ngomong dong
dari kemaren-kemaren, jadi kita gak khawatir sama keadaan kamu yang berubah
total!”. “terus gimana solusinya wi? Ihik, ihik..” Tanya puji yang menangis
lagi karena teringat perkataan ayahnya. “gini aja, kamu tenangin dulu perasaan
kamu, kalau keadaan sudah kembali seperti semula, kamu ceria, kamu gembira,
kamu yang sok bikin ulah, dan kamu yang suka ini itu ini itu, kita bahas
bersama. Mungkin aku akan ajak temenku dari kamar 7 yang kebetulan aku pernah
dengar curhatan dari dia masalah yang sama dengan permasalahan kamu. Namanya
alfi temen sedusun ma aku, aku kenal baek ma dia meski kita jarang bertemu di
area pesantren, tapi aku yakin dia pasti punya solusi tentang masalah kamu,
kamu tenang saja, jangan mempersulit dan memperbanyak atau memperbesar masalah!
OK?” dewi menasehati puji dengan memberikan support besar dan memeluk badan
puji yang kurus tinggi 150 cm dengan berat badan 45 kg itu. Sambil tersenyum
menatap puji, dewi kembali memberikan support “senyum to ji…!!hem hem”. Puji
mulai merekahkan bibirnya kembali dengan senyuman yang lugu dan lega sambil
berkata “terima kasih wi udah mau bantu aku nyariin solusi permasalahan yang
aku hadapi”, “ga apa-apa yang penting inget, kita masih di pesantren dan inget
tugas kita di pesantren. Belajar, belajar, dan belajar guna hidup mendatang”
peringatan puji dimunculkan dalam forum keheningan itu.
Tepat pukul 3
dinihari bel pesantren telah dibunyikan. Tak terasa Puji dan dewi telah begadang semalaman dengan
curhatan-curhatan puji yang begitu perih, nina tertidur pulas ketika puji mulai
menceritakan masalah yang dihadapinya. Di waktu ini seluruh pengurus bergilir
masuk kamar untuk membangunkan santri yang masih tidur untuk melaksanakan
shalat tahajjud dan mujahadah bersama, seluruh santri dibangunkan baik santri
itu sedang suci ataupun berhalangan. Bagi santri yang sedang suci/tidak
berhalangan diwajibkan melaksanakan shalat tahajjud dan witir, sedangkan santri
yang sedang terkena halangan diwajibkan untuk mengikuti mujahadah bersama di
aula pesantren al ulum. Dalam situasi mujahadah yang penuh khidmat itu, puji
dan dewi tak tahan menahan kantuk yang menyerangnya, akhirnya dengan ikhlas dan
rela kedua santri itu tertidur pulas dengan posisi duduk sambil memegang biji
tasbih di tangan mereka. Memang sudah menjadi kebiasaan keusilan santri ketika
ada santri yang tertidur ketika mujahadah dilaksanakan, santri itu tidak
dibangunkan tapi ditunggu sampai ibu nyai durriyah berkeliling mengitari
bangunan pesantren untuk mencari santri yang masih tidur ketika waktu shubuh
sudah tiba. Dan alangkah terkejutnya puji dan dewi ketika mereka membuka mata
dan terdapat di depannya 1 paket snack yang sudah tersedia lengkap dengan
peralatan makannya, ada 2 gelas kopi, 2 gorengan dan 2 bungkus kerupuk, lengkap
dengan 2 piring nasi. “masya Allah wi…kita dimana? Kenapa ada makanan kaya
gini?”, dewi dengan mata sayup menjawab “ga tau lah ji, kita lanjutin tidur
saja! Makanan itu ga usah dihiraukan!”. Ternyata pukul 05.30 yang lalu Ny.
Duriyah telah mengelilingi pesantren dan membawa senampan makanan ringan untuk
kedua makhluk istimewa yang tertidur ketika mujahadah berlangsung itu. Namun
rasa lapar telah menghanyutkan naluri puji untuk melahap makanan yang sudah
tersedia, dan alangkah terkejutnya puji ketika ia sedang makan mendapati
seluruh santri menonton dirinya ibarat televise yang berada di tengah lapangan
“Ya Allah, ada apa ini? Kenapa semua santri melihat aku kaya gitu?”. Dan lebih
terkejut lagi ketika terdengan suara penggilan menggema dari mushalla “kepada
santri yang bernama puji lestari dan dewi fatmawati dimohon untuk menghadap
pengasuh pondok pesantren pukul 07.00 WIB”. Dengan bergumam dalam hati karena
bingung, puji berkata “kenapa? Ada acara apa jam tujuh? Memang sekarang jam
berapa?”. Dengan gaya yang biasa puji lakukan, sok PD, sok Yes, sok Eyip, ia
berlagak mencari-cari jam linguk kanan linguk kiri akhirnya ia menemukan yang
ia cari, rasa kaget bercampur malu terlihat pada dirinya dibuktikan dengan
memerahnya wajah puji, dan dengan muka kusam agak kebiru-biruan bercampur mata
sayup karena belum tersentuh air, ia berteriak keras dengan reaksi kaget
“Astaghfirullah…. Sudah jam 06.30, jadi….jadi…jadi…?!” suara puji terputus,
perkataan itu dilanjutkan oleh salah satu santri yang menonton dirinya “ji,
shalat subuh dulu udah jam setengan tujuh!”. Dengan memendam rasa malu puji
membangunkan dewi yang masih tertidur pulas di aula, dan dengan segera mereka
mengambil air wudlu dan berjama’ah shalat dhuha spion (istilah pesantren untuk
shalat subuh yang diqodlo pada waktu shalat sunat dhuha). Setelah melaksanakan
shalat, tiba saatnya puji dan dewi menghadap pengasuh. Dengan sopan dan penuh
ta’dzim dan hormat puji mengucap salam di depan kediaman pengasuh.
Setelah menunggu
sekitar 30 menit, Gus Muh didampingi Ny. Duriyah menemui puji dan dewi. Watak
sabar dan berwibawa tampak pada diri Gus Muh sembari bertanya “apakah kamu yang
bernama puji lestari binti kholidin wonosobo, dan kamu yang bernama dewi
fatmawati binti sudarno temanggung?”, mereka mengiyakan pertanyaan perdana
kyai. Lantas yang mengagetkan mereka berdua adalah ketika Gus Muh tahu kalau
mereka berdua tadi malam begadang sampai pagi hingga mereka tertidur ketika
mujahadah dilaksanakan sampai shalat subuh spion yang mereka lakukan.
Kebingungan mereka adalah kenapa Gus Muh tahu tentang hal itu, padahal beliau
tidak berada di lokasi tempat mereka mencurahkan isi hati. Memang begitulah
watak kyai pengasuh pesantren, mereka dapat mengetahui isi dan suatu kejadian
meski tidak berada di tempat yang bersangkutan. Dan kekagetan mereka berlebih
dan menjulak tinggi ketika Gus Muh memberikan dawuh yang dirasa memberatkan
hati kedua gadis tersebut “kalian berdua telah melakukan hal yang sangat bagus,
begadang di malam hari. Namun kalian telah terlena dengan begadang kalian
sehingga kurang memanfaatkan waktu yang begitu baik untuk kalian manfaatkan,
maka sebagai imbalan karena kelenaan kalian, maka jam 09.00 nanti aku minta
tolong supaya WC Pondok itu kalian bersihkan seluruhnya!”. Begitulah Gus Muh dengan
bijaknya tidak menyebutkan suatu kesalahan dengan kesalahan namun hanya
menyebutnya dengan kekurangan dan menyebut hukuman dengan imbalan amaliyah. Hal
itu dilaksanakan oleh Gus Muh karena sebagai uswatun hasanah haruslah memiliki
kebijakan yang lebih dan harus menjaga perkataan.
Waktu
menunjukkan pukul 09.00, tiba waktunya bagi puji dan dewi untuk melaksanakan
tugas dari pengasuh pesantren yakni membersihkan MCK yang berjumlah 10 ruang
itu. Dengan ikhlas lahir batin mereka berdua melaksanakan tugas yang dibebankan
kepada mereka hingga selesai tugas pukul 11.30 WIB saatnya untuk istirahat
sambil menunggu adzan dhuhur dikumandangan di masjid roudloh dusun sebelah.
Hari demi hari
terlalui deperti biasanya, tak terasa 1 tahun telah berlalu saatnya puji, dewi
dan teman seangkatan setingkat dengan mereka melaksanakan ujian akhir
kelulusan. Rasa was-was dan tidak tenang melanda seluruh santri 1 angkatan
tersebut. Ada 20 santri yang masih aktif dan menjadi santri setingkat puji.
Seperti tahun lalu, puji yang selalu gembira kembali menjadi perenung di kamar
dan kini saatnya dewi memanggil temannya untuk mencurahkan pengalaman kepada
puji dan dewi.
Tepat pukul
22.00 WIB tanggal 23 oktober 2013 saat semua santri sibuk di rumah karena
tanggal itu adalah waktu liburan panjang akhir tahun bulan sya’ban, dewi
mengajak alfi menemui puji di kamarnya. “Assalamu’alaikum…” bisik dewi di depan
pintu kamar puji sambil mengendap-endap mendekati puji yang tersungkur di atas
sajadah merah dengan muka berbasah air mata. Karena tahu puji sedang syhok pada
masalah yang dihadapinya, dewi langsung masuk saja dan menghampiri puji. “Ji,
nih alfi temen aku yang tahun lalu aku ceritain udah pernah memiliki masalah
sama persis kaya kamu. Tapi maaf aku agak telat ngajak dia nemuin kamu sampai
kamu harus nunggu 1 tahun lamanya” kata puji membuka pertemuan. Dengan masih
dihiasi isak tangis, puji menyahut pembukaan dewi “Oya, gak apa-apa yang
penting dia udah mau bantui aku.” Dilanjut “Kamu bener udah pernah punya kasus
kaya aku yang kurang aku tau jalan keluarnya gimana?!” Tanya puji pada alfi
yang konon sudah pernah mengalami kejadian sama seperti kejadian yang dialami
puji. Lantas jawaban agak panjang segera dilontarkan alfi “Ya, bener aku pernah
punya kasus kaya kamu. Dulu ketika aku masuk pesantren, aku hanya diberi kesempatan
nyantri disini selama 3 tahun, namun setelah kian lama aku berfikir cari solusi
akhirnya aku dapat menetap disini selama 6 tahun.”. puji masih kebingungan
karena jawaban itu belum mengandung makna “tapi gimana caranya?” lanjut puji.
“solusi terbaik dari permasalahan kamu Cuma 1, sowan pengasuh saja. Mau ga mau
kamu harus mau minta keterangan dan penjelasan dari beliau, karena dengan
kebijakan yang keluar dari fatwa pengasuh kamu akan menemukan solusi dari
permasalahan kamu.” Jawaban yang agak memuaskan namun kurang mengena itu
diterima puji dengan jawaban “ya, besok aku sowan pengasuh saja.” Setelah
ngobrol-ngobrol permasalahan mereka dan sharing pengalaman, tak terasa waktu
menunjukkan pukul 02.30, lantas dewi, puji dan alfi istirahat sejenak untuk mempersiapkan
tenaga guna kegiatan besok pagi.
Pagi telah
tiba, waktunya puji menghadap pengasuh. Rasa tidak tenang terpancar di wajah
puji yang kelihatan resah dan grogi. “Assalamu’alaikum” nada lirih itu
terdengar dari depan pintu depan kediaman pengasuh. “Wa’alaikumussalam
warahmatullahi wabarokatuh, siapa ya?” suara halus dan berwibawa menjawab dari
dalam kediaman pengasuh. “Saya puji lestari”. Lantas Gus Muh menemui puji dan
bertanya tentang maksud kedatangan puji yang sampai berani sowan kepada
pengasuh sendirian. Dengan nada lirih dan cerita yang awut-awutan karena grogi
dan banyak fikiran yang melanda, puji menceritakan semua masalah yang
dihadapinya tentang perjodohannya oleh orang tua puji dengan seseorang yang
belum ia kenal. Gus Muh tersenyum mendengar seluruh keluh kesah dari santri
mungil itu, sembari menghidupkan korek api dan mengambil sebatang rokok Gudang
Garam Internasional, Gus Muh menjawab dan member saran dengan bijak kepada puji
“sudah enam tahun kamu disini, masalah jodoh itu masalah Allah. Kita hanya
diberi kesempatan untuk mencari bukan menemukan, dan alangkah baiknya jika kamu
pulang dulu, musyawarahlah pada orang tuamu tentang hal itu, atau panggil saja
ayah ibumu supaya berkenan rawuh kesini. Biar aku yang bermusyawarah kepada
mereka.” Tak lama setelah puji diberi dawuh oleh pengasuh, segera puji
mengabarkan kepada orang tuanya untuk segera sowan kepada pengasuh. Sidang
antara orang tua puji dengan pengasuh berlangsung seru. Kurang lebih 3 jam
mereka bermusyawarah hingga akhirnya perjodohan yang dulu telah direncanakan
digagalkan dan puji berhak untuk melanjutkan pendidikannya di pesantren al
ulum. Namun dengan 1 syarat, puji diberi kesempatan 3 tahun lagi untuk menempuh
pembelajaran di pesantren al ulum dan rencananya puji akan dinikahkan pada
Habibullah Muhsin putra pertama Gus Muh yang sudah berumur sekitar 29 tahun
setelah kembali dari studi di kairo mesir. Begitulah hitam pekat permasalahan
yang dialami puji, dan kebiruannya akan dinikahkan dengan putra seorang kyai
yang sangat terhormat, sabar, dan berwibawa.
No comments:
Post a Comment