Saturday 12 April 2014

MAKALAH AHLUS SUNNAH WAL JAMA'AH


BAB I
PENDAHULUAN
A.   Latar Belakang
Nahdlatul Ulama adalah Organisasi yang berdiri ketika pada zaman dahulu di Timur Tengah terjadi pergolakan politik dengan jatuhnya Sulatan Turki, dan di Jazirah Arab berdiri pemerintahan Wahabi di bawah pimpinan Raja Abdul Aziz Ibnu Su’ud yang berfaham Islam Radikal (Islam Garis Keras). Organisasi Nahdlatul Ulama (Baca: NU) didirikan oleh KH. Hasyim Asy’ari tepatnya pada tanggal 16 Rajab 1344 H atau 31 Januari 1926 M.[1]
Seiring berkembangnya zaman dan kemajuan teknologi diera globalisasi dalam segala bidang yang sekarang meraja lela ini, pemahaman tentang Nahdlotul Ulama kini kian semakin surut dimata masyarakat apalagi sekarang sudah banyak muncul faham-faham yang melenceng dari faham Ahlussunnah Waljamaah, umumnya masyarakat menggali ilmu pertkembangan teknologi yang berkembang dinegara-negara maju, kelalaian mereka disebabkan karena kurangnya pendalaman pemahaman mereka pada organisasi Nahdlotul Ulama.
Pembahasan mengenai pemahaman Jamiyyah Nahdlotul Ulama dan Ahlussunnah Waljamaah sampai saat ini masih banyak yang belum mengetahui secara mendasar, untuk itu penulis membuat suatu karya tulis yang berisikan beberapa cara memperkuat pendalaman tentang NU dan Ahlussunnah Waljamaah.
Dengan mengharap Ridho Allah SWT semoga kedepanya Jamiyyah Nahdlotul Ulama akan lebih dipelajari dan dipahami lebih seksama, dan lebih diperhatikan, disebabkan sampai sekarang masih banyak kaum muslimin muslimat yang belum tahu dan faham persis akan jamiyyah Nahdlotul Ulama dan Ahlussunnah Wajamaah.
Maka dari itu karya sederhana ini penulis beri judul;
PENDALAMAN PEMAHAMAN JAMIYYAH NAHDLOTUL ULAMA
MEMPERKUAT PENDALAMAN TENTANG NU DAN AHLUSSUNNAH WALJAMAAH MELALUI PENDEKATAN PENGERTIAN DARI SEJARAH BERDIRI, TOKOH-TOKOH PENDIRI DAN AMALIYAH.  

B.   Rumusan Masalah
Dari penggalan pendahuluan yang telah penulis sampaikan, maka rumusan masalah yang dapat dituliskan dalam hal ini adalah Bagaimanakah cara untuk mengetahui secara mendasar tentang Nahdlotul Ulama dan Ahlussunnah Waljamaah?

C.   Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah yang diajukan, maka penelitian ini bertujuan untuk Mengetahui lebih dalam lagi tentang Nahdlotul Ulama Ahlussunnah Waljamaah dan lebih meningkatkan pemahaman tentang latar belakang berdiri, tokoh-tokoh pendiri dan amaliyah NU.

D.   Kegunaan Karya Tulis
1.      Karya tulis ini berguna untuk meningkatkan pemahaman tentang Jamiyyah NU, terlebih tentang sejarah berdiri dan tokoh-tokoh pendirinya, karya tulis ini dapat juga digunakan sebagai muqobalah atau perbandingan dalam pencarian referensi tentang Jamiyyah Nahdlotul Ulama.

E.   Telaah Pustaka
Untuk lebih mudahnya memaham karya tulis ini, penulis membatasi istilah yang ada dalam karya tulis ini sebagai berikut;
1.      Jamiyyah
Berakar dari bahasa arab fi’il tsulasi mujarrod yaitu  جمع  yang memiliki arti kumpul, sehingga Jam’iyyah memiliki arti perkumpulan.[2]
2.      Nahdlotul Ulama
Adalah organisasi yang dalam hal fiqih salah satu madzhab empat yaitu; Imam Syafi’i, Imam Hanafi, Imam Hambali, dan Imam Maliki, Dalam hal aqidah menganut Abu Hasan Al Asy’ari dan Imam Al Maturidi, dan dalam hal tasawuf menganut Imam Al Ghozali dan Imam Aljunaidi Al Baghdad.[3]
3.      Ahlussunnah
Adalah pengikut Sunnah-sunnah Nabi yang meliputi Aqwal (ucapan), Af’al (perbuatan) dan Taqrir (penetapan) Nabi.[4]
4.      Al Jamaah
Adalah golongan orang-orang yang ibadah dan tingkah lakunya selalu berdasarkan Al Quran dan Hadist Nabi.[5]
5.      Etika
Adalah sekumpulan asas atau nilai yang berkenaan dengan moral dan akhlak yang menjadi pedoman dalam suatu kumpulan masyarakat, atau dapat dapat juga diartikan sebuah studi keilmuan yang mempelajari tentang baik dan buruknya sesuatu
6.      Metode
Adalah suatu cara yang teratur degan sistem yang tersusun rapi untuk mencapai suatu pengetahuan tertentu, sedangkan yang dimaksud dalam karya tulis ini adalah metode dalam pemahaman Nahdlotul Ulama Ahlussunnah Waljamaah.[6]

F.    Metodologi Penulisan
Untuk memperlancar penulisan karya ini, penulis menggunakan beberapa yang terstruktur secara sistematis, metodologi yang penulis gunakan adalah sebagai berikut;
1.      Pengumpulan Data
Pengumpulan data yang penulis laksanakan adalah berasal dari pustaka pada pondok pesantren Ma’ahidul ‘Irfan yang berada di Dusun Soropaten, Desa Gandusari, Kecamatan Bandongan, Kabupaten Magelang, dengan didampingi beberapa pustaka dari kitab-kitab pelajaran yang dipelajari di pondok pesantren Ma’ahidul ‘Irfan.
2.      Teknis Analisis Data
Analisis data merupakan suatu sistem penerapan dalam menyusun suatu susunan, Analisis yang dimaksud penulis dalam karya ini adalah Analisis tentang latar belakang berdiri, pendiri dan amaliyahnya NU, Adapun tujuanya adalah untuk lebih dalam lagi meningkatkan kepahaman tentang jamiyyah Nahdlotul Ulama Ahlussunnah Waljamaah.

G.  Metode Analisis Data
Penyusun menggunakan beberapa metode, yaitu:
1.   Metode Deskriptif
Membahas objek penelitian secara apa adanya berdasarkan data-data yang diperoleh. Adapun teknik deskriptif yang digunakan adalah analisa kualitatif. Dengan analisa ini akan diperoleh gambaran sistematik mengenai isi suatu dokumen. Dokumen tersebut diteliti isinya kemudian diklasifikasikan menurut kriteria atau pola tertentu.
2.      Metode Interprestasi
Adalah sebuah upaya mengungkapkan atau membuka suatu pesan yang terkandung dalam teks yang dikaji, menerangkan pemikiran tokoh yang menjadi objek penelitian dengan memasukkan faktor luar yang terkait erat dengan permasalahan yang diteliti.

H.  Sistematika Penulisan
Dalam karya tulis ini, penulis membuat suatu sistem penulisan yang tersusun dari awal sampai pada akhir penulisan sebagai berikut;
Sampul Luar
Sampul Dalam
Surat Pernyataan Keaslian
Halaman Pengesahan
Motto
Halaman Persembahan
Kata Pengantar
Daftar Isi
Daftar Lampiran
BAB I                         Pendahuluan
Dalam bab ini terdapat Latar Belakang Masalah, Rumusan Masalah, Tujuan Penulisan, Kegunaan Karya tulis, Telaah Pustaka, Metode Penulisan, Metode Analisa Data, dan Sistematika Penulisan.
BAB II            Landasan Teori
Pada bab ini beisi arti Kata Nahdhoh, Ulama, Nahdlotul Ulama, Ahlun, Assunnah, Aljamaah dan Ahlussunnah Waljamaah.
BAB III          Analisa Maslah
Pada bab ini berisi tentang Arti Aswaja, Dasar-dasar Aswaja, Nilai-nilai Aswaja, Aliran-aliran Dalam Islam, Berdirinya NU, Pendirinya NU, Arti Lambang NU dan Amaliya-amaliyah NU.  .
BAB IV          Penutup
Dalam bab ini berisi kesimpulan, saran-saran, dan penutup.
Lampiran
Berisi beberapa lampiran yang mendukung terselesaikannya karya tulis ini.
BAB II
LANDASAN TEORI

Untuk mempermudah pemahaman, penulis membatasi istilah-istilah dengan arti sebagai berikut;
A.    Nahdhoh
Nahdhoh berasal dari bahasa arab fi’il tsulasi mujarrod yaitu  نهض  yang memiliki arti bangkit, sehingga Nahdhoh diartikan Kebangkitan, Ulama Salaf memilih kata tersebut dengan tujuan untuk lebih mendongkrak atau membangkitkan para ulama yang pada saat itu dalam keterpurukan, untuk selalu semangat meluhurkan atau menyebarkan agama Allah SWT yaitu agama islam, khususnya dalam suatu golongan yang hanya ada 1 golongan dari 73 golongan yang selamat(surga), yaitu golongan Ahlussunnah Waljamaah, Untuk itulah para Ulama Salaf memilih kata tersebut.

B.   Ulama
Kata Ulama adalah bentuk jama’ taksir dari mufrod   عالم   yang artinya orang pandai, sehingga Ulama juga bisa diartikan orang-orang pandai, adapun yang dimaksud disini adalah pandai dalam ilmu agama islam, dalam bahasa indonesia kata Ulama memiliki arti mufrod(tunggal) dan mempunyai arti khas yaitu orang-orang pandai dibidang agama.[7]

C.   Nahdlotul Ulama
Nahdlotul Ulama adalah kata majemuk yang berasal dari bahasa arab yaitu;    نهضة العلماء  Adapun kata majemuk tersebut, terdiri dari 2 patah kata yang sudah tertera diatas yaitu;
a.       Kata   نهضة    yang artinya ; Kebangkitan
b.      Kata    علماء    yang artinya ; Alim Ulama
Dengan demikian, Maka kata Nahdlotul Ulama mengandung arti Kebangkitan Para ‘Alim ‘Ulama.[8]

D.   Ahlun
Ahlun berasal dari bahasa arab yang mengandung arti Keluarga atau juga bisa diartikan Pengikut dalam suatu Organisasi atau Golongan.

E.   Assunnah
Sunnah adalah jejak langkah Rosulullah SAW yang meliputi Aqwal (ucapan), Af’al (perbuatan) dan Taqrir (penetapan), atau juga bisa diartikan Ajaran Rosululloh SAW yang telah dipraktekkan Beliau semasa hidup Beliau.

F.    Aljamaah
Jamaah juga berasal dari bahasa arab yang artinya Kelompok atau Golongan, yang didalamnya terdapat orang-orang yang ikut berpartisipasi, berandil dan berkiprah dalam Kelompok tersebut, Adapun disini juga bisa diartikan suatu Kelompok atau Golongan yang menganut Sunnah Nabi dan para SahabatNya.

G.  Ahlussunnah Waljamaah
Dengan adanya keterangan yang tertera diatas, Maka dapat disimpulkan bahwa Ahlussunnah Waljamaah adalah Golongan islam yang berpegang teguh pada Ajaran Rosulullah SAW, yang telah dipraktekkan oleh Beliau bersama para SahabatNya semasa hidup Beliau, dan apa yang telah dipraktekken oleh Sahabat-sahabatNya sepeninggal Beliau, Khususnya Khulafaur Rosyidin.[9]



BAB III
ANALISA MASALAH

A.    Istilah Ahlussunnah Waljamaah
Ahlussunnah Waljamaah itu terdiri dari 3 kalimat yaitu;
a.        Kalimat  Ahlun   yang artinya Keluarga atau Pengikut
b.        Kalimat  Assunnah   yang artinya Jalan atau Jejak
c.         Kalimat  Aljamaah   yang artinya Kelompok atau Golongan
Kemudian kalimat-kalimat tersebut digaabung menjadi satu yaitu Ahlussunnah Waljamaah  yang berarti pengikut Sunnah Nabi dan Sahabat-sahabat Nabi, dengan demikian Ahlussunnah Waljamaah adalah Golongan islam yang berpegang teguh pada ajaran Rosulullah SAW yang telah dipraktekkan Beliau bersama para sahabatNya semasa hidup Beliau dan apa yang telah dipraktekkan sahabat sepeninggal Beliau, khususnya Khulafaur Rosyidin. Ahlussunnah Waljamaah juga biasa disingkat Aswaja.[10]

Jejak langkah Rosulullah SAW yang berarti wahyu berupa kitab suci Al Quran dan Sunnah Rosul yang meliputi Aqwal (ucapan), Af’al (perbuatan) dan Taqrir (penetapan) Rosul, jejak langkah tersebut dipegang teguh dan diamalkan oleh para sahabat sehingga menjadi SunnahNya, kemudian diteruskan oleh para Tabi’in, Tabi’in tabi’in dan seterusnya sampai pada Ulama-ulama sekarang.
Pengertian Ahlussunnah Waljamaah tersebut seperti maqsud hadist Nabi yang diriwayatkan oleh Imam Thabroni, yang berbunyi;
وَسَتَفْتَرِقُ اُمَتِيْ عَلى ثَلاَثٍ وَسَبْعِيْنَ فِرْقَةً وَاحِدَةٌ مِنْهَا نَاحِيَةٌ وَالْبَاقُوْنَ هَلْكى قَالُوْا: وَمَا النَاحِيَةُ يَارَسُوْلَ اللهِ، قََالَ اَهْلُ السُنَةِ وَالْجَمَاعَةِ، قَالَ مَااَنَا عَلَيْهِ وَاَصْحَابِى)راوه الطبرانى(

Artinya; Dan umatku akan pecah menjadi 73 golongan, hanya satu yang selamat diantara mereka, sedangkan sisanya rusak atau binasa, Sahabat bertanya; siapakah yang selamat itu Ya Rosululloh, , ?  Nabi menjawab; Ahlussunnah Waljamaah, Sahabat bertanya lagi; Apakah Ahlussunnah Waljamaah itu. .?  Nabi menjawab; Apa yang aku lakukan atau perbuat hari ini dan para Sahabatku.[11]

Ahlussunnah Waljamaah dapat juga disebut  Assawadul A’dhom yakni golongan terbesar umat islam yang didalamnya terhimpun para ulama Ahlul Haq dari berbagai bidang ilmu; Ada ahli ilmu tauhid, ilmu fiqih, ilmu tasawwuf, ilmu hadist, ilmu tafsir dan sebagainya.
1.      Dibidang Tauhid Ahlussunnah Waljamaah mengikuti rumusan Abu Hasan Al-Asy’ari dan Abu Mansur Al-Maturidi, Keduanya merumuskan sifat-sifat Allah SWT yang wajib ada 20, mustahil ada 20 dan jaiz ada1, Sedangkan sifat-sifat Rosul yang wajib ada 4, mustahil ada 4 dan jaiz ada 1, semuanya berjumlah 50 yang disebut Aqaid 50 (lima puluh).
2.      Dalam bidang Fiqih atau Syari’ah, dasar-dasar yang digunakan untuk menetapkan hukum Ahlussunnah Waljamaah adalah sebagaimana yang diajarkan oleh madzhab empat yaitu; Madzhab Syafi’i, Madzhab Maliki, Madzhab Hanafi dan Mazdhab Hambali.
3.      Adapun didalam bidang Tasawwuf Ahlussunnah Waljamaah mengikuti Imam Junaid Al-Baghdadi dan Imam Al-Ghozali, Keduanya merupakan pelopor Ahlussunnah Waljamaah dalam bidang tasawwuf yang telah merumuskan ajaran taswwuf secara rapi, jelas dan luas.

B.     Dasar-dasar Ahlussunnah Waljamaah
Terdapat  beberapa dasar yang dimana golongan  Ahlussunnah Waljamaah selalu berpegang teguh pada  dasar-dasar tersebut, yaitu;
1.     Al Quran
Dalil Alquran adalah dasar yang paling kuat diantara lainya untuk menentukan hukum islam, karena Alquran merupakan wahyu Allah SWT yang diturunkan kepada Junjungan kita Nabi Agung Muhammad SAW melalui perantara Malaikat Jibril.
2.     Hadist Nabi
Dasar pokok yang kedua setelah Alquran adalah Hadist Nabi Muhammad SAW yang berupa suri tauladan dan anjuran-anjuran Nabi yang meliputi Aqwal (ucapan), Af’al (perbuatan) dan Taqrir (ketetapan) Nabi.
3.     Ijma’
Ijma’ adalah kesepakatan para mujtahid mengenai hukum, ijma’ baru digunakan sebagai dalil terhadap suatu perkara, setelah tidak ditemukan dalilnya dari Alquran dan Hadist.
4.     Qiyas
Qiyas adalah menyamakan hukum suatu masalah yang belum diketahui hukumnya dengan masalah lain yang sudah diketahui hukumnya.[12]
Empat dasar tersebutlah yang dari dulu sampai sekarang yang selalu dipegang teguh oleh kaum Ahlussunnah Waljamaah, dan dengan empat dasar tersebutlah Ahlussunnah Waljamaah  masih berdiri tegak, kokoh dari dulu sampai sekarang, empat dasar hukum tersebut adalah sesuai dengan firman Allah SWT yang berbunyi;
يَااَيُّهَاالَّذِيْنَ اَمَنُوْااَطِيْعُوْااللهَ وَاَطِيْعُوْاالرَّسُوْلَ وَاُولِى اْلاَمْرِ مِنْكُمْ ، فَاِنْ تَنَازَعْتُمْ فِى شَيْءٍِ فَرُدُّوْهُ اِلَى اللهِ وَالرَّسُوْلِ   النساء:٥٩
Artinya; Hai orang-orang yang beriman, taatlah kepada Allah SWT dan taatlah kepada RosulNya dan Ulil Amri diantara kamu, kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang suatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Alquran) dan Rosul (Sunnahnya). (Q.S. An-Nisa’: 59)


C.    Nilai-nilai Ahlussunnah Waljamaah
Sebagaimana diuraikan diatas bahwa ajaran Ahlussunnah Waljamaah adalah satu-satunya ajaran islam yang HAQ (ahlul haq), Ada Empat nilai yang menjadi watak dan sikap Ahlussunnah Waljamaah yang menjadikan faham ini mampu bertahan sampai sekarang, Nilai-nilai tersebut diantaranya adalah;
1.     Tawassud dan I’tidal
Tawassud artinya sikap berada ditengah-tengah, maksudnya keseimbangan antara pengguna pemikiran rasional dengan Dalil-dalil Alquran. I’tidal artinya bersikap adil dalam kehidupan, maksudnya menyeimbangkan antara penggunaan akal dengan dasar dari dalil-dalil Alquran, serta senantiasa menegakkan keadilan.
2.     Tawazzun
Tawazzun artinya sikap seimbang dalam pengadilan, baik dalam pengabdian kepada Allah SWT, pengabdian kepada sesama manusia dan lingkunganya, juga keseimbangan dalam kehidupan dunia dan kehidupan akhirat
3.     Tasamun
Tasamun artinya bersikap toleran terhadap perbedaan pandangan, baik dalam masalah keagamaan maupun dalam masalah keduniaan dan kemasyarakatan.
4.     Amar Ma’ruf Nahi Mungkar
Amar ma’ruf nahi mungkar artinya selalu memiliki kepekaan untuk mendorong perbuatan yang baik dan bermanfaat bagi kehidupan bersama, serta menolak dan mencegah semua hal yang dapat menjerumuskan dan merendahkan nilai-nilai kehidupan.[13]

D.    Aliran-Aliran dalam Islam
Ajaran Ahlussunnah Waljamaah merupakan ajaran islam yang haq (Ahlul haq), sebab ajaran tersebut merupakan ajaran yang diajarkann dan diamalkan oleh Rosulullah SAW, para sahabat, tabiin dan tabiit tabiin, Diantara mereka ada yang ahli Hadist (muhaddisin), seperti Abu Hurairah, Imam Bukhori, Imam Muslim dan lainya, ada juga ahli Fiqih (fuqaha’), seperti Zaid bin Tsabit, Imam Madzhab empat dan lainya, ahli ilmu Kalam (mutakallimin), seperti Al-Asy’ari dan Al-Maturidi, ahli Tasawwuf, seperti Imam Aljunaidi, Imam Ghozali, Syech Abdul Qodir Jaelani dan yang lain, Mereka adalah pengikut setia ajaran Ahlussunnah Waljamaah, tidak saja mengamalkanya tetapi juga selalu  berusaha mempertahankan ajaran tersebut dari serangan ajaran-ajaran aliran lain yang menyesatkan, Ada beberapa aliran yang menyimpang dari ajaran Ahlussunnah Waljamaah        antara lain;
1.     Aliran Syi’ah
Yaitu aliran yang sangat memuja dan mengunggul-unggulkan Sayyid Ali bin Abi Thalib, menurut aliran ini kedudukan nabi sebenarnya layak bagi Ali, demikian pula Ali lebih layak dan lebih berhak menjadi kholifah, Oleh karena itu aliran ini menganggap bahwa Abu Bakar, Umar bin Khatab dan Usman bin Affan mengambil hak Ali bin Abi Thalib sebagai kholifah.
2.     Aliran Khawarij
Yaitu golongan yang keluar dari jamaah kaum muslimin, diantara paham aliran ini adalah;
a.           Setiap orang yang tidak mengikuti aliranya adalah kafir
b.           Setiap dosa adalah dosa besar, tidak ada dosa kecil
3.     Aliran Muktazilah
Yaitu aliran yang mengagungkan kekuatan akal, tokohnya adalah Washil bin Atha, adapun beberapa ajaranya adalah;
a.       Allah SWT tidak mempunyai sifat
b.      Ukuran baik buruk ditentukan oleh akal, bukan oleh dalil atau wahyu
4.     Aliran Qadariyah
Yaitu aliran yang berpaham bahwa manusialah yang menciptakan perbuatanya sendiri bukan ditentukan oleh Allah SWT, tokohnya adalah Ibrahim bin Sajar, adapun ajaran-ajaranya adalah;
a.     Taqdir itu tidak ada
b.     Ijma’ para ulama tidak bisa dijadikan pegangan
5.     Aliran Jabariyah
Yaitu aliran yang didirikan oleh Jaham bin Sofwan, Ajaran-ajaranya adalah;
a.     Usaha atau ikhtiyar itu tidak ada gunanya
b.     Iman cukup dalam hati saja tidak perlu diucapkan, jadi tidak perlu membaca syahadat
6.     Aliran Musyabihat
Yaitu aliran yang menyerupakan Allah SWT dengan makhluk, Tokohnya adalah Abu Abdillah Alwaraq, Ajaran-ajaranya adalah;
a.     Allah SWT mempunyai tangan, hidung, mata, kaki dan lainya, seperti manusia
b.     Allah itu bertempat diatas langit
7.     Aliran Murji’ah
Yaitu aliran yang ditokohi oleh Hasan bin Hilal al Muzuy dan Abu Salaat, Ajaran-ajaranya adalah;
a.     Rukun iman itu hanya ada dua, yaitu hanya mengenal Allah SWT dan RosulNya
b.     Asal sudah mengenal Allah SWT dan RosulNya maka berbuat dosa tidak dilarang lagi
8.     Aliran Najjariyah
Yaitu aliran yang didirikan oleh Abu Abdillah Husain Alnajjar, Ajaran-ajaranya adalah;
a.     Allah SWT tidak mempunyai sifat
b.     Orang berbuat dosa pasti masuk neraka, karena syafa’at dan ampunan Allah SWT tidak ada
9.     Aliran Wahabiyyah (Wahabi)
Yaitu aliran yang didirikan oleh Muhammad bin Abdul Wahab, Ajaran-ajaranya adalah;
a.     Tawassul itu syirik dan Tahlilan itu bid’ah yang sesat
b.     Membangun qubah diatas makam itu haram
c.      Syafa’at selain Nabi itu tidak ada, dan memohonya termasuk perbuata syirik
d.     Selamatan orang mati hukumnya bid’ah dan sesat
10.                  Aliran Bahaiyah
Yaitu aliran yang didirikan oleh Bahaullah, Ajaran-ajaranya adalah;
a.     Agama islam, Yahudi dan Nasrani harus disatukan
b.     Berperang memakai senjata hukumny haram,  walaupun untuk membela agama Allah SWT
c.      Membenarkan ajaran Wahdatul Wujud (Manunggaling Gusti lan Kawulo), sebagaimana ajaran yang dianut oleh Syech Siti Jenar, Hamzah dan lainya.
11.                  Aliran Ahmadiyyah
Yaitu aliran yang dibangun oleh Mirza Ghulam Ahmad di pakistan, Ajaran-ajaranya adalah;
a.     Mirza Ghulam Ahmad adalah Nabi
b.     Syariat belum sempurna dan karenanya disempurnakan oleh Mirza Ghulam Ahmad.[14]

E.     Berdirinya Nahdlotul Ulama
Riwayat berdirinya Nahdlotul Ulama, Pada zaman dahulu ketika di timur tengah terjadi pergolakan politik dengan jatuhnya Sultan Turki, dijazirah Arab berdiri pemerintahan wahabi dibawah pimpinan Raja Abdul Azaiz Ibnu Suud,
Raja Abdul Aziz Ibnu Suud berfaham islam radikal (keras), ia melarang semua amalan ibadah kaum muslimin yang tidak ada pada zaman Nabi Muhammad SAW, umpamanya, ia melarang pemakaian kata Sayyidina di depan nama Rosulullah SAW pada waktu sholat, berziarah kubur dan masih banyak lagi yang dilarang oleh Raja Abdul Aziz Ibnu Suud.
Dengan tindakan radikal itu, hampir semua makam yang ada dimakkah dan madinah diratakan dengan tanah, kecuali Makam Nabi Muhammad SAW, Makam para Sahabat-sahabat yang ada disekitarnya, masjid Nabi dan Roudlotus Syarifah yang tidak ikut dihancurkan dan masih utuh sampai sekarang.
Melihat peristiwa tersebut para ulama Indonesia (khususnya yang mengikuti faham Ahlussunnah Waljamaah) berupaya mencegah tindakan radikal Raja Abdul Aziz Ibnu Suud dengan membentuk komite Hijaz, kemudian komite Hijaz mengutus deligasi untuk menghadap Raja Abdul Aziz Ibnu Suud dimakkah dengan maksud supaya perbuatan radikalnya dihentikan, Alhamdulillah permohonan para ulama tersebut mendapat tanggapan baik dari Raja Abdul Aziz Ibnu Suud, sehingga sikap radikalnya dapat dikurangi,
Setelah menghadap Raja Abdul Aziz Ibnu Suud, pada tanggal 16 Rajab 1344 H atau 31 Januari 1926 M rapat pembubaran komite Hijaz dilaksanakan, pada kesempatan itu sosok ulama yang menjadi pendiri Nahdlotul Ulama, yang tiada lain adalah KH. Hasyim Asy’ari mengusulkan agar usaha memperjuangkan faham Ahlussunnah Waljamaah terus dilanjutkan dan diperluas, atas persetujuan para peserta rapat, akhirnya dibentuklah organisasi atau jamiyyah yang diberi nama  Nahdlotul Ulama  “Kebangkitan Para Ulama”, sebagai kelnjutan komite Hijaz yang telah dibubarkan, dan pada saat itu juga disepakati sebagai hari lahirnya atau berdirinya Nahdlotul Ulama.
Organisasi ini memperjuangkan Aqidah islam Ahlussunnah Waljamaah faham Al-asy’ari dan Al-maturidi, dalam masalah Syar’iah islam organisasi ini  mengikuti salah satu dari madzhab empat yaitu madzhab Syafi’i, madzhab Hanafi, madzhab Hambali dan madzhab Maliki, dan dalam masalah Tasawwuf organisasi ini mengikuti imam Aljunaidi Albaghdadi dan imam Alghozali.
Nahdlotul Ulama berkeyakinan mengikuti salah satu madzhab dalam masalah Syariat islam adalah benar, hal ini harus diperjuangkan dan tetap ditegakkan karena berpijak dari Alquran, Hadist, Ijma’ dan Qiyas. Hal tersebut berdasarkan hadist Rosulullah SAW  yaitu;

فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِى وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ الْمُهَديِّنَ  رواه ابوداود والترمذى
Artinya; Hendaknya kamu semua berpegang teguh pada Sunnahku, dan Sunnah Khulafaur rasyidin yang mendapat petunjuk.  
( HR. imam Abu Dawud dan imam Turmudzi ).


F.     Tokoh-tokoh Pendiri Nahdlotul Ulama
1.  KH. Hasyim Asy’ari
a.  Riwayat Hidup
Nama lengkap KH. Hasyim Asy’ari adalah KH. Muhammad Hasyim Asy’ari, beliau dilahirkan di Desa Nggedang sebelah utara Jombang Jawa Timur pada hari selasa, 14 februari 1871 M atau 24 Dzulqo’dah 1287 H, Ayahanda beliau bernama KH. Asy’ari, seorang ulama dari Demak Jawa Tengah, sedangkan Ibunda beliau bernama Ny. Halimah.
Sebagai seorang putra kyai, KH. Hasyim Asy’ari memperoleh pendidikan dasar agama khas pesantren dari orang tuanya sendiri, setelah berusia 14 tahun KH. Hasyim Asy’ari berturut-turut belajar dari pesntren ke pesantren lain yang masih berada  diwilayah jawa timur dan Madura, pertama KH. Hasyim Asy’ari menimba ilmu agama di Wonokoyo  (Purbalingga), kemudian pindah ke Ponpes Langitan (Tuban), terus melanjutkan ke Ponpes Trenggilis (Semarang), sampai disini KH. Hasyim Asy’ari belum puas dengan berbagai ilmu yang telah diperolehnya, maka pada tahun 1891-1892 beliau kembali nyantri di Ponpes Siwalan Panji (Sidoarjo) pimpinan KH. Ya’kub, seorang yang berpandang luas dan Alim dalam agama,
Selama di Ponpes Siwalan, perilaku KH. Hasyim Asy’ari yang potensial dan ilmu agamanya bagus selalu diperhatikan gurunya yang tak lain adalah KH. Ya’kub, tak lama kemudian pada tahun 1303 H atau 1892 M, KH. Hasyim Asy’ari waktu itu berusia 21 tahun dijodohkan dengan Chadidjah, yang tak lain adalah putri gurunya sendiri yaitu KH. Ya’kub, kemudian pada tahun 1892 setelah melngsungkan pernikahan, KH. Hasyim Asy’ari bersama sang istri melaksanakan ibadah Haji dan mencari ilmu pengetahuan di Makkah. Namun, sebelum semua maksudnya kesampaian, Sang istri lebih dulu pulang ke Rohmatullah, sehingga KH. Hasyim Asya’ri kembali ke Indonesia. Berselang 1 tahun tepatnya pada tahun 1983 KH. Hasyim Asy’ari berangkat lagi ke Makkah, sampai 7 tahun lamanya KH. Hasyim Asy’ari menimba ilmu di Makkah, setelah itu KH. Hasyim Asy’ari kembali ke Indonesia pada tanggal 1899, beberapa kyai yang pernah menjadi gurunya di Makkah adalah Syech Ahmad Khatib dari Minangkabau dan Syech Mahfudz At-Tirmisi.
Setelah kembali dari Makkah, KH. Hasyim Asy’ari mendirikan Pondok Pesantren Tebuireng di Jombang, yang dibantu saudara iparnya yaitu KH. Alwi pada tanggal 26 Robiul Awal 1317 H.(1899 M), Awalnya Pondok Pesantren ini hanya diminati Tujuh orang santri, namun bulan kemudian santrinya bertambah Dua puluh satu orang, dan secara berangsur-angsur nama pesntren  dan nama pengasuhnya menjadi masyhur, Pondok Pesantren ini diakui keunggulanya oleh banyak pihak, yang belajar di Pondok Pesantren ini tidak hanya para santri akan tetapi banyak para kyai-kyai yang ikut menimba ilmu dan mencari Berkahnya KH. Hasyim Asy’ari di Pondok Pesantren ini, salah satunya dari kyai yang menimba ilmu di Pondok Pesantren ini adalah Kyai yang dulu pernah menjadi gurunya KH. Hasyim Asya’ri. Dan para kyai yang menjadi guru-guru beliau sering berkunjung di Pondok Pesantren ini untuk mengikuti pelajaran yang dismpaikan oleh KH. Hasyim Aya’ri, Bahkan KH. Hasyim Asy’ari yang punya Spesialisasi ilmu hadist itu pernah didatangi tokoh basar yang pernah menjadi gurunya yaitu KH. Muhammad Cholil (Bangkalan) yang selama ini dikenal sebagai tokoh ilmu Nahwu (tata bahasa arab) dan tokoh ilmu Fiqih.
Pengalaman KH. Muhammad Cholil untuk berganti berguru kepada KH. Hasyim Asya’ri memberi petunjuk bahwa ke’Aliman KH. Hasyim Asy’ari sangat diterima di masyarakat, dalam sejarah islam (khususnya di Jawa) peran KH. Hasyim Asy’ari sangat besar, sampai Beliau dikenal dengan sebutan Hadratus Syaikh (Guru besar dilingkungan pesantren), pengaruhnya sangat besar dalam membentuk kader-kader Ulama pimpinan pesantrenya, banyak Pondok Pesantren besar yang terkenal, terutama yang berkembang di Jawa Timur dan Jawa Tengah dikembangkan oleh para Kyai hasil didikan KH. Hasyim Asy’ari. Diantara Pondok Pesantren yang diasuh Alumni Pondok Pesantren Tebuireng antara lain;
1.      Pondok Pesantren Sukorejo-Asembangus (Situbondo)
2.      Pondok Pesantren Lirboyo (Kediri)
3.      Pondok Pesantren Mambaul Ma’arief (Jombang), dan
4.      Pondok Pesantren Lasem (Rembang)
Inilah empat pondok besar yang diasuh para pengasuh yang dulunya menimba ilmu (nyantri) dengan KH. Hasyim Asy’ari di Pondok Pesantren Tebuireng,
Dalam kebiasaan sehari-hari KH. Hasyim Asy’ari dikenal sebagai tokoh yang disiplin, disetiap minggunya ada dua yang libur mengaji di Pondok Pesantren Tebuireng, yaitu hari selasa dan jum’at, hari libur ini dimanfaatkan oleh beliau untuk menjenguk sawah dan kebunya di Desa Jombok (sekitar 10 km selatan Tebuireng) atau digunakan untuk membaca kitab-kitab dan buku-buku untuk memperluas wawasan, dan pada malam harinya KH. Hasyim Asy’ari menuliskan pikiran-pikiranya, Oleh karena itu, sepeninggalnya ada Dua kitab peninggalan beliau yang dapat dibaca yaitu;
1.      Ihyu Amali Fudala Muqaddimah Qonun Asasi, yang didalamya memaparkan tata cara bermadzhab
2.      Ad-Durar Al-Muntasyiroh fi Masail At-Tisna Asyarah, yang membimbing perlunya berhati-hati memasuki kehidupan dunia tareqat

b.   Jasa-jasa KH. Hasyim Asy’ari
1.   Mengenalkan Sistem Musyawarah
Masa kebangkitan Pondok Pesantren di indonesia terjadi pada tahun 1900, yaitu diawali dengan Pondok Pesantren Tebuireng yang menjadi pusat pembaharuan bagi pendidikan islam tradisional, KH. Hasyim Asy’ari selaku pemilik sekaligus pengasuh Pondok Pesantrentersebut membawa perubahan yang sangat pesat bagi dunia pendidikan setelah pulangnya dari Makkah, yaitu dengan metode pengajaranya yang cukup sistematis, contohnya; mengembangkan sistem musyawarah atau diskusi, yang dilaksanakan antar kelas atau dalam satu kelompok yang dapat menghidupkan suasana kreatif para santri.
Pelajaranya meliputi; Bahasa Melayu, Matematika dan Ilmu Bumi, selanjutnya juga diajarkan Bahasa Belanda dan Sejarah Indonesia, yang memperkenalkan pelajaran ini adalah KH. Ilyas, yang telah menamatkan pelajaranya di HIS Surabaya, di Pondok Pesantren Tebuireng model diskusi ini dilaksanakansecara terencana dan tertib.
2.      Pemikiran KH. Hasyim Asy’ari
Selama belajar di Makkah, KH. Hasyim Asy’ari juga mengenal dan mempelajari ide-ide pembaharuan Muhammad Abduh, tetapi beliau tetap kritis dan berhati-hati, khususnya yang berkenaan dengan kebebasan berpikir dan pengabaian nilai hasanah keislaman, seperti masalah bermadzhab, KH. Hasyim Asy’ari mempunyai pendirian bahwa merujuk atau mengambil langsung dalil-dalil Alquran dan Hadist tanpa melalui ijtihad para madzhab itu tidak mungkin, tidak mungkin seseorang memperoleh hasil pemikiran yang utuh, tanpa melalui belajar dari kitab-kitab para ulama besar terdahulu dan imam madzhab, karena akan menghasilkan pemahaman yang keliru tentang ajaran islam, Pemikiran KH. Hasyim Asy’ari tersebut, sesuai dengan pemikiran budaya pada masa-masa berikutnya, terutama dari kalangan Nahdlotul Ulama.
Ketokohan KH. Hasyim Asy’ari di Jamiyyah Nahdlotul Ulama sangat netral, sehingga beliau menjadi tipe utama sosok pemimpin, karena beliau mampu mengembangkan islam melalui lembaga pesantren dan mampu mengorganisasikan perjuangan politik melawan penjajah, telah banyak tokoh pesantren hasil didikan KH. Hasyim Asy’ari yang berjasa mengisi kemerdekaan Republik Indonesia (RI). Kebanyakan dari mereka mampu menjadi tokoh panutan di medan juang masing-masing dalam mengisi kemerdekaan, sedangkan dalam politik melawan penjajah, KH. Hasyim Asy’ari telah berjuang melalui penyampaian fatwa-fatwa, pemikiran-pemikiran, pergerakan, serta pengerahan kekuatan untuk mewujudkan Indonesia merdeka.
KH. Hasyim Asy’ari pulang ke Rahmatullah dua tahun setelah Kemerdekaan Indonesia, Tepatnya pada tanggal 25 Juli 1947, dan dimakamkan dibelakang Pondok Pesantren Tebuireng Jombang, dan berdasarkan Surat Keputusan (SK) Presiden no. 29/1964, KH. Hasyim Asy’ari diakui sebagai pahlawan Kemerdekaan Indonesia, ini suatu bukti bahwa KH. Hasyim Asy’ari bukan saja tokoh utama agama, akan tetapi juga tokoh Nasional.[15]

2.     KH. Wahab Hasbullah
a.  Riwayat Hidup
KH. Wahab Hasbullah dilahirkan di Jombang, tepatnya pada tahun 1880, KH. Wahab Hasbullah adalah putra dari KH. Hasbullah, pengasuh Pondok Pesantren Tambak Beras Jombang, pengetahuan dasar keislaman KH. Wahab Hasbullah ditimba dari Ayahnya sendiri sampai Beliau berusia 13 tahun, diantaranya adalah tentang ilmu tata bahasa Arab, Tauhid dan Fiqih, setelah itu Beliau melanjutkan pendidikanya di beberapa Pondok Pesantren diantaranya; pertama Beliau belajar di Pondok Pesantren Pelangitan (Tuban Jawa Timur) selama satu tahun, lalu ke Pondok Pesantren Mojosari (Nganjuk Jawa Timur) dibawah bimbingan KH. Saleh dan KH. Zainuddin selama empat tahun, guna mendalami kitab Fiqih Fathul Muin, kemudian ke Pondok Pesantren Cepaka selama enam bulan, lalu melnjutkan menimba ilmu ke Pondok Pesantren Tawangsari (dekat Surabaya) dibawah Asuhan KH. Ali, Setelah itu barulah Beliau mendalami tata bahasa Arab dan ilmu Fiqih  kepada KH. Muhammad Cholil di Pondok Pesantren Kademangan (Bangkalan Madura) selama tiga tahun,
Ditempat inilah KH. Wahab Hasbullah disarankan untuk melanjutkan menimba dan mendalami ilmunya di Pondok Pesantren Tebuireng (Jombang), saran biasa dipahami sebagai isyarat ketokohan sang Kyai (KH. Hasyim Asy’ari) dikalangan umat, Namun sebelum melaksanakan saran KH. Muhammad Cholil , KH. Wahab Hasbullah sempat belajar ilmu tafsir Alquran, Teologi islam dan Tasawwuf di Pondok Pesantren Branggahan (Kediri) dibawah Asuhan Kyai Faqihuddin, setelah itu barulah KH. Wahab Hasbullah memenuhi saran KH. Muhammad Cholil untuk melanjutkan menimba ilmu ke Pondok Pesantren Tebuireng dibawah Asuhan KH. Hasyim Asy’ari.
Dari pengalaman nyantri atau menimba ilmu di berbagai pesntren, maka KH. Wahab Hasbullah ditokohkan sehingga terpilih menjadi pimpinan pondok dan ikut sebagai anggota Kelompok Musyawarah, kelompok musyawarah ini sangat efektif dan prodktif, dan teman-teman Beliau yang ikut kelompok musyawarah ini banyak yang menjadi Kyai Masyhur, diantaranya adalah KH. Manaf Abdul Karim (Pendiri Pondok Pesantren Lirboyo Kediri) dan KH. As’ad Syamsul Arifin (Pengasuh Pondok Pesantren Sukorejo Situbondo).
Selama empat tahun KH. Wahab Hasbullah tinggal di Pondok Pesantren Tebuireng, selain menjadi pemimpin pondok dan mengikuti kelompok musyawaroh, KH. Wahab Hasbullah juga ikut mengajar para santri, selama di Pondok Pesantren Tebuireng Jombang waktunya banyak tercurah untuk mengembangkan kemampuan yang dimilikinya, KH. Wahab hasbullah selalu menunaikan nasihat gurunya, diantaranya sebelum pulang memimpin pondok pesantren untuk menggantikan Ayahnya, supaya Beliau menyempatkan diri menimba ilmu di Makkah, selama empat tahun KH. Wahab Hasbullah menimba ilmu di Makkah, dan sempat menimba ilmu pada beberapa guru yang Alim dan Masyhur, diantaranya adalah;   
a)      Syech Mahfudz At-Termasy (Termas, Pacitan)
b)      Syech Ahmad Khatib (Minangkabau)
c)      Syech Abdul Hamid (Kudus)
d)     KH. Muhtaram (Banyumas)
e)      KH. Bakir (Yogyakarta), dan
f)       KH. Asy’ari (Bawean)

b.  Masa Perjuangan
Sukar menyebutkan secara rinci jasa KH. Wahab Hasbullah, baik ketika masih berjuang melawan belanda maupun setelah Kemerdekaan Indonesia, sebagian masa perjuangan KH. Wahab Hasbullah disebutkan sebagaimana berikut ini;
1.      Perjuangan Pada Masa Belanda
Tepatnya pada tahun 1914, KH. Wahab Hasbullah bersama KH. Mas Mansoer mendirikan;
   Taswirul  Afkar  yaitu kelompok diskusi sebagai penyalur aspirasi pemuda dan himpunan pengikat potensi kepemudaan, berbagai persoalan masyarakat yang meliputi agama, dunia internasional dan aspirasi nasional yang timbul akibat dari sistem penjajah dibicarakan dalam kelompok diskusi ini,
Nahdlotul Wathan  yaitu kebangkitan tanah air, forum ini digunakan untuk menggembleng banyak ulama untuk membela tanah air dari cengkraman penjajah di Indonesia.
Syubbanul  Wathan      yaitu pemuda tanah air, forum ini berdiri diprakarsai oleh Abdullah Ubaid, yang lebih memperkuat operasional Nahdlotun Wathan.
Ketiga forum diatas, pada hakekatnya merupakan satu Aliran dan akhirnya bersatu menjadi Komite Hijaz yang dipimpin oleh KH. Wahab Habullah, Komite Hijaz pada tanggal 13 Januari 1926 M mengirimkan surat kepada Raja Abdul Aziz Ibnu Suud dan juga telah mendirikan organisasi keagamaan yang diberi nama Nahdlotul Ulama.
2.      Perjuangan Pada Zamam Jepang
a. KH. Wahab Hasbullah berhasil membebaskan KH. Hasyim Asy’ari dan Kyai lainya dari penahanan Jepang, KH. Wahab Hasbullah menempuh jalur diplomasi yang memekan waktu sampai lima tahun.
b.KH. Wahab Hasbullah menjelajah nusantara untuk menggembleng para pemuda dan Kyai Nahdlotul Ulama untuk meningkatkan Ghiroh (semangat) memperjuangkan kemerdekaan, yang meliputi aspek kekuatan politik, jasmani dan rohani secara intensif kepada mereka yang memerlukanya, Dari situ tersusunlah Pasukan Peta, Laskar Hizbullah pimpinan Zainul Arifin, Laskar Sabilillah pimpinan KH. Masykur, serta Barisan Kyai yang dipimpin sendiri oleh KH. Wahab Hasbullah.
Berselang empat tahun, setelah berlangsung Muktamar Nahdlotul Ulama, pejuang yang dikenal punya daya tahan tinggi dan tak mengenal lelah, yang tak lain adalah KH. Wahab Hasbullah kembali ke Rahmatullah tepatnya pada tanggal 9 Desember 1971 M dan KH. Wahab Hasbullah dimakamkan di Tambak Beras (Jombang).
G.    Arti Lambang Nahdlotul Ulama
Nahdlotul ulama menggunakan lambing bola dunia yang diikat tali dan lingkari oleh Sembilan bintang, Llima bintang berada diatas garis katulistiwa, bintang yang terbesar terletak di bagian paling diatas, Empat bintang yang lainya terletak di bawah, di tengah-tengah bola terdapat tulisan   نهضة العلماء  yang melintang ditengah-tengah bola dunia,  Diantara dhad  ( ض ) dan ta’ ( ت ) melintas ditengah-tengah bola dunia seperti garis katulistiwa. Lambang Nahdlotul Ulama ditulis dengan warna putih dengan warna dasar hijau.
Arti lambang Nahdlotul Ulama tersebut adalah;
1.      Bumi
Bumi melambangkan bahwa manusia diciptakan dari tanah (bumi), manusia setelah mati akan bersatu kembali dengan bumi sampai pada hari kiamat mendatang di dalam kubur, dan pada saat itulah manusia akan bangkit kembali dari tanah.
2.      Bintang
a)      Satu (1) bintang paling besar yang letaknya di bagian paling atas, melambangkan Nabi Muhammad SAW, seorang Nabi yang menjadi panutan seluruh umat dan ajaranya selalu dijunjung tinggi.
b)      Empat (4) bintang disekitarnya, melmbangkan Empat orang Khulafaur Rasyidin, yaitu; Sahabat Abu Bakar, Umar bin Khatab, Usman bin ‘Affan dan ‘Ali bin Abi Thalib.
c)      Empat (4) bintang dibawah katulistiwa, melambangkan Empat madzhab, yaitu; Imam Syafi’i, Imam Hanafi, Imam Maliki dan Imam Hambali.
d)     Dan Jumlah bintang seluruhnya ada Sembilan (9), melambangkan Wali Songo, yaitu; Sunan Ampel, Sunan Muria, Sunan Giri, Sunan Gunung Jati, Sunan Drajat, Sunan Kudus, Sunan Bonang, Sunan Gresik dan Sunan Kali Jogo, dan angka Sembilan adalah merupakan angka terbesar.

3.      Tali
a)      Tali melingkari bumi, melambangkan persatuan dalam ikatan tali  Allah SWT (Hablullah), sesuai firman Allah dalam Surat Al Imron; 103.
وَاعْتَصِمُوْا بِحَبْلِ اللهِ جَمِيْعًَا وَلا تَفَرَّقُوْا
Artinya; Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai… “ (Q.S. Ali Imron: 103).

b)      Dua (2) ikatan tali dibawah bumi mengingatkan bahwa kenistaan dan kehinaan akan menimpa atas orang kafir, Makna ini sesuai dengan  Surat Albaqarah: 61, yang artinya;
Dan (ingatlah), ketika kamu berkata: “Hai Musa, kami tidak bisa sabar (tahan) dengan satu macam saja, sebab itu mohonkanlah untuk kami kepada Tuhanmu agar Dia (Allah) mengeluarkan bagi kami dari apa yang ditumbuhkan bumi, yaitu: sayur-mayuranya, ketimunya, bawang putihnya, kacang adasnya dan bawang merahnya”. Musa berkata: “Maukah kamu mengambil sesuatu yang rendah sebagai pengganti yang lebih baik? Pergilah  kamu ke suatu kota, pasti kamu memperoleh apa yang kamu minta”. Lalu ditimpahkanlah kepada mereka nista dan kehinaan, serta mereka mendapat kemurkaan dari Allah, hal itu terjadi karena mereka selalu mengingkari Ayat-ayat Allah SWT dan membunuh para Nabi yang memeng tidak dibenarkan, demikian itu terjadi kerena mereka selalu berbuat durhaka dan melampaui batas.
c)      Jumah lilitan tali seluruhnya ada Sembilan Puluh Sembilan (99), yang melmbangkan Asmaul Husna.     
4.      Warna
Warna-warna dalam lambang Nahdlotul Ulama adalah sebagai berikut;
a.       Warna dasar Hijau, melambangkan Kesuburan
b.      Warna tulisan Putih, melambangkan Kesucian
c.       Warna bintang Kuning, melambangkan warna kuning mas pada sapi (sebagaimana dikisahkan dalam surat Al-Baqarah: 61), Ia selalu memikat hati siapa saja yang melihatnya dan hanya dimiliki oleh orang yang amat berbakti kepada kedua orang tuanya.[16]

H.   Amaliyah-amaliyah Nahdlotul Ulama
Banyak Amaliyah-amaliyah yang dilakukan atau diamalkan oleh orang-orang Nahdlotul Ulama, diantaranya adalah:

1.     Tawassul
Tawssul dalam bahasa artinya Perantara, yang artinya sama dengan kata Istighotsah ( استغاثة ), Isti’anah ( استعانة ), Tajawwuh ( تجوّه ) dan Tawajjuh  ( توجّه ).[17]
Sedangkan menurut Istilah adalah:

اَلْوَسِيْلَةُ هِىَ الَّتِى يُتَوَصَّلُ بِهَا اِلَى تَحْصِيْلِ الْمَقْصُوْدِ

“Wasilah adalah segala sesuatu yang dapat menjadi sebab sampainya pada tujuan “.[18]

Dan juga bisa diartikan memohon datangnya suatu kemanfaatan  atau memohon terhindarnya dari bahaya kepada Allah SWT dengan menyebut nama Nabiyullah atau Waliyullah untuk menghormati keduanya, sama halnya, kita tak bisa menghadap langsung kita perlu sorang perantara, Umpamanya, kita ingin menghadap presiden, gak bisa langsung bertemu tapi harus menteri dulu, bertemu mentri juga ga’ bisa langsung bertemu tapi juga harus ajudanya dulu, Apalagi memohon kepada Allah SWT harus lewat perantaraan para kekasihnya, para Nabi, Syuhada’ dan orang-orang Shaleh, inilah yang dimaksud dengan Tawassul.
Tradisi orang-orang Nahdlotul Ulama dalam hal ini kental sekali, terutama dikalangan bawah tak lain karena mereka merasa golongan rendah (orang awam), jadi jelas bahwa ada faham yang memperbolehkan Tawassul, otomatis mereka setuju karena di Indonesia tidak ada Nabiyullah, para Syuhada’ yang ada para Sholichin-sholichin (Wali Allah), maka tidak mengherankan jika kita jumpai makam-makam Waliyullah senantiasa penuh peziarah, mereka mohon kepada Allah SWT dengan cara bertawassul kepada Walyullah dan para orang-orang Shaleh.
Oleh karena itu terdapat kesimpulan bahwa Tawassul dan meminta Syafa’at kepada Nabi atau dengan keagungan dan keberkahanya termasuk diantara Sunnah-sunnah Rosul, para sahabat-sahabatnya dan para orang-orang salaf sholichin (para pendahulu yang sholeh-soleh), itu hukumnya Boleh (mubah) dan bahkan dianjurkan oleh agama islam baik bertawassul pada yang masih hidup atau pada yang sudah meninggal, baik dengan para Nabiyullah maupun orang-orang shalih, sebab bertawassul itu pada hakikatnya adalah menjadikan Sesuatu sebagai perantara agar doa yang telah dipanjatkan tersebut dapat dengan segera diterima dan dikabulkan.[19]


2.     Peringatan Haul
Kata Haul berasal dari bahasa arab Alhaulu ( الحول ) yang mempunyai  artinya setahun, berarti disini bisa diartikan peringatan genap satu tahun, peringatan  ini berlaku bagi keluarga siapa saja, tidak terbatas pada orang-orang Nahdlotul Ulama saja, tetapi berlaku pula pada komunitas masyarakat lainya, masalah Haul ini akan terasa lebih bernuansa agamis dan terasa dahsyat ketika yang meninggal itu seorang yang kharismatik, Ulama-ulama besar, pendiri sebuah pesantren dan lain sebagainya, bahkan sudah berkembang lebih jauh lagi, yaitu Haul diaplikasikan oleh banyak institusi pemerintah dalam bentuk peringatan hari jadi kota atau daerah, hal ini bisa dikemas dengan berbagai acara, mulai dari pentas budaya/seni sampai pada puncaknya sering diisi penyampaian Mauidloh Hasanah dari para ulama-ulama atau para kyai-kyai, yang sebelumnya diisi dengan bacaan istighosah, tahlil dan lain sebagainya.[20]  
Selama ini kitang sering dengar, bahkan menyaksikan sendiri acara haul yang di selenggarakan di berbagai daerah di Indonesia khusunya di jawa, yang inti acaranya adalah Ziarah Qubur, Adapun rangkaian acaranya dapat bervariatif, ada Pengajian, Tahlil akbar, Istighosah, Mujahadah, Musyawarah, Halaqah dan lain sebagainya, yang hadir sangat dipengaruhi oleh besar kecilnya ketokohan yang di hauli, kalau yang di hauli ketokohanya tingkat Nasional tentu lebih banyak yang hadir ketimbang yang tingkat bawahnya, dan mayoritas para hadirin adalah orang-orang Nahdlotul Ulama, bahkan sekarang sudah merambah ke tingkat keluarga (Jamiyyatul ‘Usrah).
Oleh karena itu, secara khusus Haul hukumnya adalah Mubah (Boleh), dan tidak ada larangan agama tapi dianjurkan, karena ada sebuah Dalil yang isinya adalah “ Memperingati hari wafat para ulama, itu termasuk hal yang tidak dilarang oleh agama, ini tiada lain karena peringatan haul itu biasanya mengandung sedikitnya 3 unsur, yaitu:
a.        Ziarah Kubur
b.        Terdapat beberapa bacaan Al Quran dan nasihat keagamaan
c.         Shadaqah ( makanan dan makanan )
Kadang juga dituturkan Manaqib (beografi) orang-orang shaleh yang telah meninggal dunia bertujuan mendorong agar supaya orang lain mengikuti jalan terpuji yang telah dilakukan atau diamalkan oleh beliau semasa hidupnya.
Akan tetapi jika dilihat dari sisi acara-acara ritual yang ada dalam peringatan Haul, maka hukumnya dapat dilihat sebagai berikut:
Ø Ziarah kubur, ini hukumnya boleh (mubah) bahkan dianjurkan (mustachabun) dalam agama
Ø Bacaan Tahmid, Tahlil, Tasbih dan ayat-ayat Alquran  yang pahalanya dihadiahkan kepada yang dihauli dan ahli kubur dan hal ini sangat dianjurkan
Ø Bershadaqah (dalam bentuk apapun), hal ini hukumnya Sunnah
Ø Menuturkan riwayat hidup yang baik-baik, hal ini merupakan amaliyah yang mengikuti Sunnah Nabi, Khulafaur Rasyidin, tradisi Ulama Salaf dan Ulama Khalaf
Ø Pengajian atau juga bisa disebut Mau’idhoh Chasanah, dalam hal ini sudah sangat jelas dalam agama islam merupakan amaliyah yang sangat dianjurkan untuk bisa menyampaikan Amar Ma’ruf Nahi Mungkar sebagai Mau’idhoh Chasanah.[21]

3.     Membaca Basmallah (pada Surat Al Fatihah)
Kalimat Basmallah adalah klimat pertama yang diajarkan bagi setiap muslim, bacaan Basmallah itu banyak mengandung rahasia didalamnya, dimana Basmallah selalu tercantum di permukaan dalam semua kitab, sebagaimana Sabda Rosullah yang berbunyi: Sesungguhnya Basmallah itu adalah merupakan pembukaan dari semua kitab, dan ada suatu riwayat yang mengatakan bahwa seluruh Ulama telah sepakat jika pembukaan kitab-kitab Allah yang diturunkan kepada para Nabi dan Rosulnya itu dimulai dengan lafadz Basmallah, Dari sebuah hadist riwayat Abu Dawud dan Ibnu Majah yang bersumber dari Abu Hurairah ra, Bahwa Rosulullah SAW bersabda: Tiap amal perbuatan yang dianggap baik tetapi tidak dibacakan Basmallah ketika akan memulainya, maka perbuatan itu menjadi sia-sia alias terputus dari Rahmat Allah SWT,
Dikalangan masyarakat islam ada yang mengatakan bahwa Basmallah itu bukan bagian dari surat Al Fatihah dan kalau dalam sholat Basmallah harus dibaca Sir (pelan), akan tetapi lain halnya menurut Imam Syafi’I yang madzhabnya kita ikuti, Basmallah (Bismillahirrohmanirrohim) harus selalu dibaca didalam sholat, bagi imam dalam shalat Shubuh, Magrib, Isya’ dan pada sholat Jum’at membaca Basmallah dengan suara nyaring (Jaher) itu hukumnya Sunnah, Hal itulah yang sejak dulu selalu diamalkan oleh umat islam di Indonesia khususnya warga Nahdhotul Ulama, Amaliyah tersebut berdasarkan pada alasan bahwa Basmallah termasuk salah satu ayat dari surat Al Fatihah, sedangkan membaca surat Al Fatihah dalam setiap rakaat shalat termasuk rukun yang tidak boleh ditinggalkan, Hal ini berdasarkan hadits diriwayatkan oleh Imam Bukhori, yaitu:  Rosulullah suatu ketika menghitung ayat surat Al Fatihah dan jumlahnya ada tujuh ayat, termasuk Basmallah.[22] 
Dari penjelasan diatas, maka Basmallah termasuk ayat dari surat Al Fatihah dan hukum membacanya bersama surat Al Fatihah adalah Wajib, sebab Basmallah termasuk salah satu ayat dari surat Al Fatihah, jika tidak dibaca maka shalatnya tidak sah. Hal ini berdasarkan pada firman Allah SWT dan sabda Rosulullah SAW, yaitu:
1.      Surat Al Hijr. 87, yaitu:
Dan sungguh kami telah berikan kepadamu (Nabi Muhammad) tujuh ayat yang berulang-ulang dan Alquran yang agung “
 .
2.      Hadits Rosulullah, yaitu:
a.       Hadits riwayat Imam Muslim
Dari Ubadah bin Samiri, Nabi Muhammad SAW menyampaikan padanya, “Bahwa tidak sah shalat seseorang yang tidak membaca surat Al Fatihah”
b.      Hadits riwaya Imam Bukhori
Dari Abu Hurairah, beliau berkata; Bahwa Nabi Muhammad SAW selalu mengeraskan suaranya ketika membaca Basmallah (dalam shalat).[23]

4.     Melafalkan Sayyidina
Telah dapat diketahui bersama bahwa mayoritas kaum muslimindalam setiap kali menyebutkan nama Nabi Muhammad SAW pasti didahului dengan kalimat “Sayyidina” yang artinya Tuanku atau Gustiku, sebagai wujud panghurmatan kepada beliau, baik saat melaksanakan sholat maupun  keadaan diluar shalat 
Dari pernyataan inilah muncul fenomena bahwa jika ada seseorang shalat, lalu dalam membaca tasyahud ada kalimat sayyidina sebelum kalimat Muhammad, maka orang tersebut dikatakan sebagai kelompok kaum Nahdliyyin, jika tidak menyebutkan, maka bisa dianggap sebagai orang yang bukan kelompok Nahdliyyin
Adapun hukumnya melafalkan kalimat Sayyidina sebelum kalimat Muhammad adalah Boleh (mubah) dan termasuk perbuatan yang sangat utama, baik dalam tasyahud shalat maupun tidak dalam keadaan shalat, sebab penyebutan kalimat Sayyidina merupakan suatu panghurmatan kepada Nabi Muhammad SAW,  Hal ini berdasarkan pada sabda Nabi Muhammad SAW, yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Abu Hurairah ra,
Diriwayatkan dari Abu Hurairah ra, beliau berkata, Rosulullah bersabda: Saya Gusti (penghulu)anak adam pada hari kiamat, orang yang pertama bangkit dari kuburan, yang pertama memberikan syafa’at dan orang yang pertama kali diberi hak untuk memberikan syafa’at.[24]
Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa menambah kalimat sayyidina sebelum kalimat Muhammad itu adalah perbuatan yang sangat utama, karena terkait dengan kesopan santunan dan rasa penghormatan yang disanjungkan kepada manusia paling mulia yaitu Sayyidina, wa Nabiyina wa Maulana Nabi Agung Muhammad SAW.

5.     Istighotsah atau Mujahadah
Istighotsah artinya meminta pertolongan, dan Mujahadah artinya mencurahkan segala kemampuan untuk mencapai sesuatu, Istighotsah dan mujahadah bagi umat islam sudah ada sejak zaman Nabi Muhammad SAW, ketika beliau saat menghadapi perang terbesar kaum muslim melawan kaum kafir yaitu perang badar dan juga ketika ada musibah atau bencana.
Ada sebuah cerita yang diriwayatkan oleh sahabat Umar bin Khattab, ketika pada waktu perang badar (perang terbesar bagi kaum muslim melawan kaum kafir), Nabi Muhammad SAW melihat kearah sahabat-sahabat yang jumlahnya hanya 313 orang sedangkan jumlah orang kafir sebanyak 1000 orang, melihat keadaan yang seperti itu Beliau menghadap kiblat dengan sorban dipundaknya seraya berdo’a, beristighotsah memohon perolongan kepada Allah SWT, dan para sahabat-sahabat yang berada dibelakang beliau iku pula me’amini do’a beliau, setelah beliau selesai beristighotsah dan mujahadah kepada Allah SWT, pada saat yang sangat kritis itu, Allah SWT menurunkan Malaikat Jibril dengan membawa firman Allah SWT yang berbunyi; Ingatlah, hai Muhammad, ketika engkau memohon pertolongan kepada tuhanmu, maka Dia(Allah) mengabulkan dengan mendatangkan bala bantuan berupa 1000 yang datang berturut-turut. (QS. Al Anfal. 19).[25]  
Berdasarkan firman Allah SWT diatas, juga ayaat-ayat lain yang berhubungan dengan bantuan Allah SWT, maka hal ini sangat dianjurkan pada kaum muslimin khususnya pada kaum Nahdliyyin, sudah menjadi kebiasaan para ‘Alim ‘Ulama Nahdlotul Ulama selalu melakukan Istighotsah dan Mujahadah sendirian maupun bersama-sama sejak dulu hingga berlangsung sampai sekarang, terutama pada saat kondisi kritis yang sulit diselesaikan kecuali atas pertolongan Allah SWT semata, untuk lebih mendekatkan diri kepada Allah SWT, didalam Istighotsah atau Mujahadah yang biasa dibaca adalah Ayat-ayat Alquran, kalimat Tayyibah, Istighfar, Sholawat, bacaan Tahmid, Tahlil, Wirid, Hizib dan bacaan Do’a.
    Dalam surat Al Mu’min ayat 60,  Allah SWT berfirman;
ادعوني استجب لكم
Mintalah kepadaku, pasti Aku (Allah) mengabulkan”

Dan Rosulullah sendiri menegaskan: Siapa yang tidak mau meminta kepada Allah SWT, maka Dia (Allah) akan murka orang tersebut.[26]

6.     Shalat Tarawih dan Witir
Shalat tarawih dan witir bagi umat islam di Indonesia, khususnya pulau jawa yang  masyarakatnya mayoritas kaum Nahdliyyin sudah tak asing lagi, hampir setiap kaum muslim pernah menjalankanya, pada bulan ramadhan biasanya  masjid-masjid dan mushola-mushola penuh dengan kaum muslimin muslimat yang menjalankan jama’ah shalat isya’ dan dilanjutkan shalat sunnat malam yang biasa disebut dengan shalat tarawih secara bersama-sama atau berjama’ah, kemudian ditutup dengan shalat witir , dalam shalat tarawih ini ada yang menjalankan 8 rakaat dan ada yang 20 rakaat,  yang 20 rakaat inilah yang menjadi cirri NU atau pembeda antara kaum Nahdliyyin dan kaum Non Nahdliyyin, sedangkan shalat witirnya sama-sama 3 rokaat.
Orang-orang NU memilih sholat tarawih 20 rokaat, ini berdasarkan pada Hadits yang diriwayatkan oleh Imam Baihaqi dan Imam Thabrani dari Abd bin Humaid, yaitu: Ibnu Abbas mengatakan: Rosulullah SAW sholat malam di bulan romadlon sendirian sebanyak 20 rokaat di tambah witir. Dan berdasarkan Madzhab kita (Syafi’iyah) yang menyatakan: Shalat tarawih itu dijalankan 20 rokaat, juga ada keterangan di dalam kitab “Shalat Al-Tarawih fi masjid Al-Haram”, yaitu: Bahwa shalat tarawih di masjid Al-Haram sejak masa Rosulullah SAW, Abu Bakar, Ustman bin Affan, Ali bin Abi Tholib dan seterusnya sampai sekarang selalu dilakukan 20 rokaat dan witir 3 rokaat.
Mengenai hukumnya shalat tarawih disini adalah adanya sabda Nabi Muhammad SAW tentang posisi, perilaku perbuatan para sahabat sebagai Sunnah dan berkedudukan sama dengan sunnah beliau sendiri, sehingga sunnah mereka harus di ikuti seperti mengikuti sunnah beliau, Rosulullah SAW bersabda: Ikutilah dua orang setelah aku, yaitu: Abu Bakar dan Umar bin Khatab.
Dari keterangan di atas, dapat diambil kesimpulan/pemahaman bahwa praktek Amaliyah shalat tarawih 20 rokaat termasuk kategori Bid’ah Hasanah yang hukumnya adalah Mubah (boleh) dan juga bisa menjadi perbuatan yang dianjurkan, adapun Hukumnya shalat witir adalah Sunnah Muakkad.[27]

7.     Doa Qunut
Qunut dalam bahasa artinya doa, sedangkan dalam istilah adalah doa yang dibaca waktu I’tidal rokaat ke dua pada shalat subuh dan pada shalat witir mulai pertengahan bulan romadlon, sedang doa qunut dalam shalat subuh sudah menjadi salah satu ciri masyarakat yang berfaham Syafi’I, khususnya kaum nahdliyyin, Hal ini berdasarkan pada hadits Nabi Muhammad SAW yang diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud, Yaitu:
انّ النّبيّ صلّى الله عليه وسلّم، يَقْنُتُ فِى الصَّلاَةِ الصُّبْحِ
Sesungguhnya Nabi Muhammad SAW telah melakukan Qunut     pada sholat subuh “ ( HR. Imam Abu Dawud).[28]

Ada sejumlah dalil (alasan)  bagi orang-orang NU melakukan Qunut, yaitu:
Ø  Dalil yang pertama:
Ulama’ Syafi’iyyah (pengikut madzhab syafi’i) mengatakan, kedudukan Qunut pada sholat subuh, persisnya ketika bangkit dari ruku’ (I’tidal) pada rokaat ke dua itu hukumnya adalah Sunnah.
Ø  Dalil yang kedua:
Qunut itu disunnahkan, letaknya ketika I’tidal pada rokaat kedua shalat subuh, yang diteruskan dengan hadits yang diriwayatkan oleh Imam Hakim dari Abu Hurairah: Rosulalloh SAW mengatkat kepalanya dari ruku’ pada shalat subuh di rokaat ke dua, kemudian beliau mengangkat ke dua tanganya seraya berdoa: Allohummahdini fi man hadait…….. dan Rosulallah Saw tidak memakai kata robbana.
Ø  Dalil yang ketiga:
Qunut subuh itu disunnahkan, hal ini berdasarkan pada hadits shohih, yaitu: Rosulallah SAW selalu qunut sampai beliau wafat.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa hukumnya meamalkan / melakukan Qunut adalah Sunnah, baik Qunut nazilah maupun Qunut subuh atau pada shalat witir, dengan berdasarkan dalil-dalil diatas maka tidak diragukan lagi mengenai hukum melakukan Qunut, tidak perlu Syak (bimbang) dan ragu lagi bahwa Rosulallah SAW membaca doa Qunut dalam shalat subuh sampai beliau wafat.[29]

8.     Tahlilan
Tahlilan itu berasal dari kata hallala, yuhallilu, tahlilan yang artinya membaca kalimat Toyyibah (La Ilaha Illallah), acara ini sudah menjadi kebiasaan kaum muslimin di berbagai daerah, khususnya kaum Nahdliyyin melakukan acara ini dengan cara membaca serangkaian ayat-ayat Alquran, doa, sholawat, istighfar, tasbih dan lain-lain.
Hal tersebut, biasanya dilakukan pada malam jum’at atau pada hari-hari kematian dan bahkan sudah berkembang menjadi acara rutinitas mingguan atau bulanan dan lain sebagainya, sebab dilihat dari nilai bacaan termasuk salah satu amalan berdzikir yang memang dianjurkan oleh syariat islam, akan tetapi acara ini tidak hanya dilakukan dirumah-rumah saja, bahkan juga biasa dilakukan dimakam-makam, seperti setiap menjelang hari raya, awal romadlon, peringatan 3, 7, 40, 100 dan 1000 hari dari kematian, dan sekarang sudah berkembang menjadi kebiasaan masyarakat dalam setiap satu tahun sekali yang biasa dikenal dengan istilah Haul.
Dengan melihat nilai-nilai bacaan yang terkandung didalam acara tersebut, maka hukumnya Tahlilan adalah Sunnah, sedangkan hokum mengamalkanya di makam-makam adalah Mubah (boleh), dan sangat dianjurkan kepada kaum muslimin khususnya kaum Nahdliyyin,      Hal ini berdasarkan hadits riwayat Imam Ad-Darimy dan Imam Nasai dari Ibnu Abbas, yaitu:
قال صلّى الله عليه وسلّم: مَنْ اَعَانَ عَلَى مَيِّتٍِ بِقِرَأَةِ ِالْقُرْأَنِ وَذِكْرٍِ اِسْتَوْجَبَ اللهُ لَهُ الْجَنَّة (رواه الدارمى والنّسائ عن ابن عباس (
Rosulallah SAW bersabda: Barang siapa menolong mayat dengan membacakan ayat-ayat Alquran dan Dzikir, maka Allah SWT memastikan (mewajibkan) surga baginya”. (HR, Imam Ad-Darimy dan Imam Nasai dari Ibnu Abbas).[30]

9.     Berzanjinan, Dibaan dan Burdahan
Kalau melihat syair maupun prosa yang terdapat di dalam kitab Albarzanji, seratus persen isinya memuat biografi, sejarah dan kehidupan Rosulallah SAW, demikian pula yang ada di kitab Aldibaiyah dan Alburdah, tiga kitab ini berlaku bagi orang-orang NU dalam melakukan ritual maulidiyyah atau menyambut kelahiran Rosulallah SAW, dalam prakteknya kitab Alberzanji, Addibai dan Alburdahbukan hanya dibaca pada hari kelahiran Rosulallah SAW dan pada malam jumat di masjid-masjid atau mushola-mushola, tapi sekarang sudah menjadi kebiasan kaum Nahdliyyin membaca kitab-kitab tadi di berbagai hajat, diantaranya: ketika ada hajat anak lahir, hajat walimatul ‘urs, khitanan, tingkeban dan lain sebagainya.
Sudah ratusan tahun kitab-kitab tadi dipakai, tetapi belum ada satupun kitab yang sepadan atau menggeser lewat keindahan kalimat-kalimat yang tersusun didalamnya sampai sekarang, bagi yang faham tentang bahasa arab tentu akan mengerti betapa indah, memukau, menarik, dan mengharukanya kata-kata yang terserat didalamnya, umumnya mereka terkesima dengan sifat-sifat Rosulallah Saw yang memang sangat sulit untuk ditiru, betapa bagus dan terpujinya sifat-sifat Beliau, sehingga tidak ada yang bisa menyamai sifat-sifat Beliau, untuk itulah beliau diciptakan sebagai sebagus-bagusnya makhluk Allah SWT,
Ditengah acara tersebut ada ritual berdiri, orang jawa menyebutnya “Sirokolan” dari kalimat “Asroqol”, dimana kalau sudah sampai disitu semua hadirin dimohon berdiri untuk menyambut kehadiran Nabi Muhammad SAW ditengah-tengah majlis, ada juga yang menyebutnya sebagai “Marchaban” yang artinya: Selamat Datang atas kehadiran beliau,
Adapun hukumnya Berzanjinan, Dibaan dan Burdahan adalah Sunnah, bahkan sangat dianjurkan oleh syri’at agama, selama ini dinilai sangat baik sholawatan sambil berdiri sebagai panghurmatan terhadap Nabi Muhammad SAW, hal tersebut berdasarkan pada pendapat Imam An-Nawawi yang menganggap berdiri untuk menghormati seorang yang punya keutaman adalah bagian dari amal sunnah jika dilakukan tidak untuk riya’ (pamer), tetapi ada juga yang berpendapat bahwa sholawatan yang dilakukan dengan disertai riya’ itu tetap ada pahalanya.[31]

10.               Memperingati Maulid Nabi Muhammad SAW
Maulid nabi itu artinya adalah kelahiran nabi, dan dalam perkembangan selanjutnya arti tersebut berubah menjadi nama acara yaitu, peringatan kelahiran Nabi Muhammad SAW, hal ini terjadi pada abad ke-6 Hijriyyah, dan orang yang pertama kali melakukan peringatan ini adalah Raja Ibril dari irak,yang bernama Al-Mudhaffar busa’id Kukuburiy bin Zainuddin Ali Buktikin tepatnya pada tahun 630 H/1232 M.
Kemudian dalam perkembangan selanjutnya peringatan tersebut dilestarikan oleh umumnya kaum muslimin indonesia, khususnya kaum Nahdliyyin yang biasanya di gelar tepat pada bulan Robi’ul Awal, acara ini diisi dengan beraneka ragam acara yang digelar, mulai dari acara pagelaran budaya bernuansa islami sampai pada acara puncak yaitu, pengajian yang berisi Mau’idhotul Chasanah, acara seperti ini sudah merata menjadi kebiasaan kaum muslimin, apalagi kaum Nahdliyyin yang merasa/menganggap acara seperti ini sudah menjadi ciri khas orang-orang NU, Hal tersebut berdasarkan hadist Rosulallah SAW, yaitu:

قال صلّى الله عليه وسلّم: مَنْ عَظَّمَ مَوْلِدِى كُنْتُ شَفِيْعًَا لَهُ يَوْمُ الْقِيَامَةِ

Rosulallah SAW bersabda: Barang siapa menghormati hari lahirku, tentu aku akan memberikan syafa’at kepadanya di hari kiamat”.[32]

Melihat kenyataan bahwa peringatan maulid Nabi Muhammad SAW sebagai suatu tradisi umat islam terdahulu yang belum pernah dilakukan pada masa beliau masih hidup, jadi perayaan peringatan maulid Nabi Muhammd SAW adalah termasuk Bid’ah akan tetapi temasuk golongan Bid’ah Chasanah, yang hukumnya adalah Mubah (boleh) bahkan bisa berubah menjadi Sunnah dan sangat dianjurkan, Hal ini disebabkan adanya beberapa faktor, yaitu:
v  Dapat meneguhkan hati ummat islam setelah mendengar sajian sejarah dan biografi Nabi Muhammad SAW dalam acara tersebut, sebab beliau adalah Rohmad A'dhom (rohmad paling agung) bagi umat manusia.
v  Memperbanyak bacaan sholawat dan salam kepada Nabi Muhammad SAW, Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT dalam surat Al Ahzab 56, yaitu:
“Sesungguhnya Allah SWT dan malaikat-malaikatnya bersholawat untuk Nabi Muhammad SAW, Hai orang-orang yang beriman. Bersholawatlah kamu untuk Nabi Muhammad SAW dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya”.[33]


BAB IV
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Dari rangkaian pembahasan yang penulis paparkan, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:
1.      Mengetahui atau mempelajari tentang berdirin, tokoh-tokoh pendiri dan amaliyahnya Nahdlotul Ulama merupakan salah satu cara untuk lebih bisa memperdalam lagi pemahaman tentang Jamiyyah Nahdlotul Ulama Ahlussunnah Wal Jamaah secara mendasar. 

B.     Saran-saran
Perlu diketahui bahwa sekrang sudah banyak golongan-golongan/aliran-aliran yang ajaranya melenceng jauh dari ajaran Ahlussunnah Wal Jamaah masuk di Indonesia, tidak hanya dipusat-pusat kota melainkan sekarang sudah banyak yang masuk dipelosok-pelosok desa, terlebih sekarang Pembahasan mengenai pemahaman Jamiyyah Nahdlotul Ulama dan Ahlussunnah Waljamaah sampai saat ini masih banyak yang belum mengetahui secara mendasar dan tahu persis apa sebenarnya arti Jamiyyah Nahdlotul Ulama, siapa pendirinya dan bagaimana amaliyah-amaliyahnya,  Untuk itu, ada beberapa hal dari hasil penelitian ini yang patut untuk dijadikan saran, yakni sebagai berikut:
1.      Pendalaman tentang Jamiyyah Nahdlotul Ulama agar lebih ditingkatkan, karena sekian banyak kaum muslim yang sekarang masih jarang mendalami keilmuan tentang Jamiyyah Nahdlotul Ulama Ahlussunnah Wal Jamaah
2.      Pemahaman tentang Jamiyyah Nahdlotul Ulama agar lebih mendapat perhatian dan agar lebih diutamakan
3.      Mengetahui lebih dalam lagi tentang Nahdlotul Ulama Ahlussunnah Waljamaah dan lebih meningkatkan pemahaman tentang latar belakang berdiri, tokoh-tokoh pendiri dan amaliyah NU.

C.    Penutup
Alhamdulillah, dengan segala inayahnya, penyusunan mu’alafah ini dapat terselesaikan walupun dengan hanya sederhana dan apa adanya, namun sudah terasa memuaskan dan dapat menemui kenikmatan tersendiri.
Karenanya penulis sadar dengan hati yang ikhlas, jiwa yang bening dan pikiran yang jernih akan kekurangan dan kekhilafan yang penulis paparkan dalam penulisan mu’alafah ini, baik yang berkenaan dengan hal-hal yang bersifat teknis, metodologis maupun materi, dan pastilah penulis yang dhoif ini belum mampu memberikan hasil yang memuaskan.    Untuk itu dengan ketulusan, kerendahan dan ketulusan hati, penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun dan mengembangkan daya pikir untuk  dapat meningkatkan kualitas diri penulis dan kemajuan serta kebaikan untuk mencapai hasil yang lebih baik dan lebih bermanfa’at di dunia dan akhirat, Amiiin.




Daftar Pustaka


Abdul fatah, Munawir, Red.. Tradisi Orang-orang NU, Cetakan Ke Empat, (Yogayakarta: Pustaka Pesantren), 2006

Ma’sum Zainy, Muhammad, Kupas Tuntas Tradisi Orang-orang NU, (Jombang: Darul Hikmah), 2008

Muntaha, Zainal, ke-NU-an Aswaja, (Semarang: LP. Ma’arief NU), 2011

Narsun Munawwir, Ahmad, Kamus Al Munawwir, (Surabaya: Pustaka Progesif), 1997

Sugono, Dendy, et al., Kamus Bahasa Indonesia, (Jakarta: Pusat Bahasa Indonesia), 2008

Ibnu Katsir, Abu Al Fida’iy Ismail bin Umar, Tafsir Alquran Al’adzim, (Beirut: Maktabah Dar Al Fiqr), 1987

Warson, Ahmad Munawwir, Al Munawwir, (Yogyakarta: Maktabah Pon-Pes Krapyah Al-Munawwir), 1984



 


[1]               Muntaha, Zaenal, Ke-NU-an Aswaja, (Semarang: LP Ma’arif NU, 2011), hlm. 01
[2]               Narsun Munawwir, Ahmad,  Kamus Al Munawir,  (Surabaya: Pustaka Progresif, 2007), hlm. 209                  
[3]               Abdul fatah, Munawir, Red.. Tradisi Orang-orang NU, Cetakan Ke Empat, (Yogayakarta: Pustaka Pesantren), hlm. 01               
[4]               Muntaha, Zainal, ke-NU-an Aswaja, … , hlm. 03
[5]               Ibid, hlm. 59
[6]               Sugono, Dendy, et al., Kamus Bahasa Indonesia, (Jakarta: Pusat Bahasa Indonesia), hlm.402                       
[7]               Abdul fatah, Munawir, Red.. Tradisi Orang-orang NU, … , hlm. 17
[8]               Muntaha, Zainal, ke-NU-an Aswaja, … , hlm. 01
[9]               Ibid, hlm. 03
[10]             Muntaha, Zainal, ke-NU-an Aswaja, … , hlm. 02
[11]             Muntaha, Zainal, ke-NU-an Aswaja, … , hlm. 03
[12]             Muntaha, Zainal, ke-NU-an Aswaja, … , hlm. 05
[13]             Muntaha, Zainal, ke-NU-an Aswaja, … , hlm. 06
[14]              Muntaha, Zainal, ke-NU-an Aswaja, … , hlm. 10
[15]             Muntaha, Zainal, ke-NU-an Aswaja, … , hlm. 26
[16]             Muntaha, Zainal, ke-NU-an Aswaja, … , hlm. 16
[17]             Warson, Ahmad Munawwir, Al Munawwir, (Yogyakarta: Maktabah Pon-Pes Krapyah Al-Munawwir, 1994), hlm. 1663
[18]             Ibnu Katsir, Abu Al Fida’iy Ismail bin Umar, Tafsir Alquran Al’adzim, (Beirut: Maktabah Dar Al Fiqr, 1987), hlm. 30
[19]             Ma’sum Zainy, Muhammad, Kupas Tuntas Tradisi Orang-orang NU, (Jombang: Darul Hikmah, 2008), hlm. 11
[20]             Abdul fatah, Munawir, Red.. Tradisi Orang-orang NU, … , hlm. 270
[21]             Ma’sum Zainy, Muhammad, Kupas Tuntas Tradisi Orang-orang NU,b   … , hlm. 28
[22]             Abdul fatah, Munawir, Red.. Tradisi Orang-orang NU, … , hlm. 42
[23]             Ma’sum Zainy, Muhammad, Kupas Tuntas Tradisi Orang-orang NU,     … , hlm. 46
[24]             Ma’sum Zainy, Muhammad, Kupas Tuntas Tradisi Orang-orang NU,     … , hlm. 52
[25]             Abdul fatah, Munawir, Red.. Tradisi Orang-orang NU, … , hlm. 288
[26]             Ibnu Katsir, Abu Al Fida’iy Ismail bin Umar, Tafsir Alquran Al’adzim,  … , hlm. 21
[27]             Ma’sum Zainy, Muhammad, Kupas Tuntas Tradisi Orang-orang  NU,  … , hlm. 87
[28]             Abdul fatah, Munawir, Red.. Tradisi Orang-orang NU, … , hlm. 48
[29]             Ma’sum Zainy, Muhammad, Kupas Tuntas Tradisi Orang-orang NU, … ,hlm.95
[30]             Abdul fatah, Munawir, Red.. Tradisi Orang-orang NU, … , hlm. 277
[31]             Abdul fatah, Munawir, Red.. Tradisi Orang-orang NU, … , hlm. 302
[32]             Abdul fatah, Munawir, Red.. Tradisi Orang-orang NU, … , hlm. 302
[33]             Ma’sum Zainy, Muhammad, Kupas Tuntas Tradisi Orang-orang NU, … ,     hlm. 152

No comments:

Post a Comment