BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Nahdlatul Ulama adalah Organisasi yang berdiri ketika pada zaman
dahulu di Timur Tengah terjadi pergolakan politik dengan jatuhnya Sulatan Turki,
dan di Jazirah Arab berdiri pemerintahan Wahabi di bawah pimpinan Raja Abdul
Aziz Ibnu Su’ud yang berfaham Islam Radikal (Islam Garis Keras). Organisasi Nahdlatul Ulama (Baca: NU) didirikan oleh
KH. Hasyim Asy’ari tepatnya pada tanggal 16 Rajab 1344 H atau 31 Januari 1926
M.[1]
Seiring berkembangnya zaman dan kemajuan
teknologi diera globalisasi dalam segala bidang yang sekarang meraja lela ini, pemahaman
tentang Nahdlotul Ulama kini kian semakin surut dimata masyarakat apalagi
sekarang sudah banyak muncul faham-faham yang melenceng dari faham Ahlussunnah
Waljamaah, umumnya masyarakat menggali ilmu pertkembangan teknologi yang
berkembang dinegara-negara maju, kelalaian mereka disebabkan karena kurangnya
pendalaman pemahaman mereka pada organisasi Nahdlotul Ulama.
Pembahasan mengenai pemahaman Jamiyyah
Nahdlotul Ulama dan Ahlussunnah Waljamaah sampai saat ini masih banyak yang belum
mengetahui secara mendasar, untuk itu penulis membuat suatu karya tulis yang
berisikan beberapa cara memperkuat pendalaman tentang NU dan Ahlussunnah
Waljamaah.
Dengan mengharap Ridho Allah SWT semoga
kedepanya Jamiyyah Nahdlotul Ulama akan lebih dipelajari dan dipahami lebih
seksama, dan lebih diperhatikan, disebabkan sampai sekarang masih banyak kaum
muslimin muslimat yang belum tahu dan faham persis akan jamiyyah Nahdlotul
Ulama dan Ahlussunnah Wajamaah.
Maka dari itu karya sederhana ini penulis
beri judul;
PENDALAMAN PEMAHAMAN JAMIYYAH NAHDLOTUL
ULAMA
MEMPERKUAT PENDALAMAN TENTANG NU DAN
AHLUSSUNNAH WALJAMAAH MELALUI PENDEKATAN PENGERTIAN DARI SEJARAH BERDIRI, TOKOH-TOKOH
PENDIRI DAN AMALIYAH.
B.
Rumusan Masalah
Dari penggalan pendahuluan yang telah penulis sampaikan, maka
rumusan masalah yang dapat dituliskan dalam hal ini adalah Bagaimanakah cara
untuk mengetahui secara mendasar tentang Nahdlotul Ulama dan Ahlussunnah
Waljamaah?
C.
Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah yang diajukan, maka penelitian ini
bertujuan untuk Mengetahui lebih dalam lagi tentang Nahdlotul Ulama Ahlussunnah
Waljamaah dan lebih meningkatkan pemahaman tentang latar belakang berdiri, tokoh-tokoh
pendiri dan amaliyah NU.
D.
Kegunaan Karya Tulis
1.
Karya tulis ini berguna untuk meningkatkan pemahaman tentang
Jamiyyah NU, terlebih tentang sejarah berdiri dan tokoh-tokoh pendirinya, karya
tulis ini dapat juga digunakan sebagai muqobalah atau perbandingan dalam
pencarian referensi tentang Jamiyyah Nahdlotul Ulama.
E. Telaah
Pustaka
Untuk lebih mudahnya memaham karya tulis ini, penulis membatasi istilah yang
ada dalam karya tulis ini sebagai berikut;
1. Jamiyyah
Berakar dari bahasa arab fi’il tsulasi mujarrod yaitu جمع yang
memiliki arti kumpul, sehingga Jam’iyyah memiliki arti perkumpulan.[2]
2. Nahdlotul Ulama
Adalah organisasi yang dalam hal fiqih salah satu madzhab empat yaitu;
Imam Syafi’i, Imam Hanafi, Imam Hambali, dan Imam Maliki, Dalam hal aqidah
menganut Abu Hasan Al Asy’ari dan Imam Al Maturidi, dan dalam hal tasawuf
menganut Imam Al Ghozali dan Imam Aljunaidi Al Baghdad.[3]
3. Ahlussunnah
Adalah pengikut Sunnah-sunnah Nabi yang meliputi Aqwal (ucapan), Af’al
(perbuatan) dan Taqrir (penetapan) Nabi.[4]
4. Al Jamaah
Adalah golongan orang-orang yang ibadah dan tingkah lakunya selalu
berdasarkan Al Quran dan Hadist Nabi.[5]
5. Etika
Adalah sekumpulan asas atau nilai yang berkenaan dengan moral dan akhlak
yang menjadi pedoman dalam suatu kumpulan masyarakat, atau dapat dapat juga
diartikan sebuah studi keilmuan yang mempelajari tentang baik dan buruknya
sesuatu
6. Metode
Adalah suatu cara yang teratur degan sistem yang tersusun rapi untuk
mencapai suatu pengetahuan tertentu, sedangkan yang dimaksud dalam karya tulis
ini adalah metode dalam pemahaman Nahdlotul Ulama Ahlussunnah Waljamaah.[6]
F. Metodologi
Penulisan
Untuk memperlancar penulisan karya ini, penulis
menggunakan beberapa yang terstruktur secara sistematis, metodologi yang
penulis gunakan adalah sebagai berikut;
1. Pengumpulan Data
Pengumpulan data yang penulis laksanakan adalah berasal dari pustaka
pada pondok pesantren Ma’ahidul ‘Irfan yang berada di Dusun Soropaten, Desa
Gandusari, Kecamatan Bandongan, Kabupaten Magelang, dengan didampingi beberapa
pustaka dari kitab-kitab pelajaran yang dipelajari di pondok pesantren
Ma’ahidul ‘Irfan.
2. Teknis Analisis Data
Analisis data merupakan suatu sistem penerapan dalam menyusun suatu
susunan, Analisis yang dimaksud penulis dalam karya ini adalah Analisis tentang
latar belakang berdiri, pendiri dan amaliyahnya NU, Adapun tujuanya adalah
untuk lebih dalam lagi meningkatkan kepahaman tentang jamiyyah Nahdlotul Ulama
Ahlussunnah Waljamaah.
G. Metode
Analisis Data
Penyusun menggunakan beberapa metode, yaitu:
1. Metode Deskriptif
Membahas objek penelitian secara apa adanya berdasarkan data-data yang
diperoleh. Adapun teknik deskriptif yang digunakan adalah analisa kualitatif.
Dengan analisa ini akan diperoleh gambaran sistematik mengenai isi suatu
dokumen. Dokumen tersebut diteliti isinya kemudian diklasifikasikan menurut
kriteria atau pola tertentu.
2. Metode Interprestasi
Adalah sebuah upaya mengungkapkan atau membuka suatu pesan yang
terkandung dalam teks yang dikaji, menerangkan pemikiran tokoh yang menjadi
objek penelitian dengan memasukkan faktor luar yang terkait erat dengan
permasalahan yang diteliti.
H. Sistematika
Penulisan
Dalam karya tulis ini, penulis membuat
suatu sistem penulisan yang tersusun dari awal sampai pada akhir penulisan
sebagai berikut;
Sampul Luar
Sampul Dalam
Surat Pernyataan Keaslian
Halaman Pengesahan
Motto
Halaman Persembahan
Kata Pengantar
Daftar Isi
Daftar Lampiran
BAB I Pendahuluan
Dalam bab ini terdapat Latar Belakang
Masalah, Rumusan Masalah, Tujuan Penulisan, Kegunaan Karya tulis, Telaah
Pustaka, Metode Penulisan, Metode Analisa Data, dan Sistematika Penulisan.
BAB II Landasan Teori
Pada bab ini beisi arti Kata Nahdhoh, Ulama, Nahdlotul Ulama, Ahlun,
Assunnah, Aljamaah dan Ahlussunnah Waljamaah.
BAB III Analisa
Maslah
Pada bab ini berisi tentang Arti Aswaja, Dasar-dasar Aswaja, Nilai-nilai
Aswaja, Aliran-aliran Dalam Islam, Berdirinya NU, Pendirinya NU, Arti Lambang
NU dan Amaliya-amaliyah NU. .
BAB IV Penutup
Dalam bab ini berisi kesimpulan, saran-saran, dan penutup.
Lampiran
Berisi
beberapa lampiran yang mendukung terselesaikannya karya tulis ini.
BAB II
LANDASAN TEORI
Untuk mempermudah pemahaman, penulis
membatasi istilah-istilah dengan arti sebagai berikut;
A. Nahdhoh
Nahdhoh berasal dari bahasa arab fi’il tsulasi mujarrod yaitu نهض
yang
memiliki arti bangkit, sehingga Nahdhoh diartikan Kebangkitan, Ulama Salaf
memilih kata tersebut dengan tujuan untuk lebih mendongkrak atau membangkitkan
para ulama yang pada saat itu dalam keterpurukan, untuk selalu semangat
meluhurkan atau menyebarkan agama Allah SWT yaitu agama islam, khususnya dalam
suatu golongan yang hanya ada 1 golongan dari 73 golongan yang selamat(surga),
yaitu golongan Ahlussunnah Waljamaah, Untuk itulah para Ulama Salaf memilih
kata tersebut.
B. Ulama
Kata Ulama adalah bentuk jama’ taksir dari mufrod عالم yang
artinya orang pandai, sehingga Ulama juga bisa diartikan orang-orang pandai, adapun
yang dimaksud disini adalah pandai dalam ilmu agama islam, dalam bahasa
indonesia kata Ulama memiliki arti mufrod(tunggal) dan mempunyai arti khas
yaitu orang-orang pandai dibidang agama.[7]
C. Nahdlotul
Ulama
Nahdlotul Ulama adalah kata majemuk yang berasal dari bahasa arab
yaitu; نهضة العلماء Adapun
kata majemuk tersebut, terdiri dari 2 patah kata yang sudah tertera diatas
yaitu;
a. Kata
نهضة yang artinya ; Kebangkitan
b. Kata
علماء yang artinya ; Alim Ulama
Dengan demikian, Maka kata Nahdlotul Ulama
mengandung arti Kebangkitan Para ‘Alim ‘Ulama.[8]
D. Ahlun
Ahlun berasal dari bahasa arab yang
mengandung arti Keluarga atau juga bisa diartikan Pengikut dalam suatu
Organisasi atau Golongan.
E. Assunnah
Sunnah adalah jejak langkah Rosulullah SAW yang meliputi Aqwal (ucapan),
Af’al (perbuatan) dan Taqrir (penetapan), atau juga bisa diartikan Ajaran
Rosululloh SAW yang telah dipraktekkan Beliau semasa hidup Beliau.
F. Aljamaah
Jamaah juga berasal dari bahasa arab yang artinya Kelompok atau
Golongan, yang didalamnya terdapat orang-orang yang ikut berpartisipasi, berandil
dan berkiprah dalam Kelompok tersebut, Adapun disini juga bisa diartikan suatu
Kelompok atau Golongan yang menganut Sunnah Nabi dan para SahabatNya.
G. Ahlussunnah
Waljamaah
Dengan adanya keterangan yang tertera diatas, Maka dapat
disimpulkan bahwa Ahlussunnah Waljamaah adalah Golongan islam yang berpegang
teguh pada Ajaran Rosulullah SAW, yang telah dipraktekkan oleh Beliau bersama
para SahabatNya semasa hidup Beliau, dan apa yang telah dipraktekken oleh
Sahabat-sahabatNya sepeninggal Beliau, Khususnya Khulafaur Rosyidin.[9]
BAB III
ANALISA MASALAH
A. Istilah
Ahlussunnah Waljamaah
Ahlussunnah Waljamaah itu terdiri dari 3 kalimat yaitu;
a.
Kalimat Ahlun yang artinya
Keluarga atau Pengikut
b.
Kalimat Assunnah yang artinya Jalan atau Jejak
c.
Kalimat Aljamaah yang artinya Kelompok atau Golongan
Kemudian kalimat-kalimat tersebut digaabung menjadi satu yaitu Ahlussunnah
Waljamaah yang berarti pengikut
Sunnah Nabi dan Sahabat-sahabat Nabi, dengan demikian Ahlussunnah Waljamaah
adalah Golongan islam yang berpegang teguh pada ajaran Rosulullah SAW yang
telah dipraktekkan Beliau bersama para sahabatNya semasa hidup Beliau dan apa
yang telah dipraktekkan sahabat sepeninggal Beliau, khususnya Khulafaur
Rosyidin. Ahlussunnah Waljamaah juga biasa disingkat Aswaja.[10]
Pengertian Ahlussunnah Waljamaah tersebut seperti maqsud hadist Nabi yang
diriwayatkan oleh Imam Thabroni, yang berbunyi;
وَسَتَفْتَرِقُ اُمَتِيْ
عَلى ثَلاَثٍ وَسَبْعِيْنَ فِرْقَةً وَاحِدَةٌ مِنْهَا نَاحِيَةٌ وَالْبَاقُوْنَ هَلْكى
قَالُوْا: وَمَا النَاحِيَةُ يَارَسُوْلَ اللهِ، قََالَ اَهْلُ السُنَةِ وَالْجَمَاعَةِ،
قَالَ مَااَنَا عَلَيْهِ وَاَصْحَابِى)راوه الطبرانى(
Artinya; Dan umatku akan pecah menjadi 73 golongan, hanya satu yang
selamat diantara mereka, sedangkan sisanya rusak atau binasa, Sahabat bertanya;
siapakah yang selamat itu Ya Rosululloh, , ?
Nabi menjawab; Ahlussunnah Waljamaah, Sahabat bertanya lagi; Apakah
Ahlussunnah Waljamaah itu. .? Nabi
menjawab; Apa yang aku lakukan atau perbuat hari ini dan para Sahabatku.[11]
Ahlussunnah Waljamaah dapat juga disebut Assawadul A’dhom yakni golongan
terbesar umat islam yang didalamnya terhimpun para ulama Ahlul Haq dari
berbagai bidang ilmu; Ada ahli ilmu tauhid, ilmu fiqih, ilmu tasawwuf, ilmu
hadist, ilmu tafsir dan sebagainya.
1. Dibidang Tauhid Ahlussunnah Waljamaah
mengikuti rumusan Abu Hasan Al-Asy’ari dan Abu Mansur Al-Maturidi, Keduanya
merumuskan sifat-sifat Allah SWT yang wajib ada 20, mustahil ada 20 dan jaiz
ada1, Sedangkan sifat-sifat Rosul yang wajib ada 4, mustahil ada 4 dan jaiz ada
1, semuanya berjumlah 50 yang disebut Aqaid 50 (lima puluh).
2. Dalam bidang Fiqih atau Syari’ah, dasar-dasar
yang digunakan untuk menetapkan hukum Ahlussunnah Waljamaah adalah sebagaimana
yang diajarkan oleh madzhab empat yaitu; Madzhab Syafi’i, Madzhab Maliki, Madzhab
Hanafi dan Mazdhab Hambali.
3. Adapun didalam bidang Tasawwuf Ahlussunnah
Waljamaah mengikuti Imam Junaid Al-Baghdadi dan Imam Al-Ghozali, Keduanya
merupakan pelopor Ahlussunnah Waljamaah dalam bidang tasawwuf yang telah
merumuskan ajaran taswwuf secara rapi, jelas dan luas.
B. Dasar-dasar
Ahlussunnah Waljamaah
Terdapat beberapa dasar yang
dimana golongan Ahlussunnah Waljamaah
selalu berpegang teguh pada dasar-dasar
tersebut, yaitu;
1. Al Quran
Dalil Alquran adalah dasar yang paling kuat diantara lainya untuk
menentukan hukum islam, karena Alquran merupakan wahyu Allah SWT yang
diturunkan kepada Junjungan kita Nabi Agung Muhammad SAW melalui perantara
Malaikat Jibril.
2. Hadist Nabi
Dasar pokok yang kedua setelah Alquran adalah Hadist Nabi Muhammad SAW
yang berupa suri tauladan dan anjuran-anjuran Nabi yang meliputi Aqwal (ucapan),
Af’al (perbuatan) dan Taqrir (ketetapan) Nabi.
3. Ijma’
Ijma’ adalah kesepakatan para mujtahid mengenai hukum, ijma’ baru
digunakan sebagai dalil terhadap suatu perkara, setelah tidak ditemukan
dalilnya dari Alquran dan Hadist.
4. Qiyas
Qiyas adalah menyamakan hukum suatu masalah yang belum diketahui
hukumnya dengan masalah lain yang sudah diketahui hukumnya.[12]
Empat dasar tersebutlah yang dari dulu sampai sekarang yang selalu
dipegang teguh oleh kaum Ahlussunnah Waljamaah, dan dengan empat dasar
tersebutlah Ahlussunnah Waljamaah masih
berdiri tegak, kokoh dari dulu sampai sekarang, empat dasar hukum tersebut
adalah sesuai dengan firman Allah SWT yang berbunyi;
يَااَيُّهَاالَّذِيْنَ
اَمَنُوْااَطِيْعُوْااللهَ وَاَطِيْعُوْاالرَّسُوْلَ وَاُولِى اْلاَمْرِ مِنْكُمْ
، فَاِنْ تَنَازَعْتُمْ فِى شَيْءٍِ فَرُدُّوْهُ اِلَى اللهِ
وَالرَّسُوْلِ النساء:٥٩
Artinya; Hai orang-orang yang beriman, taatlah kepada Allah SWT dan
taatlah kepada RosulNya dan Ulil Amri diantara kamu, kemudian jika kamu
berlainan pendapat tentang suatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Alquran)
dan Rosul (Sunnahnya). (Q.S. An-Nisa’: 59)
C. Nilai-nilai
Ahlussunnah Waljamaah
Sebagaimana diuraikan diatas bahwa ajaran Ahlussunnah Waljamaah adalah satu-satunya
ajaran islam yang HAQ (ahlul haq), Ada Empat nilai yang menjadi watak dan sikap
Ahlussunnah Waljamaah yang menjadikan faham ini mampu bertahan sampai sekarang,
Nilai-nilai tersebut diantaranya adalah;
1. Tawassud dan I’tidal
Tawassud artinya sikap berada ditengah-tengah, maksudnya keseimbangan
antara pengguna pemikiran rasional dengan Dalil-dalil Alquran. I’tidal artinya
bersikap adil dalam kehidupan, maksudnya menyeimbangkan antara penggunaan akal
dengan dasar dari dalil-dalil Alquran, serta senantiasa menegakkan keadilan.
2. Tawazzun
Tawazzun artinya sikap seimbang dalam pengadilan, baik dalam pengabdian
kepada Allah SWT, pengabdian kepada sesama manusia dan lingkunganya, juga
keseimbangan dalam kehidupan dunia dan kehidupan akhirat
3. Tasamun
Tasamun artinya bersikap toleran terhadap perbedaan pandangan, baik
dalam masalah keagamaan maupun dalam masalah keduniaan dan kemasyarakatan.
4. Amar Ma’ruf Nahi Mungkar
Amar ma’ruf nahi mungkar artinya selalu memiliki kepekaan untuk
mendorong perbuatan yang baik dan bermanfaat bagi kehidupan bersama, serta
menolak dan mencegah semua hal yang dapat menjerumuskan dan merendahkan
nilai-nilai kehidupan.[13]
D. Aliran-Aliran
dalam Islam
Ajaran Ahlussunnah Waljamaah merupakan ajaran islam yang haq (Ahlul haq),
sebab ajaran tersebut merupakan ajaran yang diajarkann dan diamalkan oleh
Rosulullah SAW, para sahabat, tabiin dan tabiit tabiin, Diantara mereka ada
yang ahli Hadist (muhaddisin), seperti Abu Hurairah, Imam Bukhori, Imam Muslim
dan lainya, ada juga ahli Fiqih (fuqaha’), seperti Zaid bin Tsabit, Imam
Madzhab empat dan lainya, ahli ilmu Kalam (mutakallimin), seperti Al-Asy’ari
dan Al-Maturidi, ahli Tasawwuf, seperti Imam Aljunaidi, Imam Ghozali, Syech
Abdul Qodir Jaelani dan yang lain, Mereka adalah pengikut setia ajaran
Ahlussunnah Waljamaah, tidak saja mengamalkanya tetapi juga selalu berusaha mempertahankan ajaran tersebut dari
serangan ajaran-ajaran aliran lain yang menyesatkan, Ada beberapa aliran yang
menyimpang dari ajaran Ahlussunnah Waljamaah antara lain;
1. Aliran Syi’ah
Yaitu aliran yang sangat memuja dan mengunggul-unggulkan Sayyid Ali bin
Abi Thalib, menurut aliran ini kedudukan nabi sebenarnya layak bagi Ali, demikian
pula Ali lebih layak dan lebih berhak menjadi kholifah, Oleh karena itu aliran ini
menganggap bahwa Abu Bakar, Umar bin Khatab dan Usman bin Affan mengambil hak
Ali bin Abi Thalib sebagai kholifah.
2. Aliran Khawarij
Yaitu golongan yang keluar dari jamaah kaum muslimin, diantara paham
aliran ini adalah;
a.
Setiap orang yang tidak mengikuti aliranya adalah
kafir
b.
Setiap dosa adalah dosa besar, tidak ada dosa kecil
3. Aliran Muktazilah
Yaitu aliran yang mengagungkan kekuatan akal, tokohnya adalah Washil bin
Atha, adapun beberapa ajaranya adalah;
a. Allah SWT tidak mempunyai sifat
b. Ukuran baik buruk ditentukan oleh akal, bukan
oleh dalil atau wahyu
4. Aliran Qadariyah
Yaitu aliran yang berpaham bahwa manusialah yang menciptakan perbuatanya
sendiri bukan ditentukan oleh Allah SWT, tokohnya adalah Ibrahim bin Sajar, adapun
ajaran-ajaranya adalah;
a. Taqdir itu tidak ada
b. Ijma’ para ulama tidak bisa dijadikan
pegangan
5. Aliran Jabariyah
Yaitu aliran yang didirikan oleh Jaham bin Sofwan, Ajaran-ajaranya
adalah;
a. Usaha atau ikhtiyar itu tidak ada gunanya
b. Iman cukup dalam hati saja tidak perlu
diucapkan, jadi tidak perlu membaca syahadat
6. Aliran Musyabihat
Yaitu aliran yang menyerupakan Allah SWT dengan makhluk, Tokohnya adalah
Abu Abdillah Alwaraq, Ajaran-ajaranya adalah;
a. Allah SWT mempunyai tangan, hidung, mata, kaki
dan lainya, seperti manusia
b. Allah itu bertempat diatas langit
7. Aliran Murji’ah
Yaitu aliran yang ditokohi oleh Hasan bin Hilal al Muzuy dan Abu Salaat,
Ajaran-ajaranya adalah;
a. Rukun iman itu hanya ada dua, yaitu hanya
mengenal Allah SWT dan RosulNya
b. Asal sudah mengenal Allah SWT dan RosulNya
maka berbuat dosa tidak dilarang lagi
8. Aliran Najjariyah
Yaitu aliran yang didirikan oleh Abu Abdillah Husain Alnajjar, Ajaran-ajaranya
adalah;
a. Allah SWT tidak mempunyai sifat
b. Orang berbuat dosa pasti masuk neraka, karena
syafa’at dan ampunan Allah SWT tidak ada
9. Aliran Wahabiyyah (Wahabi)
Yaitu aliran yang didirikan oleh Muhammad bin Abdul Wahab, Ajaran-ajaranya
adalah;
a. Tawassul itu syirik dan Tahlilan itu bid’ah
yang sesat
b. Membangun qubah diatas makam itu haram
c. Syafa’at selain Nabi itu tidak ada, dan
memohonya termasuk perbuata syirik
d. Selamatan orang mati hukumnya bid’ah dan
sesat
10.
Aliran Bahaiyah
Yaitu aliran yang didirikan oleh Bahaullah, Ajaran-ajaranya adalah;
a. Agama islam, Yahudi dan Nasrani harus
disatukan
b. Berperang memakai senjata hukumny haram, walaupun untuk membela agama Allah SWT
c. Membenarkan ajaran Wahdatul Wujud
(Manunggaling Gusti lan Kawulo), sebagaimana ajaran yang dianut oleh Syech Siti
Jenar, Hamzah dan lainya.
11.
Aliran Ahmadiyyah
Yaitu aliran yang dibangun oleh Mirza Ghulam Ahmad di pakistan, Ajaran-ajaranya
adalah;
a. Mirza Ghulam Ahmad adalah Nabi
b. Syariat belum sempurna dan karenanya
disempurnakan oleh Mirza Ghulam Ahmad.[14]
E. Berdirinya
Nahdlotul Ulama
Riwayat berdirinya Nahdlotul Ulama, Pada zaman dahulu ketika di timur
tengah terjadi pergolakan politik dengan jatuhnya Sultan Turki, dijazirah Arab
berdiri pemerintahan wahabi dibawah pimpinan Raja Abdul Azaiz Ibnu Suud,
Raja Abdul Aziz Ibnu Suud berfaham islam radikal (keras), ia melarang
semua amalan ibadah kaum muslimin yang tidak ada pada zaman Nabi Muhammad SAW, umpamanya,
ia melarang pemakaian kata Sayyidina di depan nama Rosulullah SAW pada waktu
sholat, berziarah kubur dan masih banyak lagi yang dilarang oleh Raja Abdul
Aziz Ibnu Suud.
Dengan tindakan radikal itu, hampir semua makam yang ada dimakkah dan
madinah diratakan dengan tanah, kecuali Makam Nabi Muhammad SAW, Makam para
Sahabat-sahabat yang ada disekitarnya, masjid Nabi dan Roudlotus Syarifah yang
tidak ikut dihancurkan dan masih utuh sampai sekarang.
Melihat peristiwa tersebut para ulama Indonesia (khususnya yang mengikuti
faham Ahlussunnah Waljamaah) berupaya mencegah tindakan radikal Raja Abdul Aziz
Ibnu Suud dengan membentuk komite Hijaz, kemudian komite Hijaz mengutus
deligasi untuk menghadap Raja Abdul Aziz Ibnu Suud dimakkah dengan maksud
supaya perbuatan radikalnya dihentikan, Alhamdulillah permohonan para ulama
tersebut mendapat tanggapan baik dari Raja Abdul Aziz Ibnu Suud, sehingga sikap
radikalnya dapat dikurangi,
Setelah menghadap Raja Abdul Aziz Ibnu Suud, pada tanggal 16 Rajab 1344 H atau 31 Januari 1926 M rapat
pembubaran komite Hijaz dilaksanakan, pada kesempatan itu sosok ulama yang
menjadi pendiri Nahdlotul Ulama, yang tiada lain adalah KH. Hasyim Asy’ari
mengusulkan agar usaha memperjuangkan faham Ahlussunnah Waljamaah terus
dilanjutkan dan diperluas, atas persetujuan para peserta rapat, akhirnya
dibentuklah organisasi atau jamiyyah yang diberi nama Nahdlotul Ulama “Kebangkitan Para Ulama”, sebagai
kelnjutan komite Hijaz yang telah dibubarkan, dan pada saat itu juga disepakati
sebagai hari lahirnya atau berdirinya Nahdlotul Ulama.
Organisasi ini memperjuangkan Aqidah islam Ahlussunnah Waljamaah faham
Al-asy’ari dan Al-maturidi, dalam masalah Syar’iah islam organisasi ini mengikuti salah satu dari madzhab empat yaitu
madzhab Syafi’i, madzhab Hanafi, madzhab Hambali dan madzhab Maliki, dan dalam
masalah Tasawwuf organisasi ini mengikuti imam Aljunaidi Albaghdadi dan imam
Alghozali.
Nahdlotul Ulama berkeyakinan mengikuti salah satu madzhab dalam masalah
Syariat islam adalah benar, hal ini harus diperjuangkan dan tetap ditegakkan
karena berpijak dari Alquran, Hadist, Ijma’ dan Qiyas. Hal tersebut berdasarkan
hadist Rosulullah SAW yaitu;
فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِى
وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ الْمُهَديِّنَ رواه ابوداود والترمذى
Artinya; Hendaknya
kamu semua berpegang teguh pada Sunnahku, dan Sunnah Khulafaur rasyidin yang
mendapat petunjuk.
( HR. imam Abu Dawud dan imam Turmudzi ).
F. Tokoh-tokoh
Pendiri Nahdlotul Ulama
1. KH. Hasyim Asy’ari
a. Riwayat Hidup
Nama lengkap KH. Hasyim Asy’ari adalah KH. Muhammad Hasyim
Asy’ari, beliau dilahirkan di Desa Nggedang sebelah utara Jombang Jawa Timur
pada hari selasa, 14 februari 1871 M atau 24 Dzulqo’dah 1287 H, Ayahanda beliau bernama KH. Asy’ari,
seorang ulama dari Demak Jawa Tengah, sedangkan Ibunda beliau bernama Ny.
Halimah.
Sebagai seorang putra kyai, KH. Hasyim Asy’ari
memperoleh pendidikan dasar agama khas pesantren dari orang tuanya sendiri, setelah
berusia 14 tahun KH. Hasyim Asy’ari berturut-turut belajar dari pesntren ke
pesantren lain yang masih berada diwilayah
jawa timur dan Madura, pertama KH. Hasyim Asy’ari menimba ilmu agama di
Wonokoyo (Purbalingga), kemudian pindah
ke Ponpes Langitan (Tuban), terus melanjutkan ke Ponpes Trenggilis (Semarang), sampai
disini KH. Hasyim Asy’ari belum puas dengan berbagai ilmu yang telah
diperolehnya, maka pada tahun 1891-1892 beliau kembali nyantri di Ponpes
Siwalan Panji (Sidoarjo) pimpinan KH. Ya’kub, seorang yang berpandang luas dan
Alim dalam agama,
Selama di Ponpes Siwalan, perilaku KH. Hasyim Asy’ari
yang potensial dan ilmu agamanya bagus selalu diperhatikan gurunya yang tak
lain adalah KH. Ya’kub, tak lama kemudian pada tahun 1303 H atau 1892 M, KH.
Hasyim Asy’ari waktu itu berusia 21 tahun dijodohkan dengan Chadidjah, yang tak lain
adalah putri gurunya sendiri yaitu KH. Ya’kub, kemudian pada tahun 1892 setelah
melngsungkan pernikahan, KH. Hasyim Asy’ari bersama sang istri melaksanakan
ibadah Haji dan mencari ilmu pengetahuan di Makkah. Namun, sebelum semua
maksudnya kesampaian, Sang istri lebih dulu pulang ke Rohmatullah, sehingga KH.
Hasyim Asya’ri kembali ke Indonesia. Berselang 1 tahun tepatnya pada tahun 1983 KH. Hasyim
Asy’ari berangkat lagi ke Makkah, sampai 7 tahun lamanya KH. Hasyim Asy’ari menimba ilmu di Makkah,
setelah itu KH. Hasyim Asy’ari kembali ke Indonesia pada tanggal 1899, beberapa
kyai yang pernah menjadi gurunya di Makkah adalah Syech Ahmad Khatib dari
Minangkabau dan Syech Mahfudz At-Tirmisi.
Setelah kembali dari Makkah, KH. Hasyim Asy’ari
mendirikan Pondok Pesantren Tebuireng di Jombang, yang dibantu
saudara iparnya yaitu KH. Alwi pada tanggal 26 Robiul Awal 1317 H.(1899 M), Awalnya Pondok Pesantren ini hanya diminati Tujuh
orang santri, namun bulan kemudian santrinya bertambah Dua puluh satu orang, dan
secara berangsur-angsur nama pesntren
dan nama pengasuhnya menjadi masyhur, Pondok Pesantren ini diakui
keunggulanya oleh banyak pihak, yang belajar di Pondok Pesantren ini tidak
hanya para santri akan tetapi banyak para kyai-kyai yang ikut menimba ilmu dan
mencari Berkahnya KH. Hasyim Asy’ari di Pondok Pesantren ini, salah satunya
dari kyai yang menimba ilmu di Pondok Pesantren ini adalah Kyai yang dulu
pernah menjadi gurunya KH. Hasyim Asya’ri. Dan para kyai yang menjadi guru-guru
beliau sering berkunjung di Pondok Pesantren ini untuk mengikuti pelajaran yang
dismpaikan oleh KH. Hasyim Aya’ri, Bahkan KH. Hasyim Asy’ari yang punya
Spesialisasi ilmu hadist itu pernah didatangi tokoh basar yang pernah menjadi
gurunya yaitu KH. Muhammad Cholil (Bangkalan) yang selama ini dikenal sebagai
tokoh ilmu Nahwu (tata bahasa arab) dan tokoh ilmu Fiqih.
Pengalaman KH. Muhammad Cholil untuk berganti berguru
kepada KH. Hasyim Asya’ri memberi petunjuk bahwa ke’Aliman KH. Hasyim Asy’ari
sangat diterima di masyarakat, dalam sejarah islam (khususnya di Jawa) peran
KH. Hasyim Asy’ari sangat besar, sampai Beliau dikenal dengan sebutan Hadratus
Syaikh (Guru besar dilingkungan pesantren), pengaruhnya sangat besar dalam
membentuk kader-kader Ulama pimpinan pesantrenya, banyak Pondok Pesantren besar
yang terkenal, terutama yang berkembang di Jawa Timur dan Jawa Tengah
dikembangkan oleh para Kyai hasil didikan KH. Hasyim Asy’ari. Diantara Pondok
Pesantren yang diasuh Alumni Pondok Pesantren Tebuireng antara lain;
1. Pondok Pesantren Sukorejo-Asembangus
(Situbondo)
2. Pondok Pesantren Lirboyo (Kediri)
3. Pondok Pesantren Mambaul Ma’arief (Jombang),
dan
4. Pondok Pesantren Lasem (Rembang)
Inilah empat pondok besar yang diasuh para pengasuh
yang dulunya menimba ilmu (nyantri) dengan KH. Hasyim Asy’ari di Pondok
Pesantren Tebuireng,
Dalam kebiasaan sehari-hari KH. Hasyim Asy’ari dikenal
sebagai tokoh yang disiplin, disetiap minggunya ada dua yang libur mengaji di
Pondok Pesantren Tebuireng, yaitu hari selasa dan jum’at, hari libur ini
dimanfaatkan oleh beliau untuk menjenguk sawah dan kebunya di Desa Jombok
(sekitar 10 km selatan Tebuireng) atau digunakan untuk membaca kitab-kitab dan
buku-buku untuk memperluas wawasan, dan pada malam harinya KH. Hasyim Asy’ari
menuliskan pikiran-pikiranya, Oleh karena itu, sepeninggalnya ada Dua kitab peninggalan
beliau yang dapat dibaca yaitu;
1. Ihyu Amali Fudala Muqaddimah Qonun Asasi, yang
didalamya memaparkan tata cara bermadzhab
2. Ad-Durar Al-Muntasyiroh fi Masail At-Tisna
Asyarah, yang membimbing perlunya berhati-hati memasuki kehidupan dunia tareqat
b. Jasa-jasa KH. Hasyim Asy’ari
1. Mengenalkan Sistem Musyawarah
Masa kebangkitan Pondok Pesantren di
indonesia terjadi pada tahun 1900, yaitu diawali dengan Pondok Pesantren Tebuireng yang
menjadi pusat pembaharuan bagi pendidikan islam tradisional, KH. Hasyim Asy’ari
selaku pemilik sekaligus pengasuh Pondok Pesantrentersebut membawa perubahan
yang sangat pesat bagi dunia pendidikan setelah pulangnya dari Makkah, yaitu
dengan metode pengajaranya yang cukup sistematis, contohnya; mengembangkan
sistem musyawarah atau diskusi, yang dilaksanakan antar kelas atau dalam satu
kelompok yang dapat menghidupkan suasana kreatif para santri.
Pelajaranya meliputi; Bahasa Melayu, Matematika
dan Ilmu Bumi, selanjutnya juga diajarkan Bahasa Belanda dan Sejarah Indonesia,
yang memperkenalkan pelajaran ini adalah KH. Ilyas, yang telah menamatkan
pelajaranya di HIS Surabaya, di Pondok Pesantren Tebuireng model diskusi ini
dilaksanakansecara terencana dan tertib.
2. Pemikiran KH. Hasyim Asy’ari
Selama belajar di Makkah, KH. Hasyim
Asy’ari juga mengenal dan mempelajari ide-ide pembaharuan Muhammad Abduh, tetapi
beliau tetap kritis dan berhati-hati, khususnya yang berkenaan dengan kebebasan
berpikir dan pengabaian nilai hasanah keislaman, seperti masalah bermadzhab, KH.
Hasyim Asy’ari mempunyai pendirian bahwa merujuk atau mengambil langsung dalil-dalil
Alquran dan Hadist tanpa melalui ijtihad para madzhab itu tidak mungkin, tidak
mungkin seseorang memperoleh hasil pemikiran yang utuh, tanpa melalui belajar
dari kitab-kitab para ulama besar terdahulu dan imam madzhab, karena akan
menghasilkan pemahaman yang keliru tentang ajaran islam, Pemikiran KH. Hasyim
Asy’ari tersebut, sesuai dengan pemikiran budaya pada masa-masa berikutnya, terutama
dari kalangan Nahdlotul Ulama.
Ketokohan KH. Hasyim Asy’ari di Jamiyyah
Nahdlotul Ulama sangat netral, sehingga beliau menjadi tipe utama sosok
pemimpin, karena beliau mampu mengembangkan islam melalui lembaga pesantren dan
mampu mengorganisasikan perjuangan politik melawan penjajah, telah banyak tokoh
pesantren hasil didikan KH. Hasyim Asy’ari yang berjasa mengisi kemerdekaan Republik
Indonesia (RI). Kebanyakan dari mereka mampu menjadi tokoh panutan di medan
juang masing-masing dalam mengisi kemerdekaan, sedangkan dalam politik melawan penjajah,
KH. Hasyim Asy’ari telah berjuang melalui penyampaian fatwa-fatwa, pemikiran-pemikiran,
pergerakan, serta pengerahan kekuatan untuk mewujudkan Indonesia merdeka.
KH. Hasyim Asy’ari pulang ke Rahmatullah
dua tahun setelah Kemerdekaan Indonesia, Tepatnya pada tanggal 25 Juli 1947, dan
dimakamkan dibelakang Pondok Pesantren Tebuireng Jombang, dan berdasarkan Surat
Keputusan (SK) Presiden no. 29/1964, KH. Hasyim Asy’ari diakui sebagai pahlawan Kemerdekaan
Indonesia, ini suatu bukti bahwa KH. Hasyim Asy’ari bukan saja tokoh utama
agama, akan tetapi juga tokoh Nasional.[15]
2. KH. Wahab
Hasbullah
a. Riwayat Hidup
KH. Wahab Hasbullah dilahirkan di Jombang, tepatnya
pada tahun 1880, KH. Wahab Hasbullah adalah putra dari KH. Hasbullah,
pengasuh Pondok Pesantren Tambak Beras Jombang, pengetahuan dasar keislaman KH.
Wahab Hasbullah ditimba dari Ayahnya sendiri sampai Beliau berusia 13 tahun, diantaranya
adalah tentang ilmu tata bahasa Arab, Tauhid dan Fiqih, setelah itu Beliau
melanjutkan pendidikanya di beberapa Pondok Pesantren diantaranya; pertama
Beliau belajar di Pondok Pesantren Pelangitan (Tuban Jawa Timur) selama satu
tahun, lalu ke Pondok Pesantren Mojosari (Nganjuk Jawa Timur) dibawah bimbingan
KH. Saleh dan KH. Zainuddin selama empat tahun, guna mendalami kitab Fiqih
Fathul Muin, kemudian ke Pondok Pesantren Cepaka selama enam bulan, lalu
melnjutkan menimba ilmu ke Pondok Pesantren Tawangsari (dekat Surabaya) dibawah
Asuhan KH. Ali, Setelah itu barulah Beliau mendalami tata bahasa Arab dan ilmu
Fiqih kepada KH. Muhammad Cholil di
Pondok Pesantren Kademangan (Bangkalan Madura) selama tiga tahun,
Ditempat inilah KH. Wahab Hasbullah
disarankan untuk melanjutkan menimba dan mendalami ilmunya di Pondok Pesantren
Tebuireng (Jombang), saran biasa dipahami sebagai isyarat ketokohan sang Kyai
(KH. Hasyim Asy’ari) dikalangan umat, Namun sebelum melaksanakan saran KH.
Muhammad Cholil , KH. Wahab Hasbullah sempat belajar ilmu tafsir Alquran, Teologi
islam dan Tasawwuf di Pondok Pesantren Branggahan (Kediri) dibawah Asuhan Kyai
Faqihuddin, setelah itu barulah KH. Wahab Hasbullah memenuhi saran KH. Muhammad
Cholil untuk melanjutkan menimba ilmu ke Pondok Pesantren Tebuireng dibawah
Asuhan KH. Hasyim Asy’ari.
Dari pengalaman nyantri atau menimba ilmu
di berbagai pesntren, maka KH. Wahab Hasbullah ditokohkan sehingga terpilih
menjadi pimpinan pondok dan ikut sebagai anggota Kelompok Musyawarah, kelompok
musyawarah ini sangat efektif dan prodktif, dan teman-teman Beliau yang ikut
kelompok musyawarah ini banyak yang menjadi Kyai Masyhur, diantaranya adalah
KH. Manaf Abdul Karim (Pendiri Pondok Pesantren Lirboyo Kediri) dan KH. As’ad
Syamsul Arifin (Pengasuh Pondok Pesantren Sukorejo Situbondo).
Selama empat tahun KH. Wahab Hasbullah
tinggal di Pondok Pesantren Tebuireng, selain menjadi pemimpin pondok dan
mengikuti kelompok musyawaroh, KH. Wahab Hasbullah juga ikut mengajar para
santri, selama di Pondok Pesantren Tebuireng Jombang waktunya banyak tercurah
untuk mengembangkan kemampuan yang dimilikinya, KH. Wahab hasbullah selalu
menunaikan nasihat gurunya, diantaranya sebelum pulang memimpin pondok
pesantren untuk menggantikan Ayahnya, supaya Beliau menyempatkan diri menimba
ilmu di Makkah, selama empat tahun KH. Wahab Hasbullah menimba ilmu di Makkah, dan
sempat menimba ilmu pada beberapa guru yang Alim dan Masyhur, diantaranya
adalah;
a) Syech Mahfudz At-Termasy (Termas, Pacitan)
b) Syech Ahmad Khatib (Minangkabau)
c) Syech Abdul Hamid (Kudus)
d) KH. Muhtaram (Banyumas)
e) KH. Bakir (Yogyakarta), dan
f) KH. Asy’ari (Bawean)
b. Masa Perjuangan
Sukar menyebutkan secara rinci jasa KH.
Wahab Hasbullah, baik ketika masih berjuang melawan belanda maupun setelah
Kemerdekaan Indonesia, sebagian masa perjuangan KH. Wahab Hasbullah disebutkan
sebagaimana berikut ini;
1. Perjuangan Pada Masa Belanda
Tepatnya pada tahun 1914, KH. Wahab
Hasbullah bersama KH. Mas Mansoer mendirikan;
Taswirul
Afkar
yaitu kelompok diskusi sebagai penyalur aspirasi pemuda dan himpunan
pengikat potensi kepemudaan, berbagai persoalan masyarakat yang meliputi agama,
dunia internasional dan aspirasi nasional yang timbul akibat dari sistem
penjajah dibicarakan dalam kelompok diskusi ini,
Nahdlotul Wathan yaitu
kebangkitan tanah air, forum ini digunakan untuk menggembleng banyak ulama
untuk membela tanah air dari cengkraman penjajah di Indonesia.
Syubbanul
Wathan yaitu pemuda tanah air, forum
ini berdiri diprakarsai oleh Abdullah Ubaid, yang lebih memperkuat operasional
Nahdlotun Wathan.
Ketiga forum diatas, pada hakekatnya
merupakan satu Aliran dan akhirnya bersatu menjadi Komite Hijaz yang dipimpin
oleh KH. Wahab Habullah, Komite Hijaz pada tanggal 13 Januari 1926 M
mengirimkan surat kepada Raja Abdul Aziz Ibnu Suud dan juga telah mendirikan
organisasi keagamaan yang diberi nama Nahdlotul Ulama.
2. Perjuangan Pada Zamam Jepang
a. KH. Wahab Hasbullah berhasil membebaskan
KH. Hasyim Asy’ari dan Kyai lainya dari penahanan Jepang, KH. Wahab Hasbullah
menempuh jalur diplomasi yang memekan waktu sampai lima tahun.
b.KH. Wahab Hasbullah menjelajah nusantara
untuk menggembleng para pemuda dan Kyai Nahdlotul Ulama untuk meningkatkan
Ghiroh (semangat) memperjuangkan kemerdekaan, yang meliputi aspek kekuatan
politik, jasmani dan rohani secara intensif kepada mereka yang memerlukanya, Dari
situ tersusunlah Pasukan Peta, Laskar Hizbullah pimpinan Zainul Arifin, Laskar
Sabilillah pimpinan KH. Masykur, serta Barisan Kyai yang dipimpin sendiri oleh
KH. Wahab Hasbullah.
Berselang empat tahun, setelah berlangsung Muktamar Nahdlotul Ulama, pejuang
yang dikenal punya daya tahan tinggi dan tak mengenal lelah, yang tak lain
adalah KH. Wahab Hasbullah kembali ke Rahmatullah tepatnya pada tanggal 9 Desember 1971 M dan KH. Wahab Hasbullah dimakamkan di
Tambak Beras (Jombang).
G. Arti Lambang
Nahdlotul Ulama
Nahdlotul ulama menggunakan lambing bola dunia yang
diikat tali dan lingkari oleh Sembilan bintang, Llima bintang berada diatas
garis katulistiwa, bintang yang terbesar terletak di bagian paling diatas, Empat
bintang yang lainya terletak di bawah, di tengah-tengah bola terdapat
tulisan نهضة العلماء yang melintang ditengah-tengah bola dunia, Diantara dhad
( ض ) dan ta’ ( ت ) melintas ditengah-tengah bola dunia
seperti garis katulistiwa. Lambang Nahdlotul Ulama ditulis dengan warna putih
dengan warna dasar hijau.
Arti lambang Nahdlotul
Ulama tersebut adalah;
1. Bumi
Bumi melambangkan bahwa manusia diciptakan dari tanah (bumi), manusia
setelah mati akan bersatu kembali dengan bumi sampai pada hari kiamat mendatang
di dalam kubur, dan pada saat itulah manusia akan bangkit kembali dari tanah.
2. Bintang
a) Satu (1) bintang paling besar yang letaknya di bagian paling
atas, melambangkan Nabi Muhammad SAW, seorang Nabi yang menjadi panutan
seluruh umat dan ajaranya selalu dijunjung tinggi.
b) Empat (4) bintang disekitarnya, melmbangkan Empat
orang Khulafaur Rasyidin, yaitu; Sahabat Abu Bakar, Umar bin
Khatab, Usman bin ‘Affan dan ‘Ali bin Abi Thalib.
c) Empat (4) bintang dibawah katulistiwa, melambangkan
Empat madzhab, yaitu; Imam Syafi’i, Imam Hanafi, Imam Maliki dan Imam
Hambali.
d) Dan Jumlah bintang seluruhnya ada Sembilan
(9), melambangkan Wali Songo, yaitu; Sunan Ampel, Sunan Muria, Sunan
Giri, Sunan Gunung Jati, Sunan Drajat, Sunan Kudus, Sunan Bonang, Sunan Gresik
dan Sunan Kali Jogo, dan angka Sembilan adalah merupakan angka terbesar.
3. Tali
a) Tali melingkari bumi, melambangkan
persatuan dalam ikatan tali Allah SWT
(Hablullah), sesuai firman Allah dalam Surat Al Imron; 103.
وَاعْتَصِمُوْا بِحَبْلِ
اللهِ جَمِيْعًَا وَلا تَفَرَّقُوْا
Artinya; Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan
janganlah kamu bercerai berai… “ (Q.S. Ali Imron: 103).
b) Dua (2) ikatan tali dibawah bumi mengingatkan bahwa
kenistaan dan kehinaan akan menimpa atas orang kafir, Makna ini sesuai
dengan Surat Albaqarah: 61, yang
artinya;
Dan (ingatlah), ketika kamu berkata: “Hai
Musa, kami tidak bisa sabar (tahan) dengan satu macam saja, sebab itu
mohonkanlah untuk kami kepada Tuhanmu agar Dia (Allah) mengeluarkan bagi kami
dari apa yang ditumbuhkan bumi, yaitu: sayur-mayuranya, ketimunya, bawang
putihnya, kacang adasnya dan bawang merahnya”. Musa berkata: “Maukah kamu
mengambil sesuatu yang rendah sebagai pengganti yang lebih baik? Pergilah kamu ke suatu kota, pasti kamu memperoleh apa
yang kamu minta”. Lalu ditimpahkanlah kepada mereka nista dan kehinaan, serta
mereka mendapat kemurkaan dari Allah, hal itu terjadi karena mereka selalu
mengingkari Ayat-ayat Allah SWT dan membunuh para Nabi yang memeng tidak
dibenarkan, demikian itu terjadi kerena mereka selalu berbuat durhaka dan
melampaui batas.
c) Jumah lilitan tali seluruhnya ada Sembilan
Puluh Sembilan (99), yang melmbangkan Asmaul Husna.
4. Warna
Warna-warna dalam lambang Nahdlotul Ulama adalah sebagai berikut;
a. Warna dasar Hijau, melambangkan Kesuburan
b. Warna tulisan Putih, melambangkan Kesucian
c. Warna bintang Kuning, melambangkan warna
kuning mas pada sapi (sebagaimana dikisahkan dalam surat Al-Baqarah: 61), Ia selalu
memikat hati siapa saja yang melihatnya dan hanya dimiliki oleh orang yang amat
berbakti kepada kedua orang tuanya.[16]
H. Amaliyah-amaliyah Nahdlotul Ulama
Banyak Amaliyah-amaliyah yang dilakukan atau diamalkan oleh orang-orang
Nahdlotul Ulama, diantaranya adalah:
1. Tawassul
Tawssul dalam bahasa artinya Perantara, yang artinya
sama dengan kata Istighotsah ( استغاثة ), Isti’anah ( استعانة ), Tajawwuh ( تجوّه ) dan Tawajjuh
( توجّه ).[17]
Sedangkan menurut Istilah adalah:
اَلْوَسِيْلَةُ هِىَ الَّتِى
يُتَوَصَّلُ بِهَا اِلَى تَحْصِيْلِ الْمَقْصُوْدِ
“Wasilah adalah segala sesuatu yang dapat menjadi sebab sampainya pada
tujuan “.[18]
Dan juga bisa diartikan memohon datangnya
suatu kemanfaatan atau memohon
terhindarnya dari bahaya kepada Allah SWT dengan menyebut nama Nabiyullah atau
Waliyullah untuk menghormati keduanya, sama halnya, kita tak bisa menghadap
langsung kita perlu sorang perantara, Umpamanya, kita ingin menghadap presiden,
gak bisa langsung bertemu tapi harus menteri dulu, bertemu mentri juga ga’ bisa
langsung bertemu tapi juga harus ajudanya dulu, Apalagi memohon kepada Allah
SWT harus lewat perantaraan para kekasihnya, para Nabi, Syuhada’ dan
orang-orang Shaleh, inilah yang dimaksud dengan Tawassul.
Tradisi orang-orang Nahdlotul Ulama dalam
hal ini kental sekali, terutama dikalangan bawah tak lain karena mereka merasa
golongan rendah (orang awam), jadi jelas bahwa ada faham yang memperbolehkan
Tawassul, otomatis mereka setuju karena di Indonesia tidak ada Nabiyullah, para
Syuhada’ yang ada para Sholichin-sholichin (Wali Allah), maka tidak
mengherankan jika kita jumpai makam-makam Waliyullah senantiasa penuh peziarah,
mereka mohon kepada Allah SWT dengan cara bertawassul kepada Walyullah dan para
orang-orang Shaleh.
Oleh karena itu terdapat kesimpulan bahwa
Tawassul dan meminta Syafa’at kepada Nabi atau dengan keagungan dan
keberkahanya termasuk diantara Sunnah-sunnah Rosul, para sahabat-sahabatnya dan
para orang-orang salaf sholichin (para pendahulu yang sholeh-soleh), itu
hukumnya Boleh (mubah) dan bahkan dianjurkan oleh agama islam baik bertawassul
pada yang masih hidup atau pada yang sudah meninggal, baik dengan para
Nabiyullah maupun orang-orang shalih, sebab bertawassul itu pada hakikatnya
adalah menjadikan Sesuatu sebagai perantara agar doa yang telah dipanjatkan
tersebut dapat dengan segera diterima dan dikabulkan.[19]
2. Peringatan Haul
Kata Haul berasal dari bahasa arab Alhaulu ( الحول ) yang mempunyai artinya
setahun, berarti disini bisa diartikan peringatan genap satu tahun, peringatan ini berlaku bagi keluarga siapa saja, tidak
terbatas pada orang-orang Nahdlotul Ulama saja, tetapi berlaku pula pada
komunitas masyarakat lainya, masalah Haul ini akan terasa lebih bernuansa
agamis dan terasa dahsyat ketika yang meninggal itu seorang yang kharismatik, Ulama-ulama
besar, pendiri sebuah pesantren dan lain sebagainya, bahkan sudah berkembang
lebih jauh lagi, yaitu Haul diaplikasikan oleh banyak institusi pemerintah
dalam bentuk peringatan hari jadi kota atau daerah, hal ini bisa dikemas dengan
berbagai acara, mulai dari pentas budaya/seni sampai pada puncaknya sering
diisi penyampaian Mauidloh Hasanah dari para ulama-ulama atau para kyai-kyai, yang
sebelumnya diisi dengan bacaan istighosah, tahlil dan lain sebagainya.[20]
Selama ini kitang
sering dengar, bahkan menyaksikan sendiri acara haul yang di selenggarakan di
berbagai daerah di Indonesia khusunya di jawa, yang inti acaranya adalah Ziarah
Qubur, Adapun rangkaian acaranya dapat bervariatif, ada Pengajian, Tahlil
akbar, Istighosah, Mujahadah, Musyawarah, Halaqah dan lain sebagainya, yang
hadir sangat dipengaruhi oleh besar kecilnya ketokohan yang di hauli, kalau
yang di hauli ketokohanya tingkat Nasional tentu lebih banyak yang hadir
ketimbang yang tingkat bawahnya, dan mayoritas para hadirin adalah orang-orang
Nahdlotul Ulama, bahkan sekarang sudah merambah ke tingkat keluarga (Jamiyyatul
‘Usrah).
Oleh karena
itu, secara khusus Haul hukumnya adalah Mubah (Boleh), dan tidak ada
larangan agama tapi dianjurkan, karena ada sebuah Dalil yang isinya adalah “
Memperingati hari wafat para ulama, itu termasuk hal yang tidak dilarang oleh
agama, ini tiada lain karena peringatan haul itu biasanya mengandung sedikitnya
3 unsur, yaitu:
a.
Ziarah
Kubur
b.
Terdapat
beberapa bacaan Al Quran dan nasihat keagamaan
c.
Shadaqah (
makanan dan makanan )
Kadang juga dituturkan Manaqib (beografi)
orang-orang shaleh yang telah meninggal dunia bertujuan mendorong agar supaya
orang lain mengikuti jalan terpuji yang telah dilakukan atau diamalkan oleh
beliau semasa hidupnya.
Akan tetapi jika dilihat dari sisi
acara-acara ritual yang ada dalam peringatan Haul, maka hukumnya dapat dilihat
sebagai berikut:
Ø Ziarah kubur, ini hukumnya boleh (mubah)
bahkan dianjurkan (mustachabun) dalam agama
Ø Bacaan Tahmid, Tahlil, Tasbih dan ayat-ayat
Alquran yang pahalanya dihadiahkan
kepada yang dihauli dan ahli kubur dan hal ini sangat dianjurkan
Ø
Bershadaqah (dalam bentuk apapun), hal ini hukumnya Sunnah
Ø
Menuturkan riwayat hidup yang baik-baik, hal ini merupakan
amaliyah yang mengikuti Sunnah Nabi, Khulafaur Rasyidin, tradisi Ulama Salaf
dan Ulama Khalaf
Ø
Pengajian atau juga bisa disebut Mau’idhoh Chasanah, dalam
hal ini sudah sangat jelas dalam agama islam merupakan amaliyah yang sangat
dianjurkan untuk bisa menyampaikan Amar Ma’ruf Nahi Mungkar sebagai Mau’idhoh
Chasanah.[21]
3. Membaca Basmallah (pada Surat Al Fatihah)
Kalimat Basmallah adalah klimat pertama yang diajarkan
bagi setiap muslim, bacaan Basmallah itu banyak mengandung rahasia didalamnya, dimana
Basmallah selalu tercantum di permukaan dalam semua kitab, sebagaimana Sabda
Rosullah yang berbunyi: Sesungguhnya Basmallah itu adalah merupakan
pembukaan dari semua kitab, dan ada suatu riwayat yang mengatakan bahwa
seluruh Ulama telah sepakat jika pembukaan kitab-kitab Allah yang diturunkan
kepada para Nabi dan Rosulnya itu dimulai dengan lafadz Basmallah, Dari sebuah
hadist riwayat Abu Dawud dan Ibnu Majah yang bersumber dari Abu Hurairah ra, Bahwa
Rosulullah SAW bersabda: Tiap amal perbuatan yang dianggap baik tetapi tidak
dibacakan Basmallah ketika akan memulainya, maka perbuatan itu menjadi sia-sia
alias terputus dari Rahmat Allah SWT,
Dikalangan masyarakat islam ada yang mengatakan bahwa
Basmallah itu bukan bagian dari surat Al Fatihah dan kalau dalam sholat
Basmallah harus dibaca Sir (pelan), akan tetapi lain halnya menurut Imam
Syafi’I yang madzhabnya kita ikuti, Basmallah (Bismillahirrohmanirrohim)
harus selalu dibaca didalam sholat, bagi imam dalam shalat Shubuh, Magrib, Isya’
dan pada sholat Jum’at membaca Basmallah dengan suara nyaring (Jaher) itu
hukumnya Sunnah, Hal itulah yang sejak dulu selalu diamalkan oleh umat islam di
Indonesia khususnya warga Nahdhotul Ulama, Amaliyah tersebut berdasarkan pada
alasan bahwa Basmallah termasuk salah satu ayat dari surat Al Fatihah, sedangkan
membaca surat Al Fatihah dalam setiap rakaat shalat termasuk rukun yang tidak
boleh ditinggalkan, Hal ini berdasarkan hadits diriwayatkan oleh Imam Bukhori, yaitu: Rosulullah suatu ketika menghitung ayat surat
Al Fatihah dan jumlahnya ada tujuh ayat, termasuk Basmallah.[22]
Dari penjelasan diatas, maka Basmallah termasuk ayat
dari surat Al Fatihah dan hukum membacanya bersama surat Al Fatihah adalah
Wajib, sebab Basmallah termasuk salah satu ayat dari surat Al Fatihah, jika
tidak dibaca maka shalatnya tidak sah. Hal ini berdasarkan pada firman Allah
SWT dan sabda Rosulullah SAW, yaitu:
1. Surat Al Hijr. 87, yaitu:
“ Dan sungguh kami telah berikan kepadamu (Nabi
Muhammad) tujuh ayat yang berulang-ulang dan Alquran yang agung “
.
2. Hadits Rosulullah, yaitu:
a. Hadits riwayat Imam Muslim
Dari Ubadah bin Samiri, Nabi Muhammad SAW menyampaikan
padanya, “Bahwa tidak sah shalat seseorang yang tidak membaca surat
Al Fatihah”
b. Hadits riwaya Imam Bukhori
Dari Abu Hurairah, beliau berkata; Bahwa Nabi
Muhammad SAW selalu mengeraskan suaranya ketika membaca Basmallah (dalam
shalat).[23]
4. Melafalkan Sayyidina
Telah dapat diketahui bersama bahwa mayoritas kaum
muslimindalam setiap kali menyebutkan nama Nabi Muhammad SAW pasti didahului
dengan kalimat “Sayyidina” yang artinya Tuanku atau Gustiku, sebagai wujud
panghurmatan kepada beliau, baik saat melaksanakan sholat maupun keadaan diluar shalat
Dari pernyataan inilah muncul fenomena bahwa jika ada
seseorang shalat, lalu dalam membaca tasyahud ada kalimat sayyidina sebelum
kalimat Muhammad, maka orang tersebut dikatakan sebagai kelompok kaum
Nahdliyyin, jika tidak menyebutkan, maka bisa dianggap sebagai orang yang bukan
kelompok Nahdliyyin
Adapun hukumnya melafalkan kalimat Sayyidina sebelum
kalimat Muhammad adalah Boleh (mubah) dan termasuk perbuatan yang sangat
utama, baik dalam tasyahud shalat maupun tidak dalam keadaan shalat, sebab
penyebutan kalimat Sayyidina merupakan suatu panghurmatan kepada Nabi Muhammad
SAW, Hal ini berdasarkan pada sabda Nabi
Muhammad SAW, yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Abu Hurairah ra,
“ Diriwayatkan dari Abu Hurairah ra, beliau berkata,
Rosulullah bersabda: Saya Gusti (penghulu)anak adam pada hari kiamat, orang
yang pertama bangkit dari kuburan, yang pertama memberikan syafa’at dan orang
yang pertama kali diberi hak untuk memberikan syafa’at.[24]
Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa menambah
kalimat sayyidina sebelum kalimat Muhammad itu adalah perbuatan yang sangat
utama, karena terkait dengan kesopan santunan dan rasa penghormatan yang
disanjungkan kepada manusia paling mulia yaitu Sayyidina, wa Nabiyina wa
Maulana Nabi Agung Muhammad SAW.
5. Istighotsah atau Mujahadah
Istighotsah artinya meminta pertolongan, dan Mujahadah
artinya mencurahkan segala kemampuan untuk mencapai sesuatu, Istighotsah dan
mujahadah bagi umat islam sudah ada sejak zaman Nabi Muhammad SAW, ketika
beliau saat menghadapi perang terbesar kaum muslim melawan kaum kafir yaitu
perang badar dan juga ketika ada musibah atau bencana.
Ada sebuah cerita yang diriwayatkan oleh sahabat Umar
bin Khattab, ketika pada waktu perang badar (perang terbesar bagi kaum muslim
melawan kaum kafir), Nabi Muhammad SAW melihat kearah sahabat-sahabat yang
jumlahnya hanya 313 orang sedangkan jumlah orang kafir sebanyak 1000 orang, melihat
keadaan yang seperti itu Beliau menghadap kiblat dengan sorban dipundaknya
seraya berdo’a, beristighotsah memohon perolongan kepada Allah SWT, dan para
sahabat-sahabat yang berada dibelakang beliau iku pula me’amini do’a beliau, setelah
beliau selesai beristighotsah dan mujahadah kepada Allah SWT, pada saat yang
sangat kritis itu, Allah SWT menurunkan Malaikat Jibril dengan membawa firman
Allah SWT yang berbunyi; Ingatlah, hai Muhammad, ketika engkau memohon
pertolongan kepada tuhanmu, maka Dia(Allah) mengabulkan dengan mendatangkan
bala bantuan berupa 1000 yang datang berturut-turut. (QS. Al Anfal. 19).[25]
Berdasarkan firman Allah SWT diatas, juga
ayaat-ayat lain yang berhubungan dengan bantuan Allah SWT, maka hal ini sangat
dianjurkan pada kaum muslimin khususnya pada kaum Nahdliyyin, sudah menjadi
kebiasaan para ‘Alim ‘Ulama Nahdlotul Ulama selalu melakukan Istighotsah dan
Mujahadah sendirian maupun bersama-sama sejak dulu hingga berlangsung sampai
sekarang, terutama pada saat kondisi kritis yang sulit diselesaikan kecuali
atas pertolongan Allah SWT semata, untuk lebih mendekatkan diri kepada Allah
SWT, didalam Istighotsah atau Mujahadah yang biasa dibaca adalah Ayat-ayat
Alquran, kalimat Tayyibah, Istighfar, Sholawat, bacaan Tahmid, Tahlil, Wirid, Hizib
dan bacaan Do’a.
Dalam surat Al Mu’min ayat 60, Allah SWT berfirman;
ادعوني استجب لكم
“Mintalah kepadaku, pasti Aku (Allah)
mengabulkan”
Dan Rosulullah sendiri menegaskan: Siapa
yang tidak mau meminta kepada Allah SWT, maka Dia (Allah) akan murka orang
tersebut.[26]
6. Shalat Tarawih dan Witir
Shalat tarawih dan witir bagi umat islam di Indonesia,
khususnya pulau jawa yang masyarakatnya
mayoritas kaum Nahdliyyin sudah tak asing lagi, hampir setiap kaum muslim
pernah menjalankanya, pada bulan ramadhan biasanya masjid-masjid dan mushola-mushola penuh
dengan kaum muslimin muslimat yang menjalankan jama’ah shalat isya’ dan
dilanjutkan shalat sunnat malam yang biasa disebut dengan shalat tarawih secara
bersama-sama atau berjama’ah, kemudian ditutup dengan shalat witir , dalam shalat
tarawih ini ada yang menjalankan 8 rakaat dan ada yang 20 rakaat, yang 20 rakaat inilah yang menjadi cirri NU atau pembeda
antara kaum Nahdliyyin dan kaum Non Nahdliyyin, sedangkan shalat witirnya
sama-sama 3 rokaat.
Orang-orang NU memilih sholat tarawih 20 rokaat, ini berdasarkan pada Hadits yang
diriwayatkan oleh Imam Baihaqi dan Imam Thabrani dari Abd bin Humaid, yaitu:
Ibnu Abbas mengatakan: Rosulullah SAW sholat malam di bulan romadlon
sendirian sebanyak 20 rokaat di tambah witir. Dan berdasarkan Madzhab kita (Syafi’iyah) yang
menyatakan: Shalat tarawih itu dijalankan 20 rokaat, juga ada keterangan di dalam kitab “Shalat
Al-Tarawih fi masjid Al-Haram”, yaitu: Bahwa shalat tarawih di masjid Al-Haram
sejak masa Rosulullah SAW, Abu Bakar, Ustman bin Affan, Ali bin Abi Tholib dan
seterusnya sampai sekarang selalu dilakukan 20 rokaat dan witir 3 rokaat.
Mengenai hukumnya shalat tarawih disini adalah adanya sabda Nabi
Muhammad SAW tentang posisi, perilaku perbuatan para sahabat sebagai Sunnah dan
berkedudukan sama dengan sunnah beliau sendiri, sehingga sunnah mereka harus di
ikuti seperti mengikuti sunnah beliau, Rosulullah SAW bersabda: Ikutilah dua
orang setelah aku, yaitu: Abu Bakar dan Umar bin Khatab.
Dari keterangan di atas, dapat diambil kesimpulan/pemahaman bahwa
praktek Amaliyah shalat tarawih 20 rokaat termasuk kategori Bid’ah Hasanah yang
hukumnya adalah Mubah (boleh) dan juga bisa menjadi perbuatan yang dianjurkan, adapun
Hukumnya shalat witir adalah Sunnah Muakkad.[27]
7. Doa Qunut
Qunut dalam bahasa artinya doa, sedangkan dalam
istilah adalah doa yang dibaca waktu I’tidal rokaat ke dua pada shalat subuh
dan pada shalat witir mulai pertengahan bulan romadlon, sedang doa qunut dalam
shalat subuh sudah menjadi salah satu ciri masyarakat yang berfaham Syafi’I, khususnya
kaum nahdliyyin, Hal ini berdasarkan pada hadits Nabi Muhammad SAW yang
diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud, Yaitu:
انّ النّبيّ صلّى الله عليه
وسلّم، يَقْنُتُ فِى الصَّلاَةِ الصُّبْحِ
“Sesungguhnya Nabi Muhammad SAW telah
melakukan Qunut pada sholat subuh “ ( HR. Imam Abu
Dawud).[28]
Ada sejumlah dalil (alasan) bagi
orang-orang NU melakukan Qunut, yaitu:
Ø Dalil yang pertama:
Ulama’ Syafi’iyyah (pengikut madzhab syafi’i) mengatakan, kedudukan
Qunut pada sholat subuh, persisnya ketika bangkit dari ruku’ (I’tidal) pada
rokaat ke dua itu hukumnya adalah Sunnah.
Ø Dalil yang kedua:
Qunut itu disunnahkan, letaknya ketika I’tidal pada rokaat kedua shalat
subuh, yang diteruskan dengan hadits yang diriwayatkan oleh Imam Hakim dari Abu
Hurairah: Rosulalloh SAW mengatkat kepalanya dari ruku’ pada shalat subuh di
rokaat ke dua, kemudian beliau mengangkat ke dua tanganya seraya berdoa: Allohummahdini
fi man hadait…….. dan Rosulallah Saw tidak memakai kata robbana.
Ø Dalil yang ketiga:
Qunut subuh itu disunnahkan, hal ini berdasarkan pada hadits shohih, yaitu:
Rosulallah SAW selalu qunut sampai beliau wafat.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa hukumnya meamalkan / melakukan
Qunut adalah Sunnah, baik Qunut nazilah maupun Qunut subuh atau pada shalat
witir, dengan berdasarkan dalil-dalil diatas maka tidak diragukan lagi mengenai
hukum melakukan Qunut, tidak perlu Syak (bimbang) dan ragu lagi bahwa
Rosulallah SAW membaca doa Qunut dalam shalat subuh sampai beliau wafat.[29]
8. Tahlilan
Tahlilan itu berasal dari kata hallala, yuhallilu, tahlilan yang
artinya membaca kalimat Toyyibah (La Ilaha Illallah), acara ini sudah menjadi
kebiasaan kaum muslimin di berbagai daerah, khususnya kaum Nahdliyyin melakukan
acara ini dengan cara membaca serangkaian ayat-ayat Alquran, doa, sholawat, istighfar,
tasbih dan lain-lain.
Hal tersebut, biasanya dilakukan pada malam jum’at atau pada hari-hari
kematian dan bahkan sudah berkembang menjadi acara rutinitas mingguan atau bulanan
dan lain sebagainya, sebab dilihat dari nilai bacaan termasuk salah satu amalan
berdzikir yang memang dianjurkan oleh syariat islam, akan tetapi acara ini
tidak hanya dilakukan dirumah-rumah saja, bahkan juga biasa dilakukan
dimakam-makam, seperti setiap menjelang hari raya, awal romadlon, peringatan 3, 7, 40, 100 dan 1000 hari dari kematian, dan sekarang sudah berkembang
menjadi kebiasaan masyarakat dalam setiap satu tahun sekali yang biasa dikenal
dengan istilah Haul.
Dengan melihat nilai-nilai bacaan yang terkandung didalam acara tersebut,
maka hukumnya Tahlilan adalah Sunnah, sedangkan hokum mengamalkanya di
makam-makam adalah Mubah (boleh), dan sangat dianjurkan kepada kaum muslimin
khususnya kaum Nahdliyyin, Hal ini
berdasarkan hadits riwayat Imam Ad-Darimy dan Imam Nasai dari Ibnu Abbas, yaitu:
قال صلّى الله عليه وسلّم:
مَنْ اَعَانَ عَلَى مَيِّتٍِ بِقِرَأَةِ ِالْقُرْأَنِ وَذِكْرٍِ اِسْتَوْجَبَ اللهُ
لَهُ الْجَنَّة (رواه
الدارمى والنّسائ عن ابن عباس (
“Rosulallah SAW bersabda: Barang siapa menolong mayat dengan
membacakan ayat-ayat Alquran dan Dzikir, maka Allah SWT memastikan (mewajibkan)
surga baginya”. (HR, Imam Ad-Darimy dan Imam Nasai dari Ibnu Abbas).[30]
9. Berzanjinan, Dibaan dan Burdahan
Kalau melihat syair maupun prosa yang terdapat di
dalam kitab Albarzanji, seratus persen isinya memuat biografi, sejarah dan
kehidupan Rosulallah SAW, demikian pula yang ada di kitab Aldibaiyah dan
Alburdah, tiga kitab ini berlaku bagi orang-orang NU dalam melakukan ritual
maulidiyyah atau menyambut kelahiran Rosulallah SAW, dalam prakteknya kitab
Alberzanji, Addibai dan Alburdahbukan hanya dibaca pada hari kelahiran
Rosulallah SAW dan pada malam jumat di masjid-masjid atau mushola-mushola, tapi
sekarang sudah menjadi kebiasan kaum Nahdliyyin membaca kitab-kitab tadi di
berbagai hajat, diantaranya: ketika ada hajat anak lahir, hajat walimatul ‘urs,
khitanan, tingkeban dan lain sebagainya.
Sudah ratusan tahun kitab-kitab tadi dipakai, tetapi
belum ada satupun kitab yang sepadan atau menggeser lewat keindahan
kalimat-kalimat yang tersusun didalamnya sampai sekarang, bagi yang faham
tentang bahasa arab tentu akan mengerti betapa indah, memukau, menarik, dan
mengharukanya kata-kata yang terserat didalamnya, umumnya mereka terkesima
dengan sifat-sifat Rosulallah Saw yang memang sangat sulit untuk ditiru, betapa
bagus dan terpujinya sifat-sifat Beliau, sehingga tidak ada yang bisa menyamai
sifat-sifat Beliau, untuk itulah beliau diciptakan sebagai sebagus-bagusnya
makhluk Allah SWT,
Ditengah acara tersebut ada ritual berdiri, orang jawa
menyebutnya “Sirokolan” dari kalimat “Asroqol”, dimana kalau sudah sampai
disitu semua hadirin dimohon berdiri untuk menyambut kehadiran Nabi Muhammad SAW
ditengah-tengah majlis, ada juga yang menyebutnya sebagai “Marchaban” yang
artinya: Selamat Datang atas kehadiran beliau,
Adapun hukumnya Berzanjinan, Dibaan dan Burdahan
adalah Sunnah, bahkan sangat dianjurkan oleh syri’at agama, selama ini dinilai
sangat baik sholawatan sambil berdiri sebagai panghurmatan terhadap Nabi
Muhammad SAW, hal tersebut berdasarkan pada pendapat Imam An-Nawawi yang
menganggap berdiri untuk menghormati seorang yang punya keutaman adalah bagian
dari amal sunnah jika dilakukan tidak untuk riya’ (pamer), tetapi ada juga yang
berpendapat bahwa sholawatan yang dilakukan dengan disertai riya’ itu tetap ada
pahalanya.[31]
10.
Memperingati Maulid Nabi Muhammad SAW
Maulid nabi itu artinya adalah kelahiran nabi, dan dalam perkembangan
selanjutnya arti tersebut berubah menjadi nama acara yaitu, peringatan kelahiran
Nabi Muhammad SAW, hal ini terjadi pada abad ke-6 Hijriyyah, dan orang yang pertama kali
melakukan peringatan ini adalah Raja Ibril dari irak,yang bernama Al-Mudhaffar
busa’id Kukuburiy bin Zainuddin Ali Buktikin tepatnya pada tahun 630 H/1232 M.
Kemudian dalam perkembangan selanjutnya peringatan tersebut dilestarikan
oleh umumnya kaum muslimin indonesia, khususnya kaum Nahdliyyin yang biasanya
di gelar tepat pada bulan Robi’ul Awal, acara ini diisi dengan beraneka ragam
acara yang digelar, mulai dari acara pagelaran budaya bernuansa islami sampai
pada acara puncak yaitu, pengajian yang berisi Mau’idhotul Chasanah, acara
seperti ini sudah merata menjadi kebiasaan kaum muslimin, apalagi kaum
Nahdliyyin yang merasa/menganggap acara seperti ini sudah menjadi ciri khas
orang-orang NU, Hal tersebut berdasarkan hadist Rosulallah SAW, yaitu:
قال صلّى الله عليه وسلّم:
مَنْ عَظَّمَ مَوْلِدِى كُنْتُ شَفِيْعًَا لَهُ يَوْمُ الْقِيَامَةِ
“Rosulallah SAW bersabda: Barang siapa menghormati hari lahirku, tentu
aku akan memberikan syafa’at kepadanya di hari kiamat”.[32]
Melihat kenyataan bahwa peringatan maulid
Nabi Muhammad SAW sebagai suatu tradisi umat islam terdahulu yang belum pernah
dilakukan pada masa beliau masih hidup, jadi perayaan peringatan maulid Nabi
Muhammd SAW adalah termasuk Bid’ah akan tetapi temasuk golongan Bid’ah
Chasanah, yang hukumnya adalah Mubah (boleh) bahkan bisa berubah menjadi
Sunnah dan sangat dianjurkan, Hal ini disebabkan adanya beberapa faktor, yaitu:
v Dapat meneguhkan hati ummat islam setelah
mendengar sajian sejarah dan biografi Nabi Muhammad SAW dalam acara tersebut, sebab
beliau adalah Rohmad A'dhom (rohmad paling agung) bagi umat manusia.
v Memperbanyak bacaan sholawat dan salam
kepada Nabi Muhammad SAW, Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT dalam surat Al
Ahzab 56, yaitu:
“Sesungguhnya Allah SWT dan malaikat-malaikatnya
bersholawat untuk Nabi Muhammad SAW, Hai orang-orang yang beriman.
Bersholawatlah kamu untuk Nabi Muhammad SAW dan ucapkanlah salam penghormatan
kepadanya”.[33]
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari rangkaian pembahasan yang penulis
paparkan, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:
1. Mengetahui atau mempelajari tentang
berdirin, tokoh-tokoh pendiri dan amaliyahnya Nahdlotul Ulama merupakan salah
satu cara untuk lebih bisa memperdalam lagi pemahaman tentang Jamiyyah
Nahdlotul Ulama Ahlussunnah Wal Jamaah secara mendasar.
B. Saran-saran
Perlu diketahui bahwa sekrang sudah banyak
golongan-golongan/aliran-aliran yang ajaranya melenceng jauh dari ajaran Ahlussunnah
Wal Jamaah masuk di Indonesia, tidak hanya dipusat-pusat kota melainkan
sekarang sudah banyak yang masuk dipelosok-pelosok desa, terlebih sekarang Pembahasan
mengenai pemahaman Jamiyyah Nahdlotul Ulama dan Ahlussunnah Waljamaah sampai
saat ini masih banyak yang belum mengetahui secara mendasar dan tahu persis apa
sebenarnya arti Jamiyyah Nahdlotul Ulama, siapa pendirinya dan bagaimana
amaliyah-amaliyahnya, Untuk itu, ada
beberapa hal dari hasil penelitian ini yang patut untuk dijadikan saran, yakni
sebagai berikut:
1. Pendalaman tentang Jamiyyah Nahdlotul Ulama
agar lebih ditingkatkan, karena sekian banyak kaum muslim yang sekarang masih
jarang mendalami keilmuan tentang Jamiyyah Nahdlotul Ulama Ahlussunnah Wal
Jamaah
2. Pemahaman tentang Jamiyyah Nahdlotul Ulama
agar lebih mendapat perhatian dan agar lebih diutamakan
3. Mengetahui lebih dalam lagi tentang
Nahdlotul Ulama Ahlussunnah Waljamaah dan lebih meningkatkan pemahaman tentang
latar belakang berdiri, tokoh-tokoh pendiri dan amaliyah NU.
C. Penutup
Alhamdulillah, dengan
segala inayahnya, penyusunan
mu’alafah ini dapat terselesaikan walupun dengan hanya sederhana dan apa adanya,
namun sudah terasa memuaskan dan dapat
menemui kenikmatan tersendiri.
Karenanya
penulis sadar dengan hati
yang ikhlas, jiwa yang bening dan pikiran yang jernih akan kekurangan dan
kekhilafan yang penulis paparkan dalam penulisan
mu’alafah ini, baik yang
berkenaan dengan hal-hal yang bersifat teknis, metodologis maupun materi, dan pastilah penulis yang dho’if
ini belum mampu memberikan hasil yang memuaskan. Untuk itu dengan ketulusan, kerendahan dan ketulusan hati, penulis
mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun dan mengembangkan daya pikir untuk
dapat meningkatkan kualitas
diri penulis dan kemajuan serta kebaikan untuk mencapai hasil yang lebih baik dan lebih
bermanfa’at di dunia dan
akhirat, Amiiin.
Daftar Pustaka
Abdul fatah,
Munawir, Red.. Tradisi Orang-orang NU, Cetakan Ke Empat, (Yogayakarta:
Pustaka Pesantren), 2006
Ma’sum Zainy,
Muhammad, Kupas Tuntas Tradisi Orang-orang NU, (Jombang: Darul Hikmah), 2008
Muntaha, Zainal,
ke-NU-an Aswaja, (Semarang: LP. Ma’arief NU), 2011
Narsun
Munawwir, Ahmad, Kamus Al Munawwir, (Surabaya: Pustaka Progesif), 1997
Sugono, Dendy,
et al., Kamus Bahasa Indonesia, (Jakarta: Pusat Bahasa Indonesia), 2008
Ibnu Katsir,
Abu Al Fida’iy Ismail bin Umar, Tafsir Alquran Al’adzim, (Beirut:
Maktabah Dar Al Fiqr), 1987
Warson, Ahmad
Munawwir, Al Munawwir, (Yogyakarta: Maktabah Pon-Pes Krapyah Al-Munawwir), 1984
[3] Abdul fatah, Munawir,
Red.. Tradisi Orang-orang NU, Cetakan Ke Empat, (Yogayakarta:
Pustaka Pesantren), hlm. 01
[17] Warson, Ahmad Munawwir,
Al Munawwir, (Yogyakarta: Maktabah Pon-Pes Krapyah Al-Munawwir, 1994), hlm.
1663
[18] Ibnu Katsir, Abu Al
Fida’iy Ismail bin Umar, Tafsir Alquran Al’adzim, (Beirut: Maktabah Dar
Al Fiqr, 1987), hlm. 30
[19] Ma’sum Zainy, Muhammad,
Kupas Tuntas Tradisi Orang-orang NU, (Jombang: Darul Hikmah, 2008), hlm.
11
No comments:
Post a Comment