Cerpen-PUSAKA
PUSARA 18- Perempuan
dan Pesantren-Fajar Tri
Anggono (Pondok
Pesantren Ma’ahidul ‘Irfantelah – Soropaten Gandusari Bandongan Magelang Jawa
Tengah)
“Tak terasa 20 tahun sudah aku menjalani waktu berpijak di atas bumi.
Hahah, Ya Allah. Sungguh aku tak tahan menahan jiwaku dengan puji atasMu Ya
Allah. Begitu besar ni’mat yang telah Engkau berikan. Ayah, ibu, adik yang
berada di rumah, semoga kalian tetap dalam lindunganNya. Amin.” Sebuah rintihan dari lisan hamba yang
sedang khusyu’ menghadap Ilahi di malam yang sunyi itu berhias dengan linangan
air mata kebimbangan bertudung bahagia.
“Ya Allah aku tak tahu perasaan apa yang selalu menghantui diriku?
Berikan aku jawaban pasti atas apa yang telah menjadi takdirku? Mungkinkah aku
selalu dalam kebimbangan? Selalu dalam pengharapan penantian tanpa kepastian?” gumamnya kembali terukir dari lisan yang
semakin merintihkan suara lirih. “Atau mungkinkah selama 3 tahun penantian
ini aku tidak akan menerima jawaban dari yang telah Engkau takdirkan?”
Tiba-tiba dari luar ruangan...
Thok thok “Mbak Da!” panggilan dari adik yang selalu menemani hidupnya
terdengar membangunkannya dari angan dalam rintihan do’anya.
“Iya, aku bangun dik!” Jawabnya agak keras dari dalam ruangan
“Mbak Da sedang apa?” kembali adik tercinta memanggil sembari membuka
pintu kakak tercintanya yang sedang di dalam kamar. “Mbak Da... ada apa? Kenapa
mbak Da...? menangis?”
“Tidak ada apa-apa dik. Adik sudah wudlu?”
“Belum kak.”
“Adik wudlu dulu ya? Nanti kita sama-sama pergi ke masjid! Hihi.”
Perintahnya pada adik tercinta agar mengambil air wudlu.
“Baik kak, tapi tunggu adik kalau kakak mau barengan adik ke masjid!”
“Iya, kakak tunggu.”
“OK. Sana berangkat wudlu!”
Ya... itulah Nada Maulida, akrab dengan panggilan Da, Nada, Mbak Da, Dik
Nada, seorang sarjana Muda Pendidikan Islam dari Universitas Islam Magelang,
lulus pada tahun 2010. Namun sampai umurnya menginjak 20 tahun, ia masih
sendirian tanpa pendamping hidup. Do’a yang ia panjatkan selalu tertuju pada
jawaban atas apa yang telah menimpanya selama tahun terakhir ini. Surya
Masrukhan, sebuah nama dari seorang pemuda 21 tahun yang selalu tertanam dalam
hati Nada yang selama ini menghibur dan selalu mengisi ruang hati Nada. 3 tahun
Nada dan Surya menjalin hubungan tanpa sepengetahuan dan restu dari orang tua
keduanya. Rasa bimbang dan resah menyelimuti hati Nada dan Surya, apakah orang
tua mereka akan saling menerima keadaan satu per satu dari keduanya? Pertanyaan
yang belum memiliki jawaban, selalu tersirat dalam hati Nada dan Surya.
“Pagi ini kenapa aku merasa tidak enak?” gumam Nada dalam hati di dalam
kamar. Tiba-tiba sebuah suara mengagetkan nada dari khayalannya...
“Kak, ayo berangkat!” Suara kecil Triyati, gadis kecil 10 tahun yakni
adik Nada yang selalu menghibur Nada ketika dilanda sedih.
“Lets go adikku tersayang.” Jawabnya sembari mencubit pipi adik kecilnya
yang imut.
“Iiiiih, kakak, sakit kak.”
“Nggak apa-apa, cuman dikit kok. Ayo berangkat!”
“Yuk, cap cus!”
Meski jalan begitu terang diberi cahaya oleh lampu, namun hati nada
terasa sunyi terasa akan terjaid sesuatu yang tidak ia inginkan. Detik demi
detik mereka berjalan menuju masjid Al Hasan yang terletak 100 m dari rumah
Nada, dan tak terasa Nada dan Tri sudah berada di depan masjid. Nada dan Tri
segera masuk ke masjid karena Iqamat sudah dikumandangkan.
Lima belas menit berlalu, shalat subuh telah usai dijalankan. Di barisan
paling belakang, Nada dan Tri tampak duduk berdampingan seperti Jari telunjuk
dan Jari Tengah. Nada masih memegang tasbih memutarnya tanpa henti, dan Tri
tampak sangat dihela kantuk dan tiduran di paha Nada. Tak tahu apa yang dibaca
oleh Nada namun tampaknya yang dibaca Nada adalah doa yang begitu kuat,
terlihat dari kening Nada yang semakin mengkerut dan matanya membinarkan sinar
yang begitu kuat dengan iringan irama tetesan air mata yang kembali mengalir
mengiringi doanya.
“Kak, ayo pulang. Adik nanti sekolah, telat kalau pulangnya nanti.” Tri
terbangun, menyadarkan Nada dari lamunan doanya, dan mengajak kakak
tersayangnya pulang ke rumah.
“Iya sayang, sebentar lagi ya? 5 menit saja ya?” Nada menjawab dan
menawar adiknya agar mau menunggu sambil memekak tengis yang hampir terlahir.
“Nggak mau, pokoknya sekarang!”
“Iya udah adikku yang manis, kita pulang.”
Jalan berbatu di depan masjid membuat suasana semakin mengharukan.
Menyambut matahari terbit, nada dan adiknya seolah menjemput matahari di ufuk
timur. Dalam benak Nada masih tersirat beberapa kata yang telah dilontarkan
orang tuanya kepada Nada atas persyaratan untuk menjadi peminang nada. Obrolan
dan gurauan Tri di jalan menghapus kegundahan yang menyelimuti Nada, hingga
mereka sampai di depan rumah...
“Assalamu’alaikum. Bu, kami pulang!” Suara kecil di depan pintu memaksa
orang besar menjawab dan membuka pintu
“Wa’alaikumussalam. Ya, ibu buka pintunya.”
“Cepetan bu, nanti Adik terlambat sekolah.”
“Iya sayang. Gitu aja nggak sabar.”
Klik klik .... gleeeeeeeeeek.... suara pintu yang terkunci baru dibuka. Mereka
langsung menyucup tangan ibunda tercinta, sembari berlari Tri yang mungil itu
berkata “Bu, kak Nada, Adik langsung mandi saja ya? Nanti keburu telat ke
sekolah.”
“Iya, langsung saja ke kamar mandi. Jangan lupa gosok gigi sebelum
mandi!”
“OK bu. Laksanakan.” Sambil menghormat seperti hormat bendera. “Eh,
bu... nanti yang nganter adik siapa? Ayah atau kak Nada?”
“Ummmmm siapa ya? Ibu saja ya?” Jawab ibunya sambil bergurau.
“Ah, ogah. Kalau sama ibu nanti jalan kaki. Adik mau di antar Kak Nada
saja ya?”
“Ah, itu urusan nanti, yang penting adik mandi saja dulu. Nanti kan bisa
di antar ayah sambil berangkat ngajar di sekolah?” Jawab sederhana Nada.
“Oh, iya. Ya udah, adik mandi dulu! Kak Nada Ikut mandi nggak?”
“Ummm... kakak nanti mandinya habis adik kelar mandinya.”
Tri bergebas berangkat menuju kamar mandi. Bu Saryati, ibu Nada menoleh
menatap Nada seolah ada yang ingin disampaikan, tanpa disangka oleh Nada, bu
saryati mengajak Nada untuk duduk.
“Da, ada yang pengen ibu sampaikan pada kamu.” Ibu mengawali
perbincangan
“Apa bu?” Jawabnya polos karena tidak tahu duduk permasalahan
“Kemarin ibu terima telephone dari Dik Nur di Magelang, katanya kamu
disuruh kesana. Katanya sih ngajar sebuah sekolah disana gitu! Gimana, kamu
sanggup? Kalau tidak sanggup, ibu telephone tante nur supaya menggagalkan kamu.”
“Oh, itu. iya, memang tante kemarin telphone Nada juga bu. Katanya sih,
suruh ngajar sebuah sekolah baru disana. Pokoknya seingatku berhubung ini
sekolah baru, aku disuruh jangan mengharap gaji, yang penting buat ini jadi
pengalaman mengajar dan yang pasti jadikan ini sebuah jalan untuk berjuang di
jalan Allah. Gitu bu?”
“Nha terus kamu setuju mau kesana?” Tanya ibu penasaran
“Ya.... kalau ibu mengijinkan Nada kesana, Nada ikut ibu saja.” Jawab
Nada santai
“Kalau ibu sih boleh, tapi ...”
“Tapi apa bu?”
“Kamu yakin kamu krasan disana?”
“Insya Allah bu, kalau ibu ridla dan tante memberikan ijin, Insya Allah
Nada akan kerasan disana. Doakan saja bu!” Jawab Nada rileks
“Ya, doa ibu selalu menyertai kamu. Terus kira-kira kapan kamu berangkat
kesana?”
“Ya, kalau sudah gini mungkin nanti bu, pagi saja bu, belum ramai.
Sekitar jam 8 saja Nada berangkat kesana!”
“Ibu nganter nggak?” Tawar ibunya
“Kalau ibu mau, nganter juga nggak apa-apa!”
“Tapi kalau jam segitu ibu nggak bisa nganter. Bisanya nanti jam 1
siang. Gimana?”
“Kalau jam 1 siang kesiangan bu. Sudah ramai, Nada takut kalau ramai.”
“Ya udah, nanti kamu berangkat sendiri saja. Kapan-kapan ibu sama bapak
datang jenguk kamu di tempatnya tante.”
“OK bu. Siap.”
“Eh, itu kayaknya adik kamu udah selesai mandi. Sekarang giliran kamu
yang mandi, cepetan, keringat kamu nih, bau banget!” perintah ibu pada Nada
sambil bercanda.
“Ah, ibu ini ada-ada saja, Nada nggak bau kok!” sambil mencium badan
“Ya udah, Nada mandi dulu.”
-(***)-
Sementara itu, di sebuah desa jauh dari perkotaan, dalam sebuah bangunan
kecil mungil di depan masjid, beberapa orang berpecis dan menghadap sebuah
perlengkapan lintingan sedang membicarakan sesuatu menemani pagi yang begitu
cerah. Bagus dari gangsari, Joko dari wonosobo, Maulana dari magelang, Rozaq
dari dusari, dan Nabil dari randusari, adalah beberapa santri yang menetap di
pesantren Al Huda yang berada di Magelang. Situasi kamar yang sepi, dan
dipenuhi dengan keramaian asap lintingan itu diawali dengan pembukaan bicara
bagus.
“Mas Jo. Besok kakakku mau kesini.” Sebuah kata terlontar dari Bagus,
seorang santri dari desa Gangrejo, kecamatan Gangsari.
“Memang kamu punya kakak gus?” Tanya Joko, santri dari wonosobo yang
sudah 8 tahun menetap di pesantren Al Huda
“Ya... bukan kakak asli sih, tapi masih saudara dengan Abah Mun.” jawab
Bagus singkat.
“Oh, terus kesini mau nyantri atau gimana?” Rozaq ikut angkat bicara
“Nggak tau, pokoknya yang aku tahu besok kakakku mau kesini, gitu aja.”
Jawab bagus singkat
“Nha terus kamu tahu dari mana?” Tanya joko
“Tadi Ibu Nur yang ngasih tahu ke aku.”
“Oh, ibu nyai yang ngasih tahu! Eh, gus kalau boleh tahu siapa nama
kakak kamu?” tanya joko penasaran.
“Namanya Nada Maulida, panggilan akrabnya Nada. Kenapa toh mas jo, kok
kayaknya nyimpen sesuatu?”
“Nggak, nggak ada apa-apa kok. Cuman tanya aja, iseng-iseng dari pada
sepi! Hahah.” Jawab joko singkat.
“Jo, jangan-jangan kamu ngincer kakaknya ya? Ehm, ehm, ehm!” Nabil juga
ikut angkat bicara.
“Eh bil. Kalau batuk itu minum konidin, jangan minum air liur!” Jawab
joko cuek.
“Ya enggak gitu jo, siapa tahu aja kamu yang dapetin dia. Kamu kan udah
lama disini?” Nabil menenangkan situasi
“Terus...?” Joko melanjutkan
“Ya... terus siapa tahu Abah Mun atau Ibu Nur menjadikan kamu sama si
Na.... siapa tadi gus kakak kamu?”
“Nada!” Jawab bagus singkat
“Iya, si Nada.” Nabil melanjutkan
“Hahaha, nggak mungkin kaya gitu Bil. Kalau aku sama kakaknya bagus,
nggak lefel ya? Bayangin aja ayahku petani, ibuku pedagang nggak mungkin
ngedapeti kakak bagus yang berasal dari Nasab Alim Ulama...?!” joko menegaskan.
“Siapa tahu kalau Allah menghendaki segala sesuatu pasti terjadi
kan?”Maulana mengusulkan suara.
“Iya, bener itu!” Rozaq ikut-ikutan mengusung usulan.
“Ya udah, terserah kalian lah mau ngomong apa. Yang penting nggak
mungkin kalau aku sama Nada itu jadi....!” Jawab joko santai.
Semuanya terdiam, tiada suara yang keluar dari mulut siapapun. Hingga
suara jam dan bel menghias suasana pesantren Al Huda. Beberapa teriakan dari
segala penjuru terdengan menyelimuti suasana kamar yang begitu sepi dari
perdebatan dan gurauan dari seluruh ahli yang menetap di dalamnya. “Dhuha,
dhuha, dhuha.” Suara yang didendangkan di depan pintu masing-masing kamar
membuat Joko dan kawan-kawan bergegas berangkat menuju mushalla. Seluruh santri
berkeliaran mengambil air wudlu dan bersiap untuk melaksanakan ibadah shalat
dhuha. Tak luput, bagus, rozaq, maulana, joko, dan nabil, mereka pun ikut
berdesakan mengambil air wudlu di kolam belakang komplek pesantren.
No comments:
Post a Comment