Saturday, 26 April 2014

CERPEN THE KILLER



THE KILLER

Terbangun dengan rasa tak menentu, resah, gamang, sedih dan marah. Semua rasa seakan terkumupul menjadi satu, bersatu padu, bercokol dalam jiwa. Rasa-rasa ingin menangis namun tak mampu. Jiwa merintih menangis pilu, namun raga enggan membantu. Tambah derita luka lara dalam derita. Pikiran melayang entah kemana, penat, pusing, berat menindih kepala. Tapi apa yang terfikir, apa yang dipikir tak tau arah panah otak. Melesat tiada tentu arah, tiada pasti apa yang terpikir, gamang, rasa timbul tenggelam tanpa kepastian.
Dengan lemah Naylul Muna menyingkapkan selimutnya. Seketika lembab sang bayu menyapa tubuh. Sekan member komando pada bulu roma untuk berdiri tegak. Menggigil teriring malas tiada bertepi, perlahan dengan enggan dan dingin yang merayapi seluruh inci kulit ia bangkit. Menampakan telapak kakinya pada lantai kamar yang layaknya kepingan-kepingan es kutub utara. Ditatapnya rahmi, zizah, umi, dan syifa, teman sekamarnya yang masih lelap dalam dunia mimpi.
“Baru pukul 03.15 pantas masih sepi, tapi kenapa aku terbangun dengan perasaan gamang tiada terperi?” batin nay resah.
Setapak demi setapak kakinya melangkah menuju kamar mandi yang letaknya di belakang komolek pondok putri dengan bangunan terpisah, bayu menyapanya kasar, ketika ia berada di alam bebas. Lekas-lekas nay masuk kamar mandi, cuci muka, mandi dan tentunya gosok gigi. Beberapa menit kemudian ia keluar dengan wajah yang lebih segar dan sedap dipandang, meski kelopak matanya masih bengkan dan bola matanya memerah karena beberapa malam terakhir ia tak dapat tidur nyenyak. Pikirannya selalu tertuju pada The Killer dan Nadzam Umrithi yang harus ia hafal dalam tempo 1 pekan.
Gila gak sih, siapa yang gak benci sama khoirul muna atau the killer? Baru saja ngajar, udah suruh ngafalin nadzam seluruhnya, Tanya ini-itu, ditambah kalau gak bisa jawab suruh berdiri. Masih untung, teman-temannya gak begitu diketati, baginya atau mungkin hanya ia yang terlalu perasa itu suatu pengecualian. Masa hanya karena ia gak begitu suka dengan pelajaran umrithi, ia yang terus selalu ditunjuk dan ditanya. Tapi mau apa lagi siapa yang bisa mengelak.
“hai nay Pagi amat bangunnya?” sapa zizah dengan mata setengah terpejam, suara serak zizah itu membuyarkan lamunan nay yang terbang bebas.
“Eh, kamu zie, apa tadi?”
“Uh, ditanya kok pagi amat bangunnya?”
“hehehe… tau ni gamang, perasaanku kacau banget!”
“Ah, udah deh nay. Gak usah dipikirin tu santri tua yang nyuruh kamu ngafalin 254 nadzam umrithi, lagian sama-sama santri, sok banget sih dia. Ba…..”
“sssssset udah deh zie, kamu tau kan posisiku? Duluan yang aku nglancarin hafalan.”
Nay segera meninggalkan zie yang masih mengucek-ucek matanya, terlintas dalam benaknya, awal segala penderitaan dan kebenciannya, ya hanya karena waktu itu nay nulis surat dan puisi pas pelajaran umrithi kepergok the killer dan langsung dapat hukuman.
Badannya terasa ringan, kantukpun sedikit terkurangi dengan wudlu apalagi mandi dan wudlu sekalian. Ada yang bilang wudlu bisa ngilangin kantuk dan itu terbukti, kantu kitu datangnya dari syetan dan syetan itu diciptakan Allah dari api. So, yang paling cocok dan mujur buat madamin api ya air, masa bensi ya enggak lah! Hehehe
Sampai kamar nay segera mengambil mukena, qiamul lail lalu kembali melancarkan hafalannya. Dilihatnya rahmi dan umi mulai terbangun dan keluar kamar. Sambil menunggu adzan subuh nay terus melancarkan hafalannya, agar besok kalau waktunya setoran sama the killer ia tidak salah dan dapat cercaan atau ejekan.
Dulunya khoirul muna alias the killer santri tertua dan terlama nyantri yang terkenal jarang melanggar peraturan pondok itu adalah sosok yang sangat nay kagumi. Nay salut pada kekuatannya menaklukkan jiwa muda yang sangat liar. Terkesan dan penasaran bagaimanakah metode hebat yang ia terapkan untuk membekukan darah muda yang selalu mengalir brutal, fiya-foya, kasar, mendidih panas dan hewani itu. tapi kini semua sirna ditelan rasa benci, terhempas dalam jurang kebencian jiwa meletup-letup, mendesaj, menghentak, menyesakkan jiwa, berontak, menyeruak ingin meremas tubuh kurus itu, memukul-mukul dengan seluruh kekuatan berambisi memuaskan hasrat liar dan buas dengan mendaratkan jutaan pukulan pada tubuh kurus the killer yang tampak ringkih dan tak berdaya.
Siangnya, mentari bersinat terik, meski begitu pondok pesantren putri nurul Quran  yang dibangun di dekat tegal jati tetap terasa sejuk walau gerah masih tersisa. Suasana terasa indah dan damai didukung semarak suara santri yang tengah menghafal nadzam, Jurumiyah, imrithi, alfiah, aqidatul awam, syifaul jinan, dan masih banyak lagi bersahut-sahutan dibawa angin.
Ah, tak hanya itu. ada yang lebih membuat betah tinggal di situ yaitu beberapa pohon mahoni yang tumbuh di kiri kanan, dan depan gedung pondok yang senantiasa menyejukkan dan memancarkan keindahan. Pohon-pohon itu menciptakan nuansa musim gugur di negeri sakura. Bergilir seperti musim dari kuncup, lalu bunga yang kemudian gugur kelopak-kelopaknya, biji yang juga gugur yang bila terjatuh akan tampak seperti kitiran, berputar-putar baru kemudian jatuh dan terakhir daunya yang berguguran, terbang terbawa angin seperti musim gugur negeri sakura.
“Senam jantung dimulai.” Bisik hati santri imrithi dalam hati ketika the killer memasuki aula. Lain halnya dengan nay, dalam hati di bilang “Uh, Sok banget sih!” saat melihat Khoirul Muna cepat-cepat menunduk ketika bertemu pandang dengannya. Mendadak perut Nay terasa diaduk-aduk, mual, eneg lihat tampang the killer. Tak hanya itu, jantungnya berdetak kencang, bergerak seperti suara putaran roda kincir air kayu, berderap seperti hentakan kaki kuda pacuan. Belum lagi keringat dingin yang keluar di seluruh tubuh membuatnya bau, burket akut, basah kuyup seperti tikus kecemplung got, pokoknya jelek abiz deh!
Entah kenapa the killer paling hobi nyuruh-nyuruh nay, mulai dari membaca ulang, menghafal nadzam yang baru diterangkan sampai menghapus papan tulis. Dengan malas kalau tak mau ditunjuk mendadak nay memperhatikan the killer menerangkan tentang inna waakhowatuha. Tapi sepertiyna kata-kata the killer hanya laksana air mengalir, masuk telinga kanan dan keluar telinga kiri tanpa ada yang mengendap dalam otaknya. Karena tiba-tiba melintas dalam otaknya kata-kata the killer 1 bulan lalu saat pertama kali ngajar.
“Awal pertemuan kok sudah menyepelekan? Berdiri! Dan besok saya beri waktu 1 pekan kamu hafalkan seluruh nadzamnya!” Katanya tegas waktu itu. uh, parahnya waktu 1 pekan tak membuatnya hafal, molor hingga 1 bulan, gimana gak malu coba. Rasanya Nay pengen tuker kepala sama pantat.
“Dasar The Killer” Kutuk Nay terbawa emosi, hingga tanpa sadar kata-kata itu keluar begitu saja
“Ya, Naylul ada yang kurang jelas?” Tanyanya mendengar kutukan Naylul
“Em… anu…anu…” Nay gagap, arghgh sial banget “Tidak…kok sudah jelas”
“Lha tadi apa?”
“Oh, ini ada yang…”
“Baik, kalau begitu jelaskan tentang na’at!” potongnya seperti tahu kelanjutan kata-kata nay.”
“Glek” apa tuh na’at, pernah terdengar tapi apa ya…?” Nay terus berpikir tentu saja dengan hati dongkol. Diliriknya zizah untuk mencari bantuan tapi zizah Cuma ngikik melihat kesialan nay. “Ayo, Jawab katanya sudah jelas?” Lanjutnya datar tapi bagi nay itu seperti sebuah tantangan. Nay mendengus dan menatap the killer dengan seluruh kebenciannya yang selama ini mengendap dalam hatinya. Tapi sia-sia karena the killer malah sibuk menatap kitabnya yang sudah lusuh dimakan usia, atau mungkin gak kuat menopang kepalanya yang penuh ilmu itu. gak lah orang pinter biasanya juga gitu GHODLDLU BASHOR (Menjaga Pandangan Mata)
“Tapi, tadi kan yang diterangkan bab Inna Wa Akhowatuha” Jawab nay setelah mendapatkan bocoran dari fara
“Bagus, ada kemajuan kamu mulai memperhatikan.” Balasnya dingin
“Waw, sindiran pedas!” batin nay dongkol, marah dan tentunya benci setengah mati
“Uh, ni orang bisa ramah dikit gak sih ma aku?” batin nay kembali bicara, rasa bencinya kian berlipat-lipat, yah kalau sudah benci jadinya serba salah. Niat baikpun diartikan jelek, dikira niat jahat, itulah yang kini menimpa nay.
Andai bukan di pesantren, andai bukan ustad yang harus dihormati seperti telah termaktub dalam kitab ta’lim al muta’alim sudah pasti nay yang juga terkenal kasar dan tak pandang bulu itu merecoki dan mendamprat the killer. Apalagi bari nay, the killer tetaplah seorang santri dan kedudukannya sama dengan dirinya. Untuk menganggapnya ustad belum ya, kalau belum ada perjanjian damai, eh maksutnya minta maaf gitu.
“Saya kira pelajaran hari ini…” katanya menggantung sambil menimang-nimang kitabnya, seketika hati yang tadi bersorak gembira karena senam jantung telah usai jadi kecewa. “Ya, saya ingat… Naylul, hari ini kamu setoran kan? Mau ditunda berapa bulan lagi? Saya sudah cukup baik hati, dari tempo 1 pekan jadi 1 bulan!”
Disengat begitu, Nay jadi makin sebel, tanpa menunggu dipersilakan Nay segera berdiri, tarik nafas dan mulai menghafal nadzam imrithi. Karena emosi ia jadi merasa berani tidak nervous ataupun gagap.
“Bismillahirrahmanirrahim, alhamdulillahilladzi qod waffaqa lil ilmi khoiro kholqihi qalittuqo….” Suara Nay terdengar mantap dan agak lantang. Ia bisa menghafal dengan lancer, meski sesekali terhenti karena lupa tapi ia segera bisa menguasai diri dan melanjutkan hafalan. Sesekali matanya yang lebih banyak menatap langit-langit aula, menatap the killer yang khusyu mengimak hafalannya.
“Al Halu wasfun dzun tishabinna’ti mufassiron…” Nay terdiam, ia lupa, ia berfikir keras, mencari-cari lanjutan di langit-langit aula. Perlahan the killer menngangkat kepalanya menatap nay penuh Tanya, yang tentunya membuat hafalan nay makin buyar.
“MUfassiron…lil mubhamin…lilmubhamin…limubhamil haiati wainnama yu’ta bihi…”
“Syukurlah ingat” sorak hati nay girang, ia kembali menghafal dengan lancer hingga akhir. Begitu nadzam terakhir dibacanya, rasa lega segera merayapi seluruh buku hatinya,ia tersenyum senang, tapi senyum itu seketika pudar ketika dilihatnya mungkin The Killer tersenyum mengejek. Nay langsung manyun 17 cm. dongkol,lagi-lagi dongkol yang yang dirasa tiap usai pelajaran imriti. Tanpa menunggu dipersilahkan duduk nay langsung duduk manis dan membuang muka.
Meski membuang muka,tapi telinganya ia pasang tajam-tajam menanti komentar pedas yang biasa The Killer berikan padanya. Namun alangkah kagetnya nay,tanpa sepatah katapun keluar dari mulut The Killer bahkan salam penutupun tidak,dia langsung ngeloyor pergi.
“Ih dasar jaelangkung”rutuk nay dalam hati.
Sama halnya hari-hari yang telah lalu,rutinitas pondok sehabis jama’ah ashar yaitu mengaji ndiba’ pada bu nyai Rahmatullah di ndalem. Tak terkecuali nay. Dia sudah siap diurutkan pertama dengan rahmi, dia paling suka ngaji urutan awal bisa balik lebih cepet,begitulah prinsipnya,ga’ suka lama-lama ngantri.
“Ehem….”suara dehem bu nyai. Seketika,yang tadi pada bisik-bisik langsung diam.
“Alfatikhah”Bu nyai memulai ngaji dengan bacaan ummul kitab. Setelah membaca ummul kitab bersama-sama kini giliran nay dan rahmi ngaji ndiba’.
“Warifqu yadumu lisohibihi wal kaorq yasiru alal haroj” suara Nay memenuhi ndalem, suaranya yang lantang mengalahkan suara rahmi yang lemah lembut.
Kalau didengar dari kejauhan suara nay seperti suara lantang di tengah dangungnan lebah, sungguh khas suasana pesantren.
Usai ngaji, rahmi dan nay kembali ke pondok putri, mereka terus melewati jalan setapak sejauh 100 m. jalan itu begitu sejuk di bawah rindangnya pepohonan. Sesekali angin sepoi-sepoi menyapa mereka dan di sebelah barat sana lukisan alam tampak begitu agungnya. Wukir sumbing menjulang berdiri tegak, kokoh bak pahlawan berhias langit sore, berpahat jingga senja yang memanja.
“udaranya sejuk ya?” tutur nay seraya mendekap kitab Maulid Ad Dibai, mereka menyusuri jalan setapak itu sambil ngobrol. Sesekali mereka tertawa kecil, sungguh tampak riang.
“Nay, bukannya itu the killer?” pekik rahmi tiba-tiba. Seketika langkah nay terhenti, perutnya mual, mulas, sapaan mesra bayu terasa gerah baginya. Sempat terpikir untuk mencari jalan lain agar tidak berpapasan dengan orang yang mampu mengaduk-aduk perutnya hanya dengan sekali pandang, tapi image-nya selalu tinggi untuk berbalik. Cepat-cepat sebelum ketahuan dia ragu untuk berpapasan, nay segera melangkah. Dasar sial, semakin dekat mereka makin mual jadinya, tak hanya mual, amarahpun kembali menyeruak membuat keringat dingin nay mengalir di setiap inci tubuhnya membuatnya mandi keringat di sore yang sejuk.
Mereka makin dekat dengan the killer, diam tapi perang deingin telah berkobar dalam kesunyian. Ingin rasanya rahmi tertawa, dilihatnya the killer berjalan seperti biasa, menunduk khusyu seperti menghitung bebatuan kecil yang ia lewati. Sementara nay berjalan dengan angkuh bahkan berpaling muka dengan cepat ketika mereka berpapasan.
“Kalian lucu sekali seperti Tom and Jerry” Kata rahmi diiringi kikik kecil
“Sial, dasar makhluk berdarah dingin, heh jangan ketawa, panas, emosi, tau ga?” Kutuk nay. Ia segera mmungut daun jati kering di atas rerumputan dan mengibas-ibaskannya membuat rahmi makin cekikikan melihat tingkah aneh nay. Gimana gak aneh, udaranya sejuk banget masa kipasan?
“Nay, jangan gila dong! Masa sore-sore gini pake kipasan?” sindir rahmi membuat wajah nay makin ketekuk-tekuk, bibir manyun dan mata menyorot marah
“Aku pengen muntah rasanya” Balas Nay lebai.
****

Perang dingin Tom And Jerry tetap berlanjut, sepertinya semakin hari semakin panas. Ketegangan bukannya berkurang tapi malah makin memuncak. Udah deh, mending lekas perang aja kalau udah perang kan selesai. Entah itu hasilnya perjanjian damai atau kekalahan di satu pihak dan menjadi daerah kekuasaan pihak yang menang kalau gitu kan beres?
Tapi bukan nay yang angkuh namanya kalau mebiarkan masakah itu selesai begitu saja. Namanya saja masih muda, masih terbawa emosi. Sebenarnya nay itu baik hati, hanya saja kalau udah tersinggung marahnya gak rampung-rampung, kalau belum ada yang menyelesaikan alias minta maaf, hehehe….egois tinggi!
Rasanya lain banget, sudah sejak subuh tadi Nay merasa dalam hatinya ada yang kosong, ada yang hilang entah kemana, tak tahu kenapa yang jelas ia merasa sangat tidak nyaman, ia terusik dengan kata-kata teman sekamarnya. “Nay, kamu sekarang berubah ya? Udah gak badung lagi?” seperti itu kata-kata zizah selalu asal nyolot. Dan sekarang gara-gara omongan zizah yang seperti itu, Nay jadi mikir-mikir “Apa benar ya?” Tanya nay dalam hati. Tapi kalau dipikir-pikir ada benarnya, akhir-akhir ini nay rajin mutholaah, rajin jamaah, dhuha, qiyamullail.
“Ah, peduli amat, bukankan itu perubahan baik? Bukannya itu malah bagus?” batin nay cuek dan ia segera duduk di aula bersama teman sekelasnya menanti pelajaran imrithi dimulai. Kali ini nay lebih enjoy coz ia sudah tak perlu susah-susah ngafalin, paling banter yang ditanya, itu sih bisa dapet bocoran kalau lagi kebetulan. Gak mudeng karena melamun hehehe, masih suka ngalamun. Memang nay sudah tercetak menjadi generasi yang seneng ngalamun.
Menit berikutnya tanpa nay sadari, the killer telah memasuki aula, memulai pelajaran dengan membacakan 5 nadzam lebih dulu baru diterangkan. Ia mulai menerangkan panjang lebar sambil corat-coret papan tulis. Zizah yang tahu nay melamun segera melemparnya dengan kertas “Pluk!” kertas mengenai tangan nay. Nay segera menoleh menatap zizah yang tengah memberitahunya untuk memperhatikan dengan isyarat. Tanggap dengan maksud zizah, nay segera memperhatikan uraian the killer yang sama sekali tak dimengertinya.
“Baik, saya kira itu uraiannya. Ada yang belum jelas?” Tanya the killer, semua diam bukan berarti udah mudeng, tapi mubeng yang dirasakan mereka. Gak ada yang mudeng sampai-sampai gak tahu mau Tanya apa.
“Baiklah kalau begitu, Naylul Muna coba nadzamnya dihafalkan! Kamu kan sudah hafal semua, saya kira yang 5 ini lebih mudah bagi kamu”
“Apa, tapi kan?” protes nay gak terima. Sebenarnya nay mau aja disuruh ngafalin tapi berhubung udah pada lupa dia protes. Jaim dikit, masa baru beberapa hari udah lupa.
“Kenapa gak mau atau kamu udah lupa?” katanya telak
“Ya, memang saya lupa. Saya memang bodoh, ngafalin 1 bulan gak hafal-hafal, begitu hafal langsung lupa, ya pak emang otak saya di atas normal Ups…” keceplosan deh.
“Apa di atas normal, gila dong?” katanya tanpa disangka-sangka yang disambut tawa oleh teman-teman nay. “Sialan!” kutuk nay dalam hati. Ia cemberut, marah, benci setengah mati.
“Diam, jangan tertawa!” Bentaknya tiba-tiba. “Naylul, meurut kamu… saya ada salah sama kamu? Saya rasa kamu sangat memusuhi saya. Tak sepantasnya begitu, bila gurunya saja kamu benci gimana dengan pelajarannya. Bagi saya itu tak masalah toh saya tidak rugi. Tapi saya kasihan sama kamu Naylul. Semua untuk kebaikanmu juga. Kalau dengan saya gak masalah kamu boleh membenci saya tapi bagaimana dengan ustadz yang lain. Baiklah, begini saja naylul. Untuk memperbaiki segalanya, kiranya ada salah saya, saya mohon maaf. Saya tak punya niat apa-apa, saya Cuma menerapkan metode yang baik dalam mengajar anak yang kurang minat, menurut yang saya pelajari kalau ada anak yang kurang minat belajar harus diberi perhatian lebih. Setelah saya renungi sepertinya saya perlu minta maaf pada kamu naylul” Katanya datar.
Mendadak aula menjadi hening, tak ada yang berani bicara. Bahkan nay yang tadi girang sekarang manunduk dalam-dalam. Bahunya bergoncang, yang bener aja nay nangis?
“Hiks…hiks…hiks…” Tangis bay pelan karena sekuat tenaga ia menahannya.
“Baik, saya bisa memahami perasaan kamu…merenunglah sekali lagi naylul saya mohon maaf atas kelakuan saya selama ini” Kata khoirul muna merendah
“hiks…sa…sa…saya….hiks…ya…yang…se…se…se…harusnya minta maaf….. sa….saya… sa…ya…salah….pak” kata nay terbata dan serak
“Sama-sama, saya harap setelah ini bisa lebih baik.” Pesan khoirul muna dengan suara lembut lalu mengakhir pertemuan
Sejak kejadian permintaan maaf itu, nay menjadi pendiam, kelihatannya ada sesal yang begitu hebat dalam hatinya. Sesal karena mengapa ia begitu sombong, mengapa ia merasa benar padahal ia salah besar dengan membenci ustadnya. Benar-benar tindakan yang tak pantas disebut sebagai seorang santri.
Tak jarang dalam malam-malamnya ia suka menangis memohon ampun pada Allah karena ia belum berani minta maaf secara langsung pada khoirul muna, baginya kemarin belum cukup mewakili rasa bersalahnya dan rasa sesalnya.
“Nay, ayo ngaji Tafsir Jalalain” Teriak rahmi yang sudah lari membawa kitab ke ndalem. Meski malas nay segera menyusul, ia berjalan bersama-sama santri lain berbondong-bondong seperti rombongan semut membawa makanan.
Tak lama setelah santri putri dan santri putra duduk rapi di aula ndalem, KH. Rahmatullah segera rawuh. Beliau langsung memulai kajian tafsir jalalain seperti biasanya, membacakan ayatnya, makna perkata kemudian baru diterangkan panjang lebar.
“Seperti yang tersebut dalam ayat tadi. Bahwa sesungguhnya segala sesuatu yang kita miliki di dunia ini jangan sampai menjerumuskan kita ke jurang neraka jahannam.” Kata-kata itu terekam jelas di telinga nay. Ia menyimak dan memaknai kajian mala mini dengan khusyu. Sampai-sampai nay merasa baru saja kajian dimulai dan waktu berjalan terlalu cepat, rasanya masih kurang uraian dari KH. Rahmatullah tapi kenapa sudah selesai.
“Wallahu A’lam, Wassalamu’alaikum Wr. Wb” Kyai mengakhiri kajian malam itu. segera saja santri putra berebut untuk mencium tangan penuh berkah kyai. Santri putri tak dapat melihat kegiatan itu kecuali hanya suara kasa-kusu. Ya mereka dipisahkan oleh satir (Pembatas). Sementara santri putra mencium tangan ta’dzim kyai, santri putri segera berbaris keluar satu per satu dengan menunduk, berjalan lutut dengan runtut. Begitu pula nay, ia ikut berbaris, sebenarnya ia ingin tahu santri putra diperbolehkan bersalaman dengan kyai. Tak apa-apalah bukannya santri putri bisa bersalaman dengan ibu nyai, iya kan? Jadinya impas.
“Naylul, kesini dulu!” panggil kyai membuyarkan angannya tentang rasa iri itu. serta merta nay menghentikan langkah dan menyingkir dari urutan-urutan. Ia segera duduk menunduk di hadapan kyai sedikit jauh. Seperti itulah adat di pondoknya, ia tetap akan duduk menunduk bersimpuh tanpa bergerak, eh maksudnya pendah posisi meski seluruh badan terasa pegal. Setelah para santri berlalu…
“Begini Naylul…apa kau… punya masalah kok kelihatannya…sedang tidak bersemangat?” Tanya kyai perhatian. “Aduh! Apa kyai tahu masalahku dengan irul?” Batin nay gemetar. Takut kalau dirinya ketahuan belangnya. Seketika jantung nay berdetak begitu cepat, kencang, keringat dingin membasahi seluruh tubuhnya, apalagi telapak tangannya.
“Mboten” lirih nay sambil menggelengkan kepala. Ia tak yakin kyai mendengar suaranya
“Ehem, kalau begitu… kamu tahu khoirul muna?” Tanya beliau lagi. “DEG!” jantung nay segera berhenti berdetak, ia makin takut, ia yakin kyai tahu apa yang telah ia perbuat pada khoirul muna santri kepercayaan beliau.
“…dia mau mengajak kamu membangun keluarga yang sakinah, mawadah, warahmah! Bagaimana?” lanjut beliau tanpa nay duga-duga. “DUOR” bagai disambar petir di siang bolong. Saat ini rasa-rasanya jantung nay telah berhenti berdetak.
“Nderek!” sahut nay lirih setelah sekian menit terdiam dan didesak beberapa kali
“Alhamdulillahi rabbil’alamien… istikhorohmu baik kan Rul?” Tanya kyai pada khoirul muna yang ternyata ada di ruangan yang sama namun tidak tampak karena tertutup satir.
“Alhamdulillah saya menemukan telaga yang sangat bening lagi melimpah airnya”

No comments:

Post a Comment