Friday 2 May 2014

SKRIPSI NILAI PENDIDIKAN AKHLAK DALAM SHALAT (ANALISIS TERHADAP AYAT-AYAT TENTANG SHALAT DI DALAM AL-QUR'AN)



NILAI PENDIDIKAN AKHLAK DALAM SHALAT
(ANALISIS TERHADAP AYAT-AYAT TENTANG SHALAT
DI DALAM AL-QUR'AN)




BAB I
PENDAHULUAN

A.    LATAR BELAKANG MASALAH
Akhlak merupakan suatu sifat yang penting bagi kehidupan manusia. Akhlak akan terbawa dalam kepribadian seseorang, baik sebagai individu, masyarakat, maupun sebagai bangsa. Sebab kejatuhan, kejayaan, kesejahteraan dan kerusakan suatu bangsa tergantung kepada bagaimana akhlaknya. Apabila akhlaknya baik, maka akan  sejahtera lahir batinnya, tetapi apabila akhlaknya buruk, maka akan rusaklah lahir batinnya.2 Oleh karena itu kita sebagai manusia berusaha semaksimal mungkin untuk mencapai akhlak yang baik. Salah satunya dengan cara melaksanakna shalat. Sebab shalat merupakan sarana komunikasi secara langsung antara manusia dengan tuhannya, yang mana di dalam shalat terkandung makna-makna yang Berhubungan dengan perilaku seseorang. Dengan shalat seseorang akan merasa tenang dan damai dalam hidupnya, karena shalat merupakan sarana untuk mengingat Allah. Dan juga mendapat tempat bersandar yang kokoh dan kuat dan membebaskan diri dari berbagai bentuk guncangan dan gejolak jiwa serta gangguan mental.3 Shalat merupakan salah satu ibadah dalam Islam, yang didalamnya terdapat beberapa nilai-nilai pendidikan akhlak: seperti ikhlas, rendah diri, disiplin, sabar, dan lain-lain. Shalat juga merupakan rukun Islam yang kedua setelah syahadat. Ia adalah ibadah yang tak boleh ditinggalkan kecuali jika hilang akal atau tidak sadar. Shalat merupakan ibadah yang paling urgen dalam Islam secara mutlak. Bahkan ia merupakan induk dari berbagai ibadah karena ibadah selain shalat seperti zakat, puasa, dan haji terkadang kewajibannya gugur atas individu muslim dalam sebagian kondisi dikarenakan uzur atau sebab lainnya akan tetapi shalat tak pernah gugur dari seorang 2 Rahmat Djatnika, Sistem Etika Islam (Akhlak Mulia), (Surabaya: Pustaka Islam, 1996), hlm. 11. 3 Musthafa Khalili, Berjumpa Allah Dalam Shalat, (Jakarta: Zahra, 2006), hlm. 25. muslim yang sudah mukallaf (balig dan berakal) kecuali hilang akal atau tidak sadar.4 Shalat memiliki sisi lahir dan sisi batin. Bentuk lahiriyah shalat adalah: gerakan-gerakan dalam shalat yang diawali dengan takbiratul ikhram dan diakhiri dengan salam. Adapun bentuk batiniah shalat adalah: ikhlas, kehadiran hati, berzikir kepada Allah, memberi hormat kepada-Nya, bergantung kepada wujud yang abadi serta meleburkan diri dalam zat yang Maha Esa dan berdiri dihadapan keagungan dan kebesaran-Nya.5 Shalat tidaklah semata-mata melaksanakan kewajiban yang diwajibkan oleh Allah kepada manusia saja, tetapi lebih jauh dari itu, shalat merupakan penghubung langsung seorang hamba kepada Tuhan-Nya. Dengan menghadapkan hati kepada-Nya, hal ini akan mendatangkan keikhlasan dan kekhusyukan dengan meninggalkan sifat-sifat buruk yang ada dan tumbuh dalam diri manusia sehingga diperoleh rasa ketenangan dan ketentraman dalam hati manusia. Shalat sebagai salah satu bentuk ibadah, banyak sekali membantu dalam mengatasi problem-problem kejiwaan, dalam shalat manusia akan selalu ingat dan dekat dengan Allah, manusia tidak akan terperosok dalam kemungkaran. Sebagaimana firman Allah dalam surat Al-Ankabut ayat 45. 3 Ìs3ZßJø9$#ur Ïä!$t±ósxÿø9$# ÇÆtã 4sS÷Zs? no4qn=¢Á9$# žcÎ)
Artinya: “Sesungguhnya shalat bisa mencegah dari perbuatan keji dan mungkar.” (Q.S.Al-ankabut:45).6 Dalam tafsir Al-Maraghi disebutkan bahwa: inti dari ayat tersebut adalah kita diperintahkan untuk mengerjakan shalat secara sempurna, seraya mengharapkan keridhaan-Nya dan kembali kepada-Nya dengan khusyu' dan merendahkan diri. Sebab, jika shalat dikerjakan secara demikian, maka shalat akan  dapat mencegah dari berbuat kekejian dan kemungkaran. Karena shalat mengandung beberapa ibadah seperti takbir, berdiri dihadapan Allah, ruku', sujud, dengan segenap kerendahan hati, serta pengagungan lantaran di dalam 4 Hamid Ahmad At-Tahir, Buku Pintar Shalat, (Solo: PT Aqwam, 2008), hlm. 10. 5 Musthafa Khalili, op.cit., hlm. 16. 6 Depag RI, Al-Qur'an dan Terjemahnya, (Jakarta: Proyek Pengadaan Kitab Suci Al- Qur'an Departemen Agama RI, 1985), hlm. 635. ucapan dan perbuatan shalat terdapat isyarat untuk meninggalkan kekejian dan kemungkaran.7 Melihat keterangan diatas dapat dikatakan bahwa: Ibadah sholat mampu mencegah dari perbuatan keji dan munkar. Akan tetapi fenomena yang terjadi sekarang ini menunjukkan bahwa, banyak orang yang melaksanakan shalat, tetapi mereka juga melakukan maksiat. Dengan kata lain shalat yang mereka lakukan tidak memberi pengaruh apa-apa pada irinya.8 Tidak adanya pengaruh untuk dapat menjauhi berbagai perbuatan dan akhlak yang tercela dikarenakan adanya berbagai rintangan yang menghalangi pengaruh tersebut. Oleh karena itu, tatkala shalat yang senantiasa dikerjakan oleh seseorang tidak memberikan pengaruh dan hasil, maka tidak diragukan lagi bahwa dalam diri si pelaku shalat masih banyak terdapat berbagai halangan dan rintangan yang merusak pengaruh shalat seperti, tidak adanya keikhlasan dan kehadiran hati serta menganggap ringan dan meremehkan shalat. Dengan demikian, maka shalat yang hanya memiliki bentuk lahiriyah saja dan tidak memiliki roh tidak akan memberikan suatu pengaruh apapun pada si pelaku shalat. Oleh karena itu bila bentuk lahiriyahnya saja yang didirikan maka shalat tidak akan memberikan semangat kepada pendirinya untuk mendorong kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang mungkar, dan bahkan Allah SWT, tidak menerima dan memperhatikan shalat semacam itu. Hal ini sebagaimana yang disabdakan Rasulullah saw: Allah tidak memperhatikan shalat yang dilakukan oleh seseorang tanpa menghadirkan hati dan badannya dalam shalat.9 Dengan melihat konteks diatas, maka pengetahuan tentang ibadah shalat, termasuk nilai-nilai pendidikan akhlak di dalamnya menjadi sangat penting bagi seseorang yang akan mengantarkan kepada kepribadian muslim 7Ahmad Musthafa Al-Maraghi, Terjemah Tafsir Al-Maraghi, (Semarang: CV. Toha Putra, 1989), hlm. 239-240. 8 Muhammad Bin Qusri Al-Jifari, Agar Shalat Tak Sia-Sia, (Solo: Pustaka Iltizam, 2007), hlm. 8. 9 Musthafa Khalili, op. cit., hlm. 18. sejati dalam mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat. Oleh karenanya penulis tertarik untuk mengkaji lebih lanjut persoalan tersebut dalam bentuk skripsi dengan judul ”NILAI PENDIDIKAN AKHLAK DALAM SHALAT (Analisis Terhadap Ayat-Ayat Tentang Shalat di dalam Al- Qur'an).

B.     PENEGASAN ISTILAH
1.      Nilai Pendidikan Akhlak
a.       Nilai adalah: sifat-sifat penting yang berguna bagi manusia, dalam menjalani hidupnya.10 Dari penjelasan tersebut, maka nilai dapat dipahami sebagai esensi yang melekat pada sesuatu yang sangat berarti bagi kehidupan. Esensi belum berarti sebelum dibutuhkan oleh manusia, tetapi tidak berarti adanya esensi karena adanya manusia yang membutuhkan.
b.      Pendidikan Akhlak.
1)       Pengertian Pendidikan
 Pendidikan atau lebih  isempitkan pengajaran adalah suatu usaha yang bersifat sadar tujuan, dengan sistematis, terarah pada perubahan tingkah laku menuju kedewasaan anak didik.11 Sedangkan H. M. Arifin berpendapat bahwa hakekat pendidikan adalah usaha orang untuk membimbing dan mengembangkan kepribadian serta kemampuan dasar anak didik dalam bentuk pendidikan formil maupun non formil.12 Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pendidikan adalah usaha orang dewasa yang sistematis, terarah yang bertujuan untuk mengembangkan kepribadian dan kemampuan dasar menuju 10 Sulkan Yasin dan Sunarto Hapsoyo, Kamus Bahasa Indonesia,( Surabaya: Mekar, 1990), hlm. 233. 11 Winarno Surakhmad, Metodologi Pengajaran Nasional, (Bandung: Jammara, 1979), , hlm.13. 12 M. Arifin, Hubungan Timbal Balik Pendidikan Agama, (Jakarta: Bulan Bintang, 1978), hlm. 12. perubahan tingkah laku dan kedewasaan anak didik baik diselenggarakan secara formal maupun non formal.
2)       Pengertian Akhlak
Kata akhlak berasal dari bahasa arab, ia jamak dari kata khuluq, yang berarti budi pekerti, perangai, tingkah laku.13 Adapun yang dimaksud dengan akhlak adalah: kebiasaan dan kehendak seseorang berdasarkan Al-Qur'an dan Al-hadis, yang tertanam secara mendalam. Sedangkan menurut istilah, Ahmad Amin berpendapat bahwa akhlak adalah kebiasaan kehendak, yang berarti kehendak itu bila dibiasakan, maka kebiasaannya itu disebut dengan akhlak.14 Bila kehendak seseorang dibiasakan untuk melawan keinginankeinginan lain dengan secara langsung dan berturut-turut, maka ia telah berakhlak. Dengan demikian seseorang dikatakan berbudi luhur, apabila secara terus-menerus menguatkan kebiasaan yang baik, yakni dalam membentuk akhlak yang tetap dan menimbulkan perbuatan-perbuatan yang baik. Jadi, pendidikan akhlak dapat didefinisikan sebagai usaha yang dilakukan orang dewasa secara sistematis dan terarah untuk membimbing dan mengarahkan kehendak anak didik untuk mencapai tingkah laku yang baik dan diarahkan serta menjadikan sebagai suatu kebiasaan.
2.       Shalat  
Secara bahasa berarti mendo'akan kebaikan. Adapun shalat secara syari' berarti sejumlah perkataan dan perbuatan tertentu yang diawali dengan takbir dan diakhiri dengan salam.15 13 Hamzah Ya’kub, Etika Islam, (Bandung : Diponegoro, 1983), hlm.11 14 Ahmad Amin, Etika(Ilmu akhlak ), (Jakarta: Bulan Bintang, 1991), hlm.63. 15 Hamid Ahmad At-Tahir, Buku Pintar Shalat, (Solo: PT Aqwam, 2008). hlm. 9.  

C.     RUMUSAN MASALAH  
Dari latar belakang diatas, maka ada permasalahan yang akan dikaji dalam penelitian ini. Permasalahan tersebut adalah:
1.      Apa nilai-nilai pendidikan akhlak dalam shalat ?
2.      Bagaimana melakukan shalat yang dapat mencegah dari perbuatan keji dan mungkar ?
D.    TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN
Merujuk pada permasalahan tersebut di atas, maka tujuan dalam penelitian ini adalah:
1.      Mengetahui nilai-nilai pendidikan akhlak dalam shalat. 
2.      Mengetahui bagaimana melakukan shalat yang dapat mencegah dari perbuatan keji  dan mungkar.  Sedangkan hasil dari penelitian ini nantinya diharapkan, dapat memberi manfaat, baik diri sendiri, masyarakat dan pembaca perpustakaan, antara lain:
1.      Sesuai dengan tujuan pendidikan akhlak dapat mendorong kehendak untuk berbuat baik.
2.      Sebagai salah satu rujukan bagi semua orang dalam menemukan pendidikan akhlak, sehingga tercipta sikap yang islami.
3.      Memberi masukan kepada pembaca, untuk senantiasa berbuat baik dan mengurangi dari hal-hal yang tercela.
4.      Dapat menumbuhkan sifat-sifat yang baik terhadap pribadi seseorang.
E.     KAJIAN PUSTAKA
Kajian yang di bahas dalam skripsi ini, difokuskan pada ajaran ibadah shalat, yang didalamnya terkandung nilai-nilai pendidikan akhlak yang dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Dari sini dibutuhkan suatu kajian kepustakaan, dimana sepengetahuan penulis, belum pernah menemukan penelitian skripsi yang mengkaji nilai pendidikan akhlak dalam shalat. Untuk memperoleh gambaran yang pasti tentang posisi penelitian ini diantara karya-karya yang sudah ada berikut kami ilustrasikan beberapa karya yang telah mengkaji nilai-nilai pendidikan. Pertama, penelitian yang dilakukan oleh Agus Hakim tentang nilainilai pendidikan dalam Qiyamullail. Skripsi ini memaparkan nilai-nilai pendidikan dalam Qiyamullail meliputi nilai jasmani berupa keadaan tubuh yang rileks, efektif, tidak malas, dan selalu optimis. Nilai rohaninya yaitu: menjadikan keadaan tenang dan jiwa damai, tidak terjadi was-was, kegelisahan yang berakibat pada sifat minder. Kedua, penelitian yang dilakukan oleh Dyah Ayu Setio Nugraha, yang berjudul nilai-nilai pendidikan akhlak dalam Al-Qur'an, surat Al- Baqarah ayat 247-251. Dalam skripsi ini menjelaskan tentang nilai-nilai pendidikan akhlak, yang meliputi teguh pendirian dan optimis. Ketiga, Agus Maghfur mengangkat sebuah penelitian: shalat dan relevansinya terhadap pendidikan jasmani dan rohani. Menuliskan bahwa shalat yang dilakukan dengan gerakan yang benar dan khusyu', dapat membuat sehat jasmani dan rohani. Dari uraian tersebut nampaklah nilai-nilai pendidikan telah banyak dikaji. Tetapi sepengetahuan penulis, belum pernah ada yang membahas tentang nilai-nilai pendidikan akhlak dalam shalat.
F.      METODE PENELITIAN
Penelitian ini bersifat kepustakaan karena datanya terdiri atas bukubuku yang ada hubungannya langsung atau tidak langsung dengan pembahasan materi.16 Selain itu juga mengambil sumber dari kitab-kitab tafsir dan buku-buku yang menyinggung tentang nilai pendidikan akhlak dalam shalat. Adapun metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 16 Sutrisno Hadi, Metodologi Research, Jilid 1, (Yogyakarta: UGM, 1987), hlm. 8.
1.      Fokus Penelitian
Dalam penelitian ini, Peneliti mengemukakan fokus penelitian sebagai berikut: Nilai Pendidikan Akhlak Dalam Shalat (Analisis Terhadap Ayat-Ayat Tentang Shalat di dalam Al-Qur'an khususnya Surat Al-Ankabut Ayat 45, An-Nisa’ Ayat 103, dan Surat Al-Baqarah Ayat 45).
2.      Metode Pengumpulan Data
Dalam pengumpulan data ini diambil dari sumber-sumber sebagai berikut:
a.       Sumber Primer
Sumber primer merupakan sumber pokok yang di peroleh melalui buku-buku tafsir Al-Qur'an yang didukung dengan hadis yang relevan, diantaranya: tafsir Ibnu Katsir, tafsir Al-Maraghi, dan lainlain.
b.      Sumber Sekunder
Sumber sekunder merupakan sumber yang dijadikan alat bantu dalam menganalisa masalah yang muncul. Yakni dengan buku-buku tentang akhlak dalam shalat dan juga buku-buku yang ada  elevansinya dengan keduanya diantaranya adalah: Buku Pintar Shalat, Berjumpa Allah Dalam Shalat, Agar Shalat Tak Sia-Sia, dan lain-lain.
3.      Metode Analisis Data
a.      Metode tahlili
Yang dimaksud dengan metode tahlili ialah menafsirkan ayatayat Al-Qur’an dengan memaparkan segala aspek yang terkandung di dalam ayat-ayat yang ditafsirkan itu serta menerangkan makna-makna yang tercakup di dalamnya sesuai dengan keahlian dan kecenderungan mufasir yang menafsirkan ayat-ayat tersebut. Dalam metode ini, biasanya mufasir menguraikan makna yang dikandung oleh Al-Qur’an, ayat demi ayat dan surah demi surah sesuai dengan urutannya didalam mushaf. Uraian tersebut menyangkut berbagai aspek yang dikandung ayat yang ditafsirkan seperti pengertian kosakata, latar belakang turun ayat, kaitannya dengan ayat-ayat yang lain (munasabat), dan tak ketinggalan pendapat para mufassir. Ciri utama dari metode ini adalah menjelaskan makna yang terkandung di dalam ayat-ayat Al-Qur’an secara komprehensif dan menyeluruh. Dalam penafsiran tersebut Al-Qur’an ditafsirkan ayat demi ayat secara berurutan, serta tak ketinggalan menerangkan asbab al-nuzul dari ayat-ayat yang ditafsirkan. Demikian pula ikut diungkapkan pendapat para mufassir.17
b.      Metode Komparasi Metode komparasi yaitu cara berpikir dengan cara membandingkan kesamaan pendapat orang, group, atau negara terhadap kasus orang, peristiwa atau kepada ide-ide. Dengan menggunakan metode komparasi tersebut digunakan untuk menyimpulkan pendapat mengenai pendidikan akhlak dan shalat dari beberapa tokoh yang ada, kemudian membandingkan yang satu dengan yang lain kemudian dicarikan kesimpulan akhirnya.
G.    SISTEMATIKA PENULISAN SKRIPSI
Untuk memudahkan dalam pemahaman skripsi ini, maka disusunlah sistematika penulisan skripsi ini, secara garis besar sebagai berikut:
a.       Bagian muka Pada bagian ini dimuat: halaman sampul, halaman judul, abstraksi, persetujuan pembimbing, halaman pengesahan, deklarasi, halaman motto, halaman persembahan, kata pengantar dan daftar isi.
b.      Bagian isi (batang tubuh) Bab pertama, tentang pendahuluan, berisi: latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, kajian pustaka, metode penelitian, kerangka teoritik dan sistematika penulisan skripsi. 17 Nashruddin Baidan, Metodologi Penafsiran Al-Qur'an, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), hlm 31-32. Bab kedua, tentang ibadah shalat dan pendidikan akhlak, berisi tentang: Nilai Pendidikan akhlak, meliputi: pengertian pendidikan nilai, pendidikan akhlak, dasar pendidikan akhlak, dan tujuan pendidikan akhlak. Ibadah shalat meliputi: pengertian ibadah shalat, dasar hukum, keutamaan shalat, filsafat shalat, dan hikmah shalat. Bab ketiga, tentang studi ayat-ayat tentang shalat di dalam Al- Qur'an, yang berisi: redaksi ayat dan terjemahan, asbabunnuzul, munasabat, tafsir ayat, dan pendapat para mufassir. Bab keempat, tentang analisis nilai-nilai pendidikan akhlak dalam shalat. Yang berisi: analisis nilai-nilai pendidikan akhlak dalam shalat.Bab kelima penutup, berisi kesimpulan, saran-saran, dan penutup.
c.       Pada bagian akhir skripsi akan dimuat, daftar pustaka, lampiran-lampiran dan daftar riwayat hidup penulis.
 

BAB II
NILAI-NILAI PENDIDIKAN AKHLAK DALAM SHALAT

A.    NILAI-NILAI PENDIDIKAN AKHLAK
1.      Pengertian Nilai Pendidikan Akhlak
Nilai adalah: sifat-sifat penting yang berguna bagi manusia, dalam menjalani hidupnya.18 Dari penjelasan tersebut, maka nilai dapat dipahami sebagai esensi yang melekat pada sesuatu yang sangat berarti bagi kehidupan. Esensi belum berarti sebelum dibutuhkan oleh manusia, tetapi tidak berarti adanya esensi karena adanya manusia yang membutuhkan. Hubungan antara subjek dengan objek memiliki arti penting dalam kehidupan subjek. Sebagai contoh segenggam garam lebih berarti bagi masyarakat Dayak di pedalaman daripada segenggam emas. Sebab garam lebih berarti untuk mempertahankan kehidupan atau mati, sedangkan emas semata-mata untuk perhiasan. Sedangkan badi masyarakat kota, sekarung garam tidak berarti dibandingkan dengan segenggam emas, sebab emas lebih penting bagi orang kota.19 Sangatlah jarang mendapatkan pengertian pendidikan akhlak secara sempurna. Kebanyakan penulis mendefinisikan pendidikan akhlak mulai dari pengertian pendidikan dahulu kemudian pengertian akhlak. Dari kedua pengertian tersebut kemudian dikombinasikan sehingga akan ditemukan pengertian pendidikan akhlak. Pendidikan akhlak merupakan rangkaian dua kata yang memiliki arti satu kesatuan dan untuk dapat dipahami sebagai kesatuan arti harus dimengerti lebih dahulu arti dari masing-masing kata. Pendidikan akhlak diambil dari kata ”Pendidikan” dan ”Akhlak”. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia pendidikan diartikan sebagai proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok 18 Sulkan Yasin dan Sunarto Hapsoyo, op.cit., hlm. 233. 19 Chabib  Thoha, Kapita Selekta Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), Cet. 1, hlm. 61. orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan, proses, perbuatan, cara mendidik.20 Dalam kamus Webster’s New Twentieth Century Dictionary dikatakan bahwa: education is the process of training and developing the knowledge, skill, mind, character, etc. Specially by formal schooling, teaching, training.21 Artinya: Pendidikan adalah sebuah proses untuk melatih dan mengembangkan pengetahuan, keahlian, pikiran, sifat, dll. Khususnya dengan sekolah formal, pengajaran dan latihan. Menurut Martimer J. Adler sebagaimana dikutip oleh H. M. Arifin, pendidikan adalah proses dengan mana semua kemampuan manusia (bakat dan kemampuan yang diperoleh) yang dapat dipengaruhi oleh pembiasaan, disempurnakan dengan kebiasaan-kebiasaan yang baik melalui sarana yang secara artistik dibuat dirinya sendiri mencapai tujuan yang ditetapkan yaitu kebiasaan yang baik.22 Lebih jauh lagi A.D. Marimba mendefinisikan pendidikan sebagai bimbingan atau pimpinan secara sadar oleh si pendidik terhadap perkembangan jasmani si pendidik menuju terbentuknya kepribadian yang utama.23 Dari beberapa definisi yang diungkapkan oleh beberapa ahli tersebut di atas, pendidikan dapat diartikan sebagai suatu proses yang dilakukan secara sistematis untuk mengembangkan potensi manusia untuk dibimbing dan diarahkan kepada pembentukan sikap, tata laku, dan kepribadian yang baik melalui pengajaran, pelatihan, pembiasaan dan pemberian petunjuk dan nasehat dan lain sebagainya agar menjadi manusia yang utama dan baik, berguna bagi bangsa dan negara. 20 Tim Penyusun, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Ed. II, Cet. VIII, (Jakarta : Balai Pustaka, 1996), hlm.204. 21 Noah Webster, Webster’s New Twentieth Century ictionary, (United States Of Amerika: The Word Publishing Company, 197), hlm.176. 22 M. Arifin, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta : Bumi Aksara, 1993), hlm. 12. 23 A.D. Marimba, Pengantar  Filsafat Pendidikan Islam, (Bandung : Al-Maarif, 1987), hlm. 19. Sedangkan akhlak menurut pengertian etimologi berasal dari bahasa arab, jamak dari khuluq yang berarti budi pekerti, perangai, tingkah laku atau tabiat.24 Menurut pengertian terminologi, akhlak didefinisikan oleh Ahmad Amin sebagai kebiasaan kehendak, yang berarti bila kehendak itu dibiasakan, maka kebiasaan itu akan disebut sebagai akhlak.25 Pengertian di atas, perlu dijelaskan yang dimaksud kebiasaan adalah perbuatan yang dilakukan secara berulang-ulang. Sedang untuk  mengerjakannya mempunyai dua syarat: Pertama ; ada kecenderungan hati  kepadanya; Kedua, ada pengulangan yang cukup banyak ; sehingga mudah mengerjakannya tanpa memerlukan fikiran lagi. Sedangkan yang dimaksud dengan kehendak adalah menangnya keinginan manusia setelah dia bimbing. Proses terjadinya melalui; Pertama, timbul keinginan setelah adanya stimulan-stimulan melalui indra-indranya, Kedua; timbul kebimbangan mana yang harus dipilih di antara keinginan-keinginan yang banyak itu ; Ketiga; mengambil keputusan, menentukan keinginan yang dipilih diantara keinginan-keinginan tersebut.26 Sedangkan menurut Al- Gazali, akhlak adalah: 
􀇂􀇈􀈇􀈁 􀆨􀇳􀈂􀈀􀇈􀆥   􀇱􀆢􀇠􀇧􀈏􀆡 􀇁􀆾􀇐􀆫 􀆢􀈀􀇼􀇟, 􀆨􀆼􀇇􀇁 􀇆􀇨􀇼􀇳􀆡 􀄾 􀆨􀆠􀈈􀇿 􀇺􀇟 􀆧􀇁􀆢􀆦􀇟 􀇪􀇴􀅬􀆡􀆢􀇧 􀇱􀆢􀇠􀇧􀈏􀆡 􀆢􀈀􀇼􀇟 􀇁􀆾􀇐􀆫 􀆪􀈈􀅞 􀆨􀆠􀈈􀅮􀆡 􀆪􀇻􀆢􀇯 􀇹􀆢􀇧 􀆨􀈇􀆙􀇁􀈁 􀇂􀇰􀇧 􀅄􀆡 􀆨􀆳􀆢􀆷 􀅚􀇣 􀇺􀇷 􀇁􀆾􀇐􀄈 􀇳􀆡 􀆪􀇻􀆢􀇯 􀇹􀆡􀈁, 􀆢􀇼􀇈􀆷 􀆢􀇬􀇴􀆻 􀆨􀆠􀈈􀇳􀆡 􀇮􀇴􀆫  􀆪􀈈􀅩 􀆢􀇟􀇂􀇋􀈁 􀈐􀇬􀇟 􀆧􀆽􀈂􀇸􀆄􀆡 􀆨􀇴􀈈􀇸􀅪􀆡 27􀆢􀆠􀈈􀇇 􀇪􀇴􀆻 􀇁􀆾􀇐􀅭􀆡 􀄾 􀅕􀇳􀆐􀆡 􀆨􀆠􀈈􀅮􀆡 􀆪􀈈􀄈􀅩 􀆨􀆴􀆦􀇬􀇳􀆡 􀇱􀆢􀇠􀇧􀈏􀆡 􀆢􀈀􀇼􀇟
Artinya: Akhlak adalah suatu keadaan yang melekat pada jiwa manusia, yang dari padanya lahir perbuatan-perbuatan yang mudah tanpa melalui proses pemikiran dan pertimbangan. Jika keadaan itu menimbulkan perbuatan-perbuatan yang indah dan terpuji menurut akal dan syara’. Maka keadaan tersebut dinamakan akhlak yang baik, dan jika menimbulkan perbuatan-perbuatan yang jelek, maka dinamakan akhlak yang buruk. 24 Hamzah Ya’kub, op.cit., hlm.11. 25 Ahmad Amin, op.cit., hlm. 63. 26 Rachmat Djatmiko, Sistem Etika Islam, (Jakarta : Pustaka Paji Mas, 1992), hlm. 27-28. 27 Imam Al-Ghazali, Ihya Ulumuddin Juz 3, Al-Arabiyah: Isa Al-Halabi, t.th., hlm. 58. Jadi, pengertian akhlak dapat disimpulkan sebagai kehendak jiwa manusia, (tanpa adanya paksaan dan tekanan maupun bujukan) yang dapat menimbulkan perbuatan dengan mudah dan gampang karena sudah dibiasakan dan dilakukan berulang-ulang, sehingga sewaktu-waktu perbuatan itu akan muncul tanpa memerlukan pertumbuhan dan pemikiran terlebih dahulu. Dari pengertian pendidikan dan akhlak yang sudah diungkapkan di atas, maka yang di maksud dengan pendidikan akhlak adalah suatu usaha mengenai proses yang secara sistematis dilakukan untuk mengembangkan potensi manusia dan kehendak jiwa manusia, agar dapat menjadi manusia yang memiliki kepribadian mulia yang sesuai dengan tatanan nilai yang ada sehingga terbentuk manusia yang berakhlak karimah, dan proses itu dapat dilakukan melalui pengajaran, pelatihan, pembiasaan dan pemberian petunjuk dan nasehat dan lain-lain. Dalam pembahasan akhlak, juga ada beberapa istilah yang sering digunakan sebagai persamaan dengan istilah akhlak, istilah-istilah itu adalah :
a.       Etika
Menurut Frans Magnis Suseno, etika adalah keseluruhan norma dan penilaian yang dipergunakan oleh masyarakat yang bersangkutan untuk mengetahui bagaimana manusia seharusnya menjalankan kehidupannya.28 Sedangkan Hamzah Ya’kub mendefinisikan etika sebagai ilmu yang menyelidiki mana yang baik dan mana yang buruk dengan memperhatikan amal perbuatan manusia sejauh yang dapat diketahui oleh akal fikiran.29 Dengan demikian, etika dapat diartikan sebagai salah satu bang ilmu filsafat yang mempelajari dan menyelidiki tingkah laku anusia untuk menentukan nilai dari perbuatan tersebut, baik atau 28 Frans Mognis Suseno, Etika Jawa, (Jakarta : Gramedia, 1985), hlm. 6. 29 Hamzah Ya’kub, op.cit., hlm. 13. buruk menurut ukuran akal, atau dengan kata lain akal manusia yang dapat menentukan baik buruknya suatu perbuatan, baik karena akal menganggap dan menentukannya baik dan jelek karena akal menilainya jelek.
b.      Moral
Kata moral berasal dari bahasa latin ”Mores” kata jamak dari kata mos yang berarti adat istiadat.30 Salah satu pengertian moral sebagaimana disebutkan dalam Ensiklopedi Pendidikan bahwa moral adalah nilai dasar dalam masyarakat untuk memilih antara nilai hidup (moral) juga adat istiadat yang menjadi dasar untuk menentukan baik atau buruk.31 Lebih jelas lagi definisi yang diungkapkan oleh Frans Magnis Suseno bahwa norma-norma moral adalah tolak ukur untuk menentukan betul salahnya sikap atau tindakan manusia dilihat dari segi baik buruknya sebagai manusia dan bukan sebagai pelaku peran tertentu dan terbatas.32 Dari berbagai pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan moral adalah dasar, nilai yang dapat dijadikan pedoman, tolak ukur untuk menentukan baik buruknya, betul salahnya suatu perbuatan manusia dalam satu lingkup masyarakat, sehingga persesuaiannya adalah dengan adat istiadat yang diterima oleh masyarakat yang meliputi kesatuan sosial atau lingkungan tertentu.
c.       Budi Pekerti
Budi pekerti dalam Bahasa Indonesia merupakan kata majemuk dari kata ”budi” dan ”pekerti”. Budi berasal dari Bahasa Sansekerta yang berarti sadar, menyadarkan atau alat kesadaran. Sedangkan pekerti berasal dari bahasa Indonesia yang berarti kelakuan. 30 Ibid, hlm . 14. 31 Soeganda Poerbakawatja, op. cit., hlm. 186. 32 Frans Magnis Suseno, Etika Dasar, (Jakarta: Kanisius, 1989), hlm. 19. Menurut istilah, budi dapat diartikan sebagai sesuatu yang ada pada manusia, yang berhubungan dengan kesadaran, yang didorong oleh pemikiran, ratio yang disebut dengan karakter. Dan pekerti diartikan sebagai apa yang terlihat pada manusia, karena didorong oleh perasaan hati yang disebut dengan behaviour. Jadi yang dimaksud dengan budi pekerti adalah perpaduan dari hasil rasio dan rasa yang bermanifestasi pada karsa dan tingkah laku manusia.33 Dari penjelasan mengenai istilah-istilah di atas, maka bila dikaitkan dengan akhlak, ada beberapa persamaan dan perbedaan. Persamaannya adalah ke semua istilah sama-sama membahas perilaku manusia dan menilai dan menentukan tentang baik buruknya perbuatan tersebut. Perbedaannya adalah terletak pada sumber titik pangkal tata aturannya. Akhlak dalam menilai perilaku manusia didasarkan pada sumber ajaran Islam yaitu al-Qur’an dan hadits sehingga memiliki manifestasi yang lebih mendalam, yaitu untuk mencapai kedamaian dunia akhirat. Sedangkan etika, moral kesusilaan, budi pekerti memandang tingkah laku manusia memakai tolak ukur dan pertimbangan akal fikiran, adat istiadat atau segala apa yang menjadi tatanan nilai yang dihasilkan di suatu masyarakat.34
2.      Dasar Pendidikan Akhlak
Akhlak dalam pandangan Islam merupakan sistem tata nilai tentang perilaku manusia yang didasarkan pada ajaran-ajaran agama Islam. Yakni, segala perilaku manusia haruslah bersumber dan bertolak serta berpedoman pada ajaran agama Islam, yaitu Al-Qur’an dan Al-Hadits merupakan sumber inti dari syari’at yang disebarluaskan oleh Rasul Muhammad SAW sebagai sinar penerang bagi kehidupan manusia. Al-Qur’an dan Al-Hadits sebagai sumber utama dari ajaran Islam tentunya berisi tentang ajaran-ajaran yang dapat dijadikan panutan dan 33 Rahmat Djatnika, op. cit., hlm. 26. 34 Asmaran AS, Pengantar Studi Akhlak, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1994), hlm. 9. tuntunan dalam manusia berperilaku dan berakhlak, keduanya memberikan bimbingan dan penjelasan yang jelas dan terarah demi untuk keselamatan umat manusia dan demi kebahagiaan baik di dunia dan di akhirat serta menghindarkan dan menjauhkan manusia dari kerusakan, kesesatan yang akan menjerumuskannya ke lembah kehinaan yang tidak diridhai oleh Allah SWT. Tujuan diwahyukannya Al-Qur'an adalah untuk membawa manusia dari kegelapan, dalam arti menjauhkan dari perilaku yang dapat merusak harkat martabatnya sebagai manusia (khalifah di bumi) sebagaimana perbuatan kemaksiatan dan lain-lainnya, dan menunjukkan perilakuperilaku yang dapat meningkatkan harkat dan derajatnya, yaitu jalan yang lurus yang diridhai Allah SWT. Sehingga, Al-Qur'an dengan jelas memberikan tuntunan mana perbuatan baik yang harus dilakukan oleh manusia dan mana perbuatan buruk yang harus dijauhinya. Demikian halnya dengan Al-hadits yang merupakan sumber ajaran Islam yang kedua setelah Al-Qur'an juga sebagai pedoman tingkah laku oleh manusia, karena seluruh ucapan, perbuatan, tingkah laku dan ikrar nabi adalah suri tauladan bagi tatanan kehidupan manusia yang ideal. Dijelaskan dalam firman Allah SWT :
 ©!$# tx.sOEur tÅzFy$# tPöquø9$#ur ©!$# (#qã_ötƒ tb%x. `yJ9 ×puZ|¡ym îouqóé& «!$# ÉAqßuÎû öNä3s9 tb%x. ôs)©9 ÇËÊÈ #ZŽÏVx.
Artinya: ”Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri tauladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap rahmat Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah”. (QS. Al-Ahzab: 21)35 Nabi Muhammad SAW merupakan satu sosok manusia yang akhlaknya sangat mulia yang patut dan harus dijadikan panutan dan teladan bagi sekalian umat manusia, hal ini cukup jelas, karena 35 Depag RI, op.cit., hlm.670. sebagaimana tujuan diutusnya Nabi Muhammad adalah dalam rangka menyempurnakan akhlak manusia. Sabda Nabi SAW :
36􀃊􀇩􀆊􀈐��􀆻􀃈􀈋􀆒􀆡 􀄃􀆶􀃊􀇳􀆢􀄃􀇏  􀇶􀄏􀇸􀄃􀆫􀃉􀈋􀃊􀄄􀆪􀆒􀆰􀃊􀇠􀆥􀄄 􀆢􀄃􀇸􀇻􀄋􀃊􀆛
3.      Artinya: ”Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan kemuliaan budi pekerti”. Keabsahan al-Hadits sebagai sumber ajaran Islam yang berarti juga sebagai dasar dan sumber akhlak adalah merupakan satu kesatuan dengan al-Qur'an. Al-Qur'an sebagai sumber pokok yang mencakup misi dan sari pati dari ajaran Islam, sedangkan al-Hadits merupakan penjelas dan penegas dan keterangan praktis dari isi yang terkandung di dalamnya. Oleh sebab itu akhlak yang melekat pada nabi merupakan al-Qur'an itu sendiri dan merupakan contoh kongkrit tentang bagaimana kita menjalani hidup ini yang sesuai dengan ajaran yang tertera dalam al- Qur'an al-karim. Dan juga firman Allah dalam al-Qur'an surat Al-Qalam ayat 4: ÇÍÈ 5Ïàtã @,è=äz 4n?yès9 y7¯RÎ)ur Artinya: ”Dan sesungguhnya kamu benar-benar budi pekerti yang agung”.(QS. Al-Qalam : 4) 37 Jadi, segala ucapan, perbuatan, ikrar dan tingkah laku Nabi Muhammad SAW adalah merupakan teladan dan contoh sebagai manusia yang sempurna sebagai hamba Allah. Sehingga tak dapat diragukan lagi tentang keabsahan kehidupan nabi yang didasarkan pada Al-Qur'an karim dan juga bersifat ma’sum (dijaga dari kesalahan) yang tentunya kesemuanya itu merupakan akhlak yang agung sebagaimana dijelaskan dalam ayat tersebut di atas. Dari berbagai dalil di atas, maka jelas bahwa segala perilaku manusia yang merupakan manifestasi dari akhlak, kesemuanya itu harus didasarkan pada syari’at ajaran Islam. Yang dalam hal ini, bersumber 36 Jalaluddin Abdurrahman As-Syuyuthi, Al-Jamius Shaghir, (Bandung : Maktabah Dar Ihya Kutub al-Arobiyah), t.th, hlm. 111. 37 Depag RI, op .cit., hlm. 960. kepada Al-Qur'an karim yang merupakan sumber pokok dari ajaran Islam, dan juga Al-Hadits yang merupakan landasan penjelas secara kongkrit yang diberikan Rasulullah tentang kehidupan yang berjalan sesuai dengan tata kehidupan yang termaktub dalam al-Qur'an yang diridhai oleh Allah SWT. Sehingga jelas, bahwa pendidikan akhlak adalah merupakan hal yang sangat penting dalam mengarahkan dan mendidik generasi penerus, dengan dibekali akhlak yang baik dan dididik untuk bisa membedakan antara yang baik dan yang jelek, diharapkan dapat senantiasa berada dalam rel yang sesuai dengan tatanan moral, tidak mudah terombang-ambing oleh perubahan zaman sehingga dapat menjadi manusia yang taat kepada Allah SWT dan berakhlak karimah.
4.      Tujuan Pendidikan Akhlak 
Pendidikan akhlak merupakan wahana terpenting dari sebuah proses kehidupan. Masyarakat sendiri menyadari bahwa era reformasi sekarang ini, banyak tingkah laku atau perbuatan manusia diluar batas norma-norma agama, sehingga mereka terjebak kedalam krisis akhlak. Dalam kaitannya ini, maka pendidikan akhlak sebagai fondasi ajaran Islam, merupakan suatu jalan alternatif yang dapat memecahkan masalah-masalah kejiwaan, hal itu tidak saja berkaitan dengan persoalan ehidupan fundamental manusia, tetapi juga berhubungan dengan realitas manusia sebagai makhluk Allah SWT. Bila melihat pernyataan tersebut, tentu dapat dipahami bahwa pendidikan akhlak mempunyai tujuan yang strategis, yang membangun dan mengembangkan manusia ke arah positif. Menurut Imam Al-Gazali, yang dikutip oleh H. Nasruddin Thaha tujuan pendidikan akhlak adalah: membentuk daya manusia yang sanggup bertindak ke arah yang baik tanpa berpikir dan timbang menimbang.38 38 Nasrudddin Thaha, Tokoh –Tokoh Pendidikan Islam di Zaman Jawa, (Jakarta: Mutiara, 1979), hlm. 45. Adapun Menurut Asmaran As pendidikan akhlak bertujuan hendak menundukkan manusia sebagai makhluk yang tinggi dan sempurna serta membedakannya dari makhluk-makhluk yang lainnya danmenjadikan manusia berkelakuan baik terhadap tuhan, manusia dan lingkungannya.39 Adapun menengok pengertian diatas bahwa tujuan pendidikan akhlak adalah mencapai kebahagiaan hidup umat manusia dalam kehidupannya, baik di dunia maupun di akhirat. Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT:
 öqs9ur 4 (#qãB$s% öNÍköŽn=tæ zNn=øßr& !#sOEÎ)ur ÏÏù (#öqt±¨B Nßgs9 uä!$|Êr& !$yJ¯=ä. ( öNèdt»|Áö/r& ß#sÜøƒsä-÷Žy9ø9$# ߊ%s3tƒ ÇËÉÈ ÖƒÏs% &äóÓx« @ä. 4n?tã ©!$# žcÎ) 4 öNÏdÌ»|Áö/r&ur öNÎgÏèôJ|¡Î/ |=yds%s! ª!$# uä!$x©
Artinya: Dan diantara mereka ada orang yang berdo’a “ Ya Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat dan perihalah kami dari siksa neraka (QS. Al-Baqarah: 20). Dari ayat di atas dapat dipahami bahwa kita hidup di dunia hanyalah semata-mata mencari ridha-Nya, melalui berbuat dan amal saleh yang merupakan dasar dan tujuan akhlak. Kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat adalah tujuan hidup utama semua manusia. Kebahagiaan di dunia merupakan tujuan hidup sementara yang harus dicapai untuk menuju tujuan yang lebih tinggi, yaitu untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT dalam rangka mencapai kebahagiaan akhirat. Akhlakul karimah yang melekat pada diri seseorang akan mengantarkannya sampai tujuan yang dimaksud.
B.     SHALAT
1.      Pengertian Shalat
Shalat secara bahasa berarti mendo’akan kebaikan.40 Sebagaimana firman Allah dalam Al-Qur’an sebagai berikut: 39 Asmaran As, Pengantar Studi Akhlak, (Jakarta, Rajawali Pers, 1992), hlm. 9. 40 Hamid Ahmad At-Tahir, op. cit., hlm. 9. öqs9ur 4 (#qãB$s% öNÍköŽn=tæ zNn=øßr& !#sOEÎ)ur ÏÏù (#öqt±¨B Nßgs9 uä!$|Êr& !$yJ¯=ä. ( öNèdt»|Áö/r& ß#sÜøƒsä-÷Žy9ø9$# ߊ%s3tƒ ÇËÉÈ ÖƒÏs% &äóÓx« @ä. 4n?tã ©!$# žcÎ) 4 öNÏdÌ»|Áö/r&ur öNÎgÏèôJ|¡Î/ |=yds%s! ª!$# uä!$x©
 Artinya: Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan menyucikan mereka dan shalatlah (berdoalah) untuk mereka. Sesungguhnya shalat (doa) kamu itu (menjadi) ketentraman jiwa bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. At-Taubah:103) Adapun secara syar’i berarti sejumlah perkataan dan perbuatan tertentu yang diawali dengan takbir dan diakhiri dengan mengucap salam. Sebagaimana Dalam kitab Al-Iqna’ dikatakan bahwa: 􀆈􀆨􀄃􀆸􀄃􀆬􀄃􀆬􀆒􀇨􀄄􀇷 􀆈􀇱􀆢􀄃􀇠􀆒􀇧􀆊􀆡􀄃􀈁 􀇱􀆈  􀄃􀈂􀆒􀇫􀆊􀆡: 􀆢􀄆􀇟􀄅􀇂􀄃􀇋􀈁 􀃇􀇂􀄅􀈈􀄃􀆼􀃊􀆥 􀆔􀃉􀆢􀄃􀇟􀆾􀄌 􀇳􀆊􀆡 􀆆􀆨􀄃􀇤􀇳􀆌 􀄃􀈄􀃊􀇿􀄃􀈁 􀄇􀆩􀄃􀈂􀆊􀇴􀄃􀇏 􀆢􀄃􀈀􀄄􀇠􀄅􀇸􀄃􀆳 􀆌􀆧􀆊􀈐􀄋􀇐􀇳􀆊􀆡 41􀃇􀆨􀄃􀇏􀄅􀈂􀄄􀇐􀄅􀆼􀄃􀇷  􀇖􀆟􀃊􀆡􀄃􀇂􀄃􀇌􀃊􀆥  􀇶􀄅􀈈􀃊􀇴􀄅􀇈􀄋􀆬􀇳􀆢􀃊􀆥 􀆈􀆨􀄃􀇸􀄃􀆬􀄃􀆬􀄅􀆼􀄃􀇷  􀇂􀄅􀈈􀃊􀆦􀆒􀇰􀆬􀄋􀇳􀆢􀃊􀆥
Artinya: kata shalat jama’nya shalawat, secara bahasa berarti mendo’akan kebaikan, Adapun secara syar’i berarti sejumlah perkataan dan erbuatan yang diawali dengan takbir dan diakhiri dengan salam dengan syarat-syarat tertentu.  Menurut Ibnu Qudamah yang dikutip oleh Muhammad bin Qusri Al-Jifari, shalat berarti ibadah kepada Allah yang berbentuk ucapan dan  perbuatan yang diketahui lagi khusus. Diawali dengan takbir dan diakhiri dengan salam42. Adapun menurut Said Al-Qahthani yang dikutip juga oleh Muhammad bin Qusri Al-Jifari, shalat adalah do’a, yaitu do’a permohonan dan do’a ibadah. Doa permohonan maksudnya, memohon segala yang bermanfaat bagi pemohon, baik perolehan suatu manfaat maupun pencegahan terhadap suatu mudharat. Demikian pula, permohonan berbagai kebutuhan kepada Allah semata dengan menggunakan bahasa lisan. Sedangkan doa ibadah maksudnya, pencarian pahala melalui berbagai amal saleh dalam bentuk berdiri, rukuk, dan sujud. Barang siapa 41 Muhammad Syarbani Al-Khotib, Al-Iqna’, (Beirut: Darul Fikri, 1995), hlm. 106. 42 Muhammad Bin Qusri Al-Jifari, op.cit, hlm. 14. menunaikan ibadah ini, berarti dia telah berdoa kepada Allah dan memohon dengan perbuatannya agar Allah mengampuninya.43 Sedangkan menurut Hasbi ash-Shidiqy yang dikutip oleh Deni Sutan Bahtiar, shalat mengandung pengertian menghadapkan hati dan jiwa kepada Allah dan mendatangkan takut kepada-Nya, serta menumbuhkan di dalam jiwa rasa keagungan, kebesaran, dan kesempurnaan kekuasaan- Nya.44 Disinilah sesungguhnya yang terpenting dalam shalat adalah menghadapkan hati, ikhlas, dan berpikir akan kekuasaan-Nya. Sebab apalah artinya mulut mengucap asma-asma Allah, tubuh tegak berdiri menghadap kiblat, namun hati dan akal jauh dari Allah. Hati adalah inti dari segala amal perbuatan. Sebaik-baik hati adalah hati yang lembut, hati yang mudah bergetar ketika menyebut asma Allah. Dengan melihat beberapa definisi diatas, bisa disimpulkan bahwa pengertian shalat adalah: Menghadapkan hati dan jiwa kepada Allah SWT sebagai ibadah, dalam bentuk beberapa perkataan dan perbuatan, yangdiawali dengan takbir dan diakhiri dengan salam, serta menurut syara’ yang telah ditentukan oleh syara’.
2.      Dasar Hukum
Dasar hukum diwajibkannya shalat sebagaimana firman Allah dalam Al-Qur’an sebagai berikut: ÇÍÌÈ tûüÏèϧ9$# yìtB (#qãèx.ö$#ur no4qx.¨9$# (#qè?#uäur no4qn=¢Á9$# (#qßÏ%r&ur
Dan dirikanlah shalat, dan keluarkanlah zakat, dan tunduklah ruku’ bersama-sama orang yang pada ruku’.” (QS. Al-Baqarah: 43).45 Shalat disebut dalam Al-Qur’an Al-Karim di 69 ayat, kebanyakan darinya dengan lafal: (no4qn=¢Á9$# #qßÏ%r&ur (dan tegakkanlah 43 Ibid, hlm. 14 44 Deni Sutan Bahtiar, Mengapa Shalatmu Tak Mampu Menjauhkan dari Kekejian dan Kemungkaran?, (Jogjakarta: Gara Ilmu, 2009), hal. 42. 45 Depag RI, op.cit., hlm. 16. shalat). Maksudnya, laksanakanlah shalat tepat pada waktunya dengan pelaksanaan yang benar dan ikhlas untuk Allah sebagaimana yang dikerjakan Rasulullah SAW.46
3.      Keutamaan Shalat
Ada beberapa keutamaan-keutamaan dalam mengerjakan shalat, diantaranya yaitu:
a.      Shalat dapat menghapus perbuatan dosa.
Shalat yang dikerjakan dengan baik dan benar, dapat membersihkan berbagai dosa yang ada pada diri manusia, dan menjadikan mereka mendapatkan ampunan dari Allah SWT. Shalat akan menyingkirkan kegelapan yang ada dalam hati manusia dan menggantinya dengan cahaya yang terang benderang. Imam Ja’far Shadiq berkata, “Barangsiapa yang melakukan shalat dua rakaat, dan ia menyadari apa yang ia baca dalam shalat, dan setelah selesai melakukan shalat jika terdapat dosa antara ia dan Allah, maka Allah akan mengampuninya.47
b.      Orang yang berjalan kaki di masjid akan mendapatkan cahaya di akhirat
Berjalan kaki ke masjid pada waktu malam mungkin dirasa berat oleh sebagian orang. Selain waktu istirahat, gelapnya malam juga merupakan ujian. Namun, bagi mereka yang mampu melakukannya akan mendapatkan cahaya di akhirat kelak.48
c.       Allah mengampuni dosa-dosa yang terjadi antara satu shalat dan shalat berikutnya
Dosa-dosa seorang mukmin yang dilakukan antara dua shalat akan hilang begitu ia mengerjakan perintah Allah yang agung ini. 46 Hamid Ahmad At-Tahir, op.cit., hlm. 17. 47 Musthafa Khalili, op.ci.t, hlm. 121. 48 Muhammad Bin Qusri Al-Jifari, op.cit., hlm. 46. 

4.      Filsafat Shalat
M aksud dari pembahasan dalam filsafat shalat ini adalah mengenal dan meneliti berbagai makna yang terkandung dalam ibadah shalat, mulai dari mengungkap makna takbir sampai makna salam.
a.     Makna Takbir
Ketika memulai shalat seseorang diperintahkan menghadap ke arah kiblat dengan wajahnya, sedang hatinya hanya menghadap Allah semata; tidak menoleh dan berpaling kepada selain-Nya. Kemudian ia berdiri dihadapan Allah dengan rendah diri, tunduk merasa membutuhkan kepada-Nya, dan mengharap belas kasih dari Tuhan- Nya. 49 Dan ketika mengucapkan takbir berarti ia (pelaku shalat) memasuki kawasan suci spiritual shalat, dan dengan mengucapkan takbir maka ia telah mengagungkan dan memuliakan-Nya, menganggap-Nya lebih besar dan agung dari seluruh hamba-Nya dan menafikan sekutu atas-Nya.50 Sekiranya di dalam hatinya ada sesuatu yang lebih menyibukkan dirinya daripada Allah, maka hal itu menunjukkan bahwa ia menganggap masih ada yang lebih agung dari Allah. Demikian halnya sekiranya ada yang lain yang menyibukkan dirinya melebihi Allah, maka sesuatu yang membuatnya sibuk itu adalah lebih penting daripada Allah. Sehingga ucapan Allahu Akbar hanya di lidahnya saja, tidak dengan hatinya. Sekiranya hatinya bisa mengikuti lidah dalam bertakbir, maka dia keluar dari pakaian kesombongan yang menafikan ibadah dan mencegah hatinya agar tidak berpaling kepada selain Allah.
b.    Makna Rukuk
Tatkala seseorang yang shalat membungkukkan tubuh dan melakukan rukuk, pada hakekatnya ia mengakui kehinaan dan 49 Ibnul  Qoyyim, Rahasia Sholat, (Yogyakarta: Pustaka Fahima, 2009), hlm. 27. 50 Musthafa Khalili, op.cit., hlm. 87. kerendahan dirinya, dan dengan mengucapkan zikir rukuk, ia juga mengakui kebesaran dan keagungan Allah SWT. Dan ini merupakan sebaik-baik bentuk kerendahan diri seorang hamba dihadapan keagungan Al-Haqq.51 Sempurnanya penghambaan rukuk adalah bahwa orang yang sedang rukuk merasa kecil dan merasa hina dihadapan Tuhannya sehingga perasaan kecil dihadapan Tuhan yang ada di dalam hatinya itu menghapuskan segala kesombongan pada dirinya dan pada makhluk lain serta mengagungkan Tuhannya yang tidak ada sekutu bagi-Nya.52 Ringkasnya, berkaitan dengan filsafat rukuk, jika seorang hamba mampu mencapai hakikat rukuk kepada Allah, niscaya Allah akan menghiasinya dengan cahaya keindahan-Nya. Dan menjadikannya berada di bawah kebesaran-Nya. Dengan demikian, maka rukuk harus dilaksanakan dengan penuh kekhusyu’an dan kerendahan hati, sehingga sujud pun akan ikut sempurna. 
c.      Makna Sujud   
Sujud adalah menundukkan kepada kehadirat Tuhan Yang Maha suci, meletakkan kepala diatas tanah, dan menganggap diri hina. Roh dan jiwa sujud adalah melepaskan hati dari belenggu berbagai perkara material dan fana, serta memutus ketergantungan pada keduniawian. Hakikat sujud adalah menjalin hubungan dengan Sang Sesembahan serta mencapai maqam yang terpuji. Sujud adalah keadaan dimana hamba amat dekat dengan tuannya, dan merupakan sebaik-baik keadaan.53 Disyari’atkan dalam sujudnya untuk memberikan ubudiyah setiap anggota badan sesuai dengan bagiannya dengan meletakkan dahinya di tanah, hatinya tunduk kepada Tuhannya, hidungnya diletakkan di tanah, hatinya tunduk kepada Tuhannya, dan meletakkan anggota tubuhnya yang paling mulia, yaitu wajahnya, di tanah. Dalam 51 Ibid, hal. 95. 52 Ibnul Qoyyim, op.cit., hlm. 66. 53 Musthafa Khalili, op.cit., hlm. 98. keadaan tersebut hatinya mengikuti gerak tubuhnya. Hatinya  bersujud kepada Allah sebagaimana badannya bersujud dihadapan Allah. Bersamaan dengan itu hidungnya, wajahnya, kedua tangannya, kedua lututnya, dan kedua kakinya juga berujud. Hamba yang sedang bersujud adalah hamba yang dekat, mendekatkan diri. Hamba yang paling dekat dengan Tuhannya adalah orang yang bersujud.54 Amirul mukminin Imam Ali Bin Abi Thalib ditanya tentang filsafat sujud. Lalu beliau menjawab: “Sujud pertama memiliki arti: ‘Wahai tuhan ! kami berasal dari tanah. Dan arti mengangkat kepala dari sujud adalah: ‘Wahai Tuhan, Engkaulah yang telah mengeluarkan kami dari tanah. Dan arti dari sujud yang kedua adalah: ‘Wahai Tuhan ! untuk kedua kalinya Engkau mengembalikan kami ke tanah. Dan arti dari mengangkat kepala dari sujud yang kedua adalah: Wahai Tuhan, Engkau akan mengeluarkan diri kami sekali lagi dari tanah pada hari kiamat.55 
d.      Makna Tasyahud
Tasyahud adalah pujian dan sanjungan kepada Allah SWT, juga pembaruan dan pengulangan kesaksian atas ketuhanan Allah SWT dan kenabian nabi Muhammad saw, yang pada dasarnya penekanan terhadap iman dan Islam. 56 Yang dimaksud tasyahud ialah bacaan at-tahiyyat. “At- Tahiyyat” ditafsirkan sebagai penghormatan kepada raja, terhadap kekekalan dan kelanggengan raja.57 Sedangkan Allah memiliki sifatsifat tersebut. Oleh karena itu, Dialah yang paling berhak mendapatkannya. Dia adalah raja yang memiliki kerajaan. Semua penghormatan yang diberikan kepada raja baik itu sujud, pujian kekekalan, kelanggengan, pada dasarnya hanyalah milik Allah. 54 Ibnul Qoyyim, op. cit., hlm. 69. 55 Musthafa Khalili, op.cit., hlm. 100. 56 Ibid. 57 Ibnul Qoyyim, Rahasia Sholat, (Yogyakarta: Pustaka Fahima, 2009), hal. 84.
e.       Salam
Kata salam berasal dari kata silm, yang berarti aman dan damai. Seorang yang tunduk pada perintah ilahi, dan dengan penuh kerendahan hati menjalankan ajaran agama Rasulullah saw, maka ia akan aman dari berbagai bencana dunia dan siksaan akhirat.58 Ringkasnya makna salam pada akhir shalat adalah keamanan. Maka barang siapa yang tunduk pada perintah ilahi, ia berada dalam keadaan aman.
5.      Hikmah Shalat
Ada beberapa hikmah shalat, diantaranya yaitu:59
a.     Kontinunya hubungan antara seorang hamba dengan rabbnya
Hubungan manusia dengan Allah SWT adalah hubungan makhluk dengan khaliq-Nya. Hubungan ini tidak akan terputus selama manusia sadar dan ingat bahwa ia hanyalah ciptaan Allah yang tidak akan hidup kecuali atas kehendak-Nya, dan tujuan penciptaan-Nya adalah untuk beribadah hanya kepada Allah. Cara menjaga hubungan ini antara lain dengan shalat.60
ÇÊÍÈ üÌò2Ï%Î! no4qn=¢Á9$# ÉOÏ%r&ur ’ÎTôç6ôã$$sù O$tRr& HwÎ) ts9Î) Iw ª!$# $tRr& ûÓÍ_¯RÎ) “Sesungguhnya Aku-lah Allah, tidak ada Tuhan selain-Ku, maka sembahlah aku dan dirikanlah shalat untuk mengingat- Ku.“ (QS. Thaha: 14.) Dengan selalu mengingat Alah melalui shalat, akan ada hubungan antara Allah dan manusia yang terus terjalin. Bahkan bila kita selalu mengingat Allah, maka hati kita akan menjadi tenteram. 58Musthafa Khalili, op.cit., hlm. 102 . 59 Hamid Ahmad At-Tahir, op.cit., hlm. 19. 60 Subhan Nurdin, Keistimewaan Shalat Khusyuk, (Tangerang: Qultum Media, 2006), hlm. 71.
b.    Shalat dapat mencegah pelakunya dari perbuatan keji dan mungkar
Firman Allah ta’ala:
 ….. 3 Ìs3ZßJø9$#ur Ïä!$t±ósxÿø9$# ÇÆtã 4sS÷Zs? no4qn=¢Á9$# žcÎ) (.....
“...sesungguhnya shalat itu mencegah dari ( perbuatan-perbuatan keji dan mungkar...”( QS. Al-Ankabut:45).61 Kekejian ialah perbuatan maupun perkataan yang mengandung banyak keburukan. Sedangkan mungkar ialah kebalikan dari kebaikan, lebih dekat pengertiannya dengan al-inkar (menafikan, menolak). Sehingga bisa diambil pengertian tidak taat atau “setiap perilaku yang lebih memilih untuk melakukan perbuatan buruk”.62
c.      Shalat dapat menambah ikatan sosial kemasyarakatan antar kaum muslimin
Karena, kehadiran kelompok dan jamaah dapat membawa ikatan antara kaum muslimin serta saling menanyakan hala ihwal mereka. Sebab inilah Allah keras dalam mengingkari orang yang tidak melaksanakan shalat dan menjadikannya sebagai orang yang menyepelekan perhatian terhadap kondisi saudara-saudaranya.
d.    Shalat sebagai penolong
Shalat berfungsi pula sebagai penolong bagi manusia untuk mencapai rahmat Allah. Dengan rahmat-Nya manusia akan hidup tenteram jauh dari murka Allah dan menjadi jembatan menuju surga. Pada hakikatnya shalat adalah doa. Dengan shalat manusia bisa meminta bantuan atau pertolongan apapun yang menjadi kebutuhannya. Meminta pertolongan itu dengan shalat dan kemudian bersabar.63 61 Depag RI, op.cit., hlm. 635. 62 Ibid, hlm. 76. 63 Ibid. hlm. 73. 

BAB III
STUDI AYAT-AYAT TENTANG SHALAT DALAM AL-QUR'AN

(Surat Al-Ankabut :45, Surat Thaha: 132, Surat An-Nisa: 103)
1.      Surat Al-Ankabut ayat 45
a.      Ayat dan terjemahan
s3ZßJø9$#ur Ïä!$t±ósxÿø9$# ÇÆtã 4sS÷Zs? no4qn=¢Á9$# žcÎ)
Artinya: “Sesungguhnya shalat dapat mencegah dari perbuatan keji dan munkar ”. (Q. S. Al-Ankabut: 45).64 no4qn=¢Á9$# žcÎ) : Sesungguhnya shalat sS÷Zs? : Dapat mencegah Ìs3ZßJø9$#ur Ïä!$t±ósxÿø9$# ÇÆtã : Dari perbuatan keji dan munkar
b.      Asbabun Nuzul 
adapun sebab turunnya surat Al-Ankabut ayat 45, sejauh penelusuran pustaka yang penulis lakukan tidak ditemukan adanya sebab yang melatarbelakangi turunnya ayat tersebut.
c.       Munasabah
Munasabah ayat ini adalah dengan ayat sesudahnya yaitu ayat 46 yang menjelaskan kepada kita tentang bagaimana caranya memberi petunjuk kepada ahlul kitab dan bagaimana mengajak mereka kepada agama yang benar. Firman Allah dalam surat Al-Ankabut ayat 46
(#þqä9qè%ur ( óOßg÷YÏB (#qßJn=sß tûïÏ%©!$# žwÎ) ß`|¡ômr& }Ïd ÓÉL©9$$Î/ žwÎ) É=»tGÅ6ø9$# Ÿ@÷dr& (#þqä9Ï»pgéB Ÿwur * ÇÍÏÈ tbqßJÎ=ó¡ãB ¼çms9 ß`øtwUur ÓÏnºur öNä3ßs9Î)ur $oYßs9Î)ur öNà6ös9Î) tAÌRé&ur $uZøŠs9Î) tAÌRé& üÏ%©!$$Î/ $¨ZtB#uä
 Artinya: Dan janganlah kamu membantah Ahl al-kitab kecuali dengan yang terbaik, kecuali orang-orang yang berbuat kezaliman diantara mereka, dan katakanlah: “ kami telah beriman kepada apa yang telah diturunkan kepada kami dan apa yang 64 Depag RI, op.cit., hlm. 635. diturunkan kepada kamu, Tuhan kami dan Tuhan kamu adalah Esa dan kami kepada-Nya adalah orang-orang muslim. (Q.S. Al-Ankabut : 46).65 Dalam ayat ini, Allah menjelaskan kepada kita tentang bagaimana caranya memberi petunjuk kepada ahlul kitab dan bagaimana mengajak mereka kepada agama yang benar yaitu dengan mengemukakan hujjah yang kuat, tidak menjelekkan pendapat mereka, dan tidak pula mengatakan bahwa mereka adalah orang-orang dusta. Ahlul kitab mengakui adanya Allah dan para Nabi. Hanya saja mereka tidak mengimani Muhammad. Mereka menolak pendapat yang menyatakan bahwa syari’at mereka terhapus. Allah juga menerangkan bahwa diantara ahlul kitab ada yang beriman kepada Al-Qur’an66. Hanya orang-orang yang sudah sangat mendalam kekafirannya menolak Al- Qur’an. Sedangkan pada ayat sebelumnya Allah memerintahkan agar membaca Al-Qur’an dan melaksanakan shalat dengan baik dan benar. Al- Qur’an mengandung banyak prinsip dan informasi yang berbeda dengan kepercayaan Yahudi dan Nasrani, padahal mereka juga memiliki kitab suci yang disampaikan kepada Nabi Musa as, dan Nabi Isa as.67 Jadi munasabah ayat 45 adalah ayat sesudahnya yaitu ayat 46 perintah kepada kaum muslimin agar jika berdiskusi dengan ahli kitab, agar dilaksanakan dalam bentuk dan cara yang sebaik-baiknya.
d.      Tafsir (isi kandungan)
Dalam pembahasan ini akan mengemukakan beberapa pendapat para ahli tafsir.
1.      Menurut Quraish Shihab
Ayat ini menjadi bahan diskusi dan pertanyaan para ulama’ khususnya, setelah melihat kenyataan bahwa banyak diantara kita yang 65 Ibid. 66 Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddiqieqy, Tafsir Al-Qur’anul Majid AN-NUUR, (Semarang, PT. Pustka Rizki Putra, 1987), hlm 3143. 67 M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah (Pesan, Kesan Dan Keserasian Al-Qur’an), (Tangerang: Lentera Hati, 2002), hlm. 513. shalat tetapi shalatnya tidak menghalangi dari kekejian dan kemungkaran. Persoalan ini telah muncul jauh sebelum generasi masa kini dan dekat yang lalu. Banyak pendapat ulama’ tentang pengaitan ayat ini dengan fenomena yang terlihat dalam masyarakat. Ada yang memahaminya dalam pengertian harfiah, mereka berkata sebenarnya shalat memang mencegah dari kekejian. Kalau ada yang masih melakukannya maka hendaklah diketahui bahwa kemungkaran yang dilakukannya dapat lebih banyak daripada apa yang terlihat atau diketahui itu, seandainya dia tidak shalat sama sekali.68 Thabathaba’i ketika menafsirkan ayat ini menggarisbawahi bahwa perintah melaksanakan shalat pada ayat ini dinyatakan sebabnya, yaitu karena “shalat melarang / mencegah kemungkaran dan kekejian”. Ini berarti bahwa shalat adalah amal ibadah yang pelaksanaannya membuahkan sifat kerohanian dalam diri manusia yang menjadikannya tercegah dari perbuatan keji dan munkar, dan demikian hati menjadi suci dari kekejian dan kemungkaran sera menjadi bersih dari kotoran dosa dan pelanggaran. Dengan demikian shalat adalah cara untuk memperoleh potensi keterhindaran dari keburukan dan tidak secara otomatis atau secara langsung dengan shalat itu terjadi keterhindaran yang dimaksud. Sangat boleh jadi dampak dari potensi itu tidak muncul karena adanya hambatanhambatan bagi kemunculannya, seperti lemahnya dzikir atau adanya kelengahan yang menjadikan pelaku shalat tidak menghayati makna dzikirnya. Karena itu, setiap kuat dzikir seseorang dan setiap sempurna rasa kehadiran Allah dalam jiwanya, serta semakin dalam kekhusyu’an dan keikhlasan, maka setiap itu pula bertambah dampak pencegahan itu, dan sebaliknya kalau berkurang maka akan berkurang pula dampak tersebut 68 Ibid, hlm. 508. Ibn A‘syur berpendapat bahwa kata (􀏰􀏬􀏨􀎗 ), tanha / melarang lebih tepat dipahami dalam arti majazi, sehingga ayat ini mempersamakan apa yang dikandung oleh shalat dengan “larangan”, dan mempersamakan shalat dengan segala kandungan dan substansinya dengan seseorang yang melarang shalat, baik dalam ucapan maupun gerakan-gerakannya, mengandung sekian banyak hal yang mengingatkan kepada Allah, sehingga shalat merupakan pemberi ingat kepada yang shalat. Dialah yang melarangnya melakukan pelanggaran terhadap segala yang tidak diridhai Allah. Dialah yang berfungsi melarang yang melakukannya terjerumus dalam kekejian dan kemungkaran. Karena itulah sehingga shalat diatur dalam waktu yang berbeda-beda, malam dan siang, agar berulang-ulang dia melarang, mengingatkan dan menasehati dan sebanyak pengulangannya sebanyak itu pula tambahan kesan ketakwaan dalam hati pelakunya dan sebanyak itu pula kejauhan jiwanya dari kedurhakaan sehingga pada lama- kelamaan dia menjadi potensi dirinya.69
2.      Menurut Al-Maraghi
Ayat ini menyuruh kita untuk  mengerjakan shalat secara sempurna seraya mengharapkan keridhaannya dengan khusyu’ dan merendahkan diri. Sebab, jika shalat dikerjakan dengan cara demikian, maka ia akan mencegahmu dari berbuat kekejian dan kemungkaran karena ia mengandung berbagai macam ibadah, seperti: takbir, tasbih, berdiri di hadapan Allah, ruku’ dan sujud dengan segenap kerendahan hati, serta pengagungan, lantaran ucapan dan perbuatan shalat terdapat isyarat untuk meninggalkan kekejian dan kemungkaran, seakan- akan shalat berkata: mengapa kamu mendurhakai Tuhan yang Dia berhak untuk menerima apa yang kamu lakukan? Mengapa patut bagimu melakukan hal itu dan mendurhakai-Nya, padahal kamu telah melakukan ucapan dan perbuatan yang menunjuk kepada keagungan dan kebesaran Tuhan, keikhlasan dan kembalimu kepada-Nya, serta 69 Ibid, hlm. 509. ketundukan kepada keperkasaan-Nya. Jika kamu mendurhakai-Nya dan melakukan kekejian serta kemungkaran maka seakan-akan dia adalah orang yang ucapannya bertentangan dengan perbuatannya.70
3.      Menurut Sayyid Quthub
Shalat itu ketika didirikan akan mencegah dari perbuatan keji dan munkar. Karena shalat itu merupakan hubungan dengan Allah yang didalamnya orang akan malu jika ia membawa dosa-dosa besar dan perbuatan keji ketika ia berjumpa dengan Allah. Padahal shalat itu merupakan ritual untuk membersihkan diri dan menyucikannya sehingga tak sesuai dengan kotoran perbuatan keji dan kemungkaran. Maka orang yang mengerjakan shalat, tapi shalatnya itu tidak mencegahnya dari perbuatan keji dan munkar, berarti ia belum mendirikan shalat dengan sebenarnya. Karena erdapat perbedaan besar antara mengerjakan shalat dengan mendirikan shalat. Shalat itu ketika didirikan, maka orang itu berzikir kepada Allah.71
4.      Menurut Hasbi ash-Shiddieqy
Sembahyang merupakan ibadah yang utama, karena mencakup berbagai macam ibadah yang lain. Didalamnya ada takbir, tasbih, dan berdiri dengan rasa hormat dihadapan Allah. Kemudian ruku’ dan sujud kepada-Nya. Sembahyang yang dapat mencegah kita mengerjakan perbuatan-perbuatan keji dan munkar hanyalah sembahyang yang dilakukan dengan sempurna rukunnya, sempurna syaratnya, sempurna sunat dan adab yang dijalankan dengan hati yang tulus dan ikhlas, jauh dari sifat riya (pamer) dan nifak (munafik), penuh dengan rasa takut kepada Allah dan mengharap kema’afan-Nya. Sembahyang yang tidak berjiwa, tidak disertai oleh kekhusyukan dan hati yang tunduk, tidak mungkin mencegah kita dari kekejian dan kemungkaran.72 70 Ahmad Mushthafa Al-Marghi, op.cit., hlm. 240. 71 Sayyid Quthb, Tafsir Fi Zhilalil-Qur’an, (Jakarta: Gema Insani Press, 2004), hlm. 108. 72 Teungku Muhammad Hasbi ash-Shiddiqieqy, op.cit., hlm. 3139.
2.      Surat Thaha Ayat 132
a.      Ayat dan Terjemah
 ( $pköŽn=tæ ÷ŽÉ9sÜô¹$#ur Ío4qn=¢Á9$$Î/ y7n=÷dr& öãBù&ur Artinya: “dan perintahkanlah kepada keluargamu mendirikan shalat dan bersabarlah kamu dalam mengerjakannya”.(QS. Thaha: 132)73 ãBù&ur : Dan perintahkanlah y7n=÷dr& : Kepada keluargamu (keluarga dan umat nabi Muhammad saw). Ío4qn=¢Á9$$Î/ : Dengan mendirikan shalat $pköŽn=tæ ÷ŽÉ9sÜô¹$#u : Tetaplah mengerjakannya
b.      Asbabun Nuzul
Adapun sebab turunnya surat Thaha ayat 132, sejauh penelusuran pustaka yang penulis lakukan tidak ditemukan adanya sebab yang melatarbelakangi turunnya ayat tersebut.
c.       Munasabah
Dalam surat Thaha ayat 132 yang berisi perintah mendirikan shalat kepada keluarga, munasabah ayat ini adalah dengan ayat sebelumnya, yaitu ayat 131 yang memerintahkan untuk menyucikan diri melalui shalat dan bertasbih memuji Allah.
ô`ÏBur ( $pkÍ5rãäî Ÿ@ö6s%ur ħôJ¤±9$# Æíqè=èÛ Ÿ@ö6s% y7/uÏôJpt¿2 ôx7yur tbqä9qà)tƒ $tB 4n?tã ÷ŽÉ9ô¹$$sù ÇÊÌÉÈ 4ÓyÌös? y7¯=yès9 Í‘$pk¨]9$# t$#tôÛr&ur ôx7|¡sù È@ø©9$# Ç!$tR#uä
Artinya: maka bersabarlah atas apa yang mereka katakan dan bertasbihlah dengan memuji tuhanmu sebelum terbit matahari dan sebelum terbenamnya, dan pada waktu-waktu malam bertasbihlah, dan pada penghujung-penghujung siang, supaya engkau ridha .(Q. S. Thaha ayat: 130).74 73 Depag RI, op.cit., hlm. 492. 74 Ibid. Ayat ini berisi tentang perintah bertasbih dan bertahmid, menyucikan dan memuji Allah baik dengan hati, lidah maupun perbuatan. Ada juga ulama’ yang memahami perintah bertasbih berarti perintah melaksanakan shalat, karena shalat mengandung tasbih, penyucian Allah dan pujian-Nya75. Bila dipahami demikian, maka ayat diatas dapat dijadikan isyarat tentang waktu-waktu shalat yang ditetapkan Allah. Sedangkan pada ayat 132, berisi tentang perintah shalat kepada keluarga. Jadi munasabah ayat 132, adalah ayat 130 yaitu perintah untuk menyucikan diri melalui shalat dan bertasbih memuji Allah, yang harus disampaikan kepada keluarga.
d.      Tafsir ( isi kandungan)
Dalam pembahasan ini akan mengemukakan beberapa pendapat para ahli  afsir.
1.      Menurut M. Quraish Shihab
Kata (􀏞􀏫􀎍) ahlun / keluarga jika  ditinjau dari masa turunnya ayat ini, maka ia hanya terbatas pada istri beliau Khadijah ra. Dan beberapa putra beliau bersama ‘Ali Ibn Abi Thalib ra. Yang beliau pelihara sepeninggal Abu Thalib. Tetapi bila di lihat dari penggunaan kata ahlun yang dapat mencakup keluarga besar, lalu menyadari bahwa perintah tersebut berlanjut sepanjang hayat, maka ia dapat mencakup keluarga besar Nabi Muhammad saw, termasuk semua istri dan anak cucu beliau. Bahkan sementara ulama memperluasnya sehingga mencakup seluruh umat beliau. Kata (ŽÉ9sÜô¹􀎍 ) ishthabir dari kata (􀎮􀎒􀎻􀎍) ishbir / bersabarlah dengan penambahan huruf (􀏁) tha’. Penambahan itu mengandung penekanan. Nabi saw, diperintahkan untuk lebih bersabar dalam melaksanakan shalat, karena shalat yang wajib bagi beliau hanya shalat lima waktu, tetapi juga shalat malam yang diperintahkan kepada beliau 75 M. Quraish Shihab, op.cit, hlm. 399. untuk melaksanakannya selama sekitar setengah malam setiap hari. Ini memerlukan kesabaran dan ketekunan melebihi apa yang diwajibkan atas keluarga dan umat beliau.76
2.      Menurut Al-Maraghi
Ayat ini memerintahkan rasul untuk menyuruh keluarganya guna mendirikan shalat, dan hendaklah beliau sendiri memeliharanya, karena nasihat dengan perbuatan akan lebih membekas dibanding dengan perkataan.
3.      Menurut Sayyid Quthb
Kewajiban seorang muslim yang pertama adalah menyulap rumahnya agar menjadi rumah yang islami, juga mengarahkan keluarganya agar melaksanakan kewajiban yang menghubungkan mereka dengan Allah, sehingga orientasi langit mereka dalam kehidupan dunia sama. Alangkah indahnya kehidupan dalam naungan rumah tangga yang seluruh isi rumahnya menghadap Allah. “...dan bersabarlah kamu dalam mengerjakannya.” Yaitu melaksanakannya secara sempurna dan merealisasikan pencapaiannya. Sesungguhnya shalat dapat mencegah perbuatan keji dan munkar. Inilah realisasi pencapaian dari shalat yang benar. Shalat memerlukan kesabaran agar sampai kepada batas yang membuahkan hasil, baik pada perasaan maupun tingkah laku. Kalau bukan demikian, maka ia bukan shalat yang ditegakkan. Tetapi, ia hanya sekedar gerakan dan komat-kamit. Shalat, ibadah, dan menghadap Allah itu adalah beban yang diamanahkan kepadamu, dan Allah tidak mengambil sedikitpun darinya. Allah tidak memerlukanmu dan tidak memerlukan ibadah hamba-Nya.77 76 Ibid, hlm. 403. 77 Sayyid Quthb, op.cit., hlm. 36.
4.      Menurut Hasbi ash-Shiddieqy
Suruhlah keluargamu, ahli baitmu (familimu), dan semua orang yang mengikutimu untuk mengerjakan shalat, sebagaimana ayahmu, Ismail, menyeru keluarganya dan para pengikutnya bersembahyang, sebab sembahyang dapat menghalangi perbuatan keji dan munkar. Demikian pula, hendaklah kamu bersabar menahan semua kesukaran dan suruhlah keluargamu bersabar pula. Pergunakan sembahyang sebagai suatu alat pertolongan untuk menyelesaikan segala kebutuhanmu (hajatmu) dan melepaskan kamu dari segala kesulitan. Apabila Nabi Muhammad saw, menghadapi suatu kesukaran. Beliau bersembahyang. Demikian pula Rasulullah, menyuruh keluarganya untuk bersembahyang jika ditimpa suatu kesulitan. Diriwayatkan oleh Malik dan al-Baihaqi dari Aslam, katanya: “Umar ibn Khatthab bersembahyang pada malam hari sebanyak yang Allah kehendaki. Apabila telah mendekati akhir malam Beliau pun membangunkan keluarganya untuk bersembahyang dan membaca ayat ini.78
3.      Surat An-Nisa’ Ayat 103
a.      Ayat dan Terjemahan
ÇÊÉÌÈ $Y?qè%öq¨B $Y7»tFÏ. šúüÏZÏB÷sßJø9$# n?tã ôMtR%x. no4qn=¢Á9$# ¨bÎ) Artinya: “Sesungguhnya shalat itu adalah kewajiban yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman”. (QS. An-Nisa’: 103)79 no4qn=¢Á9$# ¨bÎ) : Sesungguhnya shalat. šúüÏZÏB÷sßJø9$# n?tã : Atas orang-orang yang beriman. $Y?qè%öq¨B $Y7»tFÏ. : Suatu fardhu yang telah ditetapkan harus dilakukan dalam waktu- waktu tertentu (yang ditetapkan). 78 Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddiqieqy, op.cit., hlm. 2581. 79 Depag RI, op.cit., hlm. 138.
b.      Asbabun Nuzul
Adapun sebab turunnya surat An-Nisa’ Ayat 103, sejauh penelusuran pustaka yang penulis lakukan tidak ditemukan adanya sebab yang melatarbelakangi turunnya ayat tersebut.
c.       Munasabah
Munasabah ayat ini adalah dengan ayat 102, yaitu ayat sebelumnya yang menjelaskan shalat dalam keadaan gawat. Firman Allah dalam surat An-Nisa’ ayat 102
#sOEÎ*sù öNåktJysÎ=ór& (#ÿrääzù'uø9ur y7tè¨B Nåk÷]B ×pxÿͬ!$sÛ öNà)tFù=sù no4qn=¢Á9$# ãNßgs9 |MôJs%r'sù öNÍÏù |MZä. #sOEÎ)ur y7yètB (#q=|Áãù=sù (#q=|ÁムóOs9 2t÷zé& îpxÿͬ!$sÛ ÏNù'tGø9ur öNà6ͬ!#uur `ÏB (#qçRqä3uŠù=sù (#rßyÚyö/ä3ÏGyèÏGøBr&ur öNä3ÏFysÎ=ór& ô`tã šcqè=àÿøós? öqs9 (#rãxÿx. zÏ%©!$# ¨Šur 3 öNåktJysÎ=ór&ur öNèduõÏn (#räè{ù'uŠø9ur ÷rr& @sܨB `B “]OEr& öNä3Î/ tb%x. bÎ) öNà6øn=tã yy$oYã_ Ÿwur 4 ZoyÏnºur \'s#ø¨B Nà6øn=tæ tbqè=‹ÏJuŠsù $\/#xtã tûïÌÏÿ»s3ù=Ï9 £tãr& ©!$# ¨bÎ) 3 öNä.uõÏn (#räè{ur ( öNä3tGysÎ=ór& (#þqãèŸÒs? br& #ÓyÌö¨B NçFZä. ÇÊÉËÈ $YY‹ÎgB
Artinya: dan apabila engkau berada ditengah-tengah mereka lalu engkau hendak melaksanakan shalat bersama-sama mereka, maka hendaklah segolongan dari mereka berdiri besertamu dan menyandang senjata mereka, kemudian apabila mereka sujud, maka hendaklah mereka pindah dari belakangmu dan hendaklah datang golongan yang kedua yang belum shalat, lalu hendaklah mereka shalat denganmu, dan hendaklah mereka bersiap siaga dan menyandang senjata mereka. Orang-orang kafir ingin agar kamu lengah terhadap senjata kamu dan harta benda kamu, lalu mereka menyerbu kamu dengan sekaligus. Dan tidak ada dosa atas kamu meletakkan senjata-senjata kamu jika kamu mendapat sesuatu kesusahan seperti karena hujan atau karena kamu sakit dan siap siagalah. Sesungguhnya Allah telah menyediakan azab yang menghinakan bagi orang-orang kafir. (Q.S.an-Nisa’:102).80 Ayat ini berbicara tentang shalat yang dilakukan dalam keadaan gawat. Banyak sekali riwayat yang berkaitan dengan tata caranya. Nabi saw melakukan shalat dalam situasi gawat tidak kurang dari sepuluh 80 Ibid. tempat, bahkan Ibn al-Arabi menyatakan beliau melakukannya sebanyak 24 kali. Boleh jadi karena banyak kali, dan dalam situasi gawat, maka beliau melakukan dengan berbagai cara, karena itu cara apapun yang dilakukan selama mempunyai dasar dari rasul saw, maka ia dapat dibenarkan.81 Sedangkan ayat selanjutnya menjelaskan tentang keharusan berdzikir kepada Allah. Jadi munasabah ayat 103 adalah ayat 102, yaitu shalat seseorang yang dilakukan dalam keadaan gawat, jangan sampai melupakan zikir kepada Allah. Jadi dalam keadaan bagaimanapun shalat kita harus tetap ingat kepada Allah.
d.      Tafsir (isi  andungan)
Dalam pembahasan ini akan mengemukakan beberapa pendapat  para ahli tafsir:
1.      Menurut Quraish Shihab
Kata ($Y?qè%öq¨B) mauqutan terambil dari kata (􀎖􀏗􀏭) waqt / waktu. Dari segi bahasa kata ini digunakan dalam arti batas akhir kesempatan atau peluang untuk menyelesaikan suatu pekerjaan. Setiap shalat mempunyai waktu dalam arti ada masa dimana seseorang harus menyelesaikannya. Apabila masa itu berlalu, maka pada dasarnya berlalu juga waktu shalat itu. Ada juga yang memahami kata ini dalam arti kewajiban yang bersinambung dan tidak berubah, sehingga firman- ya melukiskan shalat sebagai (􀆢􀄆􀆦􀄃􀆬􀃊􀇯 􀆢􀄆􀆫􀄅􀈂􀆌􀇫􀄅􀈂􀄃􀇷) kitaban mauqutan berarti shalat adalah kewajiban yang tidak berubah, selalu harus dilaksanakan, dan tidak pernah gugur apapun sebabnya. Adanya waktu-waktu untuk shalat dan aneka ibadah yang ditetapkan Islam mengharuskan adanya pembagian teknis menyangkut masa (dari milenium sampai ke detik). Ini pada gilirannya mengajar 81 M. Quraish Shihab, op.cit., hlm. 569. umat agar memiliki rencana jangka pendek dan panjang, serta menyelesaikan setiap rencana itu pada waktunya.82
2.      Menurut Al-Maraghi
Waqqatahu tawqitan yaitu menentukan waktu untuk melakukan pekerjaan. Yakni di dalam hukum Allah, shalat adalah suatu kewajiban yang mempunyai waktu-waktu tertentu dan sebisa mungkin harus dilaksanakan di dalam waktu-waktu itu. Melaksanakan shalat pada waktunya, meskipun dengan di qashar tetapi syaratnya terpenuhi, adalah lebih baik dari pada mengakhirkannya agar dapat melaksanakannya dengan sempurna. Hikmah dari ditentukannya waktu-waktu shalat itu, agar orang mu’min selalu ingat kepada Rabb-Nya di dalam berbagai waktu, sehingga kelengahan tidak membawanya kepada perbuatan buruk atau mengabaikan kebaikan bagi orang yang ingin menambah kesempurnaan di dalam shalat-shalat nafilah dan dzikir hendaknya memilih waktu-waktu tertentu yang sesuai dengan kondisinya.83
3.      Menurut Sayyid Quthb
Berdasarkan firman Allah, “sesungguhnya shalat itu adalah kewajiban yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman”, golongan zahiriyah berpendapat tentang tidak adanya qadha shalat yang terluput, karena qadha ini tidak mencukupi dan tidak sah, sebab shalat itu tidak sah dilakukan kecuali pada waktu-waktunya yang telah ditentukan. Apabila waktunya telah habis, tidak ada jalan untuk menunaikan shalat tersebut. Akan tetapi, jumhur ulama’ berpendapat sahnya mengqadha shalat yang terluput, dan mereka menganggap baik menyegerakan shalat pada awal waktu dan tidak suka mengakhirkannya.84 82 Ibid, hlm. 570. 83 Ahmad Mushthafa Al-Marghi, op.cit., hlm. 239. 84 Sayyid Quthb, op.cit., hlm. 100.
4.      Menurut Hasbi ash-Shiddieqy
Sembahyang itu menurut hukum Allah adalah wajib, yang sangat dikuatkan dalam waktu-waktu yang sudah ditentukan. Maksudnya karena wajib, maka haruslah dilaksanakan pada masingmasing waktu yang telah ditentukan. Firman Tuhan ini menjelaskan alasan, mengapa shalat tetap harus dijalankan, meskipun dalam kondisi berbahaya dan menakutkan, yaitu masih menghadapi musuh, dalam medan pertempuran.85 M e lihat keterangan tentang ayat-ayat shalat diatas dapat kita ketahui bahwa salah satu tujuan pokok diperintahkan shalat sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur’an surat Al-Ankabut ayat 45 adalah: untuk mencegah kehidupan manusia dari perbuatan keji dan munkar. Untuk mencapai tujuan itu, perlu upaya tersendiri dan tidak main-main. Apapun yang kita lakukan dengan main-main maka hasilnya tidak akan optimal. Dengan semata-mata menjalankan shalat, orang tidak secara otomatis terhindar dari perbuatan keji dan munkar, tanpa adanya sebuah kesadaran dan usaha yang dibangun lewat individu masing-masing.86 Usaha itu bisa dilakukan melalui memahami dan menghayati makna-makna yang terkandung, baik dalam ucapan maupun gerakan shalat. Sebab jika shalat dilakukan dengan demikian, maka akan muncul dalam jiwa manusia suatu sifat, yang menurut istilah sifat itu tidak ubahnya semacam polisi gaib yang mencegah pelaku shalat dari perbuatan keji dan dosa, serta membersihkan hati dan jiwanya. Dengan demikian maka pengaruh alamiah shalat adalah menjauhkan manusia dari perbuatan maksiat namun berupa potensi. Pengaruh ini terdapat pada seluruh pelaku shalat, namun dalam bentuk potensi.87 K e m u dian salah satu dari potensi tersebut adalah adanya potensi untuk berdisiplin diri. Di dalam shalat ada nilai kedisiplinan yang begitu tinggi yang dapat kita ambil. Sesungguhnya Allah menyukai 85 Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddiqieqy, op.cit., hlm. 943. 86 Deni Sutan Bahtiar, op.cit., hlm. 19. 87 Musthafa Khalili, op.cit. , hlm. 31. orang-orang yang mengerjakan shalat pada awal waktunya. Tidak menunda-nunda dan mengakhirkan waktu shalat. Kedisiplinan yang diajarkan oleh Allah dalam shalat adalah tepat waktu. Dalam shalat juga ada nilai keteraturan yang tinggi. Kita harus selalu bangun pagi ketika shalat subuh, berangkat lebih awal di masjid untuk mencapai tempat di depan. Jika datang waktu shalat maka orang-orang yang mencintai Allah pasti segera melaksanakannya dengan sempurna tanpa memiliki rasa malas sedikitpun.88 Adapun untuk lebih jelasnya dapat dilihat dalam tabel dibawah ini:
NILAI PENDIDIKAN AKHLAK DALAM SHOLAT MENURUT AL-QUR'AN KHUSUSNYA SURAT AL-ANKABUT: 45, THAHA: 132 DAN SURAT AN-NISA: 103
No Pendapat Para Mufassir Nilai Akhlak Surat Al-Ankabut ayat 45
1
2
3
Quraish Shihab
Al-Maraghi
Hasbi Ash-Shiddiqi
- Shalat melahirkan potensi untuk menghindari
perbuatan keji dan munkar
- Shalat menumbuhkan sifat keikhlasan.
- Shalat mencegah kesombongan
- Shalat membangun hati untuk senantiasa
rendah diri di hadapan Allah
- Shalat sebagai kontrol perbuatan manusia
- Shalat sebagai bentuk rasa hormat kepada
Allah
No Pendapat Para Mufassir Nilai Akhlak Surat Thaha ayat 132
1
2
3
Quraish Shihab
Al-Maraghi
Hasbi Ash-Shiddiqi
- Perintah mendirikan shalat kepada umat Nabi
Muhammad
- Bersabar dalam mengerjakan shalat
- Perintah mendirikan shalat kepada keluarga
Nabi
- Perintah memelihara shalat
- Bersabar dalam menghadapi kesulitan
- Shalat sebagai sarana untuk minta
pertolongan pada Allah
No Pendapat Para Mufassir Nilai Akhlak Surat An-Nisa ayat 103
123
Quraish Shihab
Al-Maraghi
Hasbi Ash-Shiddiqi
- Shalat membentuk kedisiplinan
- Selalu ingat kepada Allah di setiap waktu
- Tetap melakukan shalat walaupun dalam
keadaan sulit
88 Deni Sutan Bahtiar, op.cit., hlm. 127.
Melihat dari bagan diatas dapat disimpulkan bahwa diantara beberapa
pendapat para mufassir mengenai nilai pendidikan akhlak yang terkandung
dalam shalat, menurut surat Al-Ankabut: 45,Thaha:132, dan An-Nisa’:
103 ada beberapa persamaan dan perbedaan diantara keduanya, yaitu:
1.      Persamaannya
a.       Shalat dapat mencegah dari perbuatan keji dan munkar, apabila dilakukan dengan khusyu’ dan menghadirkan hati dengan memperhatikan makna-makna yang terkandung baik dalam ucapan maupun gerakan-gerakan shalat.
b.      Shalat merupakan bentuk penghambaan yang sangat agung yang dilakukan oleh seorang hamba kepada khaliq-Nya, maka dari itu sebelum melakukan shalat seseorang diwajibkan untuk bersuci terlebih dahulu, dan ketika memulai shalat, seseorang dianjurkan untuk merendahkan hatinya seraya mengharap keridhaan-Nya.
c.       Shalat merupakan upaya untuk melatih kesabaran dalam mengerjakannya, karena ibadah shalat merupakan ibadah yang berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyu’ dalam mengerjakannya.
d.      Shalat dapat membentuk kedisiplinan.
e.       Melakukan shalat pada waktunya, karena masing-masing shalat sudah ditentukan waktunya, jadi ketika melaksanakannya juga harus sesuai waktu yang telah ditentukan.
2.      Perbedaannya
a.       Potensi akhlak yang mampu mencegah dari perbuatan keji dan munkar, seperti shalat sebagai kontrol perbuatan, shalat dapat mencegah kesombongan, dan lain sebagainya.
b.      Dalam hal kesabaran. Itu berbeda-beda pemahamannya, seperti sabar dalam melakukan ibadah, sabar dalam menghadapi kesulitan dan lain sebagainya.
c.       Dalam hal kedisiplinan. Itu juga berbeda-beda pemahamannya, seperti disiplin waktu dan disiplin dalam mengingat Allah. 
 

BAB IV
ANALISIS NILAI PENDIDIKAN AKHLAK DALAM SHALAT
MENURUT AL-QUR’AN SURAT AL-ANKABUT: 45, THAHA: 132,
DAN AN-NISA’: 103

Adapun nilai-nilai pendidikan akhlak dalam sholat menurut Al-Qur'an surat Al-Ankabut: 45, Thaha: 132, dan An-Nisa’: 103 yaitu:
1.      Dapat Mencegah Dari Perbuatan Keji Dan Munkar
Shalat adalah melakukan sesuatu yang suci. Maka, sebelum shalat harus melakukan bersuci dahulu dari berbagai kotoran yang menempel pada tubuh kita, hadas kecil ataupun besar. Ini menunjukkan bahwa shalat benarbenar tindakan yang suci. Tujuan utama shalat adalah membuka kepekaan hati manusia yang menjalankannya. Orang yang shalatnya baik, maka akan memiliki kepekaan hati untuk membedakan mana yang baik dan mana yang buruk, mana yang akan memberikan manfaat dan mana yang akan memberikan madharat.89 Siapa pun yang telah melakukan shalat, tentulah ia harus mampu mengendalikan diri dari berbuat keji dan munkar, serta menghindar dari berbuat aniaya dan kesia-siaan yang lain. Semestinya shalat dijadikan sebagai penyadaran diri, bahwa apapun yang kita lakukan dan dimanapun kita melakukan itu Allah senantiasa mengetahui. Sehingga, manusia enggan untuk melakukan kemaksiatan dan dosa; manusia akan berjalan diatas kebenaran dan ke’arifan.90 Shalat merupakan bentuk dzikrullah ( mengingat Allah) yang hakiki dan sejati, maksud dari dzikrullah adalah menghadirkan hati untuk senantiasa mengingat Allah. Kehadiran hati adalah dimana seseorang mengosongkan hati dari segala sesuatu demi menyibukkan diri pada suatu amal perbuatan yang tengah ia kerjakan, sehingga ia mengetahui apa yang tengah ia kerjakan dan apa yang tengah ia ucapkan serta memusatkan pemikiran pada shalat, inilah 89 Deni Sutan Bahtiar, op.cit., hlm. 84. 90 Ibid, hlm.  85. yang disebut dengan hati yang khusyu’. Yakni seluruh indra diusahakan untuk berkonsentrasi pada shalat, dan dalam hatinya tidak ada sesuatu yang lain selain Tuhan yang patut untuk disembah, sedangkan yang lain adalah ketenangan anggota tubuh dimana hal ini merupakan aktifitas lahiriah shalat.91 Kehadiran hati adalah beribadah kepada Allah seakan-akan kita melihat-Nya dan hati kita merupakan tempat-Nya bersemayam. Derajat terendah dari kehadiran hati adalah ketika kita menyadari bahwa jika kita tidak mampu untuk melihat-Nya maka dia melihat kita. Oleh karena itu shalat seseorang yang dikerjakan tanpa kehadiran hati, sekalipun diterima Allah SWT, dan ia telah melunasi beban kewajiban, tetapi shalat semacam ini tidak akan mengantarkan manusia dekat dengan Allah. Yakni jika seseorang melakukan shalat tanpa kehadiran hati, ia telah melaksanakan kewajibannya, dan ia tidak akan mendapatkan siksaan bagi orang yang meninggalkan shalat, dan secara fiqih shalatnya adalah sah. Namun shalat ini sekedar membedakan antara orang yang melakukan shalat dengan orang yang meninggalkan shalat.92Maka dari itu, jika shalat kita ingin bermakna, maka kita harus menghadirkan Tuhan dalam setiap kalimat dan gerakan di dalam shalat. Ketika kita dalam shalat justru mengingat selain Allah, maka tujuan utama shalat kita kurang sempurna dan tidak tercapai. Dengan demikian, agar shalat yang kita lakukan itu bermakna bagi kehidupan kita, dan dapat mencegah dari perbuatan keji dan munkar, maka kita harus melakukan shalat dengan sungguh-sungguh, dengan melengkapi syarat dan rukunnya, dan yang paling penting dalam hal ini adalah adanya kehadiran hati, dan rasa khusyu’ di dalam shalat melalui pemahaman baik terhadap ucapan maupun gerakan-gerakan dalam shalat. Sebab yang dilakukan secara demikian maka akan timbul dalam diri pelaku shalat suatu potensi yang mampu mencegah dari perbuatan keji dan mungkar. Adapun cara untuk memperoleh potensi yang baik yaitu diantaranya: 91 Musthafa Khalili, op.cit., hlm. 34. 92 Ibid, hlm. 36.
a.       Ketika mengucapkan takbir hatinya benar-benar mengakui keagungan dan kemuliaan Allah serta menafikan seluruh sekutu atas-Nya.
b.      Merasa rendah diri dan hina dihadapannya ketika melaksanakan shalat.
c.       Menghadirkan hati yaitu mengosongkan hati dari segala sesuatu demi menyibukkan diri pada perbuatan yang tengah ia kerjakan. Sehingga ia tau apa yang ia ucapkan dan apa yang ia lakukan.
d.      Menghadirkan rasa kekhusyu’an dalam shalat yakni tenang dalam hati dan perbuatan.
e.       Memahami makna-makna yang terkandung didalam shalat baik itu berupa gerakan maupun ucapan-ucapan dalam shalat.
f.       Adanya rasa keikhlasan ketika menjalankan ibadah shalat. Jadi tidak adanya pengaruh pada diri si pelaku shalat untuk mencegah dari perbuatan keji dan munkar, karena adanya berbagai halangan dan rintangan yang menghalangi pengaruh tersebut. Oleh karena itu, tatkala shalat yang senantiasa dikerjakan oleh seseorang tidak memberikan pengaruh dan hasil, maka tidak diragukan lagi bahwa dalam diri si pelaku shalat masih terdapat banyak halangan dan rintangan yang pada awalnya ia harus mengetahui rintangan tersebut kemudian berusaha untuk menghilangkannya. Adapun berbagai perkara yang menghalangi dan merintangi pengaruh shalat, diantaranya yaitu:93
a.       Perhatian Hanya pada Bentuk Lahiriah Shalat Hanya memperhatikan bentuk lahiriah shalat dan tidak adanya pengetahuan rasional dan hati terhadap zikir dan bacaan yang ada dalam shalat, merupakan satu faktor penting yang menjadikan shalat tidak memiliki pengaruh. Karena hakikat shalat tidak hanya pada bentuk lahiriah saja, namun juga pada bentuk batinnya. Pengaruh shalat terikat dan bergantung erat pada jiwa dan batin shalat, dan untuk dapat meraih hasil, manfaat, serta pengaruhnya, tidak ada cara lain selain menyalami batin shalat. Pada hakikatnya inilah yang dimaksudkan bahwa shalat itu adalah dzikr. 93 Ibid, hlm. 32. Maka dari itu seseorang yang berharap shalatnya dapat menjadikan batin dan hatinya bersih, jauh dari berbagai akhlak yang hina, tetapi ia hanya memperhatikan sisi lahiriah saja, sesungguhnya harapannya merupakan suatu harapan yang sia-sia. Dengan demikian hakikat shalat bukanlah sekedar aktivitas dan ucapan lahiriah saja, tetapi jiwa shalat itulah yang mampu memberikan kesempurnaan dan ketinggian pada si pelakunya
b.      Tidak Adanya Keikhlasan dan Kehadiran Hati Faktor lain yang menyebabkan shalat tidak memberikan pengaruh pada pelaku shalat dan tidak menjadikan ia berjalan menuju ketinggian maknawi adalah tidak adanya rasa ikhlas (kemurnian dan ketulusan hati), kehadiran hati, dan ketenangan batin. Ketika shalat disebut dengan dzikrullah maksudnya adalah menghadirkan hati untuk senantiasa mengingat Allah, yang hal ini merupakan kesempurnaan dan kebahagiaan di dua kehidupan serta kunci dari kemenangan. Tolok ukur bagi diterimanya suatu amal ibadah adalah keikhlasan dan kehadiran hati. Maka dari itu ketika kita melaksanakan ibadah shalat, hendaknya dilakukan dengan ikhlas dan menghadirkan hati.
c.       Menganggap Ringan Dan Meremehkan Shalat Dalam ajaran islam shalat merupakan ibadah yang memiliki posisi yang amat tinggi dibandingkan dengan amal ibadah lain. Dalam melaksanakan ibadah apapun, harus sesuai dengan tuntutan yang telah ditetapkan oleh syari’at, sehingga jangan sampai terkesan meringankan dan menganggap kecil amal ibadah tersebut. Bentuk dari menganggap ringan amal ibadah dengan tidak mengerjakan pada waktu khususnya, tidak mengerjakan bagian dari shalat secara sempurna, dan lain sebagainya. Kesemuanya ini dapat dianggap sebagai meremehkan dan menganggap ringan syari’at Ilahi. Dan segala bentuk peremehan terhadap syari’at Ilahi akan meniadakan berkah dan pengaruh syari’at tersebut dalam diri manusia. Dalam hal ini ada beberapa nilai akhlak yang termuat di dalamnya, yaitu:
a.      Shalat Sebagai Kontrol Perbuatan berbagai bentuk perangai tak bermoral dan tindakan-tindakan tercela bisa tumbuh karena memperturutkan hawa nafsu. Walau demikian, menurut para kaum sufi, hal yang demikian ini juga merupakan ujian yang diciptakan oleh Allah untuk manusia yang diharapkan mampu melihat kedalam dirinya melalui jalan spiritual. Lalu dengan cara apa sehingga seseorang dapat menguasai nafsunya, dalam hal ini, kita tidak dapat mengabaikan tawaran Allah untuk menyempurnakan akhlak melalui ibadah shalat. Karena ibadah shalat yang diperintahkan oleh Allah berisi muatan muraqabah kepada Allah, sehingga ia akan selalu takut kepada Allah dan enggan untuk melakukan segala kemaksiatan. Hal ini terjadi karena ia merasa bahwa apa-apa yang dilakukan selalu diketahui atau ditatap oleh Allah SWT.94 Dalam firman Allah surat Al-Ankabut ayat 45: 3 Ìs3ZßJø9$#ur Ïä!$t±ósxÿø9$# ÇÆtã 4sS÷Zs? no4qn=¢Á9$# žcÎ)
b.      Artinya: Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan- perbuatan) keji dan mungkar. (QS. Al-Ankabut: 45) b. Shalat Melatih Kejujuran,Jujur adalah berlaku benar dan baik dalam perkataan maupun dalam perbuatan.95 Bersifat dan bersikap jujur ini diperintahkan dalam Al- Qur’an: ÇÊÒÈ šúüÏ%Ï»¢Á9$# yìtB (#qçRqä.ur ©!$# (#qà)®?$# (#qãZtB#uä šúïÏ%©!$# $pkšr'¯»tƒ
c.       Artinya: Hai sekalian orang yang beriman, berbaktilah kepada Allah dan jadilah kamu termasuk orang-orang yang benar. (Q.S. At-taubah: 119).
1)      Cara melatih kejujuran
 Kejujuran yang harus diterapkan bukanlah suatau hal yang mudah. Diperlukan kesadaran dan latihan agar sifat tersebut benar- 94 Deni Sutan Bahtiar, op.cit., hlm. 89. 95 Hamzah Ya’kub, op.cit., hlm. 102. benar menjadi prinsip hidup. Kesadaran bermula dari pengetahuan, seseorang harus diberi pengetahuan mengenai pentingnya jujur dan apa akibat tidak jujur. Sementara latihan jujur itu sendiri bisa dilakukan secara personal. Kesadaran akan pentingnya jujur dalam hidup harus ditumbuhkan sejak kecil. Pendidikan dari keluarga dan sekolah harus mementingkan kejujuran seorang anak. Sebisa mungkin diupayakan agar anak senantiasa senang berbuat jujur. Sistem pemberian reward dan punishment harus senantiasa diterapkan. Ketika si anak berani berbuat jujur maka diberikan hadiah dan jika berbohong diberi hukuman.96 Dalam hal ini ketika seseorang melakukan shalat maka sebisa mungkin ia harus jujur pada dirinya maupun kepada Allah, dengan memenuhi raka’at shalat berarti ia telah jujur baik pada diri sendiri maupun pada Allah, karena ia tidak mengurangi raka’at shalat. Kesadaran ini bisa ditumbuhkan melalui pemahaman bahwa ketika ia mengurangi raka’at shalat maka ia akan mendapat hukuman dari Allah, dan ketika ia melengkapi raka’at shalat maka ia akan mendapat ganjaran dari Allah. Pemahaman seperti ini akan mampu membantu pada seseorang untuk senantiasa berbuat jujur dalam shalat.
2)      Macam- macam jujur
Adapun jujur itu dibagi dalam beberapa hal, yaitu:97
a)      Jujur dalam perkataan. Kejujuran dalam perkataan dapat diketahui ketika ia memberikan suatu berita, baik yang berkaitan dengan masa lalu maupun yang akan datang. Dalam hal ini setiap orang berkewajiban untuk menjaga lidahnya selain mengatakan yang benar. Barang siapa yang menjaga lidah dari perkataan bohong ketika memberikan kabar atau berbicara, maka ia disebut sebagai orang yang jujur. 96 http:/anggit saputradwipramana.blogspot.com/2008/12/melatih-kejujuran.html. 97 Sa’id Hawwa, Tazkiyatun Nafs, (Jakarta: Pena Pundi Aksara, 2005), hlm. 346.
b)      Jujur dalam niat dan keinginan. Hal ini berkaitan dengan masalah ikhlas, yaitu setiap perbuatan dan ibadah dilakukan hanya sematamata karena Allah. Akan tetapi ketika perbuatannya dinodai dengan keinginan selain Allah, maka ia disebut sebagai pembohong.
c)      Jujur dalam perbuatan. Bersungguh-sungguh dalam mengerjakan sesuatu sesuai dengan apa yang ada dalam hatinya. Hatinya harus mendorong anggota tubuh untuk melakukan apa yang diingini hati. Shalat harus dijadikan sebagai media pelatihan diri untuk melakukan kejujuran. Baik itu shalat sendiri maupun berjama’ah tetap raka’at harus tetap sama, tidak ada pengurangan maupun penambahan. Mungkin kita terkadang bisa jujur ketika kita melakukan sesuatu kesalahan kemudian terlihat oleh orang lain, namun kita juga terkadang tidak jujur ketika melakukan kesalahan yang tidak dilihat oleh orang lain. Kejujuran yang dibangun lewat shalat ini terletak pada jumlah raka’atnya. Jujur itu adalah melakukan ataupun mengatakan hal yang sebenarnya. 98 Jadi dalam hal ini kita harus memulai jujur pada diri sendiri, melalui ketika kita melaksanakan shalat sendirian, maka tidak mengurangi jumlah raka’at yang ada pada shalat. Jujur merupakan hal penting dalam kehidupan kita semua. Orang tidak akan merasakan kenikmatan hidup jika ia tidak pernah jujur, karena orang yang melakukan kesalahan, lalu dia tidak mengakuinya. Maka ia akan disalahkan oleh hati nuraninya sendiri dan terus-menerus dikejar rasa bersalah. Kejatuhan manusia adalah ketika sudah tidak lagi memiliki kejujuran, yang ia miliki hanyalah dusta. Oleh karena itu kita harus berpegang teguh pada kejujuran. Jujur akan menuntun kita pada kebaikan, bahkan kebahagiaan. Sedangkan kebaikan akan menuntun kita ke surga. Sedangkan nilai kejujuran dalam spiritual shalat adalah menimbulkan perasaan dalam hati atas kemahatahuan Allah. Jika hal yang demikian ini sudah tertanam dalam 98 Deni Sutan Bahtiar, op. cit., hlm. 94. hati kita, maka dengan rasa takut kepada Allah, kita akan jujur dalam segala hal, baik itu jujur dalam perkataan maupun perbuatan.99
d)     Shalat Mencegah Kesombongan Sombong adalah: berbangga diri dan kecenderungan memandang diri berada diatas orang yang disombonginya.100 Ada beberapa tingkat kesombongan, yaitu:101
1)      Sombong kepada Allah.
Ini merupakan kesombongan yang paling buruk dan ini dilakukan hanya oleh orang-orang yang bodoh dan membangkang, seperti kisah raja Fir’aun yang mengaku dirinya Tuhan.
2)      Sombong kepada Rasul.
Merasa dirinya mulia, sehingga tidak pantas untuk mengikuti para Rasul yang mereka anggap seperti manusia biasa. Kesombongan seperti ini terkadang memalingkan pikirannya yang jernih sehingga terpuruk kepada gelapnya kebodohan, hingga mereka menolak seruan para Rasul dengan mengira bahwa mereka lebih berhak menjadi Nabi dan Rasul dari pada mereka yang telah diangkat oleh Allah sebagai Rasul. Selain itu, terkadang mengakui kenabian para Rasul yang telah diangkat oleh Allah, akan tetapi enggan untuk mengikutinya.
3)      Sombong terhadap manusia.
 Seseorang yang memuliakan dirinya sendiri dan menganggap orang lain hina, tidak mau mematuhi orang lain, ingin selalu diatas orang lain, meremehkan dan merendahkan orang lain. Terapi untuk mengatasi sikap sombong ini ada dua: terapi secara global dan terapi secara terperinci. Pertama, Terapi yang bersifat global atau umum juga ada dua, yakni bersifat pengetahuan atau teoritis dan bersifat amaliyah atau praktis. Terapi yang bersifat teoritis adalah dengan cara mendalami dan merenungkan dalil-dalil naqliyah (Al-Qur’an dan Hadits) maupun 99 Ibid, hlm. 95. 100 Uwes Al-Qarni, 60 Penyakit Hati, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2002), hlm. 54. 101 Sa’id Hawwa, op.cit., hlm. 250. ‘aqliyah (rasional) yang memaparkan tentang rendahnya sifat sombong tersebut. Sedangkan terapi yang bersifat amaliyah atau praktis adalah dengan cara bergaul dengan orang-orang yang rendah hati dan mengambil pelajaran atas sikap hidup mereka. Kedua, Terapi yang bersifat terperinci adalah dengan cara merenungkan tentang betapa hinanya nafsu dan tentang sesuatu yang membuatnya merasa sombong. Jika sesuatu itu berupa harta benda, maka ingatlah bahwa harta benda itu tidak akan bertahan lama, karena akan segera diambil kembali oleh “Pemiliknya yang sejati”. Ketahuilah, bahwa kemuliaan itu hanya bagi orang yang sanggup membebaskan diri dari kekayaannya, dan bukan bagi orang yang sangat tergantung dengan kekayaannya, karena orang yang sangat tergantung dengan kekayaannya, sebenarnya dia adalah orang yang miskin. Jika sesuatu yang membuat dirinya sombong adalah berupa ilmu pengetahuan, maka sadarlah bahwa masih banyak orang lain yang lebih luas ilmunya daripada dirinya. Ilmu yang dimilikinya itu seharusnya bisa mencegah dirinya dari bersikap sombong. Ilmunya harus bisa berfungsi sebagai panduan hidupnya, sehingga jika dia melaksanakan sesuatu dia mengetahui secara pasti kekurangankekurangannya. 102 Kesombongan merupakan puncak dari membanggakan diri  endiri yang mengakibatkan merendahkan diri orang lain. Salah satu peran shalat dalam mencegah perbuatan keji dan munkar adalah menghilangkan kesombongan pada setiap manusia. Jika seseorang telah mendalami makna shalat, maka ia akan jauh dari rasa sombong. Bagaimana ia akan sombong, sementara di dalam shalat merupakan bentuk ketidakberdayaan hamba Allah. Apa yang perlu kita sombongkan ? sementara Allah Maha segalanya. Shalat yang dalam bentuk ritualnya ada ruku’ dan sujud adalah melambangkan bahwa 102http://aryacalm.multiply.com/journal/item/50/Mencegah_Sifat_Sombong semua manusia sama-sama tidak berdaya dihadapan Allah Swt.  Semua manusia setara dihadapan Allah, tidak ada yang kuat dan sama.103 Maka itu ketika kita shalat senantiasa mengingat Allah, termasuk mengingat kebesaran-Nya, agar sifat kesombongan yang ada pada diri kita bisa hilang. Sebagaimana firman-Nya: ÇÊÍÈ üÌò2Ï%Î! no4qn=¢Á9$# ÉOÏ%r&ur Artinya: Dan dirikanlah shalat untuk mengingat aku. (QS. Thaha: 14) Kita tidak berdaya apa-apa jika dihadapkan pada kemahakuasaan Allah. Katakanlah, jika kita sombong pada materi, tidak sedikit orang yang dahulunya kaya sekarang jatuh miskin. Sombong terhadap segala kemampuan kita, tidak sedikit pula orang yang pintar, memiliki berbagai kelebihan, namun tetap tidak berdaya dihadapkan pada kekuasaan Allah ketika ajal telah tiba.104 Dengan demikian marilah kita melatih diri untuk tidak sombong dengan mengambil hikmah yang tersimpan dalam shalat. Yakni dengan memahami makna-makna yang terkandung dalam shalat, seperti makna takbir, rukuk dan sujud. Sebab di dalam gerakangerakan shalat yang demikian ini, terdapat makna-makna yang agung. Sungguh tidak perlu ada kesombongan dalam diri kita. Sebab, sebesar apapun yang kita sombongkan, tidak akan berarti apa-apa dibanding dengan kekuasaan Allah yang Maha Agung dan Mulia.
2.      Shalat Melatih Kesabaran
Secara etimologi, sabar (ash-sabr) berarti menahan dan mengekang. Adapun secara terminologi sabar berarti menahan diri dari segala sesuatu yang tidak disukai karena mengharap ridha Allah. Yang tidak disukai itu tidak selamanya terdiri dari hal-hal yang tidak disenangi seperti musibah kematian, sakit, kelaparan, dan sebagainya, tetapi bisa juga berupa hal-hal yang 103 Deni Sutan Bahtiar, op. cit, hlm. 97. 104 Ibid. disenangi misalnya segala kenikmatan duniawi yang disukai oleh hawa nafsu. Sabar dalam hal ini berarti menahan dan mengekang diri dari memperturutkan hawa nafsu.105 Sifat sabar juga bias dijadikan sarana untuk meminta tolong kepada Allah, sebagaimana firman-Nya: ÇÍÎÈ tûüÏèϱ»sƒø:$# n?tã žwÎ) îouŽÎ7s3s9 $pk¨XÎ)ur 4 Ío4qn=¢Á9$#ur ÎŽö9¢Á9$$Î/ (#qãÏètFó$#ur
Artinya: Jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu. Dan Sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyu'. (QS. Al-Baqarah: 45)
Cara Melatih Kesabaran
Memperhatikan betul manfaat dan keindahan bersabar. - Merugikan kerugian-kerugian ketidaksabaran yang membekas dalam kehidupan manusia. Ketidaksabaran tidak mampu menyelamatkan kita dari ketentuan-ketentuan Allah atau mengubah suatau realitas. Ketidaksabaran hanya mampu mengakibatkan kerugian. - Mau tidak mau harus mengakui kenyataan kehidupan ini yang penuh dengan kesulitan dan keprihatinan. Sesungguhnya dunia ini bukanlah tempat untuk bersenang-senang. Dunia ini adalah fana yang merupakan ujian bagi orang-orang yang beriman. Seperti para pelajar yang berusaha keras mengikuti ujian-ujian untuk meraih jenjang-jenjang yang tinggi, maka demikian pula orang beriman dunia ini dituju untuk mengenal lingkup keimanan dan keyakinan mereka. Sebagaimana firman Allah:
`ÏB tûïÏ%©!$# $¨ZtFsù ôs)s9ur ÇËÈ tbqãZtFøÿムŸw öNèdur $¨YtB#uä (#þqä9qà)tƒ br& (#þqä.uŽøIムbr& â¨$¨Z9$# |=Å¡ymr& ÇÌÈ tûüÎ/É»s3ø9$# £`yJn=÷èus9ur (#qè%y|¹ šúïÏ%©!$# ª!$# £`yJn=÷èun=sù ( öNÎgÎ=ö6s%
Artinya: Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan: "Kami telah beriman", sedang mereka tidak diuji lagi? dan Sesungguhnya Kami telah menguji orang-orang yang sebelum mereka, Maka Sesungguhnya Allah mengetahui orangorang yang benar dan Sesungguhnya Dia mengetahui orangorang yang dusta. (QS. Al-Ankabut: 2-3) 105 Yunahar Ilyas, Kuliah Akhlak, (Yogyakarta: LPPI (Lembaga Pengkajian Dan Pengamalan Islam), 2007), hlm. 134. - Mengambil hikmah dan pelajaran dari penderitaan-penderian yang dialami oleh orang-orang besar yang mempraktekkan kesabaran semata-mata karena Allah. - Menghibur diri agar dapat membantu meringankan kepedihan-kepedihan dan mengendurkan urat syaraf. Para ulama juga memberikan beberapa kiat untuk meraih kesabaran, yaitu antara lain:106 Pertama, mengenali tabiat kehidupan dunia dengan segala kesulitannya. Penderitaan dan ujian adalah bagian dari tabiat dunia ini. Kedua, mengenal balasan dan pahala sabar. Sabar pahalanya tanpa ada perhitungan (pahala tanpa batas). Ketiga, percaya dan yakin bahwa setiap permasalahan ada solusinya, Allah SWT menjadikan setiap kesulitan, jalan keluar sebagai bentuk rahmat- Nya. Keempat, meminta pertolongan kepada Allah dan kembali kepada perlindungan-Nya dengan bertawakal kepada-Nya. Kelima, beriman dan meyakini takdir Allah SWT. Semoga Allah SWT menganugerahkan kepada kita hati yang lapang dan kesabaran.
Macam-Macam Sabar:107
a.       Sabar dalam menerima cobaan hidup cobaan hidup baik fisik maupun non fisik, akan menimpa semua orang, baik berupa lapar, haus sakit, rasa takut kehilangan orang-orang yang dicintai, kerugian harta benda dan lain sebagainya. Cobaan itu bersifat alami, manusiawi. Oleh sebab itu yang diperlukan adalah menerimanya dengan penuh kesabaran, seraya memulangkan segala sesuatunya kepada Allah. Firman Allah: 
 Ì±o0ur 3 ÏNºtyJ¨W9$#ur ħàÿRF{$#ur ÉuqøBF{$# z`B <Èø)tRur Æíqàfø9$#ur Å$öqsƒø:$# z`B &äóÓy´Î/ Nä3¯Ruqè=ö7oYs9ur ÇÊÎÏÈ tbqãèÅ_ºuÏmøs9Î) !$¯RÎ)ur ¬! $¯RÎ) (#þqä9$s% ×pt7ŠÅÁB Nßg÷Fu;»|¹r& !#sOEÎ) tûïÏ%©!$# ÇÊÎÎÈ šúïÎŽÉ9»¢Á9$# 106http://www.detiknews.com/read/2009/08/28/132501/1191536/790/sabar 107 Ibid, hlm. 135. Artinya: Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buahbuahan. dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar. (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan: "Inna lillaahi wa innaa ilaihi raaji'uun". (QS. Al-Baqarah: 155-156)
b.      Sabar dari keinginan hawa nafsu Hawa nafsu menginginkan segala macam kenikmatan hidup, kesenangan dan kemegahan dunia. Untuk mengendalikan segala keinginan itu diperlukan kesabaran. Jangan sampai kesenangan dunia hidup itu membuat seseorang lupa diri, apalagi lupa Tuhan. Berat dan ringannya kesabaran dalam menahan diri dari berbagai bentuk kemaksiatan ini tergantung pada perbedaan dorongan kemaksiatan tersebut.
c.       Sabar dalam taat kepada Allah SWT Dalam menaati perintah Allah, terutama dalam beribadah kepada- Nya diperlukan kesabaran. Orang yang taat memerlukan kesabaran atas ketaatannya dalam tiga keadaan: (pertama) sebelum ketaatan. Hal ini berkaitan dengan meluruskan niat, ikhlas, sabar menahan diri dari virusvirus riya’ dan berbagai cacat, membulatkan tekad untuk ikhlas dan setia. kedua) ketika melakukan ketaatan. Agar tidak melalaikan Allah pada saat melakukannya dan tidak malas dari mewujudkan berbagai adab dan sunnahnya agar ia senantiasa bisa memenuhi persyaratan adab hingga akhir pelaksanaannya. (ketiga) setelah selesai melakukan ketaatan. Karena dia memerlukan kesabaran untuk tidak menyiarkan dan memamerkannya karena riya’.
3.      Shalat Membentuk Kedisiplinan
Disiplin adalah kepatuhan untuk menghormati dan melaksanakan suatu system yang mengharuskan orang untuk tunduk kepada keputusan, perintah dan peraturan yang berlaku. Dengan kata lain, disiplin adalah sikap menaati peraturan dan ketentuan yang telah ditetapkan tanpa pamrih.108 Sesungguhnya 108http://annilasyiva.multiply.com/journal/item/46. Allah telah mengatur waktu shalat sedemikian rupa sehingga manusia bisa melaksanakan sesuai jadwal yang telah disyari’atkan. Tidak boleh shalat dengan sengaja dan seenaknya shalat diluar waktu yang telah ditentukan. Kecuali ada ketentuan khusus yang membolehkannya, seperti ketika sedang bepergian ada yang disebut dengan rukhsah (keringanan) untuk jama’ (mengumpulkan dua waktu shalat) dan qashar (meringkas raka’at). Semua ini mengandung hikmah bahwa umat islam bisa berdisiplin terhadap waktu, baik itu waktu shalat atau waktu untuk yang lainnya. Firman Alah Swt:
 ÇÊÉÌÈ $Y?qè%öq¨B $Y7»tFÏ. šúüÏZÏB÷sßJø9$# n?tã ôMtR%x. no4qn=¢Á9$# ¨bÎ)
Artinya: “...sesungguhnya shalat atas orang-orang mukmin adalah kewajiban yang telah ditentukan waktunya”.(QS. An-Nisa: 103). Dengan melihat keterangan diatas dapat dikatakan bahwa di dalam shalat ada nilai kedisiplinan yang begitu tinggi yang dapat kita ambil. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang mengerjakan shalat pada awal waktunya. Tidak menunda-nunda dan mengakhirkan waktu shalat. Kedisiplinan yang diajarkan oleh Allah dalam shalat adalah tepat waktu. Dalam shalat juga ada nilai keteraturan yang tinggi. Kita harus selalu bangun pagi ketika shalat subuh, berangkat lebih awal di masjid untuk mencapai tempat di depan. Jika datang waktu shalat maka orang-orang yang mencintai Allah pasti segera melaksanakannya dengan sempurna tanpa memiliki rasa malas sedikitpun. Konsep ini juga termuat saat kita berwudhu, di mana dalam wudhu itu harus mendahulukan yang awal dan mengakhirkan yang akhir; yang disebut sebagai harus “tertib”. Tidaklah sah bagi siapapun yang melaksanakan wudhu secara tidak teratur. Dari sinilah kemudian kita diajarkan untuk selalu melakukan kedisiplinan dan keteraturan dalam melaksanakan hal apapun. Terkadang sangat menyedihkan ketika shalat diakhirkan ketimbang melakukan hal-hal yang bersifat keduniaan demikian pula dengan shalat jama’ah adalah dalam rangka membiasakan kehidupan yang teratur dan disiplin. Pembiasaan ini dilatih dengan mematuhi tata tertib hubungan antara imam dam makmum, misalnya tidak boleh mendahului gerakan imam.109 Melaksanakan shalat yang benar, seseorang hendaklah sedemikian rupa harus memenuhi rukun-rukun shalat maupun adab-adab shalat. Hal ini menunjukkan bahwa shalat tidak terlepas dari aturan kebiasaan melakukan shalat berarti kebiasaan mentaati aturan. Kebiasaan melakukan salat inilah akan mengkondisikan seseorang menjadi disiplin (mentaati aturan). Shalat mengkondisikan pelakunya untuk disiplin. Ketaatan melaksanakan shalat pada waktunya, menumbuhkan kebiasaan untuk secara teratur dan terus-menerus melaksanakannya pada waktu yang ditentukan. Begitu waktu shalat telah tiba, orang yang taat ibadah, akan segera tergugah hatinya untuk melaksanakan kewajiban shalat, biasanya ia melaksanakannya pada awal waktu, karena takut akan terlalaikan atau terjadi halangan yang tidak disangka.110Andaikata ia tidak dapat segera melaksanakannya, maka ia akan berusaha dan mencari peluang untuk bergegas melaksanakannya. Pada orang yang seperti itu, akan mudah tumbuh kebiasaan disiplin diri, dan disiplin yang dibiasakan dalam shalat akan mudah menular ke seluruh sikap hidup kesehariannya. Disiplin yang telah terbina itu akan sulit diubah, karena telah menyatu dengan pribadinya.111 Beberapa cara yang bisa kita gunakan dalam melatih disiplin adalah:112
1.      Memikirkan apa sebenarnya yang kita inginkan. Saya yakin kita semua mempunyai banyak sekali keinginan. Putuskan keinginan yang paling memungkinkan Anda wujudkan sebagai target harian. Pastikan setiap hari kita memiliki suatu target yang realistis, jelas dan spesifik. Pastikan juga kita sudah berusaha maksimal dan berhasil merealisasikan target-target tersebut setiap hari. Cara ini akan melatih kita bertindak disiplin, sebab 109 Deni Sutan Bahtiar, op. cit., hlm. 127. 110 Zakiah Darajat, Shalat Menjadikan Hidup Bermakna, (Jakarta: CV. Ruhama, 1988), hlm. 37. 111 Ibid, hlm. 37. 112http://www.mail-archive.com/diskusi-kepemimpinan@yahoogroups.com/msg00140. Html kita dituntut untuk memprioritaskan aktifitas-aktifitas yang memungkinkan tercapainya target-target tersebut.
2.      Berlatih. Hal ini perlu, sebab setiap kebiasaan dan pola perilaku yang terbentuk dengan berlatih maka disiplin tidak lagi menjadi beban melainkan menjadi kebisaan kita. Dalam hal ini kita membiasakan melakukan shalat tepat pada waktunya.
3.      Konsisten. Dalam melatih disiplin kita dituntut untuk konsisten dalam menjalaninya, sehingga kita berhasil dalam membentuk kebiasaankebiasaan dalam rangka kita meraih sukses dalam hal ini kita berusaha semaksimal mungkin untuk konsisten dalam melaksanakan shalat tepat pada waktunya. Disiplin diri menjadi kata kunci kemajuan dan kesuksesan serta kebesaran orang-orang besar yang pernah hidup dalam sejarah. Seorang pemimpin, atau siapa saja bisa mencapai kesejatian di bidangnya masingmasing karena pernah mempraktikkan disiplin diri. Jadi jika kita ingin sukses, maka langkah awal yang kita harus lakukan adalah dengan mendisiplinkan diri kita. Dan menjadi pribadi disiplin adalah sebuah langkah awal kita dalam Menggapai Mimpi atau sukses.
Macam-Macam Disiplin:113
a.       Disiplin dalam penggunaan waktu disiplin dalam penggunaan waktu perlu diperhatikan dengan seksama. waktu yang sudah berlalu tak mungkin dapat kembali lagi. Hari yang sudah lewat tak akan datang lagi. Demikian pentingnya waktu sehingga berbagai bangsa di dunia mempunyai ungkapan yang menyatakan penghargaan terhadap waktu. Orang Inggris mengatakan „waktu adalah uang", peribahasa Arab mengatakan Waktu adalah pedang", atau „Waktu adalah peluang emas", dan kita orang Indonesia mengatakan : "Sesal dahulu pendapatan sesal kemudian tak berguna". 113 http://annilasyiva, op. cit. Tak dapat dipungkiri bahwa orang-orang yang berhasil mencapai sukses dalam hidupnya adalah orang-orang yang hidup teratur dan berdisiplin memanfaatkan waktunya. Disiplin tidak akan datang dengan sendirinya, akan tetapi melalui latihan yang ketat dalam kehidupan pribadinya.
b.      Disiplin dalam beribadah Menurut bahasa, ibadah berarti tunduk atau merendahkan diri. Pengertian yang lebih luas dalam ajaran Islam, ibadah berarti tunduk dan merendah diri hanya kepada Allah yang disertai perasaan cinta kepada- Nya. ibadah itu dapat digolongkan menjadi dua yaitu :
1)      Ibadah Mahdhah (murni) yaitu bentuk ibadah yang langsung berhubungan dengan allah.
2)      Ibadah Ghairu Mahdhah (selain mahdhah), yang tidak langsung dipersembahkan kepada allah melainkan melalui hubungan kemanusiaan. Dalam ibadah Mahdhah (disebut juga ibadah khusus) aturanaturannya tidak boleh semaunya akan tetapi harus mengikuti aturan yang sudah ditetapkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Orang yang mengada-ada aturan baru misalnya, shalat subuh 3 raka’at atau puasa 40 hari terus menerus tanpa berbuka, adalah orang yang tidak disiplin dalam ibadah, karena tidak mematuhi aturan yang telah ditetapkan oleh Allah dan Rasul- Nya, ia termasuk orang yang berbuat bid’ah dan tergolong sebagai orang yang sesat. Dalam ibadah Ghairu mahdhah (disebut juga ibadah umum) orang dapat menentukan aturannya yang terbaik, kecuali yang jelas dilarang oleh Allah. Tentu saja suatu perbuatan dicatat sebagai ibadah kalau niatnya ikhlas semata-mata karena Allah, bukan karena riya ingin mendapatkan pujian orang lain.
c.       Disiplin dalam bermasyarakat Hidup bermasyarakat adalah fitrah manusia. Dilihat dari latar belakang budaya setiap manusia memiliki latar belakang yang berbeda. Karenanya setiap manusia memiliki watak dan tingkah laku yang berbeda. Namun demikian, dengan bermasyarakat, mereka telah memiliki normanorma dan nilai-nilai kemasyarakatan serta peraturan yang disepakati bersama, yang harus dihormati dan di hargai serta ditaati oleh setiap anggota masyarakat tersebut. Agama Islam mengibaratkan anggota masyarakat itu bagaikan satu bangunan yang didalamnya terdapat beberapa komponen yang satu sama lain mempunyai fungsi yang berbeda-beda, mana kala salah satu komponen rusak atau binasa.
d.      Disiplin Dalam Kehidupan Berbangsa dan Bernegara Negara adalah alat untuk memperjuangkan keinginan bersama berdasarkan kesepakatan yang dibuat oleh para anggota atau warganegara tersebut. Tanpa adanya masyarakat yang menjadi warganya, negara tidak akan terwujud. Oleh karena itu masyarakat merupakan prasyarat untuk berdirinya suatu negara. Tujuan dibentuknya suatu negara adalah agar seluruh keinginan dan cita-cita yang diidamkan oleh warga masyarakat dapat diwujudkan dan dapat dilaksanakan. 


No comments:

Post a Comment