STANDARISASI NASIONAL
KURIKULUM PENDIDIKAN PESANTREN
(Bagian I Pengantar)
Oleh:. Utawijaya[1]
PROLOG
PROLOG
Gus Dur (Abdurrahman Wahid) mengatakan bahwa Pondok Pesantren merupakan sebuah subkultur dengan syarat: pertama, pola kepemimpinan pondok pesantren yang mandiri tidak terkooptasi oleh negara; kedua, kitab-kitab rujukan umum yang selalu digunakan dari berbagai abad dalam bentuk kitab kuning; dan ketiga, sistem nilai (value system) yang digunakan adalah bagian dari masyarakat luas.
Bermodalkan ketiga elemen itulah, maka pondok pesantren memiliki
hubungan yang sangat erat dengan kehidupan masyarakat Indonesia, dan
sekaligus sebagai salah satu penopang pilar utama pendidikan di bumi
Nusantara ini. Sebab, pondok pesantren telah membuktikan dirinya
diterima ditengah-tengah masyarakat dan kyainya menjadi panutan.
Fenomena ini telah menunjukkan bahwa puluhan ribu bahkan ratusan lebih
orang Indonesia yang ikut merasakan pola pembelajaran pondok pesantren.
Perjalanan sejarah pesantren terus mengalami perkembangan seiring
dengan perubahan zaman dan perkembangan modern. Dalam proses perubahan
dan perkembangan tersebut, pesantren masih tetap eksis dan survive dengan mainstream indigenous (wajah keasliannya). Sebab, pesantren dengan pola pikir khasnya yang dikembangkan selama ini adalah: “al-muhâfazhah ‘ala al-qadîmi ash-shâlih wa al-ahdzu bi al-jadîd al-ashlah” (memelihara hal/tradisi/pemikiran yang baik dan mengambil hal/tradisi/pemikiran baru yang lebih baik).
Bersandikan pada kaidah ushuliyah seperti itu, menempatkan posisi
pesantren pada dua fungsi ganda, yaitu: sebagai pewarisan budaya (agent of conservative), dan sekaligus sebagai agen perubahan (agent of change). Sebagai agen pewarisan budaya (agent of conservative),
maka melalui pendidikan sistem nilai dan kepercayaan, pengetahuan dan
norma-norma, serta adat-kebiasaan dan berbagai perilaku tradisional yang
telah membudaya diwariskan pada suatu generasi ke generasi berikutnya.
Dengan cara ini, kebudayaan dapat dilestarikan, meskipun warga suatu
masyarakat berganti-ganti, sedangkan kebudayaan dan sistem sosialnya
tetap berlaku. Di pihak lalin, lembaga pendidikan pesantren berperan
sebagai agen perubahan (agent of channge),
yaitu adanya upaya untuk membuang unsur budaya lama yang dipandang tidak
cocok lagi dan perlunya memasukkan unsur budaya baru.
Atas dasar itulah, ketika Kementerian Agama Republik Indonesia
berencana mengkaji standarisasi pendidikan pesantren sebagaimana
diungkapkan oleh Menteri Agama Suryadarma Ali dalam kunjungan kerja ke
Pondok Pesantren Terpadu Al-Yasin, Kraton Pasuruan, Jawa Timur pada
tanggal 24 Januari 2010 yang lalu, kalangan pesantren sudah merasa siap
dengan rencana perubahan kurikulum tersebut. Sebab, dengan bersandikan
kaidah ushuliyah di atas, kurikulum pendidikan pesantren sudah sangat
siap dengan perubahan sistem pendidikan menuju standarisasi pendidikan
pesantren.
Bagi kalangan pesantren, standarisasi pendidikan pesantren tidak
hanya sebatas adanya pengakuan legal formal dari Pemerintah terhadap
lulusan pesantren. Sebab, pada prinsipnya alumni pesantren “kurang”
membutuhkan legal formal seperti itu. Tanpa legal formal dari Pemerintah
pun, para lulusan pesantren sudah eksis ditengah-tengah masyarakat dan
bahkan diakui keberadaannya. Di samping itu, orientasi para santri dalam
memasuki pendidikan pesantren tidak berorientasi pada perolehan legal
formal berupa ijazah sebagaimana halnya lembaga pendidikan formal
sekolah. Kebutuhan pesantren yang paling utama saat ini adalah bagaimana
Pemerintah secara formal mengakui Pondok Pesantren sebagai sub sistem
Pendidikan Nasional, sehingga tidak ada lagi diskriminasi terhadap
pesantren, baik dalam penetapam anggaran melalui APBN maupun APBD,
pengakuan formal ijazah pesantren, dan menjadikan sistem pendidikan
pesantren sebagai salah satu tolok ukur pencapaian tujuan Pendidikan
Nasional, terutama untuk mengevaluasi pencapaian tujuan iman dan taqwa.
Upaya menghapus diskriminasi tersebut sebenarnya telah dilakukan
pemerintah dengan menerbitkan PP No. 55 Tahun 2007 tentang Pendidikan
Agama dan Pendidikan Keagamaan. Hanya saja persoalannya, implementasi PP
tersebut perlu disempurnakan, agar tidak mengganggu kekhasan pendidikan
pesantren. Misalnya, saat ini beberapa pesantren telah mengikuti Wajar
Dikdas dengan keharusan pihak pesantren memasukkan ke dalam kurikulumnya
muatan Pendidikan Kewarganegaraan, Bahasa Indonesia, Matematika dan
Ilmu Pengetahuan Alam.
Sayangnya, pihak Diknas mengatur bahwa muatan wajib tersebut
diselenggarakan secara terpisah, tidak integral dalam sebuah kurikulum
pendidikan diniyah di pesantren, termasuk ijazah Wajar Dikdas yang
pemerintah terbitkan, di samping ijazah yang diterbitkan oleh pihak
pesantren. Pertanyaan beberapa pondok pesantren, kenapa harus ada dua
ijazah bagi peserta didik di pesantren? Kenapa pemerintah tidak
menganggap cukup dengan ijazah yang diterbitkan pesantren saja?
Sedangkan pada pendidikan diniyah tingkat menengah, sampai saat ini
pemerintah mempunyai kebijakan yang berbeda dengan format Wajar Dikdas,
yaitu memberikan legalitas (pengakuan/persamaan) tanpa harus menerbitkan
ijazah sendiri. Jadi, pemerintah menganggap cukup ijazah yang
dikeluarkan pihak pesantren. Beberapa pesantren menganggap model
legalitas pemerintah di tingkat pendidikan diniyah menengah ini lebih
mendekati rasa keadilan.
Keinginan Departemen/Kementerian Agama yang akan melakukan
standarisasi pendidikan pesantren perlu difokuskan pada pengakuan
legalitas, peningkatan kualitas dan persamaan hak. Dengan demikian,
standarisasi tersebut memberikan jaminan atas keragaman pondok
pesantren, termasuk jaminan tidak adanya proses pendangkalan struktural.
Standarisasi pendidikan pesantren dimaksudkan oleh Departemen Agama
dilakukan karena selama ini belum ada aturan baku yang bisa dijadikan
acuan sistem pendidikan pesantren tersebut. “Ini mencari solusi agar
lulusan pesantren, terutama salafiyah, bisa mendapatkan pengakuan
legal-formal dari pemerintah,” ujar Menteri Agama Suryadharma Ali (SDA)
dalam kunjungan kerja ke Pondok Pesantren Terpadu Al-Yasini, Kraton,
Pasuruan, Jawa Timur. Demikian keterangan pers dari Humas Departemen
Agama, Sabtu (24/1/2010).
SDA menyampaikan hal itu menanggapi aspirasi alim-ulama, pengelola,
dan pengasuh pesantren salafiyah yang sering terkendala masalah
administrasi pendidikan, seperti ketiadaan ijazah bagi para alumni.
“Sistem pendidikan pesantren, terutama salafiyah, memiliki keunggulan
dalam penguasaan pengetahuan agama yang spesfik semisal tafsir, hadis,
fikih, dan sebagainya. Apalagi, para santri keluaran pesantren unggul
dalam peran-peran kemasyarakatan (social building). Karena itu, sayang
kalau mereka belum mendapat pengakuan legal-formal dari pemerintah,”
ujar SDA. SDA menjelaskan, kini jumlah pesantren terus meningkat, bahkan
mencapai angka 23.000 unit di seluruh penjuru Tanah Air.
Sementara itu, menurut KH Abdul Mujib Imron mewakili para pengasuh
pesantren salafiyah, pihaknya sering menjadi tempat mengadu para santri
alumni. “Upaya mereka bertahun-tahun menimba ilmu seakan-akan menjadi
sia-sia hanya karena beberapa lembar kertas. Karena tak punya ijazah
sebagai pengakuan pemerintah, mereka sulit mendapat akses ke dunia
kerja,” katanya.
Para alumnus ponpes ini pun kesulitan saat memasuki dunia politik,
untuk menjadi kepala desa atau lurah saja tidak bisa. Apalagi
mencalonkan diri menjadi legislator atau kepala daerah. “Padahal secara
kualitas, alumni kami tak kalah bersaing dengan alumni lembaga
pendidikan umum,” ujarnya.
Menjawab aspirasi tersebut, SDA mengatakan, Depag sedang mengupayakan
standarisasi pendidikan pesantren. Dia menuturkan, sejauh ini Depag
sudah mulai memetakan persoalan yang sudah berlangsung sejak lama itu.
Di tempat yang sama, Direktur Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren
Depag Chairul Fuad Yusuf menyebutkan, berencana menyiapkan tim untuk
mengkaji standarisasi itu. “Kita mulai siapkan semacam tim. Mereka akan
segera bekerja dan melakukan kajian mendalam. Mudah-mudahan tahun depan
(2011) atau paling lambat 2012 sudah bisa diterapkan,” ucapnya.
Standarisasi pendidikan pesantren yang direncanakan pemerintah
mendapat tanggapan kritis dari Asosiasi Pondok Pesantren se-Indonesia
atau Rabithah Ma’ahid Islamiyah Nahdlatul Ulama (RMI-NU). Wakil
Sekretaris Pengurus Pusat RMI, HM Sulthan Fatoni, mengatakan, upaya itu
harus melalui kajian yang melibatkan pesantren. Jika tidak, bisa jadi
standarisasi itu akan mengarah pada pendangkalan. “Keterlibatan
pesantren penting agar kebijakan yang diambil pemerintah sesuai
kebutuhan masyarakat pesantren dan tidak malah mengarah pada
pendangkalan,” katanya di Jakarta, Senin (25/1).
Upaya menghapus diskriminasi tersebut juga sebenarnya telah dilakukan
pemerintah dengan menerbitkan PP No 55 Tahun 2007 tentang Pendidikan
Agama dan Pendidikan Keagamaan. “Masalahnya, implementasi PP tersebut
perlu disempurnakan agar tidak mengganggu kekhasan pendidikan
pesantren,” katanya. Ia mencontohkan, saat ini beberapa pesantren telah
mengikuti wajar Dikdas dengan keharusan pihak pesantren memasukkan ke
dalam kurikulumnya muatan pendidikan kewarganegaraan, bahasa Indonesia,
matematika, dan ilmu pengetahuan alam.
Sayangnya, pihak Departemen Pendidikan Nasional mengatur bahwa muatan
wajib tersebut diselenggarakan secara terpisah, tidak integral dalam
sebuah kurikulum pendidikan diniyah di pesantren, termasuk ijazah wajar
Dikdas yang Pemerintah terbitkan, di samping ijazah yang diterbitkan
oleh pihak pesantren. “Pertanyaan beberapa pondok pesantren, kenapa
harus ada dua ijazah bagi peserta didik di pesantren? Kenapa pemerintah
tidak menganggap cukup dengan ijazah yang diterbitkan pesantren saja?”.
Pada pendidikan diniyah tingkat menengah (wustha’), sampai saat ini
pemerintah memiliki kebijakan yang berbeda dengan format Wajar Dikdas,
yaitu memberikan legalitas tanpa harus menerbitkan ijazah sendiri, jadi
Pemerintah menganggap cukup ijazah yang dikeluarkan pihak pesantren.
Beberapa pesantren menganggap model legalitas pemerintah di tingkat
pendidikan diniyah menengah lebih mendekati rasa keadilan. Keinginan
Departemen Agama yang akan melakukan standardisasi pendidikan pesantren
perlu difokuskan pada pengakuan legalitas, peningkatan kualitas, dan
persamaan hak. Dengan demikian standardisasi tersebut memberikan
jaminan atas keragaman pondok pesantren, termasuk jaminan tidak adanya
proses pendangkalan struktural.
Pesantren saat ini sudah dianggap sebagai bagian dari sistem
pendidikan pendidikan nasional. Pengakuan ini sebenarnya cukup
menggembirakan bagi kalangan pesantren yang sebelumnya dianaktirikan.
Dukungan pendanaan dari pemerintah juga semakin besar bagi pesantren
yang memungkinkannya untuk terus berkembang. Namun adanya Peraturan
Pemerintah (PP) PP No 55/2007 sebagai penjabaran UU Sistem Pendidikan
Nasional dikhawatirkan akan menjebak pesantren pada standarisasi dan
reduksi pengajaran agama.
PP tersebut memungkinkan pemerintah atau lembaga mandiri yang
berwenang untuk melakukan akreditasi atas pendidikan keagamaan untuk
penjaminan dan pengendalian mutu pendidikan sesuai Standar Nasional
Pendidikan (SNP). Isi SNP tersebut meliputi standar isi, standar
proses, standar kompetensi lulusan, standar pendidikan dan tenaga
pendidikan, standar sarana dan prasarana, standar pengelolaan, standar
pembiayaan, dan standar penilaian pendidikan. Keadaan ini dalam jangka
panjang akan mengancam eksistensi, karakter dan ciri khas pesantren
sebagai lembaga pendidikan yang mengajarkan keilmuan dan nilai-nilai
agama (tafaqquh fiddin), sebagai kontrol sosial dan sebagai agen pengembangan masyarakat.
PP ini hanya cocok untuk sekolah formal sedangkan pendidikan informal
dan non formal perlu dibuatkan aturan tersendiri. PP ini sangat besar
kemungkinannya akan menempatkan pesantren sebagai lembaga yang harus
ditertibkan. Aturan seperti ini akan membunuh dengan adanya standar
nasional dan Ujian Nasional (UN). Ukuran-ukuran seperti ini dianggapnya
terlalu menyederhanakan dan tidak akan mampu menghadapi kompleksitas
permasalahan di pesantren. Kehawatirkan sebagian kalangan pesantren
tentang rencana standarisasi pendidikan pesantren adalah adanya reduksi
pengajaran agama.
Dengan terbitnya PP ini, pemerintah dinilainya juga abai
mempertimbangkan aspek budi pekerti yang harus dimiliki para siswa. Jika
terjadi penurunan nilai moral, maka bukan semata kesalahan orang tua,
tapi kesalahan pemerintah yang tidak bijak dalam mengelola pendidikan.
Di pesantren, anak didik sangat ditekankan pada nilai-nilai moralitas
seperti keikhlasan dan spiritualitas yang tidak bisa dengan mudah
diukur dengan standar yang dibuat dalam PP tersebut. Apa yang ada di
pesantren seperti keikhlasan dan spiritualitas mendorong kita untuk
meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Jiwa keikhlasan sudah menjadi
tuntunan.
Ini berbeda sekali dengan sistem boarding school, meskipun
sama-sama diasramakan layaknya pesantren, motif dan tujuan
pembelajarannya sangat berlainan sehingga bisa distandarkan dengan PP
tersebut. Diakuinya saat ini memang terjadi perubahan kebijakan
terhadap orang-orang yang akan duduk dalam jabatan publik seperti
perlunya persyaratan ijazah bagi politisi, lurah, bupati dan lainnya.
Pesantren dalam hal ini juga harus luwes dan mampu mengakomodasi
kepentingan santri yang berminat meniti karir di sektor publik. Meskipun
begitu, ciri khas pesantren tak boleh dihilangkan. Kita harus bebas
intervensi dari siapa pun. Sebab pesantren telah memberikan sumbangan
yang besar dalam pelayanan publik.
Bagi penulis, Standarisasi Pendidikan Pesantren adalah penting
dilakukan oleh Pemerintah dan didukung oleh para pengelola pesantren.
Persoalan kemudian adalah langkah apa yang harus dilakukan oleh
pesantren dalam menghadapi rencana standarisasi pendidikan tersebut?
Menurut hemat penulis, dalam kurun waktu mendatang dan sangat mendesak
adalah pembenahan terhadap beberapa komponen standarisasi nasional
pendidikan sebagaimana digariskan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 19
Tahun 2005 tentang SNP, yaitu: Standar isi, Standar proses,
Standar kompetensi lulusan, Standar pendidik dan tenaga kependidikan,
Standar sarana dan prasarana, Standar pengelolaan, Standar pembiayaan,
dan Standar penilaian pendidikan.
Dari kedelapan standar terebut, bagi pesantren dan bahkan jenis
pendidikan lainnya, tidak mungkin dilaksanakan sekaligus. Oleh karena
itu, pada periode dua tahun mendatang (2010-2012), SNP yang perlu
diterapkan di pesantren cukup beberapa saja, di antaranya yang paling
memungkinkan dalam waktu mendesak adalah: Standar Isi (Kurikulum), Standar Kompetensi Lulusan, Standar Pengelolaan, dan Standar Penilaian. Kemudian pada tahun 2012-2014, seluruh SNP tersebut bisa dilaksanakan oleh pondok pesantren. Amiin insya allah.
Pada kesempatan ini, penulis akan membahas tentang Standar Isi atau
Standar Kurikulum di Pondok Pesantren. Kemudian pada edisi berikutnya
akan dibahas standar-standar lainnya.
PENTINGNYA STANDARISASI PENDIDIKAN PESANTREN
Hasil survei United Nation Development Project (UNDP) menyebutkan
bahwa kualitas sumber daya manusia Indonesia tergolong rendah
dibandingkan dengan negara-negara lain di Asia seperti Thailand,
Malaysia Philipna, dan China. Hal ini bisa dilihat dari rendahnya
rangking Human Development Index (HDI) atau Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Indonesia dibandingkan dengan negara-negara lainnya yakni berada pada ranking 108 dari 112 negara.
Rendahnya kualitas SDM salah satunya disebabkan karena rendahnya mutu
pendidikan nasional. Dari berbagai hasil survei dan penelitian
menunjukkab bagaimana kualitas pendidikan di Indonesia tergolong rendah.
Tidak ada satu pun juga universitas di Indonesia yang masuk kelompok
100 universitas terbaik di Indonesia, apalagi di tingkat dunia. Apabila
kualitas pendidikan tingginya sudah demikian rendahnya apalagi
pendidikan dasar dan menengahnya, tentunya kualitasnya tidak lebih baik.
Rendahnya kualitas SDM Indonesia yang disebabkan karena rendahnya
mutu pendidikan telah mendorong timbulnya hasrat dari semua pihak untuk
memperbaiki dan meningkatkan mutu pendidikan nasional. Dari keinginan
tersebut muncul kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan oleh Pemerintah.
Langkah-langkah Pemerintah dalam memperbaiki mutu pendidikan nasional
adalah dengan dikeluarkannya regulasi kebijakan tentang Sistem
Pendidikan Nasional yakni dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 20 Tahun
2003. Dalam pasal 35 UU Sisdiknas tersebut disebutkan bahwa salah satu
upaya meningkatkan mutu pendidikan nasional adalah melalui Standardisasi
Pendidikan Nasonal atau SNP. Regulisi kebijakan ini kemudian lebih jauh
ditegaskan melalui Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang
Standar Nasional Pendidikan.
Lahirnya PP 19 Tahun 2005 tentang SNP merupakan penjabaran dari UU
Nomor 20 Tahun 2003 terutama Bab IX Pasal 35. Dalam pasal 35 ayat (1) UU
Sisdiknas disebutkan: “Standar Nasional Pendidikan terdiri atas standar
isi, proses, kompetensi lulusan, tenaga kependidikan, sarana dan
prasarana, pengelolaan, pembiayaan, dan penilaian pendidikan yang harus
ditingkatkan secara berencana dan berkala”. Kemudian pada ayat (2)
disebutkan: “Standar Nasional Pendidikan digunakan sebagai acuan
pengembangan kurikulum, tenaga kependidikan, sarana dan prasarana,
pengelolaan dan pembiayaan”.
Pasal 1 ayat (1) PP 19/2005 menyatakan bahwa: “Standar Nasional
Pendidikan adalah kriteria minimal tentang sistem pendidikan di seluruh
wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia”. Kemudian Pasal 3
menyatakan bahwa “Standar Nasional Pendidikan berfungsi sebagai dasar
dalam perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan pendidikan dalam rangka
mewujudkan pendidikan nasional yang bermutu”. Tujuannya sebagaimana
disebutkan dalam pasal 4 yaitu: “Menjamin mutu pendidikan nasional dalam
rangka mencerdaskan kehidupan bangsa dan membentuk watak, serta
peradaban bangsa yang bermartabat”.
Jadi, kebijakan Standardisasi Pendidikan Nasional sebagaimana
ditegaskan dalam Pasal 35 UU Sisdiknas Nomor 20 Tahun 2003 dan PP Nomor
19 Tahun 2005 adalah perlunya standardisasi terhadap pendidikan nasional
agar mutu pendidikan di Indonesia semakin meningkat. Oleh karena itu
Standardisasi Pendidikan adalah mutlak diperlukan karena BERFUNGSI
sebagai dasar dalam perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan pendidikan
dalam mewujudkan pendidikan nasional yang bermutu serta BERTUJUAN untuk
menjamin mutu pendidikan nasional dalam rangka mencerdaskan kehidupan
bangsa yang bermartabat. Standar Nasional Pendidikan disempurnakan
secara terencana, terarah, dan berkelanjutan sesuai dengan tuntutan
perubahan kehidupan lokal, nasional dan global.
Pada sisi lain, PERLUNYA Standardisasi Pendidikan Nasional didasari
atas pemikiran bahwa pendidikan merupakan suatu proses yang bertujuan.
Setiap proses yang bertujuan tentunya mempunyai ukuran atau yardstick
sudah sampai di mana perjalanan pendidikan itu mencapai tujuannya.
Berbeda dengan tujuan fisik seperti jarak suatu tempat atau suatu target
produksi, tujuan pendidikan merupakan suatu yang intangible
dan terus menerus berubah dan meningkat. Tujuan pendidikan selalu
bersifat sementara atau “tujuan yang berlari”. Hal ini berarti tujuan
pendidikan setiap saat perlu direvisi dan disesuaikan dengan tuntutan
perubahan, tidak kaku tetapi fleksibel. Dalam kaitan dengan tujuan
pendidikan, maka menurut pasal 3 UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang
SISDIKNAS disebutkan bahwa: “Tujuan Pendidikan Nasional adalah
mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman
dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat,
berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang
demokratis serta bertanggung jawab”.
Dengan kata lain, Pendidikan Nasional yang bermutu diarahkan untuk
pengembangan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang: beriman
dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berahlak mulia, sehat, berilmu,
cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis dan
bertanggungjawab. Untuk mencapai tujuan Pendidikan Nasional yang bermutu
tersebut, maka MUTLAK diperlukan adanya standardisasi terhadap
Pendidikan Nasional Indonesia.
Apa saja yang perlu distandardkan dalam Pendidikan Nasional? Menurut
pasal pasal 2 ayat (1) PP 19/2005, lingkup Standar Nasional Pendidikan
mencakup: standar isi, standar proses, standar kompetensi lulusan,
standar pendidikan dan tenaga kependidikan, standar sarana dan
prasarana, standar pengelolaan, dan standar penilaian pendidikan.
STANDARD ISI (SI) lebih lanjut dijabarkan dalam
implementasinya oleh Permendiknas Nomor 22 tahun 2006 tentang Standar
Isi. SI mencakup ruang lingkup materi dan tingkat kompetensi yang
dituangkan dalam kriteria tentang: kompetensi tamatan, kompetensi mata
pelajaran, Kerangka Dasar dan Struktur Kurikulum, Beban belajar,
Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan, dan Kalender Pendidikan/Akademik.
STANDARD PROSES (SP) lebih lanjut dijabarkan oleh
Permendiknas Nomor 41 Tahun 2007 tentang Standar Proses. Standar Proses
berkaitan dengan pelaksanaan pembelajaran pada satu satuan pendidikan
untuk mencapai standar kompetensi lulusan. Proses pembelajaran
interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, memotivasi peserta
didik untuk berpartisipasi aktif, serta memberikan ruang yang cukup bagi
prakarsa, kreativitas, dan kemandirian sesuai dengan bakat, minat, dan
perkembangan fisik serta psikologis peserta didik.
STANDARD KOMPETENSI LULUSAN (SKL) lebih lanjut
dijabarkan dalam Permendiknas Nomor 23 Tahun 2006 tentang Standar
Kompetensi Kelulusan. SKL merupakan standar nasional pendidikan tentang
kualifikasi kemampuan lulusan yang berkaitan dengan sikap,pengetahuan,
dan keterampilan. Standar Kompetensi Lulusan digunakan sebagai pedoman
penilaian dalam penentuan kelulusan peserta didik dari satuan
pendidikan.
STANDARD PENDIDIK DAN TENAGA KEPENDIDIKAN merupakan
standar kriteria pendidikan prajabatan dan kelayakan fisik maupun
mental, serta pendidikan dalam jabatan. Pendidik harus memiliki
kualifikasi akademik dan kompetensi sebagai agen pembelajaran, sehat
jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan
pendidikan nasional. Penjabaran lebih lanjut tentang Standar Pendidik
dan Tenaga Kependidikan diatur dalam Permendiknas seperti Permendiknas
Nomor 16/2007 tentang Standar Kualifikasi Akademik dan Kompetensi Guru.
Permendiknas Nomor 13/2007 tentang Standar Kepala Sekolah. Permendiknas
Nomor 12/2007 tentang Standar Pengawas.
STANDARD SARANA DAN PRASARANA merupakan persyaratan minimal tentang:
- Sarana yang mencakup:perabot, peralatan pendidikan, media pendidikan, buku dan sumber belajar lainnya, bahan habis pakai serta perlengkapan lain yg diperlukan menunjang proses pembelajaran
- Prasarana yang mencakup: ruang kelas, ruang pimpinan satuan pendidikan, ruang pendidik, ruang tata usaha, ruang perpustakaan, ruang laboratorium, ruang bengkel kerja, ruang unit produksi, ruang kantin, instalasi daya dan jasa, tempat berolahraga, tempat beribadah, tempat bermain, tempat berkreasi.
Mengenai Standar Sarana dan Prasarana tersebut lebih jauh dijabarkan
oleh Permendiknas Nomor 24 Tahun 2004 tentang Standar Sarana Prasarana
Pendidikan.
STANDARD PENGELOLAAN merupakan standar pengelolaan
pendidikan yang mencakup: perencanaan pendidikan, pelaksanaan dan
pengawasan kegiatan pendidikan pada tingkat satuan pendidikan,
pengelolaan pendidikan di tingkat Kabupaten/Kota, provinsi, dan pada
tingkat nasional. Tujuannya ialah untuk meningkatkan efisiensi dan
efektivitas penyelenggaraan pendidikan.
Lebih jauh Standar Pengelolaan Pendidikan diatur dalam Permendiknas
Nomor 19 Tahun 2007 yang didalamnya berisi tentang standar pengelolaan
oleh satuan pendidikan, pemerintah daerah, dan pemerintah pada jenjang
pendidikan:
- DIKDASMEN : menerapkan manajemen berbasis sekolah yang ditunjukkan dengan kemandirian, kemitraan, partisipasi, keterbukaan, dan akuntabilitas
- DIKTI : menerapkan otonomi perguruan tinggi yang dalam batas-batas yang diatur dalam ketentuan perundang-undangan yang berlaku memberikan kebebasan dan mendorong kemandirian
STNDARD PEMBIAYAAN maksudnya adalah standar nasional
pendidikan yang berkaitan dengan komponen dan besarnya biaya
operasional satuan pendidikan selama satu tahun. Standar Pembiayaan ini
lebih lanjut diatur dalam Permendiknas Nomor 47 Tahun 2007. Dalam
Permendiknas tersebut diatur mengenai pembiayaan pendidikan tentang
persyaratan minimal mengenai:
- Biaya Investasi meliputi biaya penyediaan sarana dan prasarana, pengembangan sumberdaya manusia, dan modal kerja tetap.
- Biaya Personal meliputi biaya pendidikan yang harus dikeluarkan oleh peserta didik untuk bisa mengikuti proses pembelajaran secara teratur dan berkelanjutan.
- Biaya Operasi meliputi:
- gaji pendidik dan tenaga kependidikan serta segala tunjangan yang melekat pada gaji,
- bahan atau peralatan pendidikan habis pakai, dan
- biaya operasi pendidikan tak langsung berupa daya, air, jasa telekomunikasi, pemeliharaan sarana dan prasarana, uang lembur, transportasi, konsumsi, pajak, asuransi, dan lain sebagainya.
STANDARD PENILAIAN PENDIDIKAN maksudnya adalah
standar nasional penilaian pendidikan tentang mekanisme, prosedur,
instrumen penilaian hasil belajar peserta didik. Pengaturan Standar
Penilaian Pendidikan ini lebih lanjut diatur dalam Permendiknas Nomor 20
Tahun 2007 tentang Standar Penilaian Pendidikan.
Penentuan kedelapan standar pendidikan seperti tersebut di atas
merupakan salah satu tugas dari Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP)
yang merupakan lembaga mandiri, profesional dan independen yang
mengemban misi untuk mengembangkan, memantau pelaksanaan, dan
mengevaluasi pelaksanaan Standar Nasional Pendidikan. Tugas dan
kewenangan terpenting BSNP di antaranya adalah: mengembangkan Standar
Nasional Pendidikan, menyelenggarakan Ujian Nasional, memberikan
rekomendasi kepada Pemerintah dan Pemerintah Daerah dalam penjaminan dan
pengendalian mutu pendidikan, merumuskan kriteria kelulusan pada satuan
pendidikan jenjang pendidikan dasar dan menengah, dan menilai kelayakan
isi, bahasa, penyajian, dan kegrafikan buku teks pelajaran.
Pentingnya SNP pada dasarnya adalah karena pendidikan bagi bangsa Indonesia merupakan investasi SDM (Human Capital Investment).
Oleh karena itu Standarisasi Pendidikan diperlukan untuk peningkatan
SDM yang Bemutu dan Kompetitif. SDM bermutu adalah SDM yang cerdas
secara komprehensif, yang meliputi cerdas spiritual, cerdas emosional,
cerdas sosial, cerdas intelektual, dan cerdas kinestetis. Pendidikan
sebagai investasi SDM memiliki fungsi paling menonjol yaitu sebagai
sarana untuk memberdayakan (empowering) masyarakat, yang pada
gilirannya akan memberikan tingkat balikan yang tinggi terhadap
pertumbuhan ekonomi nasional secara berkelanjutan. Dalam kaitannya
pendidikan sebagai investasi SDM, maka setiap jenis, jenjang, dan jalur
pendidikan harus mendasarkan pada Standar Nasional Pendidikan dalam
perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan pendidikan dalam rangka
mewujudkan pendidikan nasional yang bermutu.
Pendidikan dalam setiap jenjangnya (termasuk Pendidikan Pesantren),
merupakan suatu proses bertujuan. Setiap proses yang bertujuan tentunya
mempunya ukuran sudah sampai di mana perjalanan pencapaian tujuan
tersebut. Dalam konteks Pendidikan Nasional Indonesia diperlukan
standard yang perlu dicapai dalam kurun waktu tertentu untuk mencapai
tujuan yang diharapkan. Oleh karena itu, wajib hukumnya pendidikan
pesantren memiliki standar yang jelas, agar pencapaian tujuan pendidikan
pesantren mudah diukur. Wallâhu a’lam.
No comments:
Post a Comment