Saturday, 3 May 2014

ARTIKEL STANDARISASI NASIONAL KURIKULUM PENDIDIKAN PESANTREN

STANDARISASI NASIONAL
KURIKULUM PENDIDIKAN PESANTREN


(Bagian I Pengantar)
Oleh:. Utawijaya[1]
PROLOG
Gus Dur (Abdurrahman Wahid) mengatakan bahwa Pondok Pesantren merupakan sebuah subkultur dengan syarat: pertama, pola kepemimpinan pondok pesantren yang mandiri tidak terkooptasi oleh negara; kedua, kitab-kitab rujukan umum yang selalu digunakan dari berbagai abad dalam bentuk kitab kuning; dan ketiga, sistem nilai (value system) yang digunakan adalah bagian dari masyarakat luas.
Bermodalkan ketiga elemen itulah, maka pondok pesantren memiliki hubungan yang sangat erat dengan kehidupan masyarakat Indonesia, dan sekaligus sebagai salah satu penopang pilar utama pendidikan di bumi Nusantara ini. Sebab, pondok pesantren telah membuktikan dirinya diterima ditengah-tengah masyarakat dan kyainya menjadi panutan. Fenomena ini telah menunjukkan bahwa puluhan ribu bahkan ratusan lebih orang Indonesia yang ikut merasakan pola pembelajaran pondok pesantren.
Perjalanan sejarah pesantren terus mengalami perkembangan seiring dengan perubahan zaman dan perkembangan modern. Dalam proses perubahan dan perkembangan tersebut, pesantren masih tetap eksis dan survive dengan mainstream indigenous (wajah keasliannya). Sebab, pesantren dengan pola pikir khasnya yang dikembangkan selama ini adalah: “al-muhâfazhah ‘ala al-qadîmi ash-shâlih wa al-ahdzu bi al-jadîd al-ashlah” (memelihara hal/tradisi/pemikiran yang baik dan mengambil hal/tradisi/pemikiran baru yang lebih baik).
Bersandikan pada kaidah ushuliyah seperti itu, menempatkan posisi pesantren pada dua fungsi ganda, yaitu: sebagai pewarisan budaya (agent of conservative), dan sekaligus sebagai agen perubahan (agent of change). Sebagai agen pewarisan budaya (agent of conservative), maka melalui pendidikan sistem nilai dan kepercayaan, pengetahuan dan norma-norma, serta adat-kebiasaan dan berbagai perilaku tradisional yang telah membudaya diwariskan pada suatu generasi ke generasi berikutnya.  Dengan cara ini, kebudayaan dapat dilestarikan, meskipun warga suatu masyarakat berganti-ganti, sedangkan kebudayaan dan sistem sosialnya tetap berlaku.  Di pihak lalin, lembaga pendidikan pesantren berperan sebagai agen perubahan (agent of channge), yaitu adanya upaya untuk membuang unsur budaya lama yang dipandang tidak cocok lagi dan perlunya memasukkan unsur budaya baru.
Atas dasar itulah, ketika Kementerian Agama Republik Indonesia berencana mengkaji standarisasi pendidikan pesantren sebagaimana diungkapkan oleh Menteri Agama Suryadarma Ali dalam kunjungan kerja ke Pondok Pesantren Terpadu Al-Yasin, Kraton Pasuruan, Jawa Timur pada tanggal 24 Januari 2010 yang lalu, kalangan pesantren sudah merasa siap dengan rencana perubahan kurikulum tersebut. Sebab, dengan bersandikan kaidah ushuliyah di atas, kurikulum pendidikan pesantren sudah sangat siap dengan perubahan sistem pendidikan menuju standarisasi pendidikan pesantren.
Bagi kalangan pesantren, standarisasi pendidikan pesantren tidak hanya sebatas adanya pengakuan legal formal dari Pemerintah terhadap lulusan pesantren. Sebab, pada prinsipnya alumni pesantren “kurang” membutuhkan legal formal seperti itu. Tanpa legal formal dari Pemerintah pun, para lulusan pesantren sudah eksis ditengah-tengah masyarakat dan bahkan diakui keberadaannya. Di samping itu, orientasi para santri dalam memasuki pendidikan pesantren tidak berorientasi pada perolehan legal formal berupa ijazah sebagaimana halnya lembaga pendidikan formal sekolah. Kebutuhan pesantren yang paling utama saat ini adalah bagaimana Pemerintah secara formal mengakui Pondok Pesantren sebagai sub sistem Pendidikan Nasional, sehingga tidak ada lagi diskriminasi terhadap pesantren, baik dalam penetapam anggaran melalui APBN maupun APBD, pengakuan formal ijazah pesantren, dan menjadikan sistem pendidikan pesantren sebagai salah satu tolok ukur pencapaian tujuan Pendidikan Nasional,  terutama untuk mengevaluasi pencapaian tujuan iman dan taqwa.
Upaya menghapus diskriminasi tersebut sebenarnya telah dilakukan pemerintah dengan menerbitkan PP No. 55 Tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan. Hanya saja persoalannya, implementasi PP tersebut perlu disempurnakan, agar tidak mengganggu kekhasan pendidikan pesantren. Misalnya, saat ini beberapa pesantren telah mengikuti Wajar Dikdas dengan keharusan pihak pesantren memasukkan ke dalam kurikulumnya muatan Pendidikan Kewarganegaraan, Bahasa Indonesia, Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam.
Sayangnya, pihak Diknas mengatur bahwa muatan wajib tersebut diselenggarakan secara terpisah, tidak integral dalam sebuah kurikulum pendidikan diniyah di pesantren, termasuk ijazah Wajar Dikdas yang pemerintah terbitkan, di samping ijazah yang diterbitkan oleh pihak pesantren. Pertanyaan beberapa pondok pesantren, kenapa harus ada dua ijazah bagi peserta didik di pesantren? Kenapa pemerintah tidak menganggap cukup dengan ijazah yang diterbitkan pesantren saja?
Sedangkan pada pendidikan diniyah tingkat menengah, sampai saat ini pemerintah mempunyai kebijakan yang berbeda dengan format Wajar Dikdas, yaitu memberikan legalitas (pengakuan/persamaan) tanpa harus menerbitkan ijazah sendiri. Jadi, pemerintah menganggap cukup ijazah yang dikeluarkan pihak pesantren. Beberapa pesantren menganggap model legalitas pemerintah di tingkat pendidikan diniyah menengah ini lebih mendekati rasa keadilan.
Keinginan Departemen/Kementerian Agama yang akan melakukan standarisasi pendidikan pesantren perlu difokuskan pada pengakuan legalitas, peningkatan kualitas dan persamaan hak. Dengan demikian, standarisasi tersebut memberikan jaminan atas keragaman pondok pesantren, termasuk jaminan tidak adanya proses pendangkalan struktural.
Standarisasi pendidikan pesantren dimaksudkan oleh Departemen Agama dilakukan karena selama ini belum ada aturan baku yang bisa dijadikan acuan sistem pendidikan pesantren tersebut. “Ini mencari solusi agar lulusan pesantren, terutama salafiyah, bisa mendapatkan pengakuan legal-formal dari pemerintah,” ujar Menteri Agama Suryadharma Ali (SDA) dalam kunjungan kerja ke Pondok Pesantren Terpadu Al-Yasini, Kraton, Pasuruan, Jawa Timur. Demikian keterangan pers dari Humas Departemen Agama, Sabtu (24/1/2010).
SDA menyampaikan hal itu menanggapi aspirasi alim-ulama, pengelola, dan pengasuh pesantren salafiyah yang sering terkendala masalah administrasi pendidikan, seperti ketiadaan ijazah bagi para alumni. “Sistem pendidikan pesantren, terutama salafiyah, memiliki keunggulan dalam penguasaan pengetahuan agama yang spesfik semisal tafsir, hadis, fikih, dan sebagainya. Apalagi, para santri keluaran pesantren unggul dalam peran-peran kemasyarakatan (social building). Karena itu, sayang kalau mereka belum mendapat pengakuan legal-formal dari pemerintah,” ujar SDA. SDA menjelaskan, kini jumlah pesantren terus meningkat, bahkan mencapai angka 23.000 unit di seluruh penjuru Tanah Air.
Sementara itu, menurut KH Abdul Mujib Imron mewakili para pengasuh pesantren salafiyah, pihaknya sering menjadi tempat mengadu para santri alumni. “Upaya mereka bertahun-tahun menimba ilmu seakan-akan menjadi sia-sia hanya karena beberapa lembar kertas. Karena tak punya ijazah sebagai pengakuan pemerintah, mereka sulit mendapat akses ke dunia kerja,” katanya.
Para alumnus ponpes ini pun kesulitan saat memasuki dunia politik, untuk menjadi kepala desa atau lurah saja tidak bisa. Apalagi mencalonkan diri menjadi legislator atau kepala daerah. “Padahal secara kualitas, alumni kami tak kalah bersaing dengan alumni lembaga pendidikan umum,” ujarnya.
Menjawab aspirasi tersebut, SDA mengatakan, Depag sedang mengupayakan standarisasi pendidikan pesantren. Dia menuturkan, sejauh ini Depag sudah mulai memetakan persoalan yang sudah berlangsung sejak lama itu. Di tempat yang sama, Direktur Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren Depag Chairul Fuad Yusuf menyebutkan, berencana menyiapkan tim untuk mengkaji standarisasi itu.  “Kita mulai siapkan semacam tim. Mereka akan segera bekerja dan melakukan kajian mendalam. Mudah-mudahan tahun depan (2011) atau paling lambat 2012 sudah bisa diterapkan,” ucapnya.
Standarisasi pendidikan pesantren yang direncanakan pemerintah mendapat tanggapan kritis dari Asosiasi Pondok Pesantren se-Indonesia atau Rabithah Ma’ahid Islamiyah Nahdlatul Ulama (RMI-NU). Wakil Sekretaris Pengurus Pusat RMI, HM Sulthan Fatoni, mengatakan, upaya itu harus melalui kajian yang melibatkan pesantren. Jika tidak, bisa jadi standarisasi itu akan mengarah pada pendangkalan. “Keterlibatan pesantren penting agar kebijakan yang diambil pemerintah sesuai kebutuhan masyarakat pesantren dan tidak malah mengarah pada pendangkalan,” katanya di Jakarta, Senin (25/1).
Upaya menghapus diskriminasi tersebut juga sebenarnya telah dilakukan pemerintah dengan menerbitkan PP No 55 Tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan. “Masalahnya, implementasi PP tersebut perlu disempurnakan agar tidak mengganggu kekhasan pendidikan pesantren,” katanya.  Ia mencontohkan, saat ini beberapa pesantren telah mengikuti wajar Dikdas dengan keharusan pihak pesantren memasukkan ke dalam kurikulumnya muatan pendidikan kewarganegaraan, bahasa Indonesia, matematika, dan ilmu pengetahuan alam.
Sayangnya, pihak Departemen Pendidikan Nasional mengatur bahwa muatan wajib tersebut diselenggarakan secara terpisah, tidak integral dalam sebuah kurikulum pendidikan diniyah di pesantren, termasuk ijazah wajar Dikdas yang Pemerintah terbitkan, di samping ijazah yang diterbitkan oleh pihak pesantren. “Pertanyaan beberapa pondok pesantren, kenapa harus ada dua ijazah bagi peserta didik di pesantren? Kenapa pemerintah tidak menganggap cukup dengan ijazah yang diterbitkan pesantren saja?”.
Pada pendidikan diniyah tingkat menengah (wustha’), sampai saat ini pemerintah memiliki kebijakan yang berbeda dengan format Wajar Dikdas, yaitu memberikan legalitas tanpa harus menerbitkan ijazah sendiri, jadi Pemerintah menganggap cukup ijazah yang dikeluarkan pihak pesantren. Beberapa pesantren menganggap model legalitas pemerintah di tingkat pendidikan diniyah menengah lebih mendekati rasa keadilan. Keinginan Departemen Agama yang akan melakukan standardisasi pendidikan pesantren perlu difokuskan pada pengakuan legalitas, peningkatan kualitas, dan persamaan hak.  Dengan demikian standardisasi tersebut memberikan jaminan atas keragaman pondok pesantren, termasuk jaminan tidak adanya proses pendangkalan struktural.
Pesantren saat ini sudah dianggap sebagai bagian dari sistem pendidikan pendidikan nasional. Pengakuan ini sebenarnya cukup menggembirakan bagi kalangan pesantren yang sebelumnya dianaktirikan. Dukungan pendanaan dari pemerintah juga semakin besar bagi pesantren yang memungkinkannya untuk terus berkembang. Namun adanya Peraturan Pemerintah (PP) PP No 55/2007 sebagai penjabaran UU Sistem Pendidikan Nasional dikhawatirkan akan menjebak pesantren pada standarisasi dan reduksi pengajaran agama.
PP tersebut memungkinkan pemerintah atau lembaga mandiri yang berwenang untuk melakukan akreditasi atas pendidikan keagamaan untuk penjaminan dan pengendalian mutu pendidikan sesuai Standar Nasional Pendidikan (SNP).  Isi SNP tersebut meliputi standar isi, standar proses, standar kompetensi lulusan, standar pendidikan dan tenaga pendidikan, standar sarana dan prasarana, standar pengelolaan, standar pembiayaan, dan standar penilaian pendidikan. Keadaan ini dalam jangka panjang akan mengancam eksistensi, karakter dan ciri khas pesantren sebagai lembaga pendidikan yang mengajarkan keilmuan dan nilai-nilai agama (tafaqquh fiddin), sebagai kontrol sosial dan sebagai agen pengembangan masyarakat.
PP ini hanya cocok untuk sekolah formal sedangkan pendidikan informal dan non formal perlu dibuatkan aturan tersendiri. PP ini sangat besar kemungkinannya akan menempatkan pesantren sebagai lembaga yang harus ditertibkan. Aturan seperti ini akan membunuh dengan adanya standar nasional dan Ujian Nasional (UN). Ukuran-ukuran seperti ini dianggapnya terlalu menyederhanakan dan tidak akan mampu menghadapi kompleksitas permasalahan di pesantren. Kehawatirkan sebagian kalangan pesantren tentang rencana standarisasi pendidikan pesantren adalah adanya reduksi pengajaran agama.
Dengan terbitnya PP ini, pemerintah dinilainya juga abai mempertimbangkan aspek budi pekerti yang harus dimiliki para siswa. Jika terjadi penurunan nilai moral, maka bukan semata kesalahan orang tua, tapi kesalahan pemerintah yang tidak bijak dalam mengelola pendidikan.
Di pesantren, anak didik sangat ditekankan pada nilai-nilai moralitas seperti keikhlasan dan spiritualitas yang tidak bisa dengan mudah diukur dengan standar yang dibuat dalam PP tersebut. Apa yang ada di pesantren seperti keikhlasan dan spiritualitas mendorong kita untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Jiwa keikhlasan sudah menjadi tuntunan.
Ini berbeda sekali dengan sistem boarding school, meskipun sama-sama diasramakan layaknya pesantren, motif dan tujuan pembelajarannya sangat berlainan sehingga bisa distandarkan dengan PP tersebut.  Diakuinya saat ini memang terjadi perubahan kebijakan terhadap orang-orang yang akan duduk dalam jabatan publik seperti perlunya persyaratan ijazah bagi politisi, lurah, bupati dan lainnya. Pesantren dalam hal ini juga harus luwes dan mampu mengakomodasi kepentingan santri yang berminat meniti karir di sektor publik. Meskipun begitu, ciri khas pesantren tak boleh dihilangkan. Kita harus bebas intervensi dari siapa pun. Sebab pesantren telah memberikan sumbangan yang besar dalam pelayanan publik.
Bagi penulis, Standarisasi Pendidikan Pesantren adalah penting dilakukan oleh Pemerintah dan didukung oleh para pengelola pesantren. Persoalan kemudian adalah langkah apa yang harus dilakukan oleh pesantren dalam menghadapi rencana standarisasi pendidikan tersebut? Menurut hemat penulis, dalam kurun waktu mendatang dan sangat mendesak adalah pembenahan terhadap beberapa komponen standarisasi nasional pendidikan sebagaimana digariskan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang SNP, yaitu: Standar isi, Standar proses, Standar kompetensi lulusan, Standar pendidik dan tenaga kependidikan, Standar sarana dan prasarana, Standar pengelolaan, Standar pembiayaan, dan Standar penilaian pendidikan.
Dari kedelapan standar terebut, bagi pesantren dan bahkan jenis pendidikan lainnya, tidak mungkin dilaksanakan sekaligus. Oleh karena itu, pada periode dua tahun mendatang (2010-2012), SNP yang perlu diterapkan di pesantren cukup beberapa saja, di antaranya yang paling memungkinkan dalam waktu mendesak adalah: Standar Isi (Kurikulum), Standar Kompetensi Lulusan, Standar Pengelolaan, dan Standar Penilaian. Kemudian pada tahun 2012-2014, seluruh SNP tersebut bisa dilaksanakan oleh pondok pesantren. Amiin insya allah.
Pada kesempatan ini, penulis akan membahas tentang Standar Isi atau Standar Kurikulum di Pondok Pesantren. Kemudian pada edisi berikutnya akan dibahas standar-standar lainnya.
PENTINGNYA STANDARISASI PENDIDIKAN PESANTREN
Hasil survei United Nation Development Project (UNDP) menyebutkan bahwa kualitas sumber daya manusia Indonesia tergolong rendah dibandingkan dengan negara-negara lain di Asia seperti Thailand, Malaysia Philipna, dan China. Hal ini bisa dilihat dari rendahnya rangking Human Development Index (HDI) atau Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Indonesia dibandingkan dengan negara-negara lainnya yakni berada pada ranking 108 dari 112 negara.
Rendahnya kualitas SDM salah satunya disebabkan karena rendahnya mutu pendidikan nasional. Dari berbagai hasil survei dan penelitian menunjukkab bagaimana kualitas pendidikan di Indonesia tergolong rendah. Tidak ada satu pun juga universitas di Indonesia yang masuk kelompok 100 universitas terbaik di Indonesia, apalagi di tingkat dunia. Apabila kualitas pendidikan tingginya sudah demikian rendahnya apalagi pendidikan dasar dan menengahnya, tentunya kualitasnya tidak lebih baik.
Rendahnya kualitas SDM Indonesia yang disebabkan karena rendahnya mutu pendidikan telah mendorong timbulnya hasrat dari semua pihak untuk memperbaiki dan meningkatkan mutu pendidikan nasional. Dari keinginan tersebut muncul kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan oleh Pemerintah. Langkah-langkah Pemerintah dalam memperbaiki mutu pendidikan nasional adalah dengan dikeluarkannya regulasi kebijakan tentang Sistem Pendidikan Nasional yakni dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003. Dalam pasal  35 UU Sisdiknas tersebut disebutkan bahwa salah satu upaya meningkatkan mutu pendidikan nasional adalah melalui Standardisasi Pendidikan Nasonal atau SNP. Regulisi kebijakan ini kemudian lebih jauh ditegaskan melalui Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan.
Lahirnya PP 19 Tahun 2005 tentang SNP merupakan penjabaran dari UU Nomor 20 Tahun 2003 terutama Bab IX Pasal 35. Dalam pasal 35 ayat (1) UU Sisdiknas disebutkan: “Standar Nasional Pendidikan terdiri atas standar isi, proses, kompetensi lulusan, tenaga kependidikan, sarana dan prasarana, pengelolaan, pembiayaan, dan penilaian pendidikan yang harus ditingkatkan secara berencana dan berkala”. Kemudian pada ayat (2) disebutkan: “Standar Nasional Pendidikan digunakan sebagai acuan pengembangan kurikulum, tenaga kependidikan, sarana dan prasarana, pengelolaan dan pembiayaan”.
Pasal 1 ayat (1) PP 19/2005 menyatakan bahwa: “Standar Nasional Pendidikan adalah kriteria minimal tentang sistem pendidikan di seluruh wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia”.  Kemudian Pasal 3 menyatakan bahwa “Standar Nasional Pendidikan berfungsi sebagai dasar dalam perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan pendidikan dalam rangka mewujudkan pendidikan nasional yang bermutu”. Tujuannya sebagaimana disebutkan dalam pasal 4 yaitu: “Menjamin mutu pendidikan nasional dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa dan membentuk watak, serta peradaban bangsa yang bermartabat”.
Jadi, kebijakan Standardisasi Pendidikan Nasional sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 35 UU Sisdiknas Nomor 20 Tahun 2003 dan PP Nomor 19 Tahun 2005 adalah perlunya standardisasi terhadap pendidikan nasional agar mutu pendidikan di Indonesia semakin meningkat. Oleh karena itu Standardisasi Pendidikan adalah mutlak diperlukan karena  BERFUNGSI sebagai dasar dalam perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan pendidikan dalam mewujudkan pendidikan nasional yang bermutu serta BERTUJUAN untuk menjamin mutu pendidikan nasional dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa yang bermartabat. Standar Nasional Pendidikan disempurnakan secara terencana, terarah, dan berkelanjutan sesuai dengan tuntutan perubahan kehidupan lokal, nasional dan global.
Pada sisi lain, PERLUNYA Standardisasi Pendidikan Nasional didasari atas pemikiran bahwa pendidikan merupakan suatu proses yang bertujuan. Setiap proses yang bertujuan tentunya mempunyai ukuran atau yardstick sudah sampai di mana perjalanan pendidikan itu mencapai tujuannya. Berbeda dengan tujuan fisik seperti jarak suatu tempat atau suatu target produksi, tujuan pendidikan merupakan suatu yang intangible dan terus menerus berubah dan meningkat. Tujuan pendidikan selalu bersifat sementara atau “tujuan yang berlari”. Hal ini berarti tujuan pendidikan setiap saat perlu direvisi dan disesuaikan dengan tuntutan perubahan, tidak kaku tetapi fleksibel. Dalam kaitan dengan tujuan pendidikan, maka menurut pasal 3 UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang SISDIKNAS disebutkan bahwa: “Tujuan Pendidikan Nasional adalah mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab”.
Dengan kata lain, Pendidikan Nasional yang bermutu diarahkan untuk pengembangan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang: beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berahlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggungjawab. Untuk mencapai tujuan Pendidikan Nasional yang bermutu tersebut, maka MUTLAK diperlukan adanya standardisasi terhadap Pendidikan Nasional Indonesia.
Apa saja yang perlu distandardkan dalam Pendidikan Nasional? Menurut pasal pasal 2 ayat (1) PP 19/2005, lingkup Standar Nasional Pendidikan  mencakup: standar isi, standar proses, standar kompetensi lulusan, standar pendidikan dan tenaga kependidikan, standar sarana dan prasarana, standar pengelolaan, dan standar penilaian pendidikan.
STANDARD ISI (SI) lebih lanjut dijabarkan dalam implementasinya oleh Permendiknas Nomor 22 tahun 2006 tentang Standar Isi. SI mencakup ruang lingkup materi dan tingkat kompetensi yang dituangkan dalam kriteria tentang: kompetensi tamatan, kompetensi mata pelajaran, Kerangka Dasar dan Struktur Kurikulum, Beban belajar, Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan, dan Kalender Pendidikan/Akademik.
STANDARD PROSES (SP) lebih lanjut dijabarkan oleh Permendiknas Nomor 41 Tahun 2007 tentang Standar Proses. Standar Proses berkaitan dengan pelaksanaan pembelajaran pada satu satuan pendidikan untuk mencapai standar kompetensi lulusan. Proses pembelajaran interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, memotivasi peserta didik untuk berpartisipasi aktif, serta memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa, kreativitas, dan kemandirian sesuai dengan bakat, minat, dan perkembangan fisik serta psikologis peserta didik.
STANDARD KOMPETENSI LULUSAN (SKL) lebih lanjut dijabarkan dalam Permendiknas Nomor 23 Tahun 2006 tentang Standar Kompetensi Kelulusan. SKL merupakan standar nasional pendidikan tentang kualifikasi kemampuan lulusan yang berkaitan dengan sikap,pengetahuan, dan keterampilan. Standar Kompetensi Lulusan digunakan sebagai pedoman penilaian dalam penentuan kelulusan peserta didik dari satuan pendidikan.
STANDARD PENDIDIK DAN TENAGA KEPENDIDIKAN merupakan standar kriteria pendidikan prajabatan dan kelayakan fisik maupun mental, serta pendidikan dalam jabatan. Pendidik harus memiliki kualifikasi akademik dan kompetensi sebagai agen pembelajaran, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional. Penjabaran lebih lanjut tentang Standar Pendidik dan Tenaga Kependidikan diatur dalam Permendiknas seperti Permendiknas Nomor 16/2007 tentang Standar Kualifikasi Akademik dan Kompetensi Guru. Permendiknas Nomor 13/2007 tentang Standar Kepala Sekolah. Permendiknas Nomor 12/2007 tentang Standar Pengawas.
STANDARD SARANA DAN PRASARANA merupakan persyaratan minimal tentang:
  1. Sarana  yang mencakup:perabot, peralatan pendidikan, media pendidikan, buku dan sumber belajar lainnya, bahan habis pakai serta perlengkapan lain yg diperlukan menunjang proses pembelajaran
  2. Prasarana yang mencakup:               ruang kelas, ruang pimpinan satuan pendidikan, ruang pendidik, ruang tata usaha, ruang perpustakaan, ruang laboratorium, ruang bengkel kerja, ruang unit produksi, ruang kantin, instalasi daya dan jasa, tempat berolahraga, tempat beribadah, tempat bermain, tempat berkreasi.
Mengenai Standar Sarana dan Prasarana tersebut lebih jauh dijabarkan oleh Permendiknas Nomor 24 Tahun 2004 tentang Standar Sarana Prasarana Pendidikan.
STANDARD PENGELOLAAN merupakan standar pengelolaan pendidikan yang mencakup: perencanaan pendidikan, pelaksanaan dan pengawasan kegiatan pendidikan pada tingkat satuan pendidikan, pengelolaan pendidikan di tingkat Kabupaten/Kota, provinsi, dan pada tingkat nasional. Tujuannya ialah untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan pendidikan.
Lebih jauh Standar Pengelolaan Pendidikan diatur dalam Permendiknas Nomor 19 Tahun 2007 yang didalamnya berisi tentang standar pengelolaan oleh satuan pendidikan, pemerintah daerah, dan pemerintah pada jenjang pendidikan:
  • DIKDASMEN : menerapkan manajemen berbasis sekolah yang ditunjukkan dengan kemandirian, kemitraan, partisipasi, keterbukaan, dan akuntabilitas
  • DIKTI : menerapkan otonomi perguruan tinggi yang dalam batas-batas yang diatur dalam ketentuan perundang-undangan yang berlaku memberikan kebebasan dan mendorong kemandirian
STNDARD PEMBIAYAAN maksudnya adalah standar nasional pendidikan yang berkaitan dengan komponen dan besarnya biaya operasional satuan pendidikan selama satu tahun. Standar Pembiayaan ini lebih lanjut diatur dalam Permendiknas Nomor 47 Tahun 2007. Dalam Permendiknas tersebut diatur mengenai pembiayaan pendidikan tentang persyaratan minimal mengenai:
  1. Biaya Investasi meliputi biaya penyediaan sarana dan prasarana, pengembangan sumberdaya manusia, dan modal kerja tetap.
  2. Biaya Personal meliputi biaya pendidikan yang harus dikeluarkan oleh peserta didik untuk bisa mengikuti proses pembelajaran secara teratur dan berkelanjutan.
  3. Biaya Operasi meliputi:
  • gaji pendidik dan tenaga kependidikan serta segala tunjangan yang melekat pada gaji,
  • bahan atau peralatan pendidikan habis pakai, dan
  • biaya operasi pendidikan tak langsung berupa daya,  air, jasa telekomunikasi, pemeliharaan sarana dan prasarana, uang lembur, transportasi, konsumsi, pajak, asuransi, dan  lain sebagainya.
STANDARD PENILAIAN PENDIDIKAN maksudnya adalah standar nasional penilaian pendidikan tentang mekanisme, prosedur, instrumen penilaian hasil belajar peserta didik. Pengaturan Standar Penilaian Pendidikan ini lebih lanjut diatur dalam Permendiknas Nomor 20 Tahun 2007 tentang Standar Penilaian Pendidikan.
Penentuan kedelapan standar pendidikan seperti tersebut di atas merupakan salah satu tugas dari Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) yang merupakan lembaga mandiri, profesional dan independen yang mengemban misi untuk mengembangkan, memantau pelaksanaan, dan mengevaluasi pelaksanaan Standar Nasional Pendidikan. Tugas dan kewenangan terpenting BSNP di antaranya adalah: mengembangkan Standar Nasional Pendidikan, menyelenggarakan Ujian Nasional, memberikan rekomendasi kepada Pemerintah dan Pemerintah Daerah dalam penjaminan dan pengendalian mutu pendidikan, merumuskan kriteria kelulusan pada satuan pendidikan jenjang pendidikan dasar dan menengah, dan menilai kelayakan isi, bahasa, penyajian, dan kegrafikan buku teks pelajaran.
Pentingnya SNP pada dasarnya adalah karena pendidikan bagi bangsa Indonesia merupakan investasi SDM (Human Capital Investment). Oleh karena itu Standarisasi Pendidikan diperlukan untuk peningkatan SDM yang Bemutu dan Kompetitif. SDM bermutu adalah SDM yang cerdas secara komprehensif, yang meliputi cerdas spiritual, cerdas emosional, cerdas sosial, cerdas intelektual, dan cerdas kinestetis. Pendidikan sebagai investasi SDM memiliki fungsi paling menonjol yaitu sebagai sarana untuk memberdayakan (empowering) masyarakat, yang pada gilirannya akan memberikan tingkat balikan yang tinggi terhadap pertumbuhan ekonomi nasional secara berkelanjutan. Dalam kaitannya pendidikan sebagai investasi SDM, maka setiap jenis, jenjang, dan jalur pendidikan harus mendasarkan pada Standar Nasional Pendidikan dalam perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan pendidikan dalam rangka mewujudkan pendidikan nasional yang bermutu.
Pendidikan dalam setiap jenjangnya (termasuk Pendidikan Pesantren), merupakan suatu proses bertujuan. Setiap proses yang bertujuan tentunya mempunya ukuran sudah sampai di mana perjalanan pencapaian tujuan tersebut.  Dalam konteks Pendidikan Nasional Indonesia diperlukan standard yang perlu dicapai dalam kurun waktu tertentu untuk mencapai tujuan yang diharapkan. Oleh karena itu, wajib hukumnya pendidikan pesantren memiliki standar yang jelas, agar pencapaian tujuan pendidikan pesantren mudah diukur. Wallâhu a’lam.

No comments:

Post a Comment