RELEVANSI KITAB WASHOYA
AL-ABAA’ LIL ABNAA’
KARYA SYAIKH MUHAMMAD
SYAKIR
TERHADAP PENDIDIKAN
AKHLAK KONTEKSTUAL
MUALLAFAH
Oleh :
TOLKHAH AL-KATSIRI
NIS : ............
MADRASAH
DINIYAH ALIYAH TAKHASUS ILMIAH
PONDOK
PESANTREN MA’AHIDUL ‘IRFAN
MAGELANG
2014 M/1434
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
1
|
1.
Melemahnya ikatan
keluarga, sekolah berganti peran menjadi pengganti keluarga di dalam
memperkenalkan nilai-nilai moral karena keluarga yang seharusnya menjadi guru
pertama dari anak, mulai kehilangan fungsinya. Sehingga terjadi kekosongan dalam
perkembangan anak.
2.
Terjadi krisis moral dan
kecenderungan negatif pada kehidupan remaja dewasa ini.
3.
Masyarakat mulai menyadari akan
pentingnya nilai-nilai etik, moral dan budi pekerti sebagai suatu moralitas dasar dan sangat esensial
bagi keberlangsungan kehidupan
bermasyarakat.[5]
Konsep dan materi-materi mengenai pendidikan akhlak juga dibahas dalam
kitab washoya al-abaa’ lil abnaa’ misalnya, syaikh muhammad syakir
menguatkan pendapat mengenai terbentuknya karakter positif dalam ungkapan
bahasa ‘proses’ dan hasil.[6]
dalam proses pembentukan karakter (baca: watak) harus dimulai dari sejak
manusia masih anak, sedangkan manusia dewasa sudah masuk kategori nihayah,
yakni manusia dewasa tidak masuk fase proses tapi harus sudah berkarakter
positif. Yang menjadi fokus proses pembentukan pertama kali adalah anak. Dikarang
oleh syaikh muhammad syakir, asal iskandariyah, mesir pada tahun 1326 h. Atau
1907 m., kitab ini berisi tentang wasiat-wasiat seorang guru terhadap muridnya
tentang akhlak. Kitab ini di kalangan pesantren sering disebut sebagai kitab
kuning, yaitu salah satu kitab klasik berbahasa arab. Dalam pendidikan madrasah
diniyah dan pesantren, washoya al-abaa’ lil abnaa’ sangat familiar
sebagai mata pelajaran khusus akhlak dan secara turun temurun menjadi kurikulum
pendidikan akhlak dari satu generasi ke generasi berikutnya. Pendidikan akhlak
dalam kehidupan modern saat ini sangat diperlukan bagi manusia modern dalam
menghadapi perubahan zaman. Apalagi fenomena dunia pendidikan sekarang sering
diwarnai dengan tidak adanya keseimbangan antara aspek material dan spiritual,
selain itu tokoh-tokoh di negara kita sering tidak mencontohkan uswah yang
hasanah. Di abad 21 seperti sekarang ini, akhlak harus menyesuaikan
perannya tidak hanya secara normatif agama atau sekedar sopan santun, namun dituntut
untuk bersifat aktif dan inovatif dalam memecahkan berbagai problematika
kehidupan modern, khususnya kehampaan spiritual dan dekadensi moral. Dengan
menempatkan kedudukan dan pengertian pendidikan akhlak secara proporsional, akhlak
menjadi lebih bermakna di zaman yang berbeda dari sebelumnya. Globalisasi,
disadari atau tidak turut memberi pengaruh terjadinya kemerosotan moral dan
budi pekerti anak, maka semua pihak harus ikut berperan dalam pelaksanaan
pendidikan akhlak, ini yang kemudian disebut sebagai kesadaran kolektif.
Diantara peran-peran tersebut adalah:
Pertama, orang tua, pendidikan agama sejak dini akan secara otomatis
tertanam nilai-nilai moral yang akan berdampak sangat positif bagi perkembangan
jiwa anak hingga dewasa. Hal ini karena moral dan budi pekerti merupakan bagian
dari pendidikan agama yang disebut juga sebagai pendidikan akhlak.[7]
Kedua, sekolah secara terpadu memasukkan pendidikan akhlak kedalam
pendidikan agama khususnya dan terintegrasi ke dalam semua mata pelajaran.
Ketiga, masyarakat, peran serta masyarakat dalam menanggulangi kemerosotan
moral dan sebagai contoh yang baik. Keempat, pemerintah, selama ini
peran pemerintah baru pada dataran konsep atau kebijakan makro dalam
undang-undang sistem pendidikan nasional. Menjamurnya lembaga-lembaga
pendidikan islam di indonesia dengan pendidikan akhlak sebagai trademark di
satu sisi, dan menjamurnya tingkat kenakalan perilaku amoral remaja di sisi
lain menjadi bukti kuat bahwa pendidikan akhlak dalam lembaga-lembaga
pendidikan islam sepertinya masih belum optimal. Maka, pendidikan akhlak harus
menyesuaikan dengan kebutuhan dan kondisi zaman, baik secara konsep maupun
praktiknya. Keselarasan tersebut bisa di tempuh yang pertama dengan
menyesuaikan dengan hakikat dan visi misi pendidikan akhlak dengan tujuan
puncak terbentuknya karakter positif peserta didik sebagai proses pendewasaan. Berarti,
cakupan materinya pun harus memuat aspek akhlak kepada allah swt, dan akhlak
sesama manusia, dan akhlak terhadap lingkungan. Selain memenuhi kebutuhan knowledge,
juga harus dipertimbangkan Pendidikan akhlak harus berpengaruh bagi
perkembangan peserta didik. Dalam perkembangan individu dan karakteristik siswa
memang memerlukan perlakuan yang berbeda-beda, karena ini merupakan bagian dari
pengakuan eksistensi individu, oleh karenanya mutu pengajaran harus diarahkan
pada pengaruh kepada siswa secara individual, namun secara umum materi yang dibutuhkan
antara siswa satu dengan lainnya bisa disamakan tergantung jenjang usianya.
Nilai-nilai hidup yang diperkenalkan juga harus merupakan realitas
yang ada dalam masyarakat kita, karena sesuai dengan karakteristik perkembangan
anak, hal ini memberi pengaruh pada perkembangan anak. Terlebih pendidikan
akhlak pada pendidikan dasar adalah masa berakhirnya daya khayal dan mulai
munculnya berpikir konkrit.[8]
Pada tahap ini anak dalam masa tamyiz, yakni kemampuan awal
membedakan baik dan buruk serta benar dan salah melalui penalarannya.
Selanjutnya pada masa amrad, yakni usia 10-15 tahun anak memerlukan
pengembangan-pengembangan potensinya untuk mencapai kedewasaan dan bertanggung
jawab secara penuh.[9]
Maka perlu menyusun pendidikan akhlak sesuai kebutuhan moral pada
tahap umur anak. Karena masing-masing jenjang umur mempunyai tugas perkembangan
dan karakteristik yang berbeda-beda. Yang pasti harus bersifat sederhana
(dasar) dan praktis yang dapat dilakukan oleh anak dan didasarkan pada
kompetensi dasar anak. Teks washoya yang lahir pada awal abad (20)
yang lalu rupanya masih digunakan sebagai mata pelajaran khusus pendidikan
akhlak hingga sampai saat ini, terbukti dengan sangat familiarnya kitab ini di
kalangan pendidikan madrasah diniyah dan pondok pesantren, padahal lahirnya
teks saat itu tidak terlepas dari konteks sosial pada masa tersebut. Selama ini fenomena penggunaan kitab washoya
di madrasah diniyah dan pondok pesantren belum memunculkan jawaban
bagaimana relevansi kitab ini dalam memenuhi kebutuhan pendidikan akhlak
kontekstual karena tidak ada penjabaran tujuan instruksional dalam kurikulum,
selain itu digunakannya washoya sering mengandung motif kurikulum
warisan. Hal ini mengakibatkan kurang terkuaknya signifikansi penggunaan kitab
ini. Sebagai kitab yang sangat familiar dalam kurikulum pendidikan non formal
seperti madarasah diniyah dan pesantren, tapi tidak familiar dalam kurikulum
pendidikan formal, menjadi salah satu alasan mempertanyakan, bagaimana
relevansi kitab ini terhadap pendidikan akhlak kontekstual, apakah materi yang
terkandung di dalamnya sudah mencakup segala aspek kebutuhan perkembangan
moral. Fenomena penggunaan kitab washoya sebagai materi khusus pelajaran
akhlak tidak hanya memunculkan pertanyaan-pertanyaan di atas, namun juga
memunculkan pernyataan mungkin subtansi materi akhlak di dalam kitab washoya
sudah terkandung dalam kurikulum pendidikan nasional.
Selain itu kemerosotan moral serta beberapa problem terkait pendidikan
akhlak rupanya menuntut praktisi pendidikan untuk melakukan kajian pendidikan
akhlak yang relevan dengan kebutuhan zaman. Pendidikan akhlak kontekstual
menuntut kesesuaian pendidikan dengan kebutuhan zaman namun tidak terlepas dari
hakikat pendidikan tersebut baik dari sisi konsep pendidikannya, materi, maupun
metode. Lalu apakah kitab washoya memenuhi kriteria itu. Beberapa
pertanyaan ini menuntut kajian bagaimana relevansi kitab ini terhadap
pendidikan akhlak kontesktual. Hal ini yang kemudian memberi sumbangsih wacana,
yakni jawaban relevansi kitab tersebut sehingga bisa menguak subtansi-subtansi
yang ada, sehingga penggunaan kitab washoya menjadi beralasan dan
mengandung motif yang jelas. Maka, penelitian ilmiah dirasa perlu karena
penelitian ilmiah tentang moralitas anak mempunyai potensi besar untuk membantu
kita dalam upaya memperbaiki nilai-nilai moral anak.
B. Rumusan masalah
Dari latar belakang masalah dan
kerangka pemikiran diatas, dapatlah dibuat rumusan sub-sub masalah antara lain :
1. Apa kandungan pendidikan akhlak yang ada
dalam kitab washoya al-abaa’ lil abnaa’ karya syaikh muhammad syakir?
2.
Bagaimana relevansi kitab washoya
al-aba’ lil abnaa’ terhadap pendidikan akhlak kontekstual?
C. Tujuan dan manfaat muallafah
1.
Tujuan muallafah
Penyusunan muallafah ini diharapkan nantinya dapat mencapai
beberapa tujuan antara lain:
a. Mengetahui kandungan pendidikan akhlak dalam
kitab washoya al-abaa’ lil abnaa’ karya
syaikh muhammad syakir.
b.
Mengetahui relevansi kitab washoya
al-abaa’ lil abnaa’ terhadap pendidikan akhlak kontekstual.
2.
Manfaat penyusunan muallafah
Setelah proses penyusunan muallafah ini diselesaikan, maka
diharapkan hasil susunan/tulisan ini dapat bermanfaat dalam memberikan gambaran
yang jelas tentang pendidikan akhlak dalam kitab washoya al-abaa’ lil abnaa’ dan relevansinya terhadap pendidikan
akhlak kontekstual. Dengan demikian penyusunan ini bisa memberikan manfaat baik teoritis maupun
praktis dalam dunia pendidikan, yaitu wacana baru yang bisa dijadikan sebagai
bahan renungan bersama sesama praktisi
pendidikan dalam memberikan cara pandang dan landasan pijak dalam memahami bagaimana relevansi pendidikan akhlak dalam kitab washoya
menghadapi kebutuhan zaman kekinian.
D. Telaah pustaka
Dalam wacana pendidikan, wacana
mengenai pendidikan akhlak sangat banyak dibicarakan. Adapun penelitian yang membahas tentang
materi pendidikan akhlak yang terkandung
dalam kitab Washoya al-abaa’ Lil abna’ dan relevansinya terhadap
pendidikan akhlak kontekstual, sejauh pengamatan penyusun belum ditemukan. Akan tetapi, terdapat
beberapa karya yang sangat bersinggungan dan berkaitan dengan pendidikan akhlak
dan relevansinya yang dikaitkan dengan
beberapa hal. Adanya tinjauan pustaka diharapkan dapat mengurai letak perbedaan antara penelitian ini dengan
penelitian-penelitian sebelumnya, sehingga bisa dibandingkan untuk saling melengkapi kekurangan dan kelebihan
diantara beberapa penelitian mengenai
pendidikan akhlak. Demikian yang disebut kegiatan ilmiah. Tinjauan pustaka juga bermanfaat membantu
penyusun kaitannya dengan landasan teori.
Diantara karya yang bersinggungan dengan pendidikan akhlak dan relevansinya dengan kehidupan yang kontekstual yaitu:
Pertama, nilai-nilai pendidikan akhlak dalam kitab Abyan
al-hawaij karya KH. Ahmad rifa’i. Penelitian ini sebagai tinjauan pustaka
mengenai pendidikan akhlak. Penelitian ini mengurai nilai-nilai
pendidikan akhlak yang ada dalam kitab abyan al-hawaij kemudian diselaraskan
dengan nilai-nilai pendidikan akhlak dalam islam. Selain kitab yang dikaji berbeda,
hasil penelitian ini juga lebih mengarah
pada pendidikan akhlak yang bersifat pendekatan kepada Allah dan tasawuf. Materi pendidikan akhlaknya sama, tapi relevansi isi kitab dikaitkan
pada sesuatu yang berbeda.
Kedua, sebagai tinjauan pustaka mengenai pendidikan
akhlak kontekstual, penelitian sukiman dalam jurnal penelitian agama uin sunan kalijaga
yogjakarta dengan judul, pengembangan aspek sosial anak dalam pembelajaran
pendidikan agama islam di sekolah dasar negeri (studi kasus di Sdn maguwoharjo I
dan Sdn depok II). Pendidikan akhlak yang penulis maksud disesuaikan dengan
pengembangan aspek sosial dalam pembelajaran PAI. Penelitian ini mengelompokkan
pengembangan aspek sosial pada 4 hal, yaitu:
a. Penanaman
dasar-dasar kejiwaan yang mulia.
b. Pemeliharaan
hak-hak orang lain.
c.
Melaksanakan tata krama atau etika sosial yang berlaku umum.
d. Kontrol dan
kritik sosial.
Obyek kajian penelitian
ini hanya difokuskan pada pendidikan dasar atau sd, tidak pendidikan akhlak
secara lebih luas. Penelitian ini lebih membahas aspek-aspek pengembangan
sosial secara lebih terperinci daripada menguraikan aspek hubungan dengan allah
(hablun min allah) sebagai salah satu cakupan materi pendidikan akhlak. Penelitian ini mencoba mengkritik bagaimana pengembangan aspek sosial dalam
pembelajaraan pai di sekolah dasar yang kurang memenuhi standar pendidikan akhlak kontekstual.
Ketiga, buku karya nurul zuriah, pendidikan moral dan budi pekerti dalam perspektif perubahan,
menggagas platform pendidikan budi pekerti secara konstektual dan futuristik. Buku ini menerangkan urgensi
pendidikan akhlak bagi kehidupan bermasyarakat serta bagaimana menggagas
pendidikan moral bagi masa depan. Tidak berbeda jauh dengan buku-buku akhlak
lain, buku ini juga mengungkapkan
pengertian pendidikan akhlak. Namun lebih secara khusus buku ini membidik bagaimana mengonsep pendidikan
akhlak yang relevan sesuai perubahan zaman
serta problematika dan kurikulum berbasis kompetensi pendidikan budi pekerti di lingkungan
sekolah/madrasah.
E. Metodologi penyusunan
Tulisan/penyusunan ini termasuk
dalam penyusunan kualitatif, sebagaimana dalam banyak literatur, penelitian kualitatif instrumen utamanya
adalah peneliti sendiri. Maka untuk lebih
jelasnya metodologi yang digunakan penyusun adalah sebagai berikut:
1.
Metode penyusunan
Metode penyusunan yang digunakan dalam penulisan muallafah ini adalah penyusunan kepustakaan, (library
reseach) yaitu dengan mengumpulkan data atau bahan-bahan yang berkaitan dengan pokok pembahasan dengan mengambil dari
sumber kepustakaan.
2.
Obyek penyusunan
Obyek penyusunan muallafah ini adalah kitab Washoya al-abaa’ Lil abnaa’ yakni, secara khusus meneliti pendidikan akhlak dalam kitab ini untuk diselaraskan dengan
pendidikan akhlak kontekstual.
3.
Metode pengumpulan data
Sebagaimana para ahli berpendapat bahwa kualitas data itu ditentukan oleh reliabilitas dan
validitas alat pengambil data, sehingga antara analisis data dan pengumpulan datanya harus saling
menyesuaikan. Sebagai bentuk upaya penelitian yang digunakan adalah penelitian kepustakaan, (library reseach),maka
peneliti mengumpulkan data atau bahan-bahan yang berkaitan dengan pokok pembahasan dengan mengambil dari sumber kepustakaan,
sumber ini diklasifikasikan menjadi dua yaitu:
a.
Sumber data primer
Data primer adalah data yang langsung berkaitan dengan pokok bahasan penelitian ini,[10] yaitu
berupa kitab Washoya al-abaa’ Lil abnaa’ dan buku pelajaran dasar tentang
akhlak sebagai interpretasi dari kitab aslinya.
b.
Sumber data sekunder
Sumber data sekunder bisa dikatakan sebagai buku penunjang dan pendukung dalam melengkapi
sumber data primer, serta membantu interpretasi dalam menganalisis isi materi. Diantara data- data tersebut adalah: pertama, buku
pendidikan moral dan budi pekerti dalam perspektif perubahan karangan Nurul zuhriah. Buku ini sebagai
acuan dalam mengupas pendidikan akhla
kontekstual. Kedua, buku akhlak mulia, penerjemah abdul hayyie alkattani dkk, karangan ali abdul halim Mahmud. Yaitu, sebagai landasan
teori mengenai hakikat dan tujuan pendidikan akhlak. Ketiga, buku dinamika pendidikan nasional, dalam percaturan dunia
global, karangan suyanto, dan buku wawasan pendidikan, sebuah pengantar pendidikan, karangan karangan suparlan suhartono, kedua
buku ini sebagai referensi terkait problematika pendidikan akhlak saat ini.
4.
Metode analisis data
Metode analisis data yang penyusun gunakan yaitu metode hermeneutik. Data yang telah
terkumpul kemudian dianalisis secara non statistik. Lexy j moleong berpendapat, hal ini karena pengaruh
penerapan metode secara kualitatif. Metode ini untuk menganalisis relevansi
kitab Washoya al-abaa’ Lil abnaa’ terhadap pendidikan akhlak kontekstual.
Adapun langkah
konkret metode hermeneutik yang digunakan adalah sebagai berikut: metode ini
penulis gunakan dalam rangka untuk menyimpulkan isi kitab Washoya terkait
dengan pembahasan sub pokok pembahasan tertentu, yakni pendidikan akhlak
kontekstual. Dan sebelumnya telah penulis
identifikasi secara keseluruhan dari pokok-pokok pemikiran syaikh muhammad
syakir. Dalam buku hermeneutika al-qur’an mazhab yogya, muzairi mengutip dari
rihchard e palmer, kata hermeneutika diterjemahkan dengan to interpret (artinya:
menginterpretasikan, menerjemahkan, menafsirkan). Atau dalam padanan katanya
adalah Tafsir, ta’wil, syarh dan Bayan.[11]
Ada 3 unsur pokok yang menjadi
pilar utama dalam hermeneutik sebagaimana yang diungkapkan ibnu taimiyyah
mengenai proses penafsiran. Tiga unsur tersebut yaitu: teks, pengarang dan
audien atau ditujukan kepada siapa.[12]
Terlepas dari perdebatan metodologi
hermeneutik dalam penafsiran al-qur’an, karena penafsiran al-qur’an terkait
dengan nilai sakral al-qur’an, penulis berpendapat metode ini bisa ditransfer
sebagai metode analisis data dalam penelitian sosial. Praktiknya adalah:
pertama-tama penulis menyajikan apa adanya teks tersebut, kemudian menguraikan
data-data terkait biografi pengarangnya, baik beberapa buah karyanya, backgroundnnya
maupun konteks sosial saat teks tersebut lahir. Selanjutnya setelah melewati
proses content analisys untuk menelaah isi pesan yang ada dalam kitab washoya
(termasuk juga kitab ini diperuntukkan untuk siapa), penulis memadukan isi
dalam kitab tersebut dengan permasalahan pendidikan akhlak kontekstual. Dalam kondisi
ini hermeneutik memerankan dirinya sebagai sebuah metode yang menafsirkan atau
menginterpretasikan.
Langkah
selanjutnya yaitu menganalisis data menurut isinya atau usaha untuk
mengungkapkan isi sebuah buku baik situasi penulis maupun bukunya. Pertimbangan metode ini selain sebagai penyesuaian data dengan
analisis data non statistik, juga sebagai penunjang utama untuk menginterpretasikan
data. Tujuan analisis pada tahapan ini untuk menganalisis isi pesan suatu
komunikasi yang ada. Dengan menganalisis isi kitab Washoya al-abaa’ Lil abnaa’ baik dari sisi materi, bahasa maupun sisi penulisnya, diharapkan
bisa memberi gambaran mengenai relevansi kitab washoya terhadap
pendidikan akhlak kontekstual. Sehingga memunculkan wacana mengenai hakikat
pendidikan akhlak, bagaimana kitab ini jika disesuaikan dengan pendidikan
akhlak kontekstual. Diharapkan usaha ini bisa menciptakan praktik pendidikan akhlak yang bersifat subtantif
bukan formalitas semata.
[1] Nurul
Zuriah, Pendidikan Moral Dan Budi Pekerti Dalam Perspektif Perubahan,(
Jakarta: Pt Bumi Aksara, 2007), Hlm.18.
[2] Nurul
Zuriah, Pendidikan Moral Dan Budi Pekerti Dalam Perspektif Perubahan,(
Jakarta: Pt Bumi Aksara, 2007), Hlm. 27-28.
[3] Ali Abdul Halim Mahmud, Akhlak Mulia, Penerjemah
Abdul Hayyie Alkattani Dkk, (Jakarta: Gema Insani, 2004), Hlm.173.
[4] Tim Redaksi Fokusmedia, Undang-Undang Sistem Pendidikan
Nasional No.20 Tahun 2003, (Bandung: Fokusmedia, 2003), Hlm. 60.
[5] Nurul Zuriah, Op.Cit., Hlm. 10-11.
[6] Muhammad Syakir, Washoya Al-Abaa, Lil Abnaa,
(Semarang: Toha Putra, T.T.), Hlm. 2.
[7] Nurul Zuriah, Op.Cit., Hlm. 165.
[8] Muallifah, Psycho Islamic Smart Parenting,
(Jogjakarta: Diva Press, 2009), Hlm. 102.
[9] Mohammad Fauzil Adim, Mendidik Anak Menuju Taklif,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998), Hlm.16.
[10] Winarno Muhammad, Dasar Dan
Teknik Research, Pengantar Metodologi Llmiah, (Bandung: Cv Transito, 1997), Hlm. 156.
[11] Syahiron Syamsudin Dkk, Hermeneutika
Al-Qur’an, (Yogyakarta: Penerbit Islamika, 2003), Hlm. 54.
[12] ibid., Hlm. 62.
BAB II
PENDIDIKAN AKHLAK
A.
Hakikat dan pengertian pendidikan
akhlak
Penggabungan dua kata yakni pendidikan dan akhlak menunjukkan ada keterkaitan diantara dua kata
tersebut. Maka perlu diketahui maknanya satu persatu. Pertama, pendidikan, diartikan sebagai proses
pengubahan sikap tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan
manusia melalui upaya pengajaran dan
pelatihan.[1]
Dalam undang-undang ri no.20 tahun 2003 disebutkan bahwa pendidikan adalah usaha dan terencana
untuk mewujudkan suasana belajar dan
proses pembelajaran agar peserta secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memilliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri,
kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta ketermpilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan
negara.[2] dan pendidikan ini merupakan kegiatan
simultan di seluruh aspek kehidupan manusia yang berlansung di segala lingkungan di mana dia berada,
di segala waktu, dan merupakan hak dan kewajiban bagi siapapun, serta
terlepas dari diskriminasi apapun.[3]
14
|
الخلق عبرة عن هيــٔـة في النفس را سخة عنها تصدرالأ فعال بسهولة
ويسر من غير حا جة الي فكر وروية ٢٢
“akhlak adalah suatu sifat yang
tertanam dalam jiwa yang daripadanya timbul perbuatan-perbuatan dengan mudah
dengan tidak memerlukan pertimbangan pikiran”
Imam al-gazhali berpendapat bahwa suatu
perbuatan itu bisa disebut akhlak jika perbuatan tersebut dilakukan dengan
spontan atau tanpa pertimbangan karena sikap dan perbuatan yang sudah melekat
dalam pribadi menjadi watak. Batasan tentang perbuatan yang
sudah menjadi watak ini yang kemudian banyak disepakati sebagai salah satu ciri akhlak. Iman Abdul Mukmin dalam buku “meneladani Akhlak Nabi”, berpendapat bahwa akhlak mengandung beberapa arti yaitu: tabiat, adat dan watak. Pengertian akhlak sering
kali membaur dengan pengertian moral, budi pekerti, etika, kepribadian, afektif. Namun, dari beberapa
pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud akhlak adalah sebuah sistem
yang lengkap yang terdiri dari
karakteristik-karakteristik akal atau tingkah laku yang membuat seseorang menjadi
istimewa. Karakteristik-karakteristik ini membentuk kerangka psikologi seseorang dan membuatnya berperilaku
sesuai dengan dirinya dan nilai yang cocok
dengan dirinya dalam kondisi yang berbeda-beda.[6]
Dari pengertian tersebut ali abdul halim
menyamakan antara akhlak dan moral, kemudian membedakan akhlak atau moral
dengan kepribadian, yakni: moral lebih terarah pada kehendak dan diwarnai
dengan nilai-nilai, sedangkan kepribadian mencakup pengaruh fenomena sosial
bagi tingkah laku. Hal ini sangat rasional karena
secara universal dan hakiki, moralitas merupakan aturan, kaidah baik dan buruk, simpati atas fenomena
kehidupan dan penghidupan orang lain dan keadilan dalam bertindak.[7] berarti
akhlak itu mencakup pada nalar emosional
dan afeksi. Manusia secara fitrah dapat membedakan tindakan yang baik dan yang buruk
atau yang pantas dan yang tidak pantas,[8] namun kelengkapan kaidahkaidahnya perlu
diisi lewat pembinaan atau pendidikan. Maka dari itulah dalam islam akhlak merupakan asas
terpenting untuk membina pribadi dan masyarakat.
Penggabungan dua kata tersebut menjadi pendidikan akhlak berarti suatu usaha mendewasakan manusia
melalui penyampaian bahan pengajaran dalam kegiatan belajar mengajar terutama dalam bidang akhlak. Atau sebagaimana pendapat nurul zuriah
yang mengartikannya sama dengan pendidikan budi pekerti yang berarti usaha pendidikan yang
bertujuan mengembangkan watak dengan cara menghayati nilai-nilai dan
keyakinan masyarakat sebagai kekuatan moral dalam hidupnya. Yakni, melalui kejujuran, dapat dipercaya,
disiplin dan kerja sama yang menekankan ranah afektif tanpa meninggalkan ranah kognitif dan psikomotorik.
Pengertian ini yang kemudian menjadikan akhlak sebagai suatu hal yang kompleks
dan sempurna, karena mencakup semua
aspek. Sehingga menjadi tugas utama nabi muhammad saw adalah menyempurnakan akhlak manusia. Uraian pengertian di atas
menunjukkan letak keterkaitannya adalah bahwa salah satu usaha pembentukan
akhlak adalah lewat pendidikan, begitu juga salah satu tujuan pendidikan adalah
sebagai upaya mengembangkanmanusia seutuhnya. Sebagaimana termuat dalam uu Ri
no.2 tahun 1989, pasal 4: pendidikan nasional bertujuan mencerdaskan kehidupan
bangsa dan mengembangkan manusia indonesia seutuhnya, yaitu manusia yang beriman
dan bertaqwa kepada tuhan yang maha esa dan berbudi pekerti luhur, memiliki
pengetahuan dan keterampilan, kepribadian yang mantap dan mandiri, serta tanggung
jawab kemasyarakatan dan kebangsaan.
Termaktub dalam pasal tersebut bahwa pendidikan sejati merupakan proses pembentukan moral masyarakat
beradab, masyarakat yang tampil dengan wajah kemanusiaan dan pemanusiaan yang normal. atau kata lainnya, pendidikan adalah moralisasi masyarakat,
terutama peserta didik.[9] jadi,
tanpa menggabungkan dua kata tersebut pun
pendidikan dan akhlak sangat berkaitan. Akhlak dalam islam bukanlah tanpa dasar, mengenai pembinaan akhlak, islam secara lengkap
menerangkannya baik dalam nash al-qur’an maupun hadis. Keterangan akhlak dalam al-qur’an tersebut ada yang sifatnya mendidik, memotivasi untuk
selalu berbuat baik maupun peringatan dan ancaman bagi orang-orang yang yang berperilaku tercela. Baik
bersifat umum maupun secara khusus membidik
satu perbuatan, seperti dalam surat al-hujuraat ayat 12:
يأيهاالذين ٔامنوا اجتنبوا كثيرا من الظن ان بعض الظن اثم،
ولاتجسسوا ولا يغتب بعضكم بعض، ايحب احدكم ان يأ كــل لحم أخيه ميتا فكرهتموه، واتق
الله ان الله تواب رحيم.
“hai
orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan prasangka (kecurigaan), karena
sebagian dari purba-sangka itu dosa. Dan janganlah mencari-cari keburukan orang
dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang diantara kamu yang suka
memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik
kepadanya. Dan bertakwalah kepada allah. Sesungguhnya allah maha penerima
taubat lagi maha penyayang”.
Sedangkan ayat-ayat yang menunjukkan motivasi untuk berbuat baik tersebut
diistilahkan adalam al-qur’an misalnya sebutan ahlul birri atau orang-orang
yang selalu melakukan kebaikan (al-baqarah ayat 177), uluul al-baab atau
orang-orang yang selalu mengingat allah dan berakal (ar-ra’ad ayat 19-20), dan al-muhsinun
atau orang-orang yang selalu melakukan kebaikan (an-nisa’ ayat 36).
Sedangkan dalam hadits diterangkan baik dalam bentuk sabda nabi maupun
sikap nabi, baik tentang perbuatan terpuji maupun tercela, baik sikap nabi
sebagai seorang pribadi, dalam kehidupan sosial maupun dalam berpolitik. Salah
satu haditsnya adalah:[10]
عن ابي هريرة رضي الله عنه قال،قال رسول الله صلى الله عليه وسلم:
انما بعثت لأ تمم صلح الاخلق ( رواه البخاري)
“dari
abu hurairah ra. Berkata rasulullah saw bersabda: sesungguhnya aku diutus
adalah hanya demi memperbaiki akhlak”.
B.
Tujuan pendidikan akhlak
Mengacu pada definisinya, pendidikan akhlak bertujuan untuk membentuk akhlak terpuji dan mulia
agar terjadi keseimbangan dalam kehidupan manusia seutuhnya dan sesuai dengan ajaran agama islam.
Yakni, seimbang antara hubungan manusia
dengan tuhannya, dengan sesama manusia, dengan alam maupun dengan dirinya sendiri, agar seseorang
bisa membedakan makna hak dan kewajiban.
Sedangkan dalam proses belajar mengajar pendidikan akhlak bertujuan agar peserta didik mampu menggunakan pengetahuan, nilai, dan
keterampilan mata pelajaran itu sebagai wahana yang memungkinkan tumbuh dan berkembangnya serta
terwujudnya sikap dan perilaku peserta didik yang konsisten dengan akhlak
mulia. Tujuan tersebut sangat sesuai
dengan tujuan seorang muslim dalam kehidupan di dunia, yaitu:
1.
Mengesakan allah swt, tidak
menyekutukan-nya dan hanya menyembah-nya sesuai dengan syariat yang dia turunkan.
2.
Mengikuti dan konsisten terhadap
aturan allah yang sesuai dalam al-qur’an dan hadis.
3.
Memakmurkan bumi dan menghantarkan
manusia kepada tingkat kehidupan yang lebih baik, sesuai dengan kemuliaan yang
dianugerahkan oleh allah kepada mereka.[11] dalam kitab washoya al-abaa’
lil abnaa’, syaikh muhammad syakir berpendapat tujuan pendidikan akhlak
adalah agar seseorang bisa berperilaku dengan akhlak yang mulia. Maka dari itu pendidikan akhlak harus lebih menekankan pada penanaman
nilai daripada pengajaran. Tujuan tersebut bisa dikatakan sebagai tujuan pendidikan akhlak secara umum. Sedangkan tujuan yang sifatnya praktis dalam
dunia Pendidikan nasional, kita bisa mengacu pada tujuan pendidikan budi pekerti sebagaimana menurut
nurul zuriah:
a.
Santri/ siswa memahami nilai-nilai
budi pekerti di lingkungan keluarga, lokal, nasional, dan internasional melalui adat istiadat, hukum,
undang-undang dan tatanan antar bangsa.
b.
Santri/siswa mampu mengembangkan
watak atau tabiatnya secara konsisten dalam mengambil keputusan budi pekerti di tengah-tengah rumitnya
kehidupan bermasyarakat saat ini.
c.
Santri/siswa mampu menghadapi
masalah nyata dalam masyarakat secara rasional bagi pengambilan keputusan yang terbaik setelah melakukan
pertimbangan sesuai dengan norma budi pekerti.
d.
Santri/siswa mampu menggunakan
pengalaman budi pekerti yang baik bagi pembentukan kesadaran dan pola perilaku yang berguna dan
bertanggung jawab atas tindakannya.[12]
C.
Ruang lingkup materi
Pendidikan akhlak secara global mengandung dua cakupan yaitu
akhlak terpuji dan akhlak tercela.
Sedangkan ruang lingkup materi dan subtansi pendidikan akhlak meliputi: akhlak terhadap tuhan yang maha esa,
akhlak terhadap sesama manusia dan akhlak
terhadap lingkungan. Atau bisa disimpulkan sebagai tuntutan tanggung jawab sebagai individu,
anggota masyarakat dan sebagai bagian dari
umat. Perpaduan tiga unsur ini dalam pendidikan islam bukan tanpa dasar, tapi berlandaskan dalil-dalil
dalam al-qur’an maupun hadis.[13] sesuai
dengan tujuan pendidikan akhlak serta menurut pendapat kebanyakan tokoh bahwa materi pendidikan akhlak
harus mencakup 3 hal yaitu:
1.
Akhlak terhadap allah swt, termasuk
juga iman kepada malaikat, rasul dan rukun iman yang lain. Dasar pendidikan akhlak bagi seorang
muslim adalah akidah yang benar terhadap
alam dan kehidupan, oleh karena itu jika seseorang berakidah dengan benar niscaya akhlaknya pun akan benar.[14] beberapa rukun iman tersebut
merupakan akidah yang dimaksudkan sebagai dasar pendidikan akhlak. Keterkaitan akidah dan akhlak juga diterangkan dalam al-qur’an:
إلاالذين عـهدتم من المشركين ثم لم ينقصوكم شيأ ولم يظهروا عليكم
احدا فأتموا إليهم عهدهم إلى مدتهم، ان الله يحب المتقين
“kecuali
orang-orang musyrikin yang kamu telah mengadakan perjanjian (dengan mereka) dan
mereka tidak mengurangi sesuatu pun (dari isi perjanjian)mu dan tidak (pula)
mereka membantu seseorang yang memusuhi kamu, maka terhadap mereka itu penuhilah
janjinya sampai batas waktunya. Sesungguhnya allah menyukai orang-orang yang bertakwa.(qs. 9:4)
2.
Akhlak terhadap sesama manusia,
mencakup akhlak terhadap dirinya sendiri dan orang tuanya, serta manusia-manusia yang lain. Di sini pendidikan akhlak sebagai landasan
terpenting dalam kehidupan sosial karena kehidupan sosial adalah fitrah manusia.
3.
Akhlak terhadap lingkungan, yakni
alam.
D.
Metode dan model penyampaian
Pendidikan akhlak merupakan manifestasi pendidikan nilai di
sekolah/pesantren. Sesuai dengan definisi akhlak, bahwa suatu perilaku bisa dikatakan
sebagai akhlak ketika sudah menjadi watak, maka hal ini membutuhkan suatu
proses yang panjang dan terus menerus. Penanaman ini harus terus menerus diberikan, ditawarkan dan
diulang-ulang agar terinternalisasi dan dapat diwujudkan dalam tindakan nyata dan konkret. Peristiwa dan
pengalaman hidup yang diolah, didalami dan dimaknai inilah yang akan
menjadikan seseorang berakhlak baik secara sejati dan hakiki. Maka ada
beberapa beberapa model dan cara bagaimana
pendidikan akhlak itu ditanamkan. Beberapa Model Tersebut Adalah:
1.
Model sebagai mata pelajaran
tersendiri pendidikan akhlak disampaikan sebagai mata pelajaran tersendiri seperti bidang mata pelajaran yang
lain. Dalam hal ini ustadz/ guru bidang studi budi pekerti harus membuat garis besar pedoman pengajaran (gbpp), satuan pelajaran (sp), rencana
pengajaran (rp), metodologi pengajaran, dan evaluasi pengajaran. Selain itu akhlak sebagai mata pelajaran
harus masuk pada jadwal yang
tersetruktur.
2.
Model terintegrasi dalam semua
bidang studi penanaman nilai dalam pendidikan akhlak juga dapat di sampaikan secara terintregasi dalam semua
bidang studi. Ustadz/ guru dapat memilih
nilai-nilai yang akan di tanamkan melalui beberapa pokok atau sub pokok bahasan yang berkaitan nilai-nilai
hidup. Dengan model seperti ini, semua ustadz/guru adalah pengajar akhlak tanpa
terkecuali.
3.
Model di luar pengajaran penanaman nilai-nilai hidup yang
membentuk akhlak juga dapat ditanamkan melalui kegiatan di luar pengajaran. Penanaman nilai
dengan model ini lebih mengutamakan
pengolahan dan penanaman nilai melalui suatu kegiatan untuk dibahas dan dikupas nilai-nilai hidupnya.
Keunggulan metode ini adalah anak mendapat nilai melalui pengalaman konkret. Pengalaman akan lebih tertanam
dibanding sekedar informasi.[15]
4.
Model gabungan. Model gabungan berarti menggunakan
gabungan antara model terintegrasi dan model di luar pelajaran. Penanaman nilai
dilakukan melalui pengakaran formal terintegrasi bersamaan dengan kegiatan di luar
pelajaran. Kemudian, beberapa metode penyampaian tersebut adalah:
1.
Metode demokratis. Metode demokratis menekankan
pencarian secara bebas dan penghayatan nilai-nilai hidup dengan langsung melibatkan anak
untuk menemukan nilai-nilai tersebut
dalam pendampingan dan pengarahan guru. Anak di beri kesempatan untuk memberikan tanggapan, pendapat, dan penilaian terhadap nilai-nilai yang
di temukan. Ustadz/ guru tidak bersikap sebagai pemberi informasi satu-satunya dalam menemukan nilai-nilai hidup
yang dihayatinya. Ustadz/ guru berperan
sebagai penjaga garis atau koridor dalam penemuan nilai hidup tersebut.
2.
Metode pencarian bersama metode ini menekankan pada
pencarian bersama yang melibatkan siswa dan guru. Pencarian bersama lebih berorentasi pada diskusi
atas soalsoal yang aktual dalam masyarakat, di mana proses ini di harapkan menumbuhkan sikap berpikir logis,
analitis, sistematis, argumentatif untuk dapat mengambil nilai-nilai hidup dari masalah yang diolah
bersama.
3.
Metode siswa aktif menekankan pada proses yang melibatkan anak sejak awal pembelajaran. Ustadz/
guru memberikan pokok bahasan dan anak dalam kelompok mencari dan mengembangkan proses selanjutnya. Anak
membuat pengamatan, pembahasan analisis
sampai pada proses penyimpulan atas kegiatan mereka. Metode ini ingin mendorong anak untuk mempunyai kreatifitas, ketelitian, kecintaan
terhadap ilmu pengetahuan, kerjasama, kejujuran dan daya juang.
4.
Metode keteladanan. Apa yang dilakukan oleh
ustadz/ guru dan orang tua akan ditiru
oleh anakanak. Tingkah laku orang muda dimulai dengan meniru, dan ini berlaku sejak anak masih kecil. Apa yang
dikatakan orang yang di lebih tua akan terekam dan dimunculkan kembali oleh anak. Anak belajar dari
lingkungan terdekat dan mempunyai intensitas rasional yang tingi. Apa yang
terjadi dan tertangkap oleh anak bisa jadi tanpa disaring akan langsung
dilakukan. Ustadz/ guru dapat menjadi tokoh idola dan panutan bagi anak.
Dengan keteladanan guru dapat membimbing
anak untuk membentuk sikap yang kokoh. Keselarasan antara kata dan tindakan ustadz- ustadz /
guru-guru akan amat berarti bagi seorang anak, demikian pula apabila terjadi ketidakcocokan
antara kata dan tindakan ustadz/ guru.
5.
Metode live in. Metode ini di maksudkan agar anak
mempunyai pengalaman hidup bersama orang lain langsung dalam situasi yang sangat berbeda dari kehidupan sehari-harinya. Dengan
pengalaman langsung anak dapat mengenal lingkungan hidup yang berbeda dalam cara berpikir,
tantangan, permasalahan, termasuk tentang nilai-nilai kehidupannya. Live
in tidak harus berhari-hari secara berturut-turut dilakukan, namun dapat juga
dilaksanakan secara periodik.
6.
Metode penjernihan nilai. Latar belakang sosial kehidupan,
pendidikan dan pengalaman dapat membawa perbedaan pemahaman dan penerapan nilai-nilai hidup.
Adanya berbagai pandangan hidup dalam
masyarakat membuat bingung seorang anak. Apabila kebingungan ini tidak dapat terungkap dengan baik
dan tidak mendapat pendampingan yang baik, ia akan mengalami pembelokan
nilai hidup. Oleh karena itu, dibutuhkan
proses penjernihan nilai dengan dialog afektif dalam bentuk sharing atau diskusi yang mendalam dan
intensif.[16]
E.
Problematika pendidikan akhlak
kontekstual
Kemerosotan moral di zaman modern rupanya cukup besar mendorong dunia pendidikan untuk memfokuskan
perhatiannya pada pendidikan akhlak. Kini telah muncul kesadaran bahwa prakarsa untuk melakukan
reformasi pendidikan akhlak harus menempatkan sekolah sebagai ujung
tombaknya. Terlebih dewasa ini, pendidikan akhlak dipandang sebagai tanggung
jawab semua pihak. Bisa dikatakan problem
utama kemerosotan akhlak adalah dekadensi moral dan ketaatan seseorang terhadap agama. Sebagai
contohnya adalah terlihat teladan para birokrat dan publik figur lain yang
semakin kurang. Nilai-nilai moral yang
mereka pertunjukkan di depan anak-anak sedemikian riskan dan vulgar diketahui anak-anak. Arus globalisasi sangat berpengaruh
pada pergeseran nilai-nilai akhlak, karena dunia menjadi tanpa pembatas ruang dan waktu. Seseorang
bisa berinteraksi dengan siapapun tanpa
ada yang mengontrol. Kepribadiannyalah yang bisa mengontrol dari sikap yang negatif. Akibat selanjutnya
adalah krisis ekonomi di indonesia yang membawa dampak pada tuntutan ekonomi keluarga, sehingga walaupun orang
tua mengetahui akan pentingnya penanaman akhlak, tetapi kurang dapat menerapkannya pada anak. Problematika pendidikan akhlak
tersebut menjangkiti pada semua lapisan, yakni, peran orang tua, peran sekolah, peran masyarakat
dalam membangun generasi yang bermoral,
serta peran pemerintah yang sampai saat ini baru berperan dalam dataran konsep. Maka dari itu, pendidikan
akhlak mempunyai beberapa tantangan dan
catatan penting untuk menuju pada pendidikan akhlak kontekstual. Diantara tantangan tersebut adalah:
arus globalisasi yang berkembang pesat,
pola hidup dan perilaku masyarakat yang telah bergeser sedemikian serempaknya, moral para pejabat yang
sudah amat melekat, kurikulum sekolah yang mengintegrasikan pendidikan akhlak
pada semua mata pelajaran, padahal tidak
semua guru bisa mengaplikasikannya.[17]
Catatan kritis tersebut adalah: pertama, lingkungan
masyarakat dan keluarga sangat berpengaruh bagi terlaksananya pendidikan akhlak
secara optimal. Kedua, praktek
pendidikan akhlak jangan hanya sebatas sopan santun yang bersifat dhohir seperti
etika makan, etika minum dan sebagainya. Ketiga, isi materi pendidikan akhlak harus
dicermati supaya jangan sampai kemudian membatasi kreativitas peserta didik. Keempat, sikap
pendidik juga harus sebagai teladan. Maka, diantara beberapa tantangan pendidikan akhlak dewasa ini adalah: pertama, arus
globalisasi dengan teknologinya yang berkembang pesat merupakan tantangan tersendiri di mana informasi, baik
positif maupun negatif dapat langsung diakses. Tanpa adanya bekal yang cukup
dalam penanaman agama (termasuk akhlak)
hal itu akan berdampak negatif jika tidak disaring dengan benar. Kedua, pola hidup dan perilaku yang
telah bergeser sedemikian serempaknya di tengah-tengah masayarakat. Ketiga,
krisis kepercayaan rakyat terhadap para
pejabat dan birokrat karena moral yang sudah amat melekat, seperti, koruptor, curang, tidak perduli pada
kesusahan rakyatnya. Keempat, kondisi ekonomi indonesia.
F.
Pendidikan akhlak kontekstual
Melihat problematika di atas, maka pendidikan akhlak dikatakan kontekstual ketika bisa mnejawab
tantangan tersebut. Tentunya dengan tidak menafikan maksud hakikat pendidikan akhlak. Sehingga kontekstual
tersebut bisa diukur dengan beberapa
pertimbangan di bawah ini.
Pertama, sesuai dengan hakikat dan tujuan
pendidikan akhlak. Menurut undang-undang ri tentang sistem pendidikan nasional,
pendidikan akhlak yang terkandung dalam pendidikan agama dimaksudkan untuk membentuk peserta didik menjadi
manusia yang beriman dan bertakwa kepada tuhan yang maha esa dan berakhlak mulia.[18] yakni
terwujudnya insan kamil. Sedangkan yang dimaksud insan kamil adalah
individu-individu manusia, bukan kelompok, dan mampu menjangkau segenap hubungan dengan tuhan, lingkungan atau alam
sekeliling dan dengan manusia lain dalam suatu kehidupan sosial yang konstruktif dan dengan dirinya
sendiri.
Kedua, pendidikan akhlak yang bisa
menjawab tantangan zaman sebagaimana problematika pendidikan akhlak di atas. Tujuan akhir
pendidikan akhlak di era global adalah menyediakan sdm (sumber daya manusia)
yang memiliki mental untuk tidak hanyut
diera globalisasi. Melihat problematika di atas, maka pendidikan akhlak harus lebih diarahkan pada aspek sosial.
Sehingga pendidikan akhlak tidak terlalu disibukkan dengan urusan formalitas sopan santun belaka, tapi juga
perhatian terhadap problem sosial. Sedangkan pendidikan akhlak yang
berorientasi pada penegakan moral harus mencakup beberapa komponen penting,
diantaranya yaitu:
1.
Pengembangan nilai-nilai demokratis
2.
Pengembangan kehidupan kewargaan
dan nilai-nilai komunitas
3.
Pengembangan pemerintahan yang
bersih
4.
Pembentukan identitas nasional
5.
Pengembangan ikatan sosial dan
kebhinnekaan
6.
Pengembangan kehidupan pribadi.[19]
Ketiga, berkaitan dengan terciptanya insan kamil dan kebutuhan pendidikan
akhlak, maka mata pelajaran akhlak harus dirancang dengan pertimbangan bisa
memberi pengaruh pada tingkat perkembangan anak, khususnya perkembangan moral.
Walaupun fokus pendidikan akhlak lebih khusus pada perkembangan moral anak,
namun perlu dicermati lebih dalam bahwa perkembangan berbagai aspek dalam diri
anak itu saling berkaitan, sebagai contoh perkembangan fisik mempengaruhi
perkembangan psikis, bertambahnya fungsi otak memungkinkan anak dapat tertawa,
berjalan dan sebagainya.[20]
hal ini sama dengan apa yang dimaksud kecerdesan menurut john dewey, yaitu
sesuatu yang menggambarkan tingkah laku manusia secara kompleks, meliputi
hal-hal yang berkaitan dengan usaha penyelesaian suatu kesulitan permasalahan
dengan situasi problematika hidup.[21]
berarti perkembangan kecerdasan otak, emosi dan spiritual itu saling berkaitan.
Terdapat kepribadian terpadu antara akal pikiran, perasaan, moral dan keterampilan
(cipta, rasa dan karsa) jasmani maupun rohani. Begitu juga mata pelajaran
akhlak, materi-materi akhlak seperti sifatsifat terpuji dan tercela juga
berperan dalam membentuk mental anak. Sebagai contoh: salah satu akhlak kepada
allah mengenal sifat-sifat allah seperti alkhallaq, al-khaliq dan
al-badi’, materi ini bertujuan pula untuk menumbuhkan mental kreatif
peserta didik karena keterangan dari sifat al-khaliq adalah kreatifitas
(kesanggupan mencipta atau berdaya cipta) sebagai salah satu sifat allah
merupakan potensi yang ada dalam diri manusia. Contoh lagi, akhlak terpuji
seperti toleransi, tanggung jawab dan peduli terhadap sesama dirasa dapat
memberi pengaruh terhadap perkembangan emosi anak. Maka kurikulum pendidikan
akhlak perlu kiranya dirancang sesuai standar pemenuhan kebutuhan perkembangan
anak. Supaya pendidikan akhlak itu dapat mengena pada peserta didik, maka
dibutuhkan konsep pendidikan akhlak yang tepat, karena pendidikan akhlak tidak
seperti pendidikan lain yang bisa secara langsung dimonitoring pendidik.
Sebelum anak didik berfikir logis dan memahami hal-hal yang abstrak, serta
belum sanggup menentukan mana yang baik dan mana yang buruk, maka ada berbagai
metode yang dapat ditetapkan dalam pendidikan khususnya pada aspek khuluqiyah.
Menumbuhkembangkan pemahaman pendidikan akhlak serta mencari inovasi baru menuju
tercapainya keberhasilan dalam menanamkan pendidikan akhlak. Mengenai aspek kwowledge,
penyusunan materi pendidikan akhlak menjadi urgen. Karena materi pendidikan
akhlak mempunyai peran penting bagi tercapainya insan kamil. Menurut hemat
penulis, minimal ada dua hal yang harus menjadi pertimbangan penyusunan materi
pendidikan akhlak terlepas dari cara penyampaiannya, yaitu (1) dari sisi
kemasan bahasa, (2) dari sisi isi materi. Standar isi yang dimaksud adalah
memenuhi kebutuhan knowledge dan berpengaruh bagi perkembangan anak.
Dalam perkembangan individu dan karakteristik siswa memang memerlukan perlakuan
yang berbeda-beda, karena ini merupakan bagian dari pengakuan eksistensi individu,
oleh karenanya mutu pengajaran harus diarahkan pada pengaruh kepada siswa
secara individual, namun secara umum materi yang dibutuhkan antara siswa satu dengan
lainnya bisa disamakan tergantung jenjang usianya. Dari aspek isi materi banyak
pendapat mengenai idealitas isi materi pendidikan akhlak berkaitan dengan
kebutuhan moral anak. Hal ini bisa dijadikan pertimbangan untuk mengukur
relevansi materi bagi perkembangan anak. Yang demikian adalah sebagai
perwujudan insan kamil. Dari tulisan e. Shapiro lawrence dalam bukunya, mengajarkan
emotional intelligence pada anak, bisa disimpulkan bahwa kebutuhan materi
moral anak harus mengandung unsur-unsur:
1.
Perbedaan antara perilaku yang
,baik, dan perilaku yang buruk.
2.
Pengembangan kepedulian, perhatian
dan rasa tanggung jawab atas kesejahteraan dan hak-hak orang lain.
Dari aspek perkembangan
akhlak, anak usia 7-12 tahun konsep moralnya tidak lagi sesempit pada masa sebelumnya.
Diantara alasan pelanggaran-pelanggaran
yang dilakukan anak adalah karena anak ingin menegakkan kemandiriaanya atau
bisa juga karena anak sering menganggap peraturan tidak adil.[22]
maka penyusunan materi pada tahap awal, anak diperkenalkan pada penalarannya
tahap demi tahap. Nilai-nilai hidup yang diperkenalkan juga harus merupakan
realitas yang ada dalam masyarakat kita, karena sesuai dengan karakteristik perkembangan
anak, masa ini adalah masa berakhirnya daya khayal dan mulai munculnya berpikir
konkret.[23] pada tahap ini anak dalam
masa tamyiz, yakni kemampuan awal membedakan baik dan buruk serta benar
dan salah melalui penalarannya. Selanjutnya pada masa amrad , yakni usia
10-15 tahun anak memerlukan pengembangan-pengembangan potensinya untuk mencapai
kedewasaan dan bertanggung jawab secara penuh.[24]
maka perlu menyusun pendidikan akhlak sesuai kebutuhan moral pada tahap umur
anak. Karena masing-masing jenjang umur mempunyai tugas perkembangan dan karakteristik
yang berbeda-beda. Yang pasti harus bersifat sederhana (dasar) dan praktis yang
dapat dilakukan oleh anak dan didasarkan pada kompetensi dasar anak. Di bawah
ini adalah matriks materi dan metode pendidikan akhlak yang kontekstual dan
sesuai tingkat perkembangan emosional,[25]
ini sebagai acuan menyusun materi pendidikan akhlak kaitannya dengan
perkembangan emosional. Mengenai aspek religiusitas atau akidah tinggal
disesuaikan.
Tabel
materi dan metode pendidikan akhlak yang kontekstual dan tingkat perkembangan
emosionalnya
Tingkat perkembangan manusia
|
Lingkup hidup
|
Tingkat prekembangan emosi-intelek
|
Materi/nilai yang di didikkan
|
Metode penyampaiyan dan pembiasaan
|
Balita
|
Keluarga
|
Konformis
|
Nilai-nilai (kelakuan, kerajinan,kerapian dan
lain-lain) melekat pada kelakuan ibu, ayah, dan saudara
|
Ganjaran dan hukuman
|
Anak
|
Keluarga, masyarakat lokal, lingkungan sekolah/tempat
belajar
|
Konformis kritis
|
Nilai-nilai, (kelakuan, kerajinan, kerapian,dan
lain-lain) melekat pada idola dan tokoh ideal melalui legenda, mitos dan
pahlawan
|
-teladan nyata – ganjaran dan hukuman -intruksi
|
Remaja
|
Keluarga masyarakat lokal lingkungan sekolah/belajar
masyarakat nasional
|
Kritis
Oportunis
Eksperimen nilai
|
Nilai-nilai (kelakuan kerajinan kerapian dan
lain-lain) dilihat dari kasus aktual,lingkup lokal dan nasional.
|
Keteladanan nyata orang tua ,guru dan pemimpin.
-diskusi
|
Pemuda
|
Keluarga
Masyarakat lokal
Masyarakat ragional
Masyarakat internasional.
|
-kritis reflektif -kritis emosional
|
Nilai-nilai (kelakuan kerajinan kerapian dan
lain-lain) dilihat dari : kontekstual aktual
Kasus-kasus aktual politik dan ekonomi dalam lingkup
nasional dan internasional.
|
Indifidualisasi
Diskusi terbuka
Komperatif relektif.
|
G.
Kontekstualisasi kitab kuning
akhlak terhadap pendidikan akhlak kontekstual
Kitab kuning adalah kitab klasik berbahasa arab yang berisi
tentang ilmu agama. Kitab klasik yang
dipelajari di pesantren di indonesia merupakan khazanah keilmuan islam yang harus dilestarikan. Kitab klasik ini
dalam istilah pesantren sering disebut
kitab kuning. Pesantren Sangat Menghormati Dan Menghargai Kitab Kuning Karena Kitab Klasik Ini merupakan
karya agung para ulama sholeh sejak dari periode tabi’in. Melestarikan kitab kuning berarti
menjaga mata rantai keilmuan islam. Memutuskan mata rantai ini, sama artinya membuang sebagian
sejarah intelektual umat. Membaca karya
ulama berarti menyerap keilmuan para pewaris nabi. Secara umum, keberadaan kitab-kitab ini sesungguhnya merupakan hasil karya ilmiah para
ulama di masa lalu. Kitab kuning merupakan hasil kerja keras para sarjana islam klasik yang menyimpan segudang jawaban
atas permasalahan-permasalahan masa lalu. Sementara itu, di sisi lain kita adalah generasi yang hidup
di ruang dan kondisi yang berbeda serta menghadapi peliknya problematika
modern. Upaya yang dilakukan para pemikir
bebas dalam merespon pernak-pernik modernitas sembari meninggalkan khazanah tradisional islam tak
lain hanyalah kecongkakan intelektual.
Namun serta merta menjadikan kitab kuning sebagai pedoman yang sepenuhnya laku adalah tindakan yang kurang bijaksana, karena hanya
al-qur’an dan hadits-lah yang bersifat universal.
Untuk memahaminya memerlukan keterampilan tertentu dan tidak cukup hanya dengan menguasai bahasa
arab saja. Sehingga banyak ditemukan orang yang pandai berbahasa arab namun masih kesulitan menjelaskan kandungan kitab kuning
secara persis. Sebaliknya tidak sedikit ulama yang menguasai kitab kuning
tetapi tidak bisa berbahasa arab. Sebenarnya kesulitan memahami kitab kuning yang keseluruhan isinya
ditulis dengan bahasa arab bisa saja dijembatani dengan penterjemahan. Akan tetapi masih banyak kalangan umat islam di indonesia merasa
keberatan dengan solusi praktis tersebut. Selain mahalnya biaya teknis penterjemahan, bahasa arab adalah
bahasa kebudayaan dan keilmuan islam. Dimana pun, kebudayaan dan keilmuan tidak pernah dapat
dialih-bahasakan secara utuh. Maka muncullah metode utawi iki iku yang ternyata
sangat efisien dan efektif untuk
penguasaan semantik maupun gramatika bahasa arab.
Metode ini pada satu sisi memang telah berhasil dalam mengantarkan dan menyelesaikan kesenjangan
bahasa. Sebagaimana kita maklumi, bahasa arab yang digunakan dalam kitab kuning, kebanyakan tidak
menggunakan tanda baca seperti titik, koma, tanda tanya dan tanda baca
lainnya. Subyek dan predikat sering dipisahkan dengan jumlah mu' taridlah yang
cukup panjang dengan tanda-tanda
tertentu. Keadaan ini sudah tentu memerlukan kecermatan dan keterampilan khusus agar pembaca mampu memahami makna yang terkandung di dalamnya. Akan tetapi pada sisi lain metode
utawi iki iku cenderung memancing para santri (pelajar) untuk memfokuskan diri
pada aspek redaksional yang berujung pada terbentuknya pola pikir tekstual
dalam memahami kitab kuning. Para santri yang belajar dengan
metode ini cenderung menarik problem nyata di sekitarnya untuk disikapi sesuai dengan teks
kitab kuning. Padahal, kesenjangan waktu antara penulisan kitab kuning dengan
saat ini, sulit untuk bisa diharapkan bahwa setiap kasus dapat ditemukan
rumusan persisnya dalam kitab kuning.
Maka, pola ini harus diimbangi dengan
rota-rota pemahaman kontekstual, karena bukan mustahil jika kitab kuning akan
menjadi harta pusaka yang hanya bisa dimiliki tetapi tidak banyak memberikan
manfaat bagi solusi permasalahan aktual. Dan bukan berarti pula metode pendidikan kitab kuning harus ditinggalkan.
Karya ulama’ zaman dulu mestilah dipahami secara kontekstual, karena kitab kuning dengan segala muatannya
bukanlah kebenaran mutlak.[26] begitu juga kitab kuning yang
fokus pada pembahasan akhlak. Karena pendidikan akhlak terkait dengan nilai,
maka kita bisa mengkontekskan subtansi yang ada dalam suatu ajaran, kemudian
diaplikasikan sesuai konteks saat ini. Sehingga salah besar ketika
pendidikan akhlak itu dipahami secara sempit hanya pada sopan santun saja. Yang dibutuhkan adalah kemauan untuk membuka diri terhadap berbagai
disiplin ilmu (eksak maupun sosial) di luar apa yang selama ini dianggap
sebagai "ilmu agama". Misalnya, terkait dengan kebutuhan
moral saat ini terkait dengan problem
sosial, yaitu dengan mengintegrasikan pendidikan akhlak dengan perkembangan psikologi anak, karena
pendidikan akhlak juga berkaitan dengan perkembangan mental anak. Hal ini
perlu dilakukan agar pemahaman terhadap
kitab kuning benar-benar sesuai dengan konteksnya, baik konteks masa lalu saat kitab kuning itu di tulis
maupun konteks permasalahan sekarang.
Pengintegrasian kitab kuning dengan berbagai referensi dan ilmu-ilmu lainnya, jika dilakukan dengan
serius dan tepat, justru akan menciptakan suatu sinergi ilmiah yang akan
berguna untuk memecahkan permasalahan sosial kontemporer tetapi tetap tidak
keluar dari akar sejarah tradisi islam masa lalu.[27] membiasakan untuk bersikap
kritis dan teliti terhadap objek kajian.
Karena pada dasarnya budaya kritis adalah hal
yang lumrah dalam dunia intelektual, melakukan analisa yang mendalam, pengkaji
menghubungkan antara dirinya dengan obyek kajian. Langkah ini diperlukan untuk mereaktualisasi dan mengukur relevansi kitab kuning dengan konteks kekinian. Pengkaji dalam hal ini
dituntut untuk menjadikan kitab kuning sebagai sesuatu yang cocok untuk diterapkan, sesuai dengan kondisi
saat ini dan bersifat ke-indonesiaan.
Senantiasa berpegang pada prinsip bahwa syariat islam diciptakan demi tegaknya kemaslahatan sosial pada masa kini
dan masa depan.
Problematika kitab kuning saat ini diharapkan pada upaya
aktualisasi dan kontekstualisasi. Kelemahan dunia pesantren sekarang ini bukan
terletak pada penyerapan dan pemahamannya
terhadap kitab kuning, tapi pada aktualisasi dan kontekstualisasi. Jika civitas pesantren mampu mengaktualisasikan kitab kuning ini
maka pesantren akan mampu menghadapi berbagai problem dan tantangan bangsa.[28]
[1] Tim Penyusun Kamus Pembinaan Dan Pengembangan Bahasa
Indonesia, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1999),
Cet. Ke-10, Hlm. 232.
[2] Tim Redaksi Fokus Media, Undang-Undang Sistem Pendidikan
Nasional No.20 Tahun 2003, (Bandung: Fokus Media, 2003), Hlm. 3.
[3] Suparlan Suhartono, Wawasan Pendidikan, Sebuah Pengantar
Pendidikan, (Jogjakarta: Arruz Media, 2008), Hlm. 49.
[4] Depag RI, Ensiklopedi Islam I, (Jakarta: Depag Ri,
1993), Hlm. 132.
[5] Al-Gazhali, Ihya’ulumudin, Jilid Iii, (Libanon: Daarul
Fikr, 1995), Hlm. 57.
[6] Ali Abdul Halim Mahmud, Akhlak Mulia, Penerjemah
Abdul Hayyie Alkattani, (Jakarta: Gema Insani Press, 2004), Hlm. 173.
[7] Sudarwan Danim, Agenda Pembaharuan Sistem Pendidikan,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003), Hlm. 65.
[8] Iman Abdul Mukmin Saadatun, Meneladani Akhlak Nabi, Membangun
Kepribadian Muslim, Penerjemah Dadang Sobar Ali, (Bandung: Pt. Rosda Karya,
2006), Hlm. 1.
[9] Sudarwan Danim, Op.Cit., Hlm. 63.
[10] Jalaludin Abdurrahman, Jami’ As-Shaghir, Juz I
(Indonesia: Dar Al-Ihya’, T.T.), Hlm. 103.
[11] Ali Abdul Halim Mahmud, Op.Cit., Hlm. 11.
[12] Nurul Zuriah, Pendidikan Moral Dan Budi Pekerti Dalam
Perspektif Perubahan,( Jakarta: PT Bumi Aksara, 2007), Hlm. 67.
[13] ibid., Hlm. 173.
[14] ibid., Ali Abdul Halim
Mahmud, Hlm. 84.
[15] Paul Suparno Dkk, Pendidikan Budi Pekerti Di Sekolah,
Suatu Tinjauan Umum, (Yogyakarta: Kanisius, 2002), Hlm. 42-44.
[16] ibid., Hlm.45-52.
[17] Nurul Zuriah, Op.Cit., Hlm. 166.
[18] Tim Redaksi Fokusmedia, Op.Cit., Hlm. 60.
[19] Suyanto, Dinamika Pendidikan Nasional, Dalam Percaturan
Dunia Global, (Jakarta: Psap Muhammadiyah, 2006), Hlm. 145.
[20] f.J. Monks. A.M.P. Knoers, Siti Rahayu Haditomo, Psikologi
Perkembangan, Cet.14 (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2002), Hlm.
2.
[21] James Gounlod, John Deweys, Philosophy Of Value, (New York: Humanity
Press, 1972), Hlm. 278.
[22] Elisabeth B.Hurlock, Psikologi Perkembangan, Suatu
Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan, Alih Bahasa: Istiwidayanti Dan
Soedjarwo, (Jakarta: Erlangga, 2000), Edisi Ke-5, Hlm. 163.
[23] Muallifah, Psycho Islamic Smart Parenting,
(Jogjakarta: Diva Press, 2009), Hlm. 129.
[24] Mohammad Fauzil Adim, Mendidik Anak Menuju Taklif,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998), Hlm. 16.
[25] Nurul Zuriah, Op.Cit.,
Hlm. 178.
[26] Martin Van Bruinessen, Kitab Kuning, Pesantren Dan
Tarekat: Tradisi-Tradisi Islam Di Indonesia, (Bandung; Mizan, 1995), Hlm.
173.
[27] a. Mustofa Bisri, kontekstualisasi Kitab
Kuning Http://Www.Gusmus.Net/Page.Php?Mod=Dinamis&Sub=2&Id=28314 Maret
2006.
[28] a. Mustofa Bisri, Kitab Kuning,
Http://Irdy74.Multiply.Com/Journal/Item/108.
BAB III
GAMBARAN UMUM KITAB WASHOYA
AL-ABAA’ LIL ABNAA’
A.
Biografi Syaikh Muhammad Syakir
Beliau lahir di jurja, mesir pada
pertengahan syawal tahun 1282 h bertepatan pada tahun 1863 m. Dan wafat pada tahun 1939 m. Ayahnya bernama ahmad bin abdil qadir bin
abdul warits.[1]
keluarga syaikh muhammad syakir telah dikenal sebagai keluarga yang paling mulia
dan yang paling dermawan di kota jurja.[2] beliau
termasuk min ba’dhil muhaddistin atau ahli hadis, memang bukan karena periwayatannya terhadap hadis sebagaimana imam bukhori dan
lainnya, tapi karena bidang keilmuan yang digelutinya. Nama laqob beliau adalah syaikh muhammad
syakir al-iskandariyah.
34
|
Nama ahmad
yang dimiliki ayahnya juga digunakan sebagai nama anaknya, yang juga bernama al-'allamah
syaikh ahmad muhammad syakir abil asybal seorang muhaddits besar
yang wafat pada tahun 1958 m. Penggunaan nama anak yang disamakan dengan
kakeknya biasa dilakukan oleh ulama-ulama zaman dahulu maupun kyai-kyai di
indonesia. Dari syaikh ahmad muhammad syakir pula banyak ditemukan kelengkapan
biografi syaikh muhammad syakir, diantaraya dalam syarahnya kitab alfiyah
al- hadis karya imam as-suyuti. Hal ini karena beliau tidak banyak meninggalkan tulisan. Berbeda
dengan anaknya yang dikenal sebagai ulama yang produktif menulis, anaknya pula yang telah menulis suatu
risalah tentang perjalanan hidup ayahnya.
Beliau dikenal sebagai seorang
pembaharu universitas al-azhar. Yakni, beliau adalah mantan wakil rektor universitas al-azhar.[5] karirnya
dimulai dari menghafal al-qur'an dan belajar dasar-dasar studinya di jurja, mesir,
kemudian beliau rihlah (bepergian untuk menuntut ilmu) ke universitas al-azhar
dan beliau belajar dari guru-guru besar pada masa itu, kemudian dia dipercayai
untuk memberikan fatwa pada tahun 1307 h. Dan kemudian beliau menduduki jabatan
sebagai ketua mahkamah mudiniyyah al-qulyubiyyah, dan tinggal di sana
selama tujuh tahun sampai beliau dipilih menjadi qadhi (hakim) untuk
negeri sudan pada tahun 1317 h.[6] dan dia
adalah orang pertama yang menduduki jabatan ini, dan orang yang pertama yang menetapkan hukum-hukum hakim yang syar'i di sudan. Kemudian pada tahun 1322 h. Beliau
ditunjuk sebagai guru bagi para ulama-ulama iskandariyyah. Hal ini bagi orang muslimin memunculkan orang-orang yang menunjukkan umat
supaya dapat mengembalikan kejayaan islam di seantero dunia, kemudian beliau ditunjuk sebagai wakil
bagi para guru al-azhar, kemudian beliau menggunakan kesempatan pendirian jam'iyyah tasyni'iyyah pada tahun 1913 m. Kemudian beliau berusaha untuk menjadi anggota organisasi
tersebut, sebagai pilihannya dari sisi pemerintah mesir,[7]
dan dengan itulah beliau meninggalkan jabatannya, serta enggan untuk kembali kepada satu bagianpun
dari jabatan-jabatan tersebut, dan beliau tidak lagi berhasrat setelah itu kepada sesuatu yang memikat
dirinya, bahkan beliau lebih mengutamakan untuk hidup dalam keadaaan pikiran,
amalan, hati dan ilmu yang bebas lepas.
Sedangkan mengenai karya beliau,
banyak literatur baik dalam ensiklopedi maupun situs internet yang mengatakan syaikh muhammad syakir sebagai penulis yang
produktif. Karya ilmiah tersebut berupa makalah dan tulisan singkat dari buah
pemikiran beliau. Namun karya beliau yang berupa buku, sebatas penelusuran peneliti baru kitab washoya ini.
B.
Gambaran kitab washoya al-abaa’
lil abnaa’
Kitab washoya al-abaa’ lil
abnaa’ adalah kitab yang berisi wasiat seorang guru terhadap muridnya tentang akhlak. Dalam mengungkapkan nasihat-nasihatnya tentang akhlak
syaikh muhammad syakir menempatkan dirinya sebagai guru yang sedang menasehati muridnya. Dimana
relasi guru dan murid di sini diumpamakan sebagaimana orang tua dan anak
kandung. Bisa diumpamakan demikian
karena orangtua kandung pasti mengharapkan kebaikan pada anaknya, maka dari itu
seorang guru yang baik adalah guru yang mengharapkan kebaikan pada anak
didiknya, menyayangi sebagaimana anak kandungnya sendiri, salah satunya lewat mau’idhoh
hasanah dan mendoakan kebaikan.
Kitab ini selesai dikarang oleh syaikh
muhammad syakir pada bulan dzul qo’dah tahun 1326 h.[8] 1907 m.
Kitab ini sangat familiar dalam kurikulum pendidikan non formal seperti madarasah diniyah dan
pesantren, namun tidak familiar dalam kurikulum pendidikan formal. Dalam
pendidikan madrasah diniyah dan pesantren, washoya al-abaa’ lil abnaa’ sangat
familiar sebagai mata pelajaran khusus
akhlak dan secara turun temurun menjadi kurikulum pendidikan akhlak dari satu generasi ke generasi
berikutnya. Sehingga terkesan menjadi kurikulum warisan. Sehingga memunculkan
beberapa pertanyaan apakah kitab ini relevan bagi tingkat perkembangan anak,
apakah materi yang terkandung di dalamnya sudah mencakup segala aspek kebutuhan
perkembangan anak, karena hakikat akhlak adalah watak atau karakter, sehingga
harus bisa memberi pengaruh pada tingkat perkembangan anak. Tidak hanya
memunculkan pertanyaanpertanyaan di atas, namun juga memunculkan pernyataan
mungkin subtansi materi akhlak di dalam kitab washoya sudah terkandung
dalam kurikulum pendidikan nasional.
Kitab ini di kalangan pesantren
sering disebut sebagai kitab kuning, yaitu salah satu kitab klasik berbahasa
arab. Selama ini fenomena penggunaan kitab washoya di madrasah diniyah dan pondok pesantren
belum memunculkan jawaban bagaimana
relevansi kitab ini dalam memenuhi kebutuhan pendidikan akhlak kontekstual karena tidak ada
penjabaran tujuan instruksional dalam kurikulum, selain itu digunakannya washoya sering mengandung motif kurikulum warisan.
Hal ini mengakibatkan kurang terkuaknya signifikansi penggunaan kitab ini. Berisi tentang wasiyat-wasiyat
seorang guru terhadap muridnya tentang akhlak, kitab washoya mengemas pendidikan akhlak
dalam bentuk bab per bab sebanyak 20 bab, dengan disertai uraian konsep dari
tema yang dibicarakan.
Layaknya dalam
kitab-kitab kuning lainnya, pengarang tidak mencantumkan biografi penulis,
tahun terbit maupun hak cita penerbit, sebagaimana layaknya buku-buku ilmiah
lain. Mereka menyampaikan suatu karya lebih didorong oleh keinginan untuk
menyampaikan sesuatu yang diketahuinya kepada masyarakat, mereka merasa
berkewajiban untuk menyampaikan ilmu yang dimilikinya. Mereka berharap apa yang
ditulis itu dapat menjadi tuntutan atau suri tauladan bagi masyarakat.[9] sehingga
hak terbit suatu karya tidak dimonopoli oleh satu penerbit, tapi bisa
dimanfaatkan oleh semua kalangan. Maka untuk
melengkapi data tentang penulis, peneliti tidak hanya melalui literatur saja, namun juga dari majelis ta’lim
dan wawancara.
C.
Nilai-nilai pendidikan akhlak dalam
kitab washoya al-abaa’ lil abnaa’
Sebagai kitab yang berisi tentang
wasiat-wasiat akhlak, washoya al- abaa’ lil abnaa’ sudah pasti mencakup pula beberapa
nilai pendidikan akhlak. Nilai pendidikan akhlak dalam kitab ini dimulai dengan relasi guru
dan murid yang diumpamakan sebagaimana orangtua dan anak kandung. Guru
adalah orang yang mengharapkan kebaikan
bagi muridnya. Seorang guru bagi muridnya adalah orang yang berperan sebagai penasehat, pendidik,
pembina rohani, dan suri tauladan. Namun
pengawasan guru tidak bisa dijadikan sandaran utama, karena pengawasan diri sendiri itu lebih utama. Untuk mensukseskan tugas-tugas guru
tersebut, maka dibutuhkan kerjasama dari murid. Berarti, seorang murid mempunyai beberapa
kewajiban, yaitu menjalankan akhlaqul karimah yang diperintahkan guru
serta mencontohnya. Syaikh muhammad
syakir berpendapat, jika seseorang tidak melaksanakan nasehat guru ketika sendirian, kecil kemungkinan dia
akan melaksanakannya ketika bersama
teman-temanya.
Harapan baik seorang guru terhadap
muridnya di sini lebih ditekankan pada kebaikan akhlak. Beliau memberikan
perhatiannya ada betapa pentingnya akhlaqul karimah.
Akhlak yang baik adalah perhiasan setiap orang bagi dirinya, teman-teman, keluarga dan masyarakat, karena dengan
berakhlak baik akan dihormati dan dicintai setiap orang. Perumpamaan dari
hal ini adalah, jika ilmu pengetahuan tidak
disertai dengan akhlak mulia, maka ilmu pengetahuan itu lebih berbahaya daripada kebodohan. Karena orang
bodoh medapatkan dispensasi sebab
kebodohannya, dan tidak demikian dengan orang alim.
Selanjutnya nilai-nilai pendidikan
akhlak tersebut terangkum dalam beberapa wasiat akhlak, di antaranya adalah:
1.
Bertakwa kepada allah
Sebelum menyampaikan nasihat untuk bertakwa, terlebih dahulu beliau menyampaikan bahwa allah
maha melihat segala sesuatu dalam keadaan apapun, bahkan apa yang ada dalam hati sekalipun. Karena
segala kenikmatan yang diberikan allah
pada kita, maka sebagai ungkapan rasa syukur kita adalah dengan bertakwa kepada-nya. Yaitu menjalankan perintah-nya dan menjauhi
larangan-nya. Perintah bertakwa diumpamakan ketika seorang ayah mengetahui anaknya melakukan
hal-hal yang dilarangnya, maka si anak
menjadi takut akan diberi hukuman oleh ayahnya.[10] selanjutnya, disampaikanlah
perintah untuk bertakwa. Sebagaimana beliau menyampaikan hal terkait takwa, yaitu:[11]
يَا بُنَيَ اِيَّاكَ اَنْ تَظّنُ ان تقوالله هى
الصلاة والصيام ونحوهما من العبدات فقط ان تقوى الله تدخل فى كل شئ
“hai
anakku sayang, janganlah kamu mengira kalau takwa kepada allah adalah solat,
puasa atau ibadah-ibadah saja, tapi takwa itu meliputi segala hal”.
Yang dimaksud bertakwa kepada allah bukan hanya ibadah kepada
allah, namun juga hablun minal ‘alam (berbuat baik kepada makhluk allah
dan hubungan dengan sesama manusia). Takwa itu memang berat, maka caranya
adalah dengan melalui latihan hingga akhirnya menjadi kebiasaan.
2.
Kewajiban terhadap allah dan
rasulullah
Bertakwa kepada allah adalah bagian dari hak-hak allah. Dalam wasiat ini, alasan manusia bertakwa
dan memenuhi hak-hak allah tidaklah berbeda. Namun pada term ini lebih luas diuraikan betapa allah mempunyai hak-nya yang tidak
terhitung dan harus kita penuhi. Kenikmatan yang diberikan allah baik lahir maupun batin sangat berlimpah, yang paling terlihat
adalah awal kejadian manusia yang hanya dari setetes air mani bisa menjadi makhluk yang paling sempurna.
Belajar dari ini, maka syaikh muhammad
syakir berpesan supaya kita berkeyakinan bahwa kebaikan adalah apa yang allah pilihkan bagi
kita, bukan yang baik menurut kita.
Jangan sampai kita terhalang mentaati-nya karena ketaatan kita pada makhluk.[12] di sinilah kemudian letak
perbedaan akal dan nafsu. Termasuk nikmat allah selanjutnya adalah diutusnya
para rasul, yakni untuk memberikan bimbingan dan petunjuk kepada manusia pada sesuatu
yang baik bagi kehidupan manusia. Dan allah mensyariatkan manusia untuk takwa pula kepada
rasul. Perintah allah ini sudah dinash dalam al-qur’an surat an-nisa’ ayat 59, dan dalam beberapa hadis bahwa taat kepada rasul berarti
taat pula kepada allah. Hal ini karena segala perintah dan larangannya berdasarkan wahyu allah. Sama
dengan golongan sunni, syaikh muhammad
syakir meyakini bahwa rasul yang terakhir adalah nabi muhammad saw. Bin abdullah bin abdul muttalib.[13]
3.
Kewajiban kepada orang tua[14]
يا بني: مهما تكبد ت من المشقات فى خدمة أ بيك وأمك فإن حقوقهما
عليك فوق ذلك أضعافا مضعفة
Artinya:
“hai anakku sayang, jika kamu merasa berat dalam mengabdi kepada ayah dan
ibumu, sesungguhnya kewajibanmu kepada keduanya itu lebih dari itu dengan
berlipat ganda.”
Seakan mengetahui psikologi seseorang jika lagi-lagi dibebani kewajiban,
syaikh muhammad syakir lebih dulu mengungkapkan sebuah teguran untuk jangan
merasa berat untuk mengabdi kepada ayah dan ibu. Sebagai bahan renungannya
adalah pengorbanan dan keikhlasan kedua orang tua kita. Keduanya memperhatikan
kesehatan, makanan, minuman dan kehidupan kita siang-malam hingga dewasa,
bahkan doa yang keduanya panjatkan adalah harapan yang tinggi, yakni harapan
yang jauh di atas doa untuk dirinya sendiri. Maka sudah menjadi kewajiban kita untuk
berbakti kepadanya. Jangan membuatnya murka, karena ridho allah adalah ridho
kedua orang tua. Seorang gurupun mempunyai tugas untuk mengajarkan hal ini pada
muridnya.[15]
4.
Kewajiban terhadap teman
Sebagai konsekuensi logis dari hidup sosial, menjadi pelajar
berarti mempunyai teman belajar, mereka
adalah sahabat-sahabat dan teman pergaulan, maka seorang pelajar mempunyai kewajiban beradab
terhadap sesama temannya. Diantara
kewajibannya yaitu tidak menyakiti dan tidak merusak pergaulan yang sudah terjalin. Secara spesifik syaikh
muhammad syakir menguraikan adab-adab tersebut, yaitu: bila sedang duduk jangan
menyempitkan tempat duduk temannya atau berikanlah tempat duduk yang luas agar
bisa duduk dengan leluasa, karena mendesak tempat duduk teman bisa menimbulkan kemarahan
dan akibat-akibat yang lain. Menghormati temannya yang belum bisa dalam memahami
pelajaran. Barang kali dengan mendengarkan pemahaman ulang, kita akan mendapatkan faedah yang belum diketahui sebelumnya.
Jangan segan-segan memberikan bantuan jika dimintai pertolongan, serta jangan
menunjukkan bahwa memberi bantuan berarti telah berjasa. Jika kehidupan sehari-hari kita bersama dengan
teman atau di asrama itu lebih utama salat berjamaah, maka jagalah
ketentraman bersama, jangan mengagetkan dengan berdiskusi ketika waktunya beristirahat, karena kita sama-sama
membutuhkan ketenangan, jika sudah waktunya terjaga maka bangunkanlah dengan baik. Sebagai dalilnya, rasulullah bersabda: orang mukmin dengan mukmin lainnya
ibarat satu bangunan, saling menguatkan satu sama lain.[16]
5.
Tata cara menuntut ilmu
Pesan beliau bagi orang yang menuntut ilmu adalah menuntut ilmu dengan sungguh-sungguh dan semangat
serta tidak menyia-nyiakan waktu. Sedangkan akhlak menuntut ilmu yaitu: pelajari materi sebelum pelajaran
disampaikan, jangan segan diskusi, memahami dengan tuntas, guru mempunyai hak
menentukan tempat duduk muridnya, bahkan saat tempat duduk kita direbut orang
lain, maka serahkanlah pada kebijakan guru. Jangan berdebat, diskusi dan memikirkan tentang masalah pribadi
saat pelajaran dimulai. Jangan bersuara
keras melebihi suara guru. Hiasan ilmu adalah tawadu dan sopan santun, maka murid yang tidak berlaku hormat terhadap guru
berarti berhak diberi peringatan dan dihukum. Maka carilah keridhoan gurumu dan mintalah doa mereka
agar ilmu bermanfaat dan terbuka pikiran
kita, karena tidak ada sesuatu yang lebih berbahaya bagi seorang murid selain kemarahan guru dan
ulama. Doa yang harus diperbanyak seorang
murid adalah dikaruniai ilmu yang bermanfaat dan dapat mengamalkannya.[17]
6.
Adab belajar dan berdiskusi
Di atas sudah diterangkan bahwa seorang pelajar harus belajar dengan sungguh-sungguh agar
berhasil, tata cara belajar yang baik adalah dengan menghindari belajar dengan menghafal kata-kata tanpa
memahami artinya, karena hakikat ilmu adalah
apa yang kita pahami bukan sesuatu yang kita hafalkan.
Beberapa hal yang perlu diketahui orang yang
menuntut ilmu adalah bahwa ilmu pengetahuan merupakan amanat, maka barang siapa
menolong kebatilan berarti telah menyia-nyiakan amanat. Dan bahayanya ilmu
adalah lupa, maka dari itu syaikh muhammad syakir selalu berpesan untuk
memperbanyak mengulang dan mengkaji ilmu pengetahuan. Beliau menganjurkan pentingnya berdiskusi saat mengulang pelajaran jika menginginkan
prestasi yang baik. Hal ini untuk mengantisipasi perasaan cukup dalam memahami pelajaran, karena
barang kali apa yang kita pahami perlu
dilengkapi oleh pemahaman teman yang lain. Diskusi ilmiah sangat banyak manfaatnya, antara lain
memperkuat pemahaman, memperlancar pemahaman, memperindah pengungkapan, menambah keberanian dan kemajuan.
Dan dalam berdiskusi tersebut ada sopan santunnya, diantaranya: menghindari perdebatan dengan cara
yang tidak baik, menghormati anggota
diskusi, jangan takut dicela dalam hal-hal yang benar, jangan memotong pembicaraan, pahami suatu permasalahan dengan baik terlebih dahulu sebelum
menjawab atau membantah dan jangan menyimpang dari topik diskusi.[18]
7.
Adab berolah raga dan berjalan di
jalan umum
Syaikh muhammad syakir juga memberi perhatian pada kesehatan dengan menasihati murid untuk tidak
lupa berolah raga walaupun dalam sekali waktu. Tentunya dengan mencari tempat yang bebas dari
polusi. Dalam berolah raga dan aktifitas
lainnya, tentu kita terkait dengan penggunaan fasillitas umum seperti jalan raya dan lain-lain. Menggunakan fasilitas umum itu ada
adab dan aturannya supaya tercipta ketentraman bersama. Karena milik umum, maka setiap
pemakai jalan memiliki hak untuk
memakainya. Sebagai orang yang terdidik kita harus berlaku sopan, supaya kehormatan sebagai pelajar tetap
terjaga. Secara praktisnya yaitu:
berjalan dengan tenang, tidak tergesa-gesa, jangan mendesak orang lain, jangan
tertawa kecuali sekedar tersenyum, tidak mengganggu pengguna jalan yang lain,
jangan terlibat jika terjadi kerusuhan di jalan, jangan membalas dengan
kesalahan yang sama ketika seseorang mengganggu kita, jangan menghiraukan
perkataan orang-orang yang tidak berguna yang ditujukan kepada kita,
tanggapilah dengan baik orang yang sedang mengajak bicara.[19]
8.
Adab dalam suatu pertemuan
Beberapa wasiat beliau mengenai adabnya dalam suatu pertemuan adalah:
a. Jika bertemu sekelompok orang ucapkan salam
sebagaimana yang diajarkan oleh nabi muhammad, yakni assalamu’alaikum warahmatullahi
wabarakatuh.
b.
Hindarilah suatu pertemuan tanpa
diundang, meski yang melakukannya adalah orang paling ‘alim di zamannya.
c.
Apabila dalam suatu pertemuan kamu
adalah yang termuda, maka janganlah mengambil tempat duduk sebelum mereka mengizinkan.
d.
Jangan menempati tempat duduk
hingga mendesak orang yang terlebih dahulu menempati.
e.
Jangan duduk di tempat yang lebih
tinggi jika ada yang lebih berhak menempatinya.
f.
Jangan mencampuri pembicaraan suatu
kelompok sebelum diijinkan.
g.
Jangan berkata panjang lebar kecuali sekedar yang dibutuhkan.
h.
Hati-hati untuk tertawa terbahak-bahak.
i.
Berhati-hati dalam memilih pergaulan.[20]
9.
Adab makan dan minum
Syaikh muhammad syakir menukil dari sabda rasulullah, bahwa tidaklah manusia memenuhi suatu
wadah yang lebih jelek daripada perutnya, hal ini menunjukkan bahwa banyak penyakit yang datangnya lantaran urusan perut. Hingga
beliau berwasiat, ada beberapa aturan makan dan minum supaya sehat dan tubuhmu terhindar dari penyakit. Di antaranya: jangan mengisi
perut dengan berbagai macam makanan, makanlah saat benar-benar lapar, terlebih
dahulu cuci tangan dan menyebut asma allah, jangan menelan makanan sekaligus,
tetapi kunyahlah hingga lumat, ambillah makanan yang ada di dekat saja, jangan mengulurkan
tangan ke sana-kemari, jangan biasakan makan di pasar atau jalanan, jauhilah
sifat kikir dan rakus, misalnya dengan cara menawari makanan pada orang yang
berada di dekat, hindari menggunakaan alat-alat yang kotor, jangan minum air
kotor, jangan minum dengan cara diteguk sekaligus, selesai makan bacalah hamdalah.[21]
10.
Adab beribadah
dan di dalam masjid
Beliau menekankan supaya kita jangan teledor
dalam beribadah, terlebih seorang pelajar, karena orang awam mengamati pelajar
adalah untuk meneladani perilakunya. Hal yang biasa dipandang dari seorang pelajar
kaitannya dengan ibadah misalnya: menjalankan solat fardhu tepat pada
waktunya dengan berjamaah, segeralah melaksanakan solat dan dirikanlah solat
dengan khusyuk, sebelum solat, mengerjakan solat sunah qobliyah dan
selesai, menjalankan solat sunah ba’diyah, kemudian berdoa dengan doa yang dianggap
mudah diantara doa-doa yang baik dengan memohon ampunan sebanyak-banyaknya. Di dalam masjid berusaha untuk tidak dalam keadaan berhadas. Jika menegur kesalahan orang yang
sama-sama berada dalam masjid, tegurlah dengan cara yang baik.[22]
11.
Anjuran bersifat jujur
Jujur yang dimaksud beliau adalah dalam segala hal, bahkan terhadap diri sendiri, baik disaat
serius maupun santai dan bergurau. Jujur ini dimulai dari jujur berbicara, karena orang dapat dipercaya itu
dari hal yang terkecil, yakni jujur dalam
berbicara. Begitu juga berdusta, sekali orang berdusta, kemungkinan dia akan berdusta untuk selanjutnya,
hingga akhirnya menjadi kebiasaan.
Karena dusta adalah sifat tercela yang paling buruk, maka jangan sampai kita dikenal sebagai
pendusta, sehingga tidak ada seorang pun yang mempercayai ucapan, meski apa yang kita katakan adalah benar.
Begitu juga allah melaknati orang-orang
yang berdusta. Bila kamu melakukan suatu kesalahan yang berhak mendapatkan hukuman, maka jangan
sekalikali mendustainya, apalagi melimpahkan kesalahan pada orang lain, karena perbuatan yang demikian
justru menimbulkan dua hukuman, yaitu hukuman karena berbuat kesalahan dan satu lagi hukuman karena berbohong. Walaupun dusta ini tidak
diketahui manusia, namun tidak bisa luput dari pengetahuan allah. Dalam hal ini, syaikh muhammad
syakir menuntut muridnya bersumpah untuk
selalu berbuat jujur.[23]
12.
Anjuran bersifat amanah
Jadilah orang yang dipercaya, karena amanah adalah
perhiasan manusia, serta bagian dari akhlak rasul allah. Jangan sekali-kali
kamu menghianati seseorang dalam hal
harga diri, harta kekayaan, dan lain sebagainya. Demikian nasehat beliau tentang keutamaan amanah.
Sebagai contohnya, bila salah seorang teman
mempercayakan suatu barang kepadamu, maka janganlah menghianatinya, dan kembalikanlah amanat tersebut jika dia memintanya
kembali. Contoh lagi, bila kau dipercaya tentang suatu rahasia, maka janganlah kau menghianati dan menceritakannya walaupun kepada
teman yang paling dipercaya ataupun seseorang yang dianggap mulia. Kita harus menjaga diri untuk jangan sampai dikenal sebagai penghianat walaupun bergurau,
karena bisa jadi orang lain menganggap itu adalah yang sebenarnya. Karena berkhianat itu bisa merendahkan
nama baik dan martabat seseorang. Bila
ada kehilangan, mereka bisa menganggap penghianat yang mengambilnya dan menuduh sebagai pencuri walau sebenarnya tidak mengambilnya. Ada juga berkhianat terhadap
diri sendiri, misalnya, menjawab pertanyaan guru dengan diam-diam membaca buku
terlebih dahulu, kemudian menjawabnya seolah-olah mengetahui jawaban pertanyaan
tersebut.[24]
13.
Iffah
Iffah adalah menjauhkan diri dari segala
hal yang tidak halal dan tidak baik.[25] ini
sesuai dengan yang dimaksud syaikh syakir yaitu menjaga diri dari perkara haram. Iffah merupakan akhlak
mulia. Maka berusahalah menghiasi diri dengan sifat iffah sampai
menjadi watak dan tertanam kuat dalam hatimu. Maka sebagaimana sabda nabi yaitu sesungguhnya setan menggoda manusia
seperti peredaran darah, setiap kali kamu tergoda suatu keinginan setan, mohonlah perlindungan
kepada allah dari godaan setan yang
terkutuk. Diantara tanda iffah adalah kemampuan menahan diri dan nafsu. Sedangkan
contoh sikap iffah adalah: tidak mungkin memasukkan makanan ke dalam
perutnya apabila telah kenyang, dan sikap qona’ah (puas menerima
pemberian allah).[26]
14.
Harga diri, kesatria dan keluhuran
jiwa
Pada bab ini ada tiga pembahasan dijadikan satu yaitu seseorang harus percaya pada dirinya dan
tidak merendahkan dirinya serta berjiwa besar, semua sikap tersebut ditopang dengan keluhuran jiwa. Harga
diri tersebutlah yang disebut muru’ah.
Kebalikannya muru’ah adalah apabila seseorang dihina dia merasa kecil hati, dan apabila diejek merasa
tidak mampu mempertahankan harga dirinya.
Miskin harta bukanlah sebuah aib bagi manusia. Dia akan dicela apabila telah kehilangan harga
dirinya bukan karena dia miskin. Dia akan
dipuji karena perilakunya yang baik. Di antara tanda-tanda muru’ah adalah :
a. Menjaga diri dari kehinaan meminta-minta.
b.
Rela dengan kehidupan yang
sederhana.
c.
Merasa culup dengan beberapa suapan
sekedar penguat pinggang.
d.
Tidak menggunakan jasa seseorang
untuk memperoleh kenikmatan sementara.
e.
Memandang orang-orang yang hidup
kekurangan diantara teman-temanmu dengan sikap hormat dan kasih sayang.
f.
Apabila kamu memberikan suatu
pertolongan terhadap salah satu temanmu dengan harta, tidak menjadikannya sebagai bahan ejekan untuk merendahkannya.[27] di antara tanda-tanda kesatria
adalah :
1)
Memaafkan orang yang berbuat dzolim
kepadamu, sedangkan kamu mampu membalasnya.
2)
Berbuat baik kepada orang yang
berbuat buruk kepadamu, sedangkan kamu lebih perkasa dari pada dia.
3)
Berkata benar, walaupun akibatnya
kembali kepada dirimu sendiri.
4)
Menjaga kehormatan diri, walaupun
dalam keadaan sangat butuh dan tidak punya apa-apa.[28]
Di
antara keluhuran jiwa ialah :
1)
Bersikap sopan dihadapan orang
lain, walaupun kamu dalam keadaan miskin.
2)
Tidak memperlihatkan kebutuhanmu
kepada orang lain, walaupun dengan orang yang paling dekat.
3)
Menghadapi cobaan hidup dangan
penuh kesabaran terpuji.
4)
Tidak memohon bantuan selain kepada
allah[29]
15.
Gunjingan, adu domba, dengki,
sombong dan lalai beribadah kepada allah.
Pada bab ini membahas beberapa akhlak tercela, dari dosa mulut, dosa hati dan perbuatan dosa.
Termasuk dosa mulut yaitu ghibah yang berarti menceritakan sesuatu tentang orang lain yang bila ia
mendengarnya akan marah. Setiap orang pasti memiliki aib, maka wajib menjaga
lidah dari aib orang lain, seperti kamu
tidak suka bila digunjingkan. Perbuatan tercela yang serupa dengan ghibah adalah mengadu domba. Diantara dosa hati tersebut yaitu
dengki, dendam dan sombong. Dengki dan dendam adalah dua perilaku tercela yang akibat buruknya
tak lain kembali pada pemiliknya.
Kedengkian tidak akan dapat menjadikan kenikmatan dari orang yang kamu dengki berpindah kepadamu, dan dendam tidak akan mencelakai orang
yang kau dendami kecuali gerak allah menghendaki. Maka, jadilah orang yang berhati bersih dari
hasrat ingin menyakiti orang lain. Dengki
pada temanmu karena kenikmatan yang diberikan allah kepadanya. Orang yang dengki tidak akan memperoleh sesuatu kecuali dendam
dan permusuhan.
Bila allah memberi nikmat kepadamu maka bersyukurlah dan jangan
sombong kepada orang lain. Karena dzat yang memberikan nikmat (allah) sangat mampu untuk
mengambilnya darimu, dan bila allah menghendaki memberikan kepada orang lain nikmat dan karunia yang berlipat-lipat dari apa yang
diberikan-nya kepadamu. Pesan syaikh syakir terhadap orang yang diberi kenikmatan kepada allah, jangan sampai terbuai
dengan pemberian allah. Sehinggga lalai beribadah kepada-nya. Kamu hanya seorang diantara
ciptaanciptaannya tidak ada yang melebihkan kamu diatas mereka bagi allah kecuali dengan takwa kepada-nya.[30]
16.
Taubat, cemas, pengharapan, sabar
dan syukur
Termasuk dari sifat para nabi adalah terpelihara dari dosa, maka segera bertaubatlah setelah
melakukan dosa. Bertaubat dari dosa tidak cukup dengan ucapan yang keluar dari mulut, namun hakikat taubat
adalah pengakuan salah di depan allah,
mengaku bersalah dan berhak menerima hukuman yang setimpal dengan dosa yang kamu lakukan.
Memperlihatkan kesedihan dan penyesalan atas ketelodaranmu dan berjanji tidak
akan mengulanginya kembali selamanya.
Kemudian dengan penuh harap memohon agar allah mengampuni segala dosa yang telah lalu, bila
dia berkehendak niscaya dia akan
mengampunimu dan bila dia berkehendak maka dia akan menghukummu. Bertaubat tapi diulangi lagi adalah
suatu kebohongan yang berhak memperoleh
hukuman tersendiri.
Termasuk sifat-sifat yang berhubungan dengan taubat adalah takut kepada allah, berharap pahala dari
allah dan bersyukur atas segala nikmat allah. Perasan takut kepada allah adalah dinding antara seseorang
dengan dosanya. Barang siapa sangat takut
pada tuhannya, kecil sekali kemungkinan dia melakukan kesalahan. Kemudian apabila suatu
musibah menimpa diri atau hartamu maka
bersabarlah dan memohon pahala disisi allah, terimalah ketentuan-nya dengan senag hati dan kerelaan. Bersyukurlah atas kelembutan dan
kebaikan-nya. Mintalah ketentuan dan takdir yang baik. Doa yang diusulkan syaikh muhammad syakir mengenai hal ini adalah:
اللهم انى اسألك
ردالقضاء ولكن اسألك الطف فيه
“ya
allah, aku tidak mohon kepadamu untuk mengubah keputusanmu, akan tetapi aku
memohon kelembutan-mu di dalamnya”.[31]
17.
Keutamaan berusaha disertai tawakkal
dan zuhud
Berusaha dalam bab ini lebih difokuskan dalam mencari ilmu dengan tujuan untuk memberi
petunjuk dalam proses bekerja mencari rizki. Orang yang berilmu lebih layak dicontoh dalam bekerja
dengan cara yang halal dan bermanfaat untuk kebaikan. Begitulah yang dimaksud
ilmu sebagai cayaha penerang masyarakat.
Pada poin inilah bisa diputuskan bahwa pekerjaan apapun yang penting halal, tidaklah menjadi aib
bagi oarng yang berilmu, bahkan menjadi
seorang petani sekalipun. Yang menjadi aib bagi orang yang berilmu adalah bila ia menjadi beban
bagi orang lain.
Berusaha tersebut harus disertai dengan tawakal
dan zuhud. Tawakkal bukannya tidak berusaha dan menyerahkan
diri pada takdir. Profesi yang dicontohkan sebagai implementasi tawakkal adalah
petani. Seorang petani yang bertanam siang dan malam adalah orang yang paling tawakkal
apabila niatnya bagus, karena dia menyebarkan benih diperut bumi, mengolah
tanahnya dengan baik kemudian menyerahkan hasilnya kepada allah. Bila allah menghendaki akan tumbuh tujuh bulir dari setiap biji, setiap bulir menghasilkan
seratus biji. Dan bila allah menghendaki, maka matilah tanamannya. Sedangkan zuhud adalah mengeluarkan cinta yang berlebihan kepada
dunia dari hati, berusaha memperoleh kebutuhan yang lebih kemudian menyantuni
kaum lemah, memberikan sedekah kepada kaum fakir dan tidak rakus mencari dunia
kecuali dengan tujuan yang dihalalkan allah untuk hamba-hamba-nya.
18.
Ikhlas dalam segala perbuatan
Bersandar pada hadis:[32]
انماالأ عمال بالنية
“sesungguhnya
setiap amal perbuatan itu tergantung pada niatnya”
Syaikh muhammad syakir berwasiat untuk menata niat dalam setiap
perbuatan. Sebagai pembeda adalah dua orang yang sama-sama meninggalkan makan
dan minum sejak terbitnya fajar sampai terbenamnya matahari, namun yang satu
berniat berpuasa, sedangkan yang satunya lagi tanpa niat, maka yang pertama
mendapat pahala dan yang kedua tidak mendapat pahala. Maka jadikanlah semua
perbuatanmu sebagai pengabdian kepada tuhan-mu yang telah menciptakan dan menyempurnakan
ciptaanmu. Jangan mencari balasan selain ridho allah. Begitu juga mencari ilmu,
harus ditata niatnya supaya tidak sia-sia dan dapat bermanfaat.[33]
bekas cinta manusia kepada tuhan-nya ialah ibadah dengan bentuknya yang
bermacam-macam, ibadah itu sebaiknya dengan kecintaan, keihklasan dan ketaatan
hanya kepada allah.[34]
Ikhlas punya arti melakukan sesuatu dengan hati yang bersih atau jujur.
Ikhlas adalah suatu aktivitas yang dilakukan tanpa pamrih duniawi. Seorang
muslim ketika melaksanakan sesuatu selalu dituntut untuk ikhlas, hanya karena
allah swt semata.[35]
sebagaimana firman allah dalam al-qur’an surat al-bayyinah ayat 5:
وماأمرواالا ليعبدو الله
مخلصين له الدين حنفاء
“padahal
mereka tidak disuruh kecuali menyembah allah dengan memurnikan ketaatan
kepada-nya dengan lurus".
Wasiat syaikh muhammad syakir yang terakhir lebih banyak bicara
tentang keutamaan al-qur’an dan mendekatkan diri kepada allah serta berdoa
untuk kebaikan diri, orang tua, keluarga dan teman-teman yang beriman. Selain
itu beliau juga menganjurkan kita untuk selalu mengoreksi diri tentang segala
perbuatan yang telah dikerjakan pada setiap hendak tidur, dianjurkan demikian
supaya kita tidak menyesal sebelum dihisab allah. Bila kamu merasa baik,
memujilah kepada allah yang telah membimbingmu, bila merasa jelek, segeralah
bertaubat. Dalam keutamaan al-qur’an, beliau memerintahkan untuk sering-sering
membacanya sambil direnungi maknanya.
[1] Martin Van Bruinessen, Kitab Kuning, Pesantren Dan
Tarekat: Tradisi-Tradisi Islam Di Indonesia, (Bandung; Mizan, 1995), Hlm.
160.
[2] Abdullah,
“biografi Syaikh Muhammad Syakir”,
Http://Www.Scribd.Com/Doc/5281560/Biografi-Syaikh-Muhammad-Syakir.
[3] Taufik Abdullah, Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, Akar
Dan Awal, ( Jakarta: Pt. Ikhtiar Baru Van Hoeve, 2002), Hlm. 173.
[4] Cyrril Glasse, Penerjemah Gufron A. Masadi, Ensiklopedi Islam Ringkas, (Jakarta: Pt. Raja Grafindo
Persada, 1999), Cet. Ke-2, Hlm. 267.
[5] Taufik Abdullah, Op.Cit., Hlm. 172.
[6] Zainuddin, “ahli Hadis”,
Sumber:Http://Ahlulhadits.Wordpress.Com.
[7] Taufik Abdullah, Op.Cit., Hlm. 73.
[8] Muhammad Syakir, Washoya Al-Abaa’ Lil Abnaa’, (Semarang:
Toha Putra, T.T.) Hlm. 47.
[9] Irfan Firdaus, Dialog Agama Dan Budaya Lokal, Dalam
Jurnal Penelitian Agama Uin Sunan Kalijaga Vol. Xv (Yogjakarta: Lembaga
Penelitian Uin Sunan Kalijaga, 2006), Hlm. 483.
[10] Muhammad Syakir, Op.Cit., Hlm. 6.
[11] Ibid., Hlm. 6.
[12] ibid., Hlm. 8.
[13] ibid., Hlm. 8.
[14] ibid., Hlm. 9.
[15] ibid., Hlm. 9.
[16] ibid., Hlm. 12.
[17] ibid., Hlm. 14.
[18] ibid., Hlm. 16.
[19] ibid., Hlm. 18.
[20] ibid., Hlm. 20.
[21] ibid., Hlm. 22.
[22] ibid., Hlm. 24.
[23] ibid., Hlm. 27.
[24] ibid., Hlm. 29.
[25] a.W.
Munawir, Al-Munawir, Kamus Arab-Indonesia, (Surabaya: Pustaka
Progressif, 2002), Hlm. 949.
[26] Muhammad Syakir, Op.Cit., Hlm. 32.
[27] ibid., Hlm. 35.
[28] ibid., Hlm. 35.
[29] ibid., Hlm. 36.
[30] ibid., Hlm. 37.
[31] ibid., Hlm. 39.
[32] ibid., Hlm. 41.
[33] ibid., Hlm. 44.
[34] Rahmat Taufiq Hidayat, Khazanah Istilah Al-Qur’an,
(Bandung: Mizan, 1999), Hlm. 18.
[35] Imam Ibnul Qoyyim, Keikhlasan Dan Ancaman Riya’, Nifak
Dan Ujub, Penerjemah H. Abdurrahman Ali Bauzir, (Bandung: H.I. Press,
1994), Hlm. 15.
BAB IV
RELEVANSI KITAB WASHOYA
AL-ABAA’ LIL ABNAA’
TERHADAP PENDIDIKAN
AKHLAK KONTEKSTUAL
A.
Analisis terhadap penyusunan dan
kemasan bahasa kitab washoya al-abaa’ lil abnaa’
Sebagai kitab yang berisi tentang
wasiat-wasiat akhlak, washoya al-abaa’ lil abnaa’ sudah
pasti mencakup pula beberapa nilai pendidikan akhlak. Nilai pendidikan akhlak dalam kitab ini dimulai dengan
relasi guru dan murid yang diumpamakan sebagaimana orangtua dan anak kandung.
Guru adalah orang yang mengharapkan
kebaikan bagi muridnya. Hal ini sangat kontras dengan dunia pendidikan saat ini, sering dijumpai relasi
guru dan murid yang kering dari kedekatan
dan aspek religiusitas. Hubungan keduanya hanya sebatas antara guru dan murid yang lebih ditekankan saat di
lingkungan sekolah saja, keluar dari itu, secara moril guru seakan terlepas
dari tanggung jawabnya.
Justru dalam kitab washoya relasi
keduanya tidaklah demikian. Sebagaimana di atas disinggung, relasi keduanya
sama dengan relasi orang tua dan anak kandungnya. Seorang guru bagi muridnya adalah orang yang berperan sebagai penasehat,
pendidik, pembina rohani, dan suri tauladan. Namun pengawasan guru tidak bisa dijadikan sandaran utama, karena pengawasan diri sendiri itu lebih
utama.
54
|
Untuk mensukseskan tugas-tugas guru
tersebut, maka dibutuhkan kerjasama dari murid. Berarti, seorang murid mempunyai beberapa
kewajiban, yaitu menjalankan akhlaqul karimah yang diperintahkan guru
serta mencontohnya. Syaikh muhammad
syakir berpendapat, jika seseorang tidak melaksanakan nasihat guru ketika sendirian, kecil kemungkinan dia
akan melaksanakannya ketika bersama
teman-temanya. Hal ini sesuai dengan kebutuhan pendidikan saat ini yang menuntut keaktifan dari semua
pihak, sudah bukan saatnya lagi guru
menjadi satu-satunya sumber keilmuan dan satu-satunya qiblat dari proses kegiatan belajar mengajar. Layaknya dalam kitab-kitab
kuning lainnya, pengarang tidak mencantumkan biografi penulis, tahun terbit
maupun hak cipta penerbit, sebagaimana layaknya buku-buku ilmiah lain. Mereka
menyampaikan suatu karya lebih didorong oleh keinginan untuk menyampaikan
sesuatu yang diketahuinya kepada masyarakat, mereka merasa berkewajiban untuk menyampaikan
ilmu yang dimilikinya. Mereka berharap apa yang ditulis
itu dapat menjadi tuntutan atau suri tauladan
bagi masyarakat.[2]
sehingga hak terbit suatu karya tidak dimonopoli oleh satu penerbit, tapi bisa
dimanfaatkan oleh semua kalangan. Maka untuk melengkapi data tentang penulis,
peneliti tidak hanya melalui literatur saja,
namun juga dari majelis ta’lim dan wawancara. Bahasa tidak hanya sebagai alat komunikasi antara satu individu dengan individu lainnya. Bahasa
juga membentuk nalar (kognitif) seseorang. Dan dengan terbentuknya nalar, terbentuk pula budaya suatu
masyarakat tertentu.[3] kitab washoya
yang menggunakan bahasa yang ringan, sehingga mudah dipahami oleh kalangan secara umum yang menguasai bahasa
arab. Untuk menerjemahkannya pun tidak
sulit untuk menyesuaikannya dengan kemampuan seseorang pada umumnya. Hal ini seakan sesuai dengan
tujuan pengarangnya, yaitu diperuntukkan
untuk pelajar pemula. Terkait dengan penggunaan bahasanya yang ringan dan mudah difahami,
materi-materinya juga mengupas macamnya akhlak yang bersifat praktis. Misalnya,
tatacara diskusi yang baik adalah dengan
tidak memotong pembicaraan anggota diskusi yang lain.
Beberapa hal yang selalu diikutkan
dalam setiap nasehatnya syaikh muhammad syakir adalah: pertama, memuji
kebesaran allah. Misalnya dengan lafad wallahu yatawallaa hidayataka wairsyadaka
washalahika (allah yang berwenang atas petunjuk dan kebaikanmu). Pujian ini juga bisa
berfungsi sebagai pengetahuan. Pujian terhadap allah itu sebagaimana yang
sering dilakukan oleh ulama-ulama
pengarang kitab kuning dengan tujuan ngalap barokah, namun biasanya di
pembukaan dan penutupnya saja. Kedua, memperingatkan akibat-akibat
akhlak tercela maupun peringatan untuk selalu berbuat baik. Hal ini sebagai bahan
renungan murid dalam setiap perilakunya. Selain itu sebagai bahan renungan,
beliau juga menguraikannya dengan beberapa perumpamaan. Sehingga dalam setiap nasehatnya syaikh muhammad syakir
tidak terkesan melarang dan memerintah saja, tapi disertai rasionalisasinya. Ketiga, selalu tidak lupa mendoakan muridnya dengan berbagai macam doa kebaikan. Sebagaimana
uraian beliau tentang relasi guru dan murid, syaikh muhammad syakir telah komitmen dengan pendapatnya
bahwa seorang guru adalah sosok yang
berharap kebaikan terjadi pada muridnya. Seperti dalam lafadz arsyadakallahu wawaffaqoka lisholihil a’maali (semoga
allah menujukkan amal shaleh kepadamu).[4] doa-doa
demikian tidak lupa beliau ungkapkan demi kebaikan muridnya.
Sapaan-sapaan dalam lafadznya
merupakan implementasi proses pembelajaran yang komunikatif. Sapaaan-sapaan tersebut diungkapkan
dalam setiap nasehatnya dalam lafadz “ya
bunayya” (hai anakku sayang), lafadz ini sama dengan apa yang diungkapkan luqmanul hakim al-iskandariyah (mesir) dalam setiap mengawali
nasihat maupun dalam beberapa peribahasanya. Dalam buku the complete guide to learning and
assessment, julie cotton juga berbicara mengenai pembelajaran yang
komunikatif. Salah satu cara komunikatif yang dia sampaikan adalah misalnya dengan
guru mengajukan pertanyaan kepada
peserta didik. Seorang guru harus mempunyai keterampilan komunikasi yang baik, supaya apa yang disampaikan
bisa difahami peserta didik.[5]
Sapaan ya bunayya merupakan
ciri khas syaikh muhammad syakir ketika menyapa muridnya. Ini juga merupakan penyampaian
pesan-pesan baik melalui bahasa, yakni pesan emosional. Orang tua menggunakan
bentuk katakata tertentu untuk mengungkapkan kedekatan emosionalnya dengan anak, misalnya menggunakan kata-kata
“cayang” (sayang). Hal ini untuk memberikan kesan bermain dan sebagainya.[6]
Dalam
mengungkapkan larangan dan anjurannya, syaikh muhammad syakir tidak secara
langsung mengungkapkan apa yang dilarang, tapi terlebih dahulu memberi analogi
seandainya kita menjadi korban perbuatan tercela, atau menunjukkan tujuan dan
manfaat jika kita menjalankan mau’idhoh hasanah, atau mengajak murid
merenung terlebih dahulu. Perintah untuk merenung dan memperhatikan membuat
peserta didik tidak saja berpengatahuan akhlak, tapi berpikir dan merenungi tindakan mereka
yang tercela dan terpuji, karena letak
akhlak bukan pada ingatan tapi di hati. Selain itu juga murid dilatih untuk selalu berfikir. Selain itu syaikh
muhammad syakir juga menguatkan nasihatnya
dengan dalil-dalil dalam al-qur’an maupun hadis.
B.
Analisis terhadap isi materi kitab washoya
al-abaa’ lil abnaa’
Nasihat-nasihat dalam kitab washoya
diposisikan sama sebagaimana wasiat orang tua kepada anaknya. Hal ini bisa kita lihat dari nama
kitabnya, yakni, washoya al-abaa’ lil abnaa’. Yang demikian adalah
sebagai sebuah peringatan bahwa ini adalah nasehat yang harus dilaksanakan, tidak
sekedar berfungsi sebagai pengetahuan,
karena nasehat-nasehat ini merupakan bekal yang dibutuhkan oleh setiap orang dalam menjalani kehidupannya. Sebagaimana kita tahu, wasiat
adalah amanat yang harus dilaksanakan oleh orang yang mendapat wasiat ketika pewasiat meninggal. Jadi,
nasihat ini disampaikan ibarat sang guru adalah orang yang tidak bisa
selamanya mendampingi muridnya, murid itu pula yang selanjutnya akan
menjalankan amanah tersebut dengan pengawasan utama dirinya sendiri. Pada
titik ini beliau menguraikan tentang begitu urgennya peran guru. Selain
sebagai pendidik, guru juga sebagai pembina
rohani.[7]
Guru mempunyai peranan yang amat
luas, baik di sekolah, keluarga, dan dalam masyarakat. Dalam hubungannya dengan aktifitas pengajaran
dan administrasi pendidikan, lebih jauh
guru berperan sebagai, pengambil inisiatif, pengarah, penilai aktifitas pengajaran dan pendidikan, wakil
masyarakat di sekolah, penegak disiplin, pelaksana administrasi, pemimpin
generasi muda, penerjemah kepada masyarakat atau guru berperan untuk menyampaikan berbagai kemajuan ilmu pengetahuan
dan teknologi kepada masyarakat.[8]
Sesuai dengan
komitmennya, yakni dengan mengacu pada nama kitab (wasiat orang tua kepada
anaknya), serta lebih dalam beliau menjelaskan, kitab ini diperuntukkan bagi
pelajar pemula, maka menurut penulis, syaikh muhammad syakir telah menjalankan
komitmennya. Hal itu bisa dilihat pada penggunaan bahasanya yang sangat
ringan dan konsep keterikatan guru dan muridnya. Dengan beberapa metode penyampaiannya beliau tidak serta
merta membiarkan peserta didik belajar
secara mandiri layaknya orang dewasa yang belajar. Begitu juga secara materi, analisis terhadap relevansi tersebut
jika kita menggunakan analisis swot adalah sebagai berikut:
1.
Kekuatan pendukung: tersedianya
kebijakan makro
Yaitu upaya mengatasi kemerosotan moral dan budi pekerti dapat dilakukan atas dasar adanya
kekuatan yang mendukung, seperti telah dituangkan dalam perundang-undangan dan sistem pendidikan nasional serta komitmen masyarakat dalam
berbagai lapisan terhadap etika bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
2.
Kelemahan implementasi: krisis
multidimensional
Beberapa kelemahan tersebut adalah: pertama, pada tataran pemerintah baru sebatas membuat
peraturan, implementasinya masih sangat minim. Kedua, teladan para birokrat dan tokoh
masyarakat. Dengan sangat vulgar mereka mempertontonkan korupsi, kekerasan dan
perbuatanperbuatan tercela lainnya di hadapan publik. Salah satu problem pendidikan akhlak saat ini adalah
krisis keteladanan, baik dari pihak pemerintah, masyarakat (tokoh-tokohnya), guru, bahkan orang tua. Padahal dakwah yang lebih
efektif mengena pada audien adalah dengan uswah hasanah bukan sekedar mau’idhoh
hasanah, karena realitas perbuatan itu jauh lebih mengena. Maka, harus diakui saat kini kita butuh pendidikan yang mengikut sertakan keteladanan dari semua
pihak. Seperti salah satu metode dalam kitab washoya yang juga menggunakan metode keteladanan.
Teladan tersebut selain diperankan dirinya
sendiri, yakni image beliau yang dikenal sebagai keluarga dermawan, beliau juga memberi contoh misalnya
tokoh imam abu hanifah, rasulullah,
kemudian yang lebih spesifik adalah kedua orang tua.
Peranan para tokoh ini cukup berpengaruh bagi perkembangan moral anak, kususnya orang tua
sebagai keluarga. Orang tua atau perawat anak adalah guru pertama seorang anak, karena sejak anak itu lahir
dan berinteraksi, maka pada saat itulah
terjadi proses pendidikan, anak tersebut belajar dari orang yang ada di sekitarnya.[9] sebagai
kelompok primer keluarga berpengaruh besar terhadap anggota-anggotanya, yaitu:
keluarga memberi kesempatan yang unik kepada
anggotanya untuk menyadari dan memperkuat nilai kepribadiaanya dan keluarga mengatur dan menjadi perantara hubungan anggota-anggotanya
dengan dunia luar.[10] ketiga, krisis moral, selain korupsi dari para tokoh, sekarang ini tampak ada
gejala di kalangan anak muda, bahkan orang tua yang menunjukkan bahwa mereka
mengabaikan moral dalam tata krama pergaulan, yang sangat diperlukan dalam
suatu masyarakat yang beradab (civil society). Dalam era reformasi sekarang ini seolah-olah orang bebas berbuat apa saja sesuai
kehendaknya. Misalnya, perkelahian massal, penjarahan, pemerkosaan, pembajakan kendaraan umum, penghujatan, perusakan tempat ibadah, lembaga
pendidikan, kantor-kantor pemerintahan, pembunuhan, pemerkosaan, perkelahian, penculikan, pembakaran, perusakan dan
sebagainya, yang menimbulkan korban jiwa dan korban kemanusiaan.
Pendidikan akhlak berperanan penting dalam upaya mewujudkan manusia indonesia yang utuh.
Pembinaan moral sebagai bagian yang tak terpisahkan dari pendidikan agama dapat menjadi sarana ampuh dalam menangkal pengaruh-pengaruh
negatif, baik pengaruh yang berasal dari dalam negeri maupun luar negeri. Secara isi materi, pendidikan akhlak dalam kitab washoya lebih mengarah pada pengembangan moral
dan mental anak. Bisa dilihat dari 20 bab yang diuraikan, ada 17 bab yang mengarahkan perhatiannya pada kehidupan sosial. Jika disesuaikan
dengan cakupan materi pendidikan akhlak yang berorientasi pada penegakan moral, maka bisa dilihat
sebagai berikut: pengembangan nilai-nilai
demokratis ada dalam materi adabnya pertemuan, belajar, berdiskusi dan menuntut ilmu. Pengembangan kehidupan kewargaan, nilai-nilai
komunitas dan pembentukan identitas nasional bisa dilihat dari materi salah satu takwa kepada allah swt adalah cinta tanah air dan
pemimpinnya, hal ini yang kemudian memunculkan pemerintahan yang bersih. Pengembangan ikatan sosial
dan kebhinnekaan dan pengembangan
kehidupan pribadi ada dalam beberapa materi yang kaitannya dengan akhlak terpuji seperti, jujur, amanah,
iffah, tawadhu’, percaya diri dan lain-lain. Materi di atas sebagai pemenuhan
kebutuhan bangsa indonesia saat ini yang tidak hanya mengalami proses pendangkalan nilai yang
dimiliki serta dihayati dan dijunjung
tinggi. Nilai- nilai itu kini bergeser dari kedudukan dan fungsinya serta digantikan oleh keserakahan,
ketamakan, kekuasaan, kekayaan dan kehormatan. Dengan pergeseran fungsi dan kedudukan nilai itu, hidup dan
kehidupan bermasyarakat dan berbangsa dirasakan semakin hambar dan keras, rawan terhadap kekerasan, kecemasan, bentrok fisik
(kerusuhan) dan merasa tidak aman. Kebocoran soal saat ujian nasional menunjukkan bahwa kejujuran, etos belajar, dan meraih hasil
dengan kerja keras, justru belum membudaya. Maka, materi-materi di atas dapat digunakan untuk menanamkan nilai-nilai diantaranya
keterbukaan, kejujuran, penghargaan pada pendapat orang lain, sportivitas, kerendahan hati, dan
toleransi. Sedangkan melalui materi adab diskusi dan pertemuan anak diajak untuk mulai
berani mengungkapkan perasaanya, tahap demi tahap anak diarahkan untuk menata
jalan pikiran, cara berbicara, dan sikap hidupnya. Hal ini bisa mengurangi krisis moral seperti, integritas pribadi,
kesadaran religius, karya yang berkualitas kompetitif dan kepekaan sosial
yang rendah.
Dari beberapa sifat terpuji ini, beliau menguraikan beberapa
tandatandanya agar murid bisa membedakan mana yang “baik” dan mana yang “buruk”. Misalnya dengan uraian
,diantara tanda iffah adalah kemampuan menahan diri dan nafsu. Sedangkan contoh sikap iffah adalah:
tidak mungkin memasukkan makanan ke dalam
perutnya apabila telah kenyang, sikap qona’ah (puas menerima pemberian allah). Dari beberapa materi tersebut pula,
anak dididik untuk memiliki toleransi, rasa menghargai diri sendiri, disiplin diri, etos kerja
dan belajar, kebersamaan dan gotong royong, saling menghormati, sopan santun
dan tumbuhnya kejujuran. Mempunyai rasa
tanggung jawab bisa dimulai dari keluarga, misalnya pada materi kewajiban terhadap orang tua. Maka,
hal ini sesuai dengan kebutuhan
pendidikan akhlak saat ini, yakni, tujuan akhir pendidikan akhlak di era global adalah menyediakan sdm yang
memiliki mental untuk tidak hanyut di era
globalisasi. Pengembangan mental selanjutnya juga bisa diusahakan dengan materi kewajiban kepada
allah dan rasulullah, hal ini adalah
bagian dari sikap meyakini adanya tuhan yang maha esa dan ketaatan terhadap ajaran agama. Diantara beberapa hal sangat
dibutuhkan saat ini, khususnya bagi perkembangan moral anak ramaja adalah melindungi mentalnya dari pengaruh negatif pergeseran zaman.
Karena gaya hidup saat ini yang sangat kental dengan nuansa minuman keras, obat-obatan terlarang,
seks bebas dan kemerosotan moral yang
lain. Gaya hidup demikian terbukti akan membawa resiko yang besar bagi kelangsungan hidup seorang
anak.
Seperti diketahui bahwa tidak sedikit diantara anak-anak ini
terutama yang berusia antara 15-17 tahun yang sudah berhubungan seks bebas
dengan pasangannya. Begitu juga resiko-resiko
yang lain.[11]
Seandainya bisa disamakan antara akhlak dan
tasawuf, maka sebagaimana mengutip dari pendapatnya nurkholis majid, yaitu,
sufisme baru itu mempunyai ciri utama berupa tekanan kepada motif moral. Jadi sufisme baru menekankan perlunya pelibatan diri dalam masyarakat
secara lebih kuat.[12]
sehingga image imam hanafi sebagai imam mazhab yang lebih modern diantara mazhab-mazhab
lain,[13] serta
keberagaman negara mesir ikut mewarnai corak pendidikan akhlak dalam kitab washoya. Yakni, pendidikan akhlak yang ada
di dalamnya tidak mengarah pada akhlak yang bercorak tasawuf. Yang demikian adalah masuk dalam materi pendidikan akhlak yang meliputi tanggung jawab sebagai
manusia. Lingkup materi ini juga dilengkapi dengan akhlak terhadap kedua orang tua dan sesama
teman. Akhlak terhadap kedua orang tua
disampaikan lewat beberapa pengetahuan tentang jerih payah orang tua sebagai bahan renungan. Metode tersebut terlihat sama
dengan perintah birrul walidain allah dalam firmannya surat al-luqman ayat 14, yaitu:
ووصينا الا نسن بولديه حملته أمه، وهنا على وهن وفصله، في عامين أن
اشكر لي ولولديك الي المصير
“dan
kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu- bapanya;
ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah- tambah, dan
menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepadaku dan kepada dua orang ibu
bapakmu, hanya kepada-kulah kembalimu”.
Sedangkan mengenai akhlak yang kaitannya dengan anggota keluarga
yang lain tidak dijelaskan dalam pembahasan kitab whasoya. Padahal hubungan
kekerabatan yang perlu diajarkan kepada anak tidak hanya dengan kedua orang tua
saja, hubungan dengan kakak dan adik juga perlu dijelaskan. Hal ini tidak akan
menjadi masalah ketika anak tidak bersaudara, namun ketika terdapat
saudara-saudara lain atau anggota keluarga yang lain dan anak tidak dibiasakan
dengan pembinaan adab berinteraksi dengan anggota keluarga selain bapak dan
ibu, maka dikhawatirkan mengenai perkembangan moralnya. Karena keluarga merupakan
kelompok sosial yang pertama dalam kehidupan manusia.[14]
Keluarga mempunyai peranan penting untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan
jasmani anak serta menciptakan kesehatan jasmani dan rohani yang baik.[15]
sedangkan ruang lingkup materi dan subtansi pendidikan akhlak yang meliputi
akhlak terhadap tuhan yang maha esa diterangkan dalam bab takwa kepada allah
swt. Materi ini merupakan implementtasi pendidikan akhlak yang berkaitan dengan
penghayatan terhadap ajaran agama. Penghayatan terhadap ajaran agama pada
tataran tertentu akan tidak mengenal sekat-sekat primordialisme, karena
semuanya dipandangnya sebagai satu hakekat.[16]
Secara materi, isi kitab washoya sudah mencakup 3 cakupan
materi pendidikan akhlak, yaitu, akhlak kepada allah, akhlak kepada sesama manusia,
dan akhlak terhadap alam. Yang kemudian dikemas dengan dikaitkan nilai-nilai
pendidikan akhlak yang diteladankan pada beberapa tokoh seperti, orang tua,
saudara, tokoh idola, maupun dikaitkan dengan beberapa kasus yang bersifat
praksis sehari-hari dalam kehidupan seseorang. Keempat, kondisi ekonomi
indonesia. Kondisi ekonomi bangsa yang semakin terpuruk ikut mempengaruhi
perkembangan akhlak warga negaranya. Contoh kecil adalah dari rakyat miskin,
fokus perhatian orang tua yang lebih mengarah pada ekonomi demi memenuhi
kebutuhan hidup, menyebabkan mereka kurang memperhatikan perilaku dan akhlak si
anak.
3.
Peluang: munculnya kesadaran
kolektif
Pada dasarnya, tingkat kesadaran masyarakat sudah cukup tinggi untuk menanggulangi kemerosotan
moral dan akhlak generasi muda. Kesadaran itu muncul baik dari peran orang tua, keluarga,
pemerintah maupun lembaga pendidikan.
4.
Tantangan pendidikan akhlak
Pertama, arus globalisasi dengan
teknologinya yang berkembang pesat merupakan tantangan tersendiri, di mana informasi, baik
positif maupun negatif dapat langsung
diakses. Tanpa adanya bekal yang cukup dalam penanaman agama (termasuk akhlak) hal itu akan berdampak negatif jika tidak disaring dengan
benar. Kedua, pola hidup dan perilaku yang telah bergeser sedemikian serempaknya di tengah-tengah masayarakat. Ketiga, krisis
kepercayaan rakyat terhadap para pejabat dan birokrat karena moral yang sudah amat melekat, seperti, koruptor,
curang, tidak perduli pada kesusahan
rakyatnya. Keempat, kondisi ekonomi indonesia.
Selain wacana di atas, isi materi dalam kitab
washoya diperuntukkan untuk kategori anak-remaja, hal ini bisa dilihat
dari keseluruhan materinya yang kurang menekankan pada aspek nilai-nilai
pendidikan akhlak dalam masalah nyata dalam masyarakat. Sehingga santri/ siswa mampu menggunakan pengalaman akhlak yang baik bagi
pembentukan kesadaran dan pola perilaku yang berguna dan bertanggung jawab atas tindakannya. Materi-materi diatas
disampaikan jika disesuaikan dengan tujuan yang sifatnya praktis dalam dunia
pendidikan sekolah, yaitu, santri/siswa memahami nilai-nilai akhlak di
lingkungan keluarga, lokal, melalui adat istiadat, hukum, undang-undang dan
tatanan dalam suatu bangsa. Siswa mampu mengembangkan watak atau tabiatnya
secara konsisten dalam mengambil keputusan akhlak di tengah-tengah rumitnya kehidupan bermasyarakat
saat ini. Santri/siswa juga dihadapkan
pada suatu masalah dengan perumpamaan menghadapi. Jika disesuaikan dengan karakteristik dan perkembangan anak pada masa
berakhirnya daya khayal dan mulai munculnya berpikir konkrit, maka penggambaran
syaikh muhammad syakir dalam proses diskusi dan belajar, seperti, bakhil dalam
berbagi ilmu, memotong pembicaraan, terkesan beliau memperkenalkan
peristiwa-peristiwa yang merupakan realitas yang ada dalam masyarakat kita,
sehingga peserta didik yang pernah melakukan, akan merasa tersindir dan akan
mempertimbangkan sikapnya selama ini. Dari
semua bab yang tercantum di atas, bisa dikatakan isi materi sesuai dengan
pendidikan akhlak yang berorientasi pada penegakan moral yakni harus mencakup
beberapa komponen penting, diantaranya: pengembangan nilai-nilai demokratis,
pengembangan kehidupan kewargaan dan nilai-nilai komunitas, pengembangan
pemerintahan yang bersih, pembentukan identitas nasional, pengembangan ikatan
sosial dan kebhinnekaan, pengembangan kehidupan pribadi.keterbukaan pendidikan
akhlak dalam kitab washoya seperti mengarahkan pendidikan akhlak yang
bervisi penegakan moral. Dan pelibatannya pada semua pihak, menjadikan kitab ini dipandang bisa menjawab problematika pendidikan
akhlak kontekstual. Hal ini bisa dilihat dari linngkup materi yang dikaji, kemasan bahasa maupun metode
yang digunakan.
[1] Achmad Charris Zubair, Dimensi Etik Dan Asketik Ilmu Pengetahuan
Manusia, Kajian Filsafat Ilmu, (Yogyakarta: Lesfi, 2002), Hlm.
141.
[2] Irfan Firdaus, Dialog Agama Dan Budaya Lokal, Dalam
Jurnal Penelitian Agama Uin Sunan Kalijaga Vol. XV (Yogjakarta: Lembaga
Penelitian Uin Sunan Kalijaga, 2006), Hlm. 483.
[3] Monty P. Satiadarma, Persepsi Orang Tua Membentuk
Perilaku Anak, Dampak Pygmalion Dalam Keluarga, (Jakarta: Pustaka
Populer Obor, 2001), Hlm. 96.
[4] Muhammad
Syakir, Washoya Al-Abaa’ Lil Abnaa’, (Semarang: Toha Putra, Tt.), Hlm.
4.
[5] Julie Cotton, The Complete Guide To Learning And
Assessment-Learners, Vol.I, (New Delhi: Kogan Page India Pvt.Ltd, 2004),
Hlm. 27.
[6] Monty P. Satiadarma, Op.Cit., Hlm. 96.
[7] Muhammad Syakir, Op.Cit., Hlm. 2.
[8] Tohirin, Psikologi Pembelajaran Pendidikan Agama Islam,
(Jakarta: Pt. Rajagrafindo Persada, 2005), Hlm. 165-167.
[9] Eugenian Hepworth Berger, Parents As Partners In
Educatioan, (Missouri, England: C.V.Mosby Company, 1983), Hlm. Vii.
[10] st. Vembriarto, Sosiologi Pendidikan, (Jakarta: Pt.
Grasindo, 1993), Hlm. 41.
[11] Wiwid Trisnadi, Lika-Liku Pendampingan Anak Jalanan
Perempuan Di Yogyakarta, (Yogyakarta: Mitra Wacana, 2004), Hlm. 19.
[12] Nurcholish Madjid, Sufisme Baru Dan Sufisme Lama:
Masalah Kontinuitas Dan Perkembangan Dalam Esoterisme Islam, Dalam
Demokrasi, Jurnal Dan Media Dialog Komunitas Kebudayaan, Peradaban,
Ke-Indonesiaan Dan Ke-Islaman, Volume Iii (Semarang: Universitas Peradaban
Nubuwah, 1999), Hlm. 3.
[13] Abdullah Mustofa Al Maraghi, Pakar-Pakar Fiqh Sepanjang
Sejarah, Penerjemah Husein Muhammad, (Yogyakarta: Lkpsm, 2001), Hlm. 75.
[14] 94w.A.Gerungan, Psikologi Sosial, (Bandung: Pt.
Al-Ma’arif, 1978), Hlm. 180.
[15] Ramayulis, Pendidikan Islam Dalam Rumah Tangga,
(Jakarta: Kalam Mulia, 1990), Hlm. 79.
[16] H.M. Amin Syukur, Op.Cit., Hlm. 38.
BAB
V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari telaah yang dilakukan pada
bab-bab sebelumnya, yakni mengenai penelaahan terhadap isi kitab washoya al-abaa’ lil abnaa’,
telah tersebut lebih khusus memfokuskan pokok bahasannya pada relevansi kitab washoya al-abaa’ lil abnaa’ terhadap pendidikan akhlak kontekstual. Maka akan disampaikan beberapa poin penting
yang menjadi inti dari pokok permasalahan dalam penelitian ini, antara lain sebagai berikut :
1.
Secara analisis pendidikan akhlak
kita sudah punya kekuatan pendukung dalam bentuk kebijakan makro dan peluang dari munculnya kesadaran
kolektif. Salah satu kelemahan kita adalah krisis multidimensi, sehingga kita
terjebak pada sebuah pertanyaan, harus mulai dari mana kita benahi problem ini.
Selain itu, kita juga menghadapi tantangan arus globalisasi yang setiap
detiknya selalu berubah tanpa bisa kita cegah. Mau ataupun tidak hal ini harus
tetap dihadapi. Maka, kita membutuhkan model pendidikan akhlak yang memang
berorientasi pada penegakan moral dan mau membuka diri terhadap perubahan
zaman. Karena kita butuh generasi-generasi
yang tangguh dalam menghadapi cobaan arus globalisasi. Diharapkan sikap keilmuan yang demikian mampu
mengurai benang kusut problematika
pendidikan akhlak kontekstual.
2.
68
|
3. Dari pendidikan akhlak yang ada dalam kitab washoya terdapat
beberapa relevansinya terhadap pendidikan
akhlak kontekstual yaitu, dari perspektif penyusunan dan kemasan bahasa, washoya menggunakan metode pembelajaran yang mengarah pada
perkembangan peserta didik, metodemetode yang sering dipakai dalam praktek pembelajaran saat ini, misalnya, model pendidikan yang komunikatif,
metode keteladanan, demokratis, metode santri/siswa aktif dan lain-lain. Yang ini perpengaruh pada
perkembangan anak. Walaupun pendidikan akhlak sasaran utamanya adalah pada perkembangan moral
anak, namun dengan beberapa metode “cerdas” yang digunakan syaikh muhammad
syakir, dinilai bisa memberi pengaruh pada tingkat perkembangan-perkembangan yang
lain. Namun juga tidak meninggalkan aspek
religiusitas dari suatu proses pendidikan, yakni dengan mendoakan murid-muridnya. Sedangkan dalam perspektif isi
materi, selain tidak meninggalkan cakupan materi yang menjadi poin utama
hakikat pendidikan akhlak, washoya juga memuat materi yang menjadi
kebutuhan pendidikan akhlak kontekstual, yakni dari semua bab yang tercantum di
atas, bisa dikatakan isi materi juga sesuai dengan pendidikan akhlak yang
berorientasi penegakan moral.
B. Saran-saran
Adapun saran-saran terkait
pembahasan dalam muallafah ini adalah sebagai berikut:
1.
Karya-karya ulama’ islam tentang
pendidikan akhlak dalam bentuk kitab kuning sangat banyak sekali, dan juga familiar dipakai, namun pada
kalangan tertentu, yakni pondok pesantren dan madrasah. Namun kita sering terjebak
pada penelitian kitab-kitab yang
pegarangnya sudah punya nama di khalayak umum, atau ada juga keinginan meneliti
karena pertimbangan bentuk fisik kitabnya. Maka sebagai tholibul ‘ilmi, kita juga perlu menelaah
karya-karya lain, terlebih karya yang sering digunakan dalam dunia pendidikan, namun luput
dari penelitian, walaupun karya tersebut
hanya familiar di pojok dunia pesantren dan madrasah.
2.
Pendidikan akhlak yang ada dalam
kitab washoya karya syaikh muhammad syakir sangat relevan diterapkan sebagai pendidikan akhlak
kontekstual. Selain metode dan materinya mengenai pendidikan akhlak, metode
pengembangan mental di dalamnya juga bisa membantu menyiapkan perkembangan
mental generasi muda dalam meghadapi arus
globalisasi. Sebagai kitab yang intens dalam pendidikan moral yang bercirikan islam, kitab washoya tidak
sekedar sibuk pada kaidah-kaidah
pembelajaran dan pendidikan, namun sisi religiusitas seperti, do’a dan barokah tidak
ditinggalkannya.
3.
Untuk kepentingan teoritis maupun
praktis bagi pengembangan pendidikan islam, pengkajian secara kritis terhadap konsep-konsep yang
berasal dari ulama-ulama tradisional penting untuk terus dilakukan, karena kitab kuning
merupakan karya agung para ulama’ sholeh sejak dari periode tabi’in.
Melestarikan kitab kuning berarti menjaga mata rantai keilmuan islam. Memutuskan mata
rantai ini, sama artinya membuang sebagian
sejarah intelektual umat. Membaca karya ulama’ berarti menyerap
keilmuan para pewaris nabi. Maka, kitab kuning merupakan khazanah keilmuan islam yang harus dilestarikan
4.
Salah satu hal yang ditemukan dalam
penelitian ini adalah nilai-nilai pendidikan akhlak dalam kitab washoya yang mengarah pada perkembangan
mental anak, namun dalam penelitian ini hanya disinggung sebagian kecil saja,
maka dalam penelitian kitab washoya berikutnya, diharapkan bisa lebih
jauh pada nilai-nilai pendidikan akhlak yang mengarah pada perkembangan mental anak.
Kajian demikian bisa lebih difokuskan
dalam perspektif psikologisnya. Penelitian ini memiliki signifikansi dan urgensi yang cukup penting untuk
dilakukan demi berlangsungnya peradaban keilmuan dunia islam.
C. Penutup
Puji syukur patut kami haturkan
kehadirat ilahi robbi, alhamdulillah perjalanan ini mencapai garis finish.
Apa yang tertulis/tersusun dan tertuang dalam muallafah ini dilakukan dengan kesungguhan dan
bertanggung jawab. Mengacu pada hadits nabi yang kurang lebih artinya adalah manusia tempatnya salah dan lupa,
begitu juga muallafah ini, tetap harus diakui bahwa segala kekurangan dan kesalahan sudah barang tentu
masih ada dalam apa yang tertuang dari
awal sampai akhir. Maka, sebagai penulis/penyusun, kami berharap kritik yang bersifat konstruktif
demi perbaikan muallafah ini khususnya dan
semua pihak. Namun penulis/penyusun tetap berharap, dengan segala kekurangan dan
kesalahan yang ada, muallafah ini tetap menjadi bagian dari usaha yang bermanfaat bagi pengembangan
pendidikan islam pada khususnya, dan pengayaan khazanah islam pada umumnya,
atau paling tidak dapat memenuhi standar
minimal dari kriteria kegunaan yang telah ditetapkan sejak penelitian ini berupa rancangan. Amin.
No comments:
Post a Comment