Friday 2 May 2014

MAKALAH RELEVANSI KITAB WASHOYA AL-ABAA’ LIL ABNAA’



RELEVANSI KITAB WASHOYA AL-ABAA’ LIL ABNAA’
KARYA SYAIKH MUHAMMAD SYAKIR
TERHADAP PENDIDIKAN AKHLAK KONTEKSTUAL




MUALLAFAH

Oleh :
TOLKHAH AL-KATSIRI
NIS : ............





MADRASAH DINIYAH ALIYAH TAKHASUS ILMIAH
PONDOK PESANTREN MA’AHIDUL ‘IRFAN
MAGELANG
2014 M/1434



BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang Masalah
1
Pendidikan ancapkali ditempatkan sebagai sesuatu yang hanya bertali temali dengan Transfer Of Knowledge dan arena indoktrinasi. Pendidikan hanya merupakan penyampaian materi yang hampa dari nilai-nilai spiritual dan pengamalan yang berakibat pada peserta didik dan output pendidikan itu sendiri, padahal ilmu pengetahuan itu akan lebih berbahaya jika tidak dihiasi dengan akhlak yang mulia, demikian syaikh syakir bertutur. Pendapat di atas sangat tepat jika dikaitkan dengan pengertian pendidikan akhlak menurut beberapa cendekiawan, yakni: suatu usaha yang dilakukan oleh pendidik untuk mempersiapkan peserta didik dengan berbagai cara yang mana dengan cara itu peserta didik dapat merubah sikap atau perilakunya kepada yang lebih baik, yang sesuai dengan ajaran agamanya. Dalam pendidikan akhlak ini, kriteria benar dan salah untuk menilai perbuatan yang muncul merujuk kepada al-qur’an dan sunah sebagai sumber tertinggi dalam ajaran islam. Dalam al-qur’an, pesan moral akhlak dijelaskan dalam banyak ayat. Salah satunya surat al-baqarah, yakni istilah ahlul birri yaitu orang-orang yang selalu melakukan kebaikan, istilah ini merupakan salah satu teori mengenai akhlak. Dengan demikian maka pendidikan akhlak dapat dikatakan sebagai pendidikan moral dalam diskursus pendidikan islam. Telaah lebih dalam terhadap konsep akhlak yang telah dirumuskan oleh para tokoh pendidikan islam masa lalu seperti ibnu miskawaih, ibnu sina, al-ghazali menunjukkan bahwa tujuan puncak pendidikan akhlak adalah terbentuknya karakter positif dalam perilaku anak didik. Nurul zuriah memberi pengertian bahwa pendidikan moral dan budi pekerti merupakan program pengajaran di sekolah yang bertujuan mengembangkan watak atau tabiat siswa dengan cara menghayati Nilai-nilai dan keyakinan masyarakat sebagai kekuatan moral dalam hidupnya, baik melalui pengajaran, bimbingan maupun latihan.[1] pendidikan akhlak secara global mengandung dua cakupan yaitu akhlak terpuji dan akhlak tercela. Sedangkan ruang lingkup materi dan subtansi pendidikan akhlak meliputi: akhlak terhadap tuhan yang maha esa, akhlak terhadap sesama manusia dan akhlak terhadap lingkungan.[2] atau bisa disimpulkan sebagai tuntutan tanggung jawab sebagai individu, anggota masyarakat dan sebagai bagian dari umat. Perpaduan tiga unsur ini dalam pendidikan islam bukan tanpa dasar, tapi berlandaskan dalil-dalil dalam al-qur’an maupun hadis.[3] menurut undang-undang ri tentang sistem pendidikan nasional, pendidikan akhlak yang terkandung dalam pendidikan agama dimaksudkan untuk membentuk peserta didik menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada tuhan yang maha esa dan berakhlak mulia.[4] yang harus berperan dalam pendidikan akhlak adalah semua pihak, baik orang tua maupun masyarakat. Termasuk juga lembaga pendidikan formal punya andil besar dalam pengembangan khususnya sisi knowledge. Ini yang kemudian disebut sebagai kesadaran kolektif. Pendidikan akhlak di sekolah, yang biasanya terkandung dalam pendidikan agama, dirasa perlu karena 3 motif:
1.      Melemahnya ikatan keluarga, sekolah berganti peran menjadi pengganti keluarga di dalam memperkenalkan nilai-nilai moral karena keluarga yang seharusnya menjadi guru pertama dari anak, mulai kehilangan fungsinya. Sehingga terjadi kekosongan dalam perkembangan anak.
2.      Terjadi krisis moral dan kecenderungan negatif pada kehidupan remaja dewasa ini.
3.      Masyarakat mulai menyadari akan pentingnya nilai-nilai etik, moral dan budi pekerti sebagai suatu moralitas dasar dan sangat esensial bagi keberlangsungan kehidupan bermasyarakat.[5]
Konsep dan materi-materi mengenai pendidikan akhlak juga dibahas dalam kitab washoya al-abaa’ lil abnaa’ misalnya, syaikh muhammad syakir menguatkan pendapat mengenai terbentuknya karakter positif dalam ungkapan bahasa ‘proses’ dan hasil.[6] dalam proses pembentukan karakter (baca: watak) harus dimulai dari sejak manusia masih anak, sedangkan manusia dewasa sudah masuk kategori nihayah, yakni manusia dewasa tidak masuk fase proses tapi harus sudah berkarakter positif. Yang menjadi fokus proses pembentukan pertama kali adalah anak. Dikarang oleh syaikh muhammad syakir, asal iskandariyah, mesir pada tahun 1326 h. Atau 1907 m., kitab ini berisi tentang wasiat-wasiat seorang guru terhadap muridnya tentang akhlak. Kitab ini di kalangan pesantren sering disebut sebagai kitab kuning, yaitu salah satu kitab klasik berbahasa arab. Dalam pendidikan madrasah diniyah dan pesantren, washoya al-abaa’ lil abnaa’ sangat familiar sebagai mata pelajaran khusus akhlak dan secara turun temurun menjadi kurikulum pendidikan akhlak dari satu generasi ke generasi berikutnya. Pendidikan akhlak dalam kehidupan modern saat ini sangat diperlukan bagi manusia modern dalam menghadapi perubahan zaman. Apalagi fenomena dunia pendidikan sekarang sering diwarnai dengan tidak adanya keseimbangan antara aspek material dan spiritual, selain itu tokoh-tokoh di negara kita sering tidak mencontohkan uswah yang hasanah. Di abad 21 seperti sekarang ini, akhlak harus menyesuaikan perannya tidak hanya secara normatif agama atau sekedar sopan santun, namun dituntut untuk bersifat aktif dan inovatif dalam memecahkan berbagai problematika kehidupan modern, khususnya kehampaan spiritual dan dekadensi moral. Dengan menempatkan kedudukan dan pengertian pendidikan akhlak secara proporsional, akhlak menjadi lebih bermakna di zaman yang berbeda dari sebelumnya. Globalisasi, disadari atau tidak turut memberi pengaruh terjadinya kemerosotan moral dan budi pekerti anak, maka semua pihak harus ikut berperan dalam pelaksanaan pendidikan akhlak, ini yang kemudian disebut sebagai kesadaran kolektif. Diantara peran-peran tersebut adalah:
Pertama, orang tua, pendidikan agama sejak dini akan secara otomatis tertanam nilai-nilai moral yang akan berdampak sangat positif bagi perkembangan jiwa anak hingga dewasa. Hal ini karena moral dan budi pekerti merupakan bagian dari pendidikan agama yang disebut juga sebagai pendidikan akhlak.[7]
Kedua, sekolah secara terpadu memasukkan pendidikan akhlak kedalam pendidikan agama khususnya dan terintegrasi ke dalam semua mata pelajaran.
Ketiga, masyarakat, peran serta masyarakat dalam menanggulangi kemerosotan moral dan sebagai contoh yang baik. Keempat, pemerintah, selama ini peran pemerintah baru pada dataran konsep atau kebijakan makro dalam undang-undang sistem pendidikan nasional. Menjamurnya lembaga-lembaga pendidikan islam di indonesia dengan pendidikan akhlak sebagai trademark di satu sisi, dan menjamurnya tingkat kenakalan perilaku amoral remaja di sisi lain menjadi bukti kuat bahwa pendidikan akhlak dalam lembaga-lembaga pendidikan islam sepertinya masih belum optimal. Maka, pendidikan akhlak harus menyesuaikan dengan kebutuhan dan kondisi zaman, baik secara konsep maupun praktiknya. Keselarasan tersebut bisa di tempuh yang pertama dengan menyesuaikan dengan hakikat dan visi misi pendidikan akhlak dengan tujuan puncak terbentuknya karakter positif peserta didik sebagai proses pendewasaan. Berarti, cakupan materinya pun harus memuat aspek akhlak kepada allah swt, dan akhlak sesama manusia, dan akhlak terhadap lingkungan. Selain memenuhi kebutuhan knowledge, juga harus dipertimbangkan Pendidikan akhlak harus berpengaruh bagi perkembangan peserta didik. Dalam perkembangan individu dan karakteristik siswa memang memerlukan perlakuan yang berbeda-beda, karena ini merupakan bagian dari pengakuan eksistensi individu, oleh karenanya mutu pengajaran harus diarahkan pada pengaruh kepada siswa secara individual, namun secara umum materi yang dibutuhkan antara siswa satu dengan lainnya bisa disamakan tergantung jenjang usianya.
Nilai-nilai hidup yang diperkenalkan juga harus merupakan realitas yang ada dalam masyarakat kita, karena sesuai dengan karakteristik perkembangan anak, hal ini memberi pengaruh pada perkembangan anak. Terlebih pendidikan akhlak pada pendidikan dasar adalah masa berakhirnya daya khayal dan mulai munculnya berpikir konkrit.[8]
Pada tahap ini anak dalam masa tamyiz, yakni kemampuan awal membedakan baik dan buruk serta benar dan salah melalui penalarannya. Selanjutnya pada masa amrad, yakni usia 10-15 tahun anak memerlukan pengembangan-pengembangan potensinya untuk mencapai kedewasaan dan bertanggung jawab secara penuh.[9]
Maka perlu menyusun pendidikan akhlak sesuai kebutuhan moral pada tahap umur anak. Karena masing-masing jenjang umur mempunyai tugas perkembangan dan karakteristik yang berbeda-beda. Yang pasti harus bersifat sederhana (dasar) dan praktis yang dapat dilakukan oleh anak dan didasarkan pada kompetensi dasar anak. Teks washoya yang lahir pada awal abad (20) yang lalu rupanya masih digunakan sebagai mata pelajaran khusus pendidikan akhlak hingga sampai saat ini, terbukti dengan sangat familiarnya kitab ini di kalangan pendidikan madrasah diniyah dan pondok pesantren, padahal lahirnya teks saat itu tidak terlepas dari konteks sosial pada masa tersebut.  Selama ini fenomena penggunaan kitab washoya di madrasah diniyah dan pondok pesantren belum memunculkan jawaban bagaimana relevansi kitab ini dalam memenuhi kebutuhan pendidikan akhlak kontekstual karena tidak ada penjabaran tujuan instruksional dalam kurikulum, selain itu digunakannya washoya sering mengandung motif kurikulum warisan. Hal ini mengakibatkan kurang terkuaknya signifikansi penggunaan kitab ini. Sebagai kitab yang sangat familiar dalam kurikulum pendidikan non formal seperti madarasah diniyah dan pesantren, tapi tidak familiar dalam kurikulum pendidikan formal, menjadi salah satu alasan mempertanyakan, bagaimana relevansi kitab ini terhadap pendidikan akhlak kontekstual, apakah materi yang terkandung di dalamnya sudah mencakup segala aspek kebutuhan perkembangan moral. Fenomena penggunaan kitab washoya sebagai materi khusus pelajaran akhlak tidak hanya memunculkan pertanyaan-pertanyaan di atas, namun juga memunculkan pernyataan mungkin subtansi materi akhlak di dalam kitab washoya sudah terkandung dalam kurikulum pendidikan nasional.
Selain itu kemerosotan moral serta beberapa problem terkait pendidikan akhlak rupanya menuntut praktisi pendidikan untuk melakukan kajian pendidikan akhlak yang relevan dengan kebutuhan zaman. Pendidikan akhlak kontekstual menuntut kesesuaian pendidikan dengan kebutuhan zaman namun tidak terlepas dari hakikat pendidikan tersebut baik dari sisi konsep pendidikannya, materi, maupun metode. Lalu apakah kitab washoya memenuhi kriteria itu. Beberapa pertanyaan ini menuntut kajian bagaimana relevansi kitab ini terhadap pendidikan akhlak kontesktual. Hal ini yang kemudian memberi sumbangsih wacana, yakni jawaban relevansi kitab tersebut sehingga bisa menguak subtansi-subtansi yang ada, sehingga penggunaan kitab washoya menjadi beralasan dan mengandung motif yang jelas. Maka, penelitian ilmiah dirasa perlu karena penelitian ilmiah tentang moralitas anak mempunyai potensi besar untuk membantu kita dalam upaya memperbaiki nilai-nilai moral anak.


B.     Rumusan masalah
Dari latar belakang masalah dan kerangka pemikiran diatas, dapatlah dibuat rumusan sub-sub masalah antara lain :
1.      Apa kandungan pendidikan akhlak yang ada dalam kitab washoya al-abaa’ lil abnaa’ karya syaikh muhammad syakir?
2.      Bagaimana relevansi kitab washoya al-aba’ lil abnaa’ terhadap pendidikan akhlak kontekstual?

C.    Tujuan dan manfaat muallafah
1.      Tujuan muallafah
Penyusunan muallafah ini diharapkan nantinya dapat mencapai beberapa tujuan antara lain:
a.       Mengetahui kandungan pendidikan akhlak dalam kitab washoya al-abaa’ lil  abnaa’ karya syaikh muhammad syakir.
b.      Mengetahui relevansi kitab washoya al-abaa’ lil abnaa’ terhadap pendidikan akhlak kontekstual.
2.      Manfaat penyusunan muallafah
Setelah proses penyusunan muallafah ini diselesaikan, maka diharapkan hasil susunan/tulisan ini dapat bermanfaat dalam memberikan gambaran yang jelas tentang pendidikan akhlak dalam kitab washoya al-abaa’ lil abnaa’ dan relevansinya terhadap pendidikan akhlak kontekstual. Dengan demikian penyusunan ini bisa memberikan manfaat baik teoritis maupun praktis dalam dunia pendidikan, yaitu wacana baru yang bisa dijadikan sebagai bahan renungan bersama sesama praktisi pendidikan dalam memberikan cara pandang dan landasan pijak dalam memahami bagaimana relevansi pendidikan akhlak dalam kitab washoya menghadapi kebutuhan zaman kekinian.



D.    Telaah pustaka
Dalam wacana pendidikan, wacana mengenai pendidikan akhlak sangat banyak dibicarakan. Adapun penelitian yang membahas tentang materi pendidikan akhlak yang terkandung dalam kitab Washoya al-abaa’ Lil abna’ dan relevansinya terhadap pendidikan akhlak kontekstual, sejauh pengamatan penyusun belum ditemukan. Akan tetapi, terdapat beberapa karya yang sangat bersinggungan dan berkaitan dengan pendidikan akhlak dan relevansinya yang dikaitkan dengan beberapa hal. Adanya tinjauan pustaka diharapkan dapat mengurai letak perbedaan antara penelitian ini dengan penelitian-penelitian sebelumnya, sehingga bisa dibandingkan untuk saling melengkapi kekurangan dan kelebihan diantara beberapa penelitian mengenai pendidikan akhlak. Demikian yang disebut kegiatan ilmiah. Tinjauan pustaka juga bermanfaat membantu penyusun kaitannya dengan landasan teori. Diantara karya yang bersinggungan dengan pendidikan akhlak dan relevansinya dengan kehidupan yang kontekstual yaitu:
Pertama, nilai-nilai pendidikan akhlak dalam kitab Abyan al-hawaij karya KH. Ahmad rifa’i. Penelitian ini sebagai tinjauan pustaka mengenai pendidikan akhlak. Penelitian ini mengurai nilai-nilai pendidikan akhlak yang ada dalam kitab abyan al-hawaij kemudian diselaraskan dengan nilai-nilai pendidikan akhlak dalam islam. Selain kitab yang dikaji berbeda, hasil penelitian ini juga lebih mengarah pada pendidikan akhlak yang bersifat pendekatan kepada Allah dan tasawuf. Materi pendidikan akhlaknya sama, tapi relevansi isi kitab dikaitkan pada sesuatu yang berbeda.
Kedua, sebagai tinjauan pustaka mengenai pendidikan akhlak kontekstual, penelitian sukiman dalam jurnal penelitian agama uin sunan kalijaga yogjakarta dengan judul, pengembangan aspek sosial anak dalam pembelajaran pendidikan agama islam di sekolah dasar negeri (studi kasus di Sdn maguwoharjo I dan Sdn depok II). Pendidikan akhlak yang penulis maksud disesuaikan dengan pengembangan aspek sosial dalam pembelajaran PAI. Penelitian ini mengelompokkan pengembangan aspek sosial pada 4 hal, yaitu:
a. Penanaman dasar-dasar kejiwaan yang mulia.
b. Pemeliharaan hak-hak orang lain.
c. Melaksanakan tata krama atau etika sosial yang berlaku umum.
d. Kontrol dan kritik sosial.
Obyek kajian penelitian ini hanya difokuskan pada pendidikan dasar atau sd, tidak pendidikan akhlak secara lebih luas. Penelitian ini lebih membahas aspek-aspek pengembangan sosial secara lebih terperinci daripada menguraikan aspek hubungan dengan allah (hablun min allah) sebagai salah satu cakupan materi pendidikan akhlak. Penelitian ini mencoba mengkritik bagaimana pengembangan aspek sosial dalam pembelajaraan pai di sekolah dasar yang kurang memenuhi standar pendidikan akhlak kontekstual.
Ketiga, buku karya nurul zuriah, pendidikan moral dan budi pekerti dalam perspektif perubahan, menggagas platform pendidikan budi pekerti secara konstektual dan futuristik. Buku ini menerangkan urgensi pendidikan akhlak bagi kehidupan bermasyarakat serta bagaimana menggagas pendidikan moral bagi masa depan. Tidak berbeda jauh dengan buku-buku akhlak lain, buku ini juga mengungkapkan pengertian pendidikan akhlak. Namun lebih secara khusus buku ini membidik bagaimana mengonsep pendidikan akhlak yang relevan sesuai perubahan zaman serta problematika dan kurikulum berbasis kompetensi pendidikan budi pekerti di lingkungan sekolah/madrasah.

E.     Metodologi penyusunan
Tulisan/penyusunan ini termasuk dalam penyusunan kualitatif, sebagaimana dalam banyak literatur, penelitian kualitatif instrumen utamanya adalah peneliti sendiri. Maka untuk lebih jelasnya metodologi yang digunakan penyusun adalah sebagai berikut:
1.      Metode penyusunan
Metode penyusunan yang digunakan dalam penulisan muallafah ini adalah penyusunan kepustakaan, (library reseach) yaitu dengan mengumpulkan data atau bahan-bahan yang berkaitan dengan pokok pembahasan dengan mengambil dari sumber kepustakaan.
2.      Obyek penyusunan
Obyek penyusunan muallafah ini adalah kitab Washoya al-abaa’ Lil abnaa’ yakni, secara khusus meneliti pendidikan akhlak dalam kitab ini untuk diselaraskan dengan pendidikan akhlak kontekstual.
3.      Metode pengumpulan data
Sebagaimana para ahli berpendapat bahwa kualitas data itu ditentukan oleh reliabilitas dan validitas alat pengambil data, sehingga antara analisis data dan pengumpulan datanya harus saling menyesuaikan. Sebagai bentuk upaya penelitian yang digunakan adalah penelitian kepustakaan, (library reseach),maka peneliti mengumpulkan data atau bahan-bahan yang berkaitan dengan pokok pembahasan dengan mengambil dari sumber kepustakaan, sumber ini diklasifikasikan menjadi dua yaitu:
a.       Sumber data primer
Data primer adalah data yang langsung berkaitan dengan pokok bahasan penelitian ini,[10] yaitu berupa kitab Washoya al-abaa’ Lil abnaa’ dan buku pelajaran dasar tentang akhlak sebagai interpretasi dari kitab aslinya.
b.      Sumber data sekunder
Sumber data sekunder bisa dikatakan sebagai buku penunjang dan pendukung dalam melengkapi sumber data primer, serta membantu interpretasi dalam menganalisis isi materi. Diantara data- data tersebut adalah: pertama, buku pendidikan moral dan budi pekerti dalam perspektif perubahan karangan Nurul zuhriah. Buku ini sebagai acuan dalam mengupas pendidikan akhla kontekstual. Kedua, buku akhlak mulia, penerjemah abdul hayyie alkattani dkk, karangan ali abdul halim Mahmud. Yaitu, sebagai landasan teori mengenai hakikat dan tujuan pendidikan akhlak. Ketiga, buku dinamika pendidikan nasional, dalam percaturan dunia global, karangan suyanto, dan buku wawasan pendidikan, sebuah pengantar pendidikan, karangan karangan suparlan suhartono, kedua buku ini sebagai referensi terkait problematika pendidikan akhlak saat ini.
4.      Metode analisis data
Metode analisis data yang penyusun gunakan yaitu metode hermeneutik. Data yang telah terkumpul kemudian dianalisis secara non statistik. Lexy j moleong berpendapat, hal ini karena pengaruh penerapan metode secara kualitatif. Metode ini untuk menganalisis relevansi kitab Washoya al-abaa’ Lil abnaa’  terhadap pendidikan akhlak kontekstual.
Adapun langkah konkret metode hermeneutik yang digunakan adalah sebagai berikut: metode ini penulis gunakan dalam rangka untuk menyimpulkan isi kitab Washoya terkait dengan pembahasan sub pokok pembahasan tertentu, yakni pendidikan akhlak kontekstual. Dan sebelumnya telah penulis identifikasi secara keseluruhan dari pokok-pokok pemikiran syaikh muhammad syakir. Dalam buku hermeneutika al-qur’an mazhab yogya, muzairi mengutip dari rihchard e palmer, kata hermeneutika diterjemahkan dengan to interpret (artinya: menginterpretasikan, menerjemahkan, menafsirkan). Atau dalam padanan katanya adalah Tafsir, ta’wil, syarh dan Bayan.[11]
Ada 3 unsur pokok yang menjadi pilar utama dalam hermeneutik sebagaimana yang diungkapkan ibnu taimiyyah mengenai proses penafsiran. Tiga unsur tersebut yaitu: teks, pengarang dan audien atau ditujukan kepada siapa.[12]
Terlepas dari perdebatan metodologi hermeneutik dalam penafsiran al-qur’an, karena penafsiran al-qur’an terkait dengan nilai sakral al-qur’an, penulis berpendapat metode ini bisa ditransfer sebagai metode analisis data dalam penelitian sosial. Praktiknya adalah: pertama-tama penulis menyajikan apa adanya teks tersebut, kemudian menguraikan data-data terkait biografi pengarangnya, baik beberapa buah karyanya, backgroundnnya maupun konteks sosial saat teks tersebut lahir. Selanjutnya setelah melewati proses content analisys untuk menelaah isi pesan yang ada dalam kitab washoya (termasuk juga kitab ini diperuntukkan untuk siapa), penulis memadukan isi dalam kitab tersebut dengan permasalahan pendidikan akhlak kontekstual. Dalam kondisi ini hermeneutik memerankan dirinya sebagai sebuah metode yang menafsirkan atau menginterpretasikan.
Langkah selanjutnya yaitu menganalisis data menurut isinya atau usaha untuk mengungkapkan isi sebuah buku baik situasi penulis maupun bukunya. Pertimbangan metode ini selain sebagai penyesuaian data dengan analisis data non statistik, juga sebagai penunjang utama untuk menginterpretasikan data. Tujuan analisis pada tahapan ini untuk menganalisis isi pesan suatu komunikasi yang ada. Dengan menganalisis isi kitab Washoya al-abaa’ Lil abnaa’ baik dari sisi materi, bahasa maupun sisi penulisnya, diharapkan bisa memberi gambaran mengenai relevansi kitab washoya terhadap pendidikan akhlak kontekstual. Sehingga memunculkan wacana mengenai hakikat pendidikan akhlak, bagaimana kitab ini jika disesuaikan dengan pendidikan akhlak kontekstual. Diharapkan usaha ini bisa menciptakan praktik pendidikan akhlak yang bersifat subtantif bukan formalitas semata.



[1]            Nurul Zuriah, Pendidikan Moral Dan Budi Pekerti Dalam Perspektif Perubahan,( Jakarta: Pt Bumi Aksara, 2007), Hlm.18.
[2]            Nurul Zuriah, Pendidikan Moral Dan Budi Pekerti Dalam Perspektif Perubahan,( Jakarta: Pt Bumi Aksara, 2007), Hlm. 27-28.
[3]            Ali Abdul Halim Mahmud, Akhlak Mulia, Penerjemah Abdul Hayyie Alkattani Dkk, (Jakarta: Gema Insani, 2004), Hlm.173.
[4]            Tim Redaksi Fokusmedia, Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional No.20 Tahun 2003, (Bandung: Fokusmedia, 2003), Hlm. 60.
[5]            Nurul Zuriah, Op.Cit., Hlm. 10-11.
[6]            Muhammad Syakir, Washoya Al-Abaa, Lil Abnaa, (Semarang: Toha Putra, T.T.), Hlm. 2.
[7]            Nurul Zuriah, Op.Cit., Hlm. 165.

[8]            Muallifah, Psycho Islamic Smart Parenting, (Jogjakarta: Diva Press, 2009), Hlm. 102.
[9]            Mohammad Fauzil Adim, Mendidik Anak Menuju Taklif, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998), Hlm.16.

[10]          Winarno Muhammad, Dasar Dan Teknik Research, Pengantar Metodologi Llmiah, (Bandung: Cv Transito, 1997), Hlm. 156.
[11] Syahiron Syamsudin Dkk, Hermeneutika Al-Qur’an, (Yogyakarta: Penerbit Islamika, 2003), Hlm. 54.
[12] ibid., Hlm. 62.

 

BAB II
PENDIDIKAN AKHLAK

A.    Hakikat dan pengertian pendidikan akhlak
Penggabungan dua kata yakni pendidikan dan akhlak menunjukkan ada keterkaitan diantara dua kata tersebut. Maka perlu diketahui maknanya satu persatu. Pertama, pendidikan, diartikan sebagai proses pengubahan sikap tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan.[1]
Dalam undang-undang ri no.20 tahun 2003 disebutkan bahwa pendidikan adalah usaha dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memilliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta ketermpilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.[2] dan pendidikan ini merupakan kegiatan simultan di seluruh aspek kehidupan manusia yang berlansung di segala lingkungan di mana dia berada, di segala waktu, dan merupakan hak dan kewajiban bagi siapapun, serta terlepas dari diskriminasi apapun.[3]
14
kedua, akhlak, masih serumpun dengan kata khuluqun dan al-kholqu yang secara bahasa diartikan ciptaan. Akhlak dimaksudkan sebagai suatu hal yang berkaitan dengan sikap, perilaku, dan sifat-sifat manusia dalam berinteraksi dengan dirinya dan sasarannya dan makhluk-makhluk lain serta dengan tuhannya.[4] menurut imam al-ghazali:[5]

الخلق عبرة عن هيــٔـة في النفس را سخة عنها تصدرالأ فعال بسهولة ويسر من غير حا جة الي فكر وروية ٢٢
“akhlak adalah suatu sifat yang tertanam dalam jiwa yang daripadanya timbul perbuatan-perbuatan dengan mudah dengan tidak memerlukan pertimbangan pikiran”

Imam al-gazhali berpendapat bahwa suatu perbuatan itu bisa disebut akhlak jika perbuatan tersebut dilakukan dengan spontan atau tanpa pertimbangan karena sikap dan perbuatan yang sudah melekat dalam pribadi menjadi watak. Batasan tentang perbuatan yang sudah menjadi watak ini yang kemudian banyak disepakati sebagai salah satu ciri akhlak. Iman Abdul Mukmin dalam buku “meneladani Akhlak Nabi”, berpendapat bahwa akhlak mengandung beberapa arti yaitu: tabiat, adat dan watak. Pengertian akhlak sering kali membaur dengan pengertian moral, budi pekerti, etika, kepribadian, afektif. Namun, dari beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud akhlak adalah sebuah sistem yang lengkap yang terdiri dari karakteristik-karakteristik akal atau tingkah laku yang membuat seseorang menjadi istimewa. Karakteristik-karakteristik ini membentuk kerangka psikologi seseorang dan membuatnya berperilaku sesuai dengan dirinya dan nilai yang cocok dengan dirinya dalam kondisi yang berbeda-beda.[6]
Dari pengertian tersebut ali abdul halim menyamakan antara akhlak dan moral, kemudian membedakan akhlak atau moral dengan kepribadian, yakni: moral lebih terarah pada kehendak dan diwarnai dengan nilai-nilai, sedangkan kepribadian mencakup pengaruh fenomena sosial bagi tingkah laku. Hal ini sangat rasional karena secara universal dan hakiki, moralitas merupakan aturan, kaidah baik dan buruk, simpati atas fenomena kehidupan dan penghidupan orang lain dan keadilan dalam bertindak.[7] berarti akhlak itu mencakup pada nalar emosional dan afeksi. Manusia secara fitrah dapat membedakan tindakan yang baik dan yang buruk atau yang pantas dan yang tidak pantas,[8] namun kelengkapan kaidahkaidahnya perlu diisi lewat pembinaan atau pendidikan. Maka dari itulah dalam islam akhlak merupakan asas terpenting untuk membina pribadi dan masyarakat.
Penggabungan dua kata tersebut menjadi pendidikan akhlak berarti suatu usaha mendewasakan manusia melalui penyampaian bahan pengajaran dalam kegiatan belajar mengajar terutama dalam bidang akhlak. Atau sebagaimana pendapat nurul zuriah yang mengartikannya sama dengan pendidikan budi pekerti yang berarti usaha pendidikan yang bertujuan mengembangkan watak dengan cara menghayati nilai-nilai dan keyakinan masyarakat sebagai kekuatan moral dalam hidupnya. Yakni, melalui kejujuran, dapat dipercaya, disiplin dan kerja sama yang menekankan ranah afektif tanpa meninggalkan ranah kognitif dan psikomotorik. Pengertian ini yang kemudian menjadikan akhlak sebagai suatu hal yang kompleks dan sempurna, karena mencakup semua aspek. Sehingga menjadi tugas utama nabi muhammad saw adalah menyempurnakan akhlak manusia. Uraian pengertian di atas menunjukkan letak keterkaitannya adalah bahwa salah satu usaha pembentukan akhlak adalah lewat pendidikan, begitu juga salah satu tujuan pendidikan adalah sebagai upaya mengembangkanmanusia seutuhnya. Sebagaimana termuat dalam uu Ri no.2 tahun 1989, pasal 4: pendidikan nasional bertujuan mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia indonesia seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan bertaqwa kepada tuhan yang maha esa dan berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan keterampilan, kepribadian yang mantap dan mandiri, serta tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan.
Termaktub dalam pasal tersebut bahwa pendidikan sejati merupakan proses pembentukan moral masyarakat beradab, masyarakat yang tampil dengan wajah kemanusiaan dan pemanusiaan yang normal. atau kata lainnya, pendidikan adalah moralisasi masyarakat, terutama peserta didik.[9] jadi, tanpa menggabungkan dua kata tersebut pun pendidikan dan akhlak sangat berkaitan. Akhlak dalam islam bukanlah tanpa dasar, mengenai pembinaan akhlak, islam secara lengkap menerangkannya baik dalam nash al-qur’an maupun hadis. Keterangan akhlak dalam al-qur’an tersebut ada yang sifatnya mendidik, memotivasi untuk selalu berbuat baik maupun peringatan dan ancaman bagi orang-orang yang yang berperilaku tercela. Baik bersifat umum maupun secara khusus membidik satu perbuatan, seperti dalam surat al-hujuraat ayat 12:
يأيهاالذين ٔامنوا اجتنبوا كثيرا من الظن ان بعض الظن اثم، ولاتجسسوا ولا يغتب بعضكم بعض، ايحب احدكم ان يأ كــل لحم أخيه ميتا فكرهتموه، واتق الله ان الله تواب رحيم.
“hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan prasangka (kecurigaan), karena sebagian dari purba-sangka itu dosa. Dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang diantara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada allah. Sesungguhnya allah maha penerima taubat lagi maha penyayang”.

Sedangkan ayat-ayat yang menunjukkan motivasi untuk berbuat baik tersebut diistilahkan adalam al-qur’an misalnya sebutan ahlul birri atau orang-orang yang selalu melakukan kebaikan (al-baqarah ayat 177), uluul al-baab atau orang-orang yang selalu mengingat allah dan berakal (ar-ra’ad ayat 19-20), dan al-muhsinun atau orang-orang yang selalu melakukan kebaikan (an-nisa’ ayat 36).
Sedangkan dalam hadits diterangkan baik dalam bentuk sabda nabi maupun sikap nabi, baik tentang perbuatan terpuji maupun tercela, baik sikap nabi sebagai seorang pribadi, dalam kehidupan sosial maupun dalam berpolitik. Salah satu haditsnya adalah:[10]
عن ابي هريرة رضي الله عنه قال،قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: انما بعثت لأ تمم صلح الاخلق ( رواه البخاري)
“dari abu hurairah ra. Berkata rasulullah saw bersabda: sesungguhnya aku diutus adalah hanya demi memperbaiki akhlak”.

B.     Tujuan pendidikan akhlak
Mengacu pada definisinya, pendidikan akhlak bertujuan untuk membentuk akhlak terpuji dan mulia agar terjadi keseimbangan dalam kehidupan manusia seutuhnya dan sesuai dengan ajaran agama islam. Yakni, seimbang antara hubungan manusia dengan tuhannya, dengan sesama manusia, dengan alam maupun dengan dirinya sendiri, agar seseorang bisa membedakan makna hak dan kewajiban. Sedangkan dalam proses belajar mengajar pendidikan akhlak bertujuan agar peserta didik mampu menggunakan pengetahuan, nilai, dan keterampilan mata pelajaran itu sebagai wahana yang memungkinkan tumbuh dan berkembangnya serta terwujudnya sikap dan perilaku peserta didik yang konsisten dengan akhlak mulia. Tujuan tersebut sangat sesuai dengan tujuan seorang muslim dalam kehidupan di dunia, yaitu:
1.      Mengesakan allah swt, tidak menyekutukan-nya dan hanya menyembah-nya sesuai dengan syariat yang dia turunkan.
2.      Mengikuti dan konsisten terhadap aturan allah yang sesuai dalam  al-qur’an dan hadis.
3.      Memakmurkan bumi dan menghantarkan manusia kepada tingkat kehidupan yang lebih baik, sesuai dengan kemuliaan yang dianugerahkan oleh allah kepada mereka.[11] dalam kitab washoya al-abaa’ lil abnaa’, syaikh muhammad syakir berpendapat tujuan pendidikan akhlak adalah agar seseorang bisa berperilaku dengan akhlak yang mulia. Maka dari itu pendidikan akhlak harus lebih menekankan pada penanaman nilai daripada pengajaran. Tujuan tersebut bisa dikatakan sebagai tujuan pendidikan akhlak secara umum. Sedangkan tujuan yang sifatnya praktis dalam dunia Pendidikan nasional, kita bisa mengacu pada tujuan pendidikan budi pekerti sebagaimana menurut nurul zuriah:
a.       Santri/ siswa memahami nilai-nilai budi pekerti di lingkungan keluarga, lokal, nasional, dan internasional melalui adat istiadat, hukum, undang-undang dan tatanan antar bangsa.
b.      Santri/siswa mampu mengembangkan watak atau tabiatnya secara konsisten dalam mengambil keputusan budi pekerti di tengah-tengah rumitnya kehidupan bermasyarakat saat ini.
c.       Santri/siswa mampu menghadapi masalah nyata dalam masyarakat secara rasional bagi pengambilan keputusan yang terbaik setelah melakukan pertimbangan sesuai dengan norma budi pekerti.
d.      Santri/siswa mampu menggunakan pengalaman budi pekerti yang baik bagi pembentukan kesadaran dan pola perilaku yang berguna dan bertanggung jawab atas tindakannya.[12]

C.    Ruang lingkup materi
Pendidikan akhlak secara global mengandung dua cakupan yaitu akhlak terpuji dan akhlak tercela. Sedangkan ruang lingkup materi dan subtansi pendidikan akhlak meliputi: akhlak terhadap tuhan yang maha esa, akhlak terhadap sesama manusia dan akhlak terhadap lingkungan. Atau bisa disimpulkan sebagai tuntutan tanggung jawab sebagai individu, anggota masyarakat dan sebagai bagian dari umat. Perpaduan tiga unsur ini dalam pendidikan islam bukan tanpa dasar, tapi berlandaskan dalil-dalil dalam al-qur’an maupun hadis.[13] sesuai dengan tujuan pendidikan akhlak serta menurut pendapat kebanyakan tokoh bahwa materi pendidikan akhlak harus mencakup 3 hal yaitu:
1.      Akhlak terhadap allah swt, termasuk juga iman kepada malaikat, rasul dan rukun iman yang lain. Dasar pendidikan akhlak bagi seorang muslim adalah akidah yang benar terhadap alam dan kehidupan, oleh karena itu jika seseorang berakidah dengan benar niscaya akhlaknya pun akan benar.[14] beberapa rukun iman tersebut merupakan akidah yang dimaksudkan sebagai dasar pendidikan akhlak. Keterkaitan akidah dan akhlak juga diterangkan dalam al-qur’an:
إلاالذين عـهدتم من المشركين ثم لم ينقصوكم شيأ ولم يظهروا عليكم احدا فأتموا إليهم عهدهم إلى مدتهم، ان الله يحب المتقين
“kecuali orang-orang musyrikin yang kamu telah mengadakan perjanjian (dengan mereka) dan mereka tidak mengurangi sesuatu pun (dari isi perjanjian)mu dan tidak (pula) mereka membantu seseorang yang memusuhi kamu, maka terhadap mereka itu penuhilah janjinya sampai batas waktunya. Sesungguhnya allah menyukai orang-orang yang bertakwa.(qs. 9:4)

2.      Akhlak terhadap sesama manusia, mencakup akhlak terhadap dirinya sendiri dan orang tuanya, serta manusia-manusia yang lain. Di sini pendidikan akhlak sebagai landasan terpenting dalam kehidupan sosial karena kehidupan sosial adalah fitrah manusia.
3.      Akhlak terhadap lingkungan, yakni alam.

D.    Metode dan model penyampaian
Pendidikan akhlak merupakan manifestasi pendidikan nilai di sekolah/pesantren. Sesuai dengan definisi akhlak, bahwa suatu perilaku bisa dikatakan sebagai akhlak ketika sudah menjadi watak, maka hal ini membutuhkan suatu proses yang panjang dan terus menerus. Penanaman ini harus terus menerus diberikan, ditawarkan dan diulang-ulang agar terinternalisasi dan dapat diwujudkan dalam tindakan nyata dan konkret. Peristiwa dan pengalaman hidup yang diolah, didalami dan dimaknai inilah yang akan menjadikan seseorang berakhlak baik secara sejati dan hakiki. Maka ada beberapa beberapa model dan cara bagaimana pendidikan akhlak itu ditanamkan. Beberapa Model Tersebut Adalah:
1.      Model sebagai mata pelajaran tersendiri pendidikan akhlak disampaikan sebagai mata pelajaran tersendiri seperti bidang mata pelajaran yang lain. Dalam hal ini ustadz/ guru bidang studi budi pekerti harus membuat garis besar pedoman pengajaran (gbpp), satuan pelajaran (sp), rencana pengajaran (rp), metodologi pengajaran, dan evaluasi pengajaran. Selain itu akhlak sebagai mata pelajaran harus masuk pada jadwal yang tersetruktur.
2.      Model terintegrasi dalam semua bidang studi penanaman nilai dalam pendidikan akhlak juga dapat di sampaikan secara terintregasi dalam semua bidang studi. Ustadz/  guru dapat memilih nilai-nilai yang akan di tanamkan melalui beberapa pokok atau sub pokok bahasan yang berkaitan nilai-nilai hidup. Dengan model seperti ini, semua ustadz/guru adalah pengajar akhlak tanpa terkecuali.
3.      Model di luar pengajaran penanaman nilai-nilai hidup yang membentuk akhlak juga dapat ditanamkan melalui kegiatan di luar pengajaran. Penanaman nilai dengan model ini lebih mengutamakan pengolahan dan penanaman nilai melalui suatu kegiatan untuk dibahas dan dikupas nilai-nilai hidupnya. Keunggulan metode ini adalah anak mendapat nilai melalui pengalaman konkret. Pengalaman akan lebih tertanam dibanding sekedar informasi.[15]
4.      Model gabungan. Model gabungan berarti menggunakan gabungan antara model terintegrasi dan model di luar pelajaran. Penanaman nilai dilakukan melalui pengakaran formal terintegrasi bersamaan dengan kegiatan di luar pelajaran. Kemudian, beberapa metode penyampaian tersebut adalah:
1.      Metode demokratis. Metode demokratis menekankan pencarian secara bebas dan penghayatan nilai-nilai hidup dengan langsung melibatkan anak untuk menemukan nilai-nilai tersebut dalam pendampingan dan pengarahan guru. Anak di beri kesempatan untuk memberikan tanggapan, pendapat, dan penilaian terhadap nilai-nilai yang di temukan. Ustadz/ guru tidak bersikap sebagai pemberi informasi satu-satunya dalam menemukan nilai-nilai hidup yang dihayatinya. Ustadz/ guru berperan sebagai penjaga garis atau koridor dalam penemuan nilai hidup tersebut.
2.      Metode pencarian bersama metode ini menekankan pada pencarian bersama yang melibatkan siswa dan guru. Pencarian bersama lebih berorentasi pada diskusi atas soalsoal yang aktual dalam masyarakat, di mana proses ini di harapkan menumbuhkan sikap berpikir logis, analitis, sistematis, argumentatif untuk dapat mengambil nilai-nilai hidup dari masalah yang diolah bersama.
3.      Metode siswa aktif menekankan pada proses yang melibatkan anak sejak awal pembelajaran. Ustadz/ guru memberikan pokok bahasan dan anak dalam kelompok mencari dan mengembangkan proses selanjutnya. Anak membuat pengamatan, pembahasan analisis sampai pada proses penyimpulan atas kegiatan mereka. Metode ini ingin mendorong anak untuk mempunyai kreatifitas, ketelitian, kecintaan terhadap ilmu pengetahuan, kerjasama, kejujuran dan daya juang.
4.      Metode keteladanan. Apa yang dilakukan oleh ustadz/  guru dan orang tua akan ditiru oleh anakanak. Tingkah laku orang muda dimulai dengan meniru, dan ini berlaku sejak anak masih kecil. Apa yang dikatakan orang yang di lebih tua akan terekam dan dimunculkan kembali oleh anak. Anak belajar dari lingkungan terdekat dan mempunyai intensitas rasional yang tingi. Apa yang terjadi dan tertangkap oleh anak bisa jadi tanpa disaring akan langsung dilakukan. Ustadz/ guru dapat menjadi tokoh idola dan panutan bagi anak. Dengan keteladanan guru dapat membimbing anak untuk membentuk sikap yang kokoh. Keselarasan antara kata dan tindakan ustadz- ustadz / guru-guru akan amat berarti bagi seorang anak, demikian pula apabila terjadi ketidakcocokan antara kata dan tindakan ustadz/ guru.
5.      Metode live in. Metode ini di maksudkan agar anak mempunyai pengalaman hidup bersama orang lain langsung dalam situasi yang sangat berbeda dari kehidupan sehari-harinya. Dengan pengalaman langsung anak dapat mengenal lingkungan hidup yang berbeda dalam cara berpikir, tantangan, permasalahan, termasuk tentang nilai-nilai kehidupannya. Live in tidak harus berhari-hari secara berturut-turut dilakukan, namun dapat juga dilaksanakan secara periodik.
6.      Metode penjernihan nilai. Latar belakang sosial kehidupan, pendidikan dan pengalaman dapat membawa perbedaan pemahaman dan penerapan nilai-nilai hidup. Adanya berbagai pandangan hidup dalam masyarakat membuat bingung seorang anak. Apabila kebingungan ini tidak dapat terungkap dengan baik dan tidak mendapat pendampingan yang baik, ia akan mengalami pembelokan nilai hidup. Oleh karena itu, dibutuhkan proses penjernihan nilai dengan dialog afektif dalam bentuk sharing atau diskusi yang mendalam dan intensif.[16]

E.     Problematika pendidikan akhlak kontekstual
Kemerosotan moral di zaman modern rupanya cukup besar mendorong dunia pendidikan untuk memfokuskan perhatiannya pada pendidikan akhlak. Kini telah muncul kesadaran bahwa prakarsa untuk melakukan reformasi pendidikan akhlak harus menempatkan sekolah sebagai ujung tombaknya. Terlebih dewasa ini, pendidikan akhlak dipandang sebagai tanggung jawab semua pihak. Bisa dikatakan problem utama kemerosotan akhlak adalah dekadensi moral dan ketaatan seseorang terhadap agama. Sebagai contohnya adalah terlihat teladan para birokrat dan publik figur lain yang semakin kurang. Nilai-nilai moral yang mereka pertunjukkan di depan anak-anak sedemikian riskan dan vulgar diketahui anak-anak. Arus globalisasi sangat berpengaruh pada pergeseran nilai-nilai akhlak, karena dunia menjadi tanpa pembatas ruang dan waktu. Seseorang bisa berinteraksi dengan siapapun tanpa ada yang mengontrol. Kepribadiannyalah yang bisa mengontrol dari sikap yang negatif. Akibat selanjutnya adalah krisis ekonomi di indonesia yang membawa dampak pada tuntutan ekonomi keluarga, sehingga walaupun orang tua mengetahui akan pentingnya penanaman akhlak, tetapi kurang dapat menerapkannya pada anak. Problematika pendidikan akhlak tersebut menjangkiti pada semua lapisan, yakni, peran orang tua, peran sekolah, peran masyarakat dalam membangun generasi yang bermoral, serta peran pemerintah yang sampai saat ini baru berperan dalam dataran konsep. Maka dari itu, pendidikan akhlak mempunyai beberapa tantangan dan catatan penting untuk menuju pada pendidikan akhlak kontekstual. Diantara tantangan tersebut adalah: arus globalisasi yang berkembang pesat, pola hidup dan perilaku masyarakat yang telah bergeser sedemikian serempaknya, moral para pejabat yang sudah amat melekat, kurikulum sekolah yang mengintegrasikan pendidikan akhlak pada semua mata pelajaran, padahal tidak semua guru bisa mengaplikasikannya.[17]
Catatan kritis tersebut adalah: pertama, lingkungan masyarakat dan keluarga sangat berpengaruh bagi terlaksananya pendidikan akhlak secara optimal. Kedua, praktek pendidikan akhlak jangan hanya sebatas sopan santun yang bersifat dhohir seperti etika makan, etika minum dan sebagainya. Ketiga, isi materi pendidikan akhlak harus dicermati supaya jangan sampai kemudian membatasi kreativitas peserta didik. Keempat, sikap pendidik juga harus sebagai teladan. Maka, diantara beberapa tantangan pendidikan akhlak dewasa ini adalah: pertama, arus globalisasi dengan teknologinya yang berkembang pesat merupakan tantangan tersendiri di mana informasi, baik positif maupun negatif dapat langsung diakses. Tanpa adanya bekal yang cukup dalam penanaman agama (termasuk akhlak) hal itu akan berdampak negatif jika tidak disaring dengan benar. Kedua, pola hidup dan perilaku yang telah bergeser sedemikian serempaknya di tengah-tengah masayarakat. Ketiga, krisis kepercayaan rakyat terhadap para pejabat dan birokrat karena moral yang sudah amat melekat, seperti, koruptor, curang, tidak perduli pada kesusahan rakyatnya. Keempat, kondisi ekonomi indonesia.

F.     Pendidikan akhlak kontekstual
Melihat problematika di atas, maka pendidikan akhlak dikatakan kontekstual ketika bisa mnejawab tantangan tersebut. Tentunya dengan tidak menafikan maksud hakikat pendidikan akhlak. Sehingga kontekstual tersebut bisa diukur dengan beberapa pertimbangan di bawah ini.
Pertama, sesuai dengan hakikat dan tujuan pendidikan akhlak. Menurut undang-undang ri tentang sistem pendidikan nasional, pendidikan akhlak yang terkandung dalam pendidikan agama dimaksudkan untuk membentuk peserta didik menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada tuhan yang maha esa dan berakhlak mulia.[18] yakni terwujudnya insan kamil. Sedangkan yang dimaksud insan kamil adalah individu-individu manusia, bukan kelompok, dan mampu menjangkau segenap hubungan dengan tuhan, lingkungan atau alam sekeliling dan dengan manusia lain dalam suatu kehidupan sosial yang konstruktif dan dengan dirinya sendiri.
Kedua, pendidikan akhlak yang bisa menjawab tantangan zaman sebagaimana problematika pendidikan akhlak di atas. Tujuan akhir pendidikan akhlak di era global adalah menyediakan sdm (sumber daya manusia) yang memiliki mental untuk tidak hanyut diera globalisasi. Melihat problematika di atas, maka pendidikan akhlak harus lebih diarahkan pada aspek sosial. Sehingga pendidikan akhlak tidak terlalu disibukkan dengan urusan formalitas sopan santun belaka, tapi juga perhatian terhadap problem sosial. Sedangkan pendidikan akhlak yang berorientasi pada penegakan moral harus mencakup beberapa komponen penting, diantaranya yaitu:
1.      Pengembangan nilai-nilai demokratis
2.      Pengembangan kehidupan kewargaan dan nilai-nilai komunitas
3.      Pengembangan pemerintahan yang bersih
4.      Pembentukan identitas nasional
5.      Pengembangan ikatan sosial dan kebhinnekaan
6.      Pengembangan kehidupan pribadi.[19]
Ketiga, berkaitan dengan terciptanya insan kamil dan kebutuhan pendidikan akhlak, maka mata pelajaran akhlak harus dirancang dengan pertimbangan bisa memberi pengaruh pada tingkat perkembangan anak, khususnya perkembangan moral. Walaupun fokus pendidikan akhlak lebih khusus pada perkembangan moral anak, namun perlu dicermati lebih dalam bahwa perkembangan berbagai aspek dalam diri anak itu saling berkaitan, sebagai contoh perkembangan fisik mempengaruhi perkembangan psikis, bertambahnya fungsi otak memungkinkan anak dapat tertawa, berjalan dan sebagainya.[20] hal ini sama dengan apa yang dimaksud kecerdesan menurut john dewey, yaitu sesuatu yang menggambarkan tingkah laku manusia secara kompleks, meliputi hal-hal yang berkaitan dengan usaha penyelesaian suatu kesulitan permasalahan dengan situasi problematika hidup.[21] berarti perkembangan kecerdasan otak, emosi dan spiritual itu saling berkaitan. Terdapat kepribadian terpadu antara akal pikiran, perasaan, moral dan keterampilan (cipta, rasa dan karsa) jasmani maupun rohani. Begitu juga mata pelajaran akhlak, materi-materi akhlak seperti sifatsifat terpuji dan tercela juga berperan dalam membentuk mental anak. Sebagai contoh: salah satu akhlak kepada allah mengenal sifat-sifat allah seperti alkhallaq, al-khaliq dan al-badi’, materi ini bertujuan pula untuk menumbuhkan mental kreatif peserta didik karena keterangan dari sifat al-khaliq adalah kreatifitas (kesanggupan mencipta atau berdaya cipta) sebagai salah satu sifat allah merupakan potensi yang ada dalam diri manusia. Contoh lagi, akhlak terpuji seperti toleransi, tanggung jawab dan peduli terhadap sesama dirasa dapat memberi pengaruh terhadap perkembangan emosi anak. Maka kurikulum pendidikan akhlak perlu kiranya dirancang sesuai standar pemenuhan kebutuhan perkembangan anak. Supaya pendidikan akhlak itu dapat mengena pada peserta didik, maka dibutuhkan konsep pendidikan akhlak yang tepat, karena pendidikan akhlak tidak seperti pendidikan lain yang bisa secara langsung dimonitoring pendidik. Sebelum anak didik berfikir logis dan memahami hal-hal yang abstrak, serta belum sanggup menentukan mana yang baik dan mana yang buruk, maka ada berbagai metode yang dapat ditetapkan dalam pendidikan khususnya pada aspek khuluqiyah. Menumbuhkembangkan pemahaman pendidikan akhlak serta mencari inovasi baru menuju tercapainya keberhasilan dalam menanamkan pendidikan akhlak. Mengenai aspek kwowledge, penyusunan materi pendidikan akhlak menjadi urgen. Karena materi pendidikan akhlak mempunyai peran penting bagi tercapainya insan kamil. Menurut hemat penulis, minimal ada dua hal yang harus menjadi pertimbangan penyusunan materi pendidikan akhlak terlepas dari cara penyampaiannya, yaitu (1) dari sisi kemasan bahasa, (2) dari sisi isi materi. Standar isi yang dimaksud adalah memenuhi kebutuhan knowledge dan berpengaruh bagi perkembangan anak. Dalam perkembangan individu dan karakteristik siswa memang memerlukan perlakuan yang berbeda-beda, karena ini merupakan bagian dari pengakuan eksistensi individu, oleh karenanya mutu pengajaran harus diarahkan pada pengaruh kepada siswa secara individual, namun secara umum materi yang dibutuhkan antara siswa satu dengan lainnya bisa disamakan tergantung jenjang usianya. Dari aspek isi materi banyak pendapat mengenai idealitas isi materi pendidikan akhlak berkaitan dengan kebutuhan moral anak. Hal ini bisa dijadikan pertimbangan untuk mengukur relevansi materi bagi perkembangan anak. Yang demikian adalah sebagai perwujudan insan kamil. Dari tulisan e. Shapiro lawrence dalam bukunya, mengajarkan emotional intelligence pada anak, bisa disimpulkan bahwa kebutuhan materi moral anak harus mengandung unsur-unsur:
1.      Perbedaan antara perilaku yang ,baik, dan perilaku yang buruk.
2.      Pengembangan kepedulian, perhatian dan rasa tanggung jawab atas kesejahteraan dan hak-hak orang lain.
Dari aspek perkembangan akhlak, anak usia 7-12 tahun konsep moralnya tidak lagi sesempit pada masa sebelumnya. Diantara alasan pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan anak adalah karena anak ingin menegakkan kemandiriaanya atau bisa juga karena anak sering menganggap peraturan tidak adil.[22] maka penyusunan materi pada tahap awal, anak diperkenalkan pada penalarannya tahap demi tahap. Nilai-nilai hidup yang diperkenalkan juga harus merupakan realitas yang ada dalam masyarakat kita, karena sesuai dengan karakteristik perkembangan anak, masa ini adalah masa berakhirnya daya khayal dan mulai munculnya berpikir konkret.[23] pada tahap ini anak dalam masa tamyiz, yakni kemampuan awal membedakan baik dan buruk serta benar dan salah melalui penalarannya. Selanjutnya pada masa amrad , yakni usia 10-15 tahun anak memerlukan pengembangan-pengembangan potensinya untuk mencapai kedewasaan dan bertanggung jawab secara penuh.[24] maka perlu menyusun pendidikan akhlak sesuai kebutuhan moral pada tahap umur anak. Karena masing-masing jenjang umur mempunyai tugas perkembangan dan karakteristik yang berbeda-beda. Yang pasti harus bersifat sederhana (dasar) dan praktis yang dapat dilakukan oleh anak dan didasarkan pada kompetensi dasar anak. Di bawah ini adalah matriks materi dan metode pendidikan akhlak yang kontekstual dan sesuai tingkat perkembangan emosional,[25] ini sebagai acuan menyusun materi pendidikan akhlak kaitannya dengan perkembangan emosional. Mengenai aspek religiusitas atau akidah tinggal disesuaikan.

Tabel materi dan metode pendidikan akhlak yang kontekstual dan tingkat perkembangan emosionalnya

Tingkat perkembangan manusia
Lingkup hidup
Tingkat prekembangan emosi-intelek
Materi/nilai yang di didikkan
Metode penyampaiyan dan pembiasaan
Balita
Keluarga
Konformis
Nilai-nilai (kelakuan, kerajinan,kerapian dan lain-lain) melekat pada kelakuan ibu, ayah, dan saudara
Ganjaran dan hukuman
Anak
Keluarga, masyarakat lokal, lingkungan sekolah/tempat belajar
Konformis kritis
Nilai-nilai, (kelakuan, kerajinan, kerapian,dan lain-lain) melekat pada idola dan tokoh ideal melalui legenda, mitos dan pahlawan
-teladan nyata – ganjaran dan hukuman        -intruksi
Remaja
Keluarga masyarakat lokal lingkungan sekolah/belajar masyarakat nasional
Kritis
Oportunis
Eksperimen nilai
Nilai-nilai (kelakuan kerajinan kerapian dan lain-lain) dilihat dari kasus aktual,lingkup lokal dan nasional.
Keteladanan nyata orang tua ,guru dan pemimpin.
-diskusi
Pemuda
Keluarga
Masyarakat lokal
Masyarakat ragional
Masyarakat internasional.
-kritis reflektif                      -kritis emosional
Nilai-nilai (kelakuan kerajinan kerapian dan lain-lain) dilihat dari : kontekstual aktual
Kasus-kasus aktual politik dan ekonomi dalam lingkup nasional dan internasional.
Indifidualisasi
Diskusi terbuka
Komperatif relektif.

G.    Kontekstualisasi kitab kuning akhlak terhadap pendidikan akhlak kontekstual
Kitab kuning adalah kitab klasik berbahasa arab yang berisi tentang ilmu agama. Kitab klasik yang dipelajari di pesantren di indonesia merupakan khazanah keilmuan islam yang harus dilestarikan. Kitab klasik ini dalam istilah pesantren sering disebut kitab kuning. Pesantren Sangat Menghormati Dan Menghargai Kitab Kuning Karena Kitab Klasik Ini merupakan karya agung para ulama sholeh sejak dari periode tabi’in. Melestarikan kitab kuning berarti menjaga mata rantai keilmuan islam. Memutuskan mata rantai ini, sama artinya membuang sebagian sejarah intelektual umat. Membaca karya ulama berarti menyerap keilmuan para pewaris nabi. Secara umum, keberadaan kitab-kitab ini sesungguhnya merupakan hasil karya ilmiah para ulama di masa lalu. Kitab kuning merupakan hasil kerja keras para sarjana islam klasik yang menyimpan segudang jawaban atas permasalahan-permasalahan masa lalu. Sementara itu, di sisi lain kita adalah generasi yang hidup di ruang dan kondisi yang berbeda serta menghadapi peliknya problematika modern. Upaya yang dilakukan para pemikir bebas dalam merespon pernak-pernik modernitas sembari meninggalkan khazanah tradisional islam tak lain hanyalah kecongkakan intelektual. Namun serta merta menjadikan kitab kuning sebagai pedoman yang sepenuhnya laku adalah tindakan yang kurang bijaksana, karena hanya al-qur’an dan hadits-lah yang bersifat universal.
Untuk memahaminya memerlukan keterampilan tertentu dan tidak cukup hanya dengan menguasai bahasa arab saja. Sehingga banyak ditemukan orang yang pandai berbahasa arab namun masih kesulitan menjelaskan kandungan kitab kuning secara persis. Sebaliknya tidak sedikit ulama yang menguasai kitab kuning tetapi tidak bisa berbahasa arab. Sebenarnya kesulitan memahami kitab kuning yang keseluruhan isinya ditulis dengan bahasa arab bisa saja dijembatani dengan penterjemahan. Akan tetapi masih banyak kalangan umat islam di indonesia merasa keberatan dengan solusi praktis tersebut. Selain mahalnya biaya teknis penterjemahan, bahasa arab adalah bahasa kebudayaan dan keilmuan islam. Dimana pun, kebudayaan dan keilmuan tidak pernah dapat dialih-bahasakan secara utuh. Maka muncullah metode utawi iki iku yang ternyata sangat efisien dan efektif untuk penguasaan semantik maupun gramatika bahasa arab.
Metode ini pada satu sisi memang telah berhasil dalam mengantarkan dan menyelesaikan kesenjangan bahasa. Sebagaimana kita maklumi, bahasa arab yang digunakan dalam kitab kuning, kebanyakan tidak menggunakan tanda baca seperti titik, koma, tanda tanya dan tanda baca lainnya. Subyek dan predikat sering dipisahkan dengan jumlah mu' taridlah yang cukup panjang dengan tanda-tanda tertentu. Keadaan ini sudah tentu memerlukan kecermatan dan keterampilan khusus agar pembaca mampu memahami makna yang terkandung di dalamnya. Akan tetapi pada sisi lain metode utawi iki iku cenderung memancing para santri (pelajar) untuk memfokuskan diri pada aspek redaksional yang berujung pada terbentuknya pola pikir tekstual dalam memahami kitab kuning. Para santri yang belajar dengan metode ini cenderung menarik problem nyata di sekitarnya untuk disikapi sesuai dengan teks kitab kuning. Padahal, kesenjangan waktu antara penulisan kitab kuning dengan saat ini, sulit untuk bisa diharapkan bahwa setiap kasus dapat ditemukan rumusan persisnya dalam kitab kuning.
Maka, pola ini harus diimbangi dengan rota-rota pemahaman kontekstual, karena bukan mustahil jika kitab kuning akan menjadi harta pusaka yang hanya bisa dimiliki tetapi tidak banyak memberikan manfaat bagi solusi permasalahan aktual. Dan bukan berarti pula metode pendidikan kitab kuning harus ditinggalkan. Karya ulama’ zaman dulu mestilah dipahami secara kontekstual, karena kitab kuning dengan segala muatannya bukanlah kebenaran mutlak.[26] begitu juga kitab kuning yang fokus pada pembahasan akhlak. Karena pendidikan akhlak terkait dengan nilai, maka kita bisa mengkontekskan subtansi yang ada dalam suatu ajaran, kemudian diaplikasikan sesuai konteks saat ini. Sehingga salah besar ketika pendidikan akhlak itu dipahami secara sempit hanya pada sopan santun saja. Yang dibutuhkan adalah kemauan untuk membuka diri terhadap berbagai disiplin ilmu (eksak maupun sosial) di luar apa yang selama ini dianggap sebagai "ilmu agama". Misalnya, terkait dengan kebutuhan moral saat ini terkait dengan problem sosial, yaitu dengan mengintegrasikan pendidikan akhlak dengan perkembangan psikologi anak, karena pendidikan akhlak juga berkaitan dengan perkembangan mental anak. Hal ini perlu dilakukan agar pemahaman terhadap kitab kuning benar-benar sesuai dengan konteksnya, baik konteks masa lalu saat kitab kuning itu di tulis maupun konteks permasalahan sekarang. Pengintegrasian kitab kuning dengan berbagai referensi dan ilmu-ilmu lainnya, jika dilakukan dengan serius dan tepat, justru akan menciptakan suatu sinergi ilmiah yang akan berguna untuk memecahkan permasalahan sosial kontemporer tetapi tetap tidak keluar dari akar sejarah tradisi islam masa lalu.[27] membiasakan untuk bersikap kritis dan teliti terhadap objek kajian.
Karena pada dasarnya budaya kritis adalah hal yang lumrah dalam dunia intelektual, melakukan analisa yang mendalam, pengkaji menghubungkan antara dirinya dengan obyek kajian. Langkah ini diperlukan untuk mereaktualisasi dan mengukur relevansi kitab kuning dengan konteks kekinian. Pengkaji dalam hal ini dituntut untuk menjadikan kitab kuning sebagai sesuatu yang cocok untuk diterapkan, sesuai dengan kondisi saat ini dan bersifat ke-indonesiaan. Senantiasa berpegang pada prinsip bahwa syariat islam diciptakan demi tegaknya kemaslahatan sosial pada masa kini dan masa depan.
Problematika kitab kuning saat ini diharapkan pada upaya aktualisasi dan kontekstualisasi. Kelemahan dunia pesantren sekarang ini bukan terletak pada penyerapan dan pemahamannya terhadap kitab kuning, tapi pada aktualisasi dan kontekstualisasi. Jika civitas pesantren mampu mengaktualisasikan kitab kuning ini maka pesantren akan mampu menghadapi berbagai problem dan tantangan bangsa.[28]



[1]            Tim Penyusun Kamus Pembinaan Dan Pengembangan Bahasa Indonesia, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1999), Cet. Ke-10, Hlm. 232.
[2]            Tim Redaksi Fokus Media, Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional No.20 Tahun 2003, (Bandung: Fokus Media, 2003), Hlm. 3.
[3]            Suparlan Suhartono, Wawasan Pendidikan, Sebuah Pengantar Pendidikan, (Jogjakarta: Arruz Media, 2008), Hlm. 49.
[4]            Depag RI, Ensiklopedi Islam I, (Jakarta: Depag Ri, 1993), Hlm. 132.
[5]            Al-Gazhali, Ihya’ulumudin, Jilid Iii, (Libanon: Daarul Fikr, 1995), Hlm. 57.
[6]            Ali Abdul Halim Mahmud, Akhlak Mulia, Penerjemah Abdul Hayyie Alkattani, (Jakarta: Gema Insani Press, 2004), Hlm. 173.
[7]            Sudarwan Danim, Agenda Pembaharuan Sistem Pendidikan, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003), Hlm. 65.
[8]            Iman Abdul Mukmin Sa􀂶adatun, Meneladani Akhlak Nabi, Membangun Kepribadian Muslim, Penerjemah Dadang Sobar Ali, (Bandung: Pt. Rosda Karya, 2006), Hlm. 1.

[9]            Sudarwan Danim, Op.Cit., Hlm. 63.
[10]          Jalaludin Abdurrahman, Jami’ As-Shaghir, Juz I (Indonesia: Dar Al-Ihya’, T.T.), Hlm. 103.
[11]          Ali Abdul Halim Mahmud, Op.Cit., Hlm. 11.
[12]          Nurul Zuriah, Pendidikan Moral Dan Budi Pekerti Dalam Perspektif Perubahan,( Jakarta: PT Bumi Aksara, 2007), Hlm. 67.
[13]          ibid., Hlm. 173.
[14]          ibid., Ali Abdul Halim Mahmud, Hlm. 84.
[15]          Paul Suparno Dkk, Pendidikan Budi Pekerti Di Sekolah, Suatu Tinjauan Umum, (Yogyakarta: Kanisius, 2002), Hlm. 42-44.
[16]          ibid., Hlm.45-52.
[17]          Nurul Zuriah, Op.Cit., Hlm. 166.
[18]          Tim Redaksi Fokusmedia, Op.Cit., Hlm. 60.
[19]          Suyanto, Dinamika Pendidikan Nasional, Dalam Percaturan Dunia Global, (Jakarta: Psap Muhammadiyah, 2006), Hlm. 145.
[20]          f.J. Monks. A.M.P. Knoers, Siti Rahayu Haditomo, Psikologi Perkembangan, Cet.14 (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2002), Hlm. 2.
[21]          James Gounlod, John Dewey􀂶s, Philosophy Of Value, (New York: Humanity Press, 1972), Hlm. 278.
[22]          Elisabeth B.Hurlock, Psikologi Perkembangan, Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan, Alih Bahasa: Istiwidayanti Dan Soedjarwo, (Jakarta: Erlangga, 2000), Edisi Ke-5, Hlm. 163.
[23]          Muallifah, Psycho Islamic Smart Parenting, (Jogjakarta: Diva Press, 2009), Hlm. 129.
[24]          Mohammad Fauzil Adim, Mendidik Anak Menuju Taklif, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998), Hlm. 16.
[25]          Nurul Zuriah, Op.Cit., Hlm. 178.
[26]          Martin Van Bruinessen, Kitab Kuning, Pesantren Dan Tarekat: Tradisi-Tradisi Islam Di Indonesia, (Bandung; Mizan, 1995), Hlm. 173.
[27] a. Mustofa Bisri, kontekstualisasi Kitab Kuning Http://Www.Gusmus.Net/Page.Php?Mod=Dinamis&Sub=2&Id=28314 Maret 2006.
[28]          a. Mustofa Bisri, Kitab Kuning, Http://Irdy74.Multiply.Com/Journal/Item/108.



BAB III
GAMBARAN UMUM KITAB WASHOYA
AL-ABAA’ LIL ABNAA’

A.    Biografi Syaikh Muhammad Syakir
Beliau lahir di jurja, mesir pada pertengahan syawal tahun 1282 h bertepatan pada tahun 1863 m. Dan wafat pada tahun 1939 m. Ayahnya bernama ahmad bin abdil qadir bin abdul warits.[1] keluarga syaikh muhammad syakir telah dikenal sebagai keluarga yang paling mulia dan yang paling dermawan di kota jurja.[2] beliau termasuk min ba’dhil muhaddistin atau ahli hadis, memang bukan karena periwayatannya terhadap hadis sebagaimana imam bukhori dan lainnya, tapi karena bidang keilmuan yang digelutinya. Nama laqob beliau adalah syaikh muhammad syakir al-iskandariyah.
34
sejak kepemimpinan utsmaniyah yang memproklamirkan negara mesir merdeka pada tahun 1805, yakni di masa pemerintahan muhammad ali, mesir mulai mengalami ketenangan politik, khususnya setelah muhammad ali membantai sisa-sisa petinggi mamluk pada tahun 1811.[3] syaikh muhammad syakir lahir dalam situasi mesir yang sudah tenang. Beliau lahir dalam lingkungan mazhab hanafi, dalam wasiatnya tentang hak-hak teman, beliau menjadikan imam hanafi sebagai contoh, yakni saat imam hanafi ditanya tentang keberhasilannya memperoleh ilmu pengetahuan, beliau menjawab “saya tidak pernah malas mengajarkan ilmu pengetahuan pada orang lain dan terus berusaha menuntut ilmu.”. Selain itu, memang sebagian warga mesir adalah pengikut mazhab hanafi. Mazhab maliki mendominasi mesir bagian atas, sedangkan syiah mendominasi mesir bagian bawah.[4]
Nama ahmad yang dimiliki ayahnya juga digunakan sebagai nama anaknya, yang juga bernama al-'allamah syaikh ahmad muhammad syakir abil asybal seorang muhaddits besar yang wafat pada tahun 1958 m. Penggunaan nama anak yang disamakan dengan kakeknya biasa dilakukan oleh ulama-ulama zaman dahulu maupun kyai-kyai di indonesia. Dari syaikh ahmad muhammad syakir pula banyak ditemukan kelengkapan biografi syaikh muhammad syakir, diantaraya dalam syarahnya kitab alfiyah al- hadis karya imam as-suyuti. Hal ini karena beliau tidak banyak meninggalkan tulisan. Berbeda dengan anaknya yang dikenal sebagai ulama yang produktif menulis, anaknya pula yang telah menulis suatu risalah tentang perjalanan hidup ayahnya.
Beliau dikenal sebagai seorang pembaharu universitas al-azhar. Yakni, beliau adalah mantan wakil rektor universitas al-azhar.[5] karirnya dimulai dari menghafal al-qur'an dan belajar dasar-dasar studinya di jurja, mesir, kemudian beliau rihlah (bepergian untuk menuntut ilmu) ke universitas al-azhar dan beliau belajar dari guru-guru besar pada masa itu, kemudian dia dipercayai untuk memberikan fatwa pada tahun 1307 h. Dan kemudian beliau menduduki jabatan sebagai ketua mahkamah mudiniyyah al-qulyubiyyah, dan tinggal di sana selama tujuh tahun sampai beliau dipilih menjadi qadhi (hakim) untuk negeri sudan pada tahun 1317 h.[6] dan dia adalah orang pertama yang menduduki jabatan ini, dan orang yang pertama yang menetapkan hukum-hukum hakim yang syar'i di sudan. Kemudian pada tahun 1322 h. Beliau ditunjuk sebagai guru bagi para ulama-ulama iskandariyyah. Hal ini bagi orang muslimin memunculkan orang-orang yang menunjukkan umat supaya dapat mengembalikan kejayaan islam di seantero dunia, kemudian beliau ditunjuk sebagai wakil bagi para guru al-azhar, kemudian beliau menggunakan kesempatan pendirian jam'iyyah tasyni'iyyah pada tahun 1913 m. Kemudian beliau berusaha untuk menjadi anggota organisasi tersebut, sebagai pilihannya dari sisi pemerintah mesir,[7] dan dengan itulah beliau meninggalkan jabatannya, serta enggan untuk kembali kepada satu bagianpun dari jabatan-jabatan tersebut, dan beliau tidak lagi berhasrat setelah itu kepada sesuatu yang memikat dirinya, bahkan beliau lebih mengutamakan untuk hidup dalam keadaaan pikiran, amalan, hati dan ilmu yang bebas lepas.
Sedangkan mengenai karya beliau, banyak literatur baik dalam ensiklopedi maupun situs internet yang mengatakan syaikh muhammad syakir sebagai penulis yang produktif. Karya ilmiah tersebut berupa makalah dan tulisan singkat dari buah pemikiran beliau. Namun karya beliau yang berupa buku, sebatas penelusuran peneliti baru kitab washoya ini.

B.     Gambaran kitab washoya al-abaa’ lil abnaa’
Kitab washoya al-abaa’ lil abnaa’ adalah kitab yang berisi wasiat seorang guru terhadap muridnya tentang akhlak. Dalam mengungkapkan nasihat-nasihatnya tentang akhlak syaikh muhammad syakir menempatkan dirinya sebagai guru yang sedang menasehati muridnya. Dimana relasi guru dan murid di sini diumpamakan sebagaimana orang tua dan anak kandung. Bisa diumpamakan demikian karena orangtua kandung pasti mengharapkan kebaikan pada anaknya, maka dari itu seorang guru yang baik adalah guru yang mengharapkan kebaikan pada anak didiknya, menyayangi sebagaimana anak kandungnya sendiri, salah satunya lewat mau’idhoh hasanah dan mendoakan kebaikan.
Kitab ini selesai dikarang oleh syaikh muhammad syakir pada bulan dzul qo’dah tahun 1326 h.[8] 1907 m. Kitab ini sangat familiar dalam kurikulum pendidikan non formal seperti madarasah diniyah dan pesantren, namun tidak familiar dalam kurikulum pendidikan formal. Dalam pendidikan madrasah diniyah dan pesantren, washoya al-abaa’ lil abnaa’ sangat familiar sebagai mata pelajaran khusus akhlak dan secara turun temurun menjadi kurikulum pendidikan akhlak dari satu generasi ke generasi berikutnya. Sehingga terkesan menjadi kurikulum warisan. Sehingga memunculkan beberapa pertanyaan apakah kitab ini relevan bagi tingkat perkembangan anak, apakah materi yang terkandung di dalamnya sudah mencakup segala aspek kebutuhan perkembangan anak, karena hakikat akhlak adalah watak atau karakter, sehingga harus bisa memberi pengaruh pada tingkat perkembangan anak. Tidak hanya memunculkan pertanyaanpertanyaan di atas, namun juga memunculkan pernyataan mungkin subtansi materi akhlak di dalam kitab washoya sudah terkandung dalam kurikulum pendidikan nasional.
Kitab ini di kalangan pesantren sering disebut sebagai kitab kuning, yaitu salah satu kitab klasik berbahasa arab. Selama ini fenomena penggunaan kitab washoya di madrasah diniyah dan pondok pesantren belum memunculkan jawaban bagaimana relevansi kitab ini dalam memenuhi kebutuhan pendidikan akhlak kontekstual karena tidak ada penjabaran tujuan instruksional dalam kurikulum, selain itu digunakannya washoya sering mengandung motif kurikulum warisan. Hal ini mengakibatkan kurang terkuaknya signifikansi penggunaan kitab ini. Berisi tentang wasiyat-wasiyat seorang guru terhadap muridnya tentang akhlak, kitab washoya mengemas pendidikan akhlak dalam bentuk bab per bab sebanyak 20 bab, dengan disertai uraian konsep dari tema yang dibicarakan.
Layaknya dalam kitab-kitab kuning lainnya, pengarang tidak mencantumkan biografi penulis, tahun terbit maupun hak cita penerbit, sebagaimana layaknya buku-buku ilmiah lain. Mereka menyampaikan suatu karya lebih didorong oleh keinginan untuk menyampaikan sesuatu yang diketahuinya kepada masyarakat, mereka merasa berkewajiban untuk menyampaikan ilmu yang dimilikinya. Mereka berharap apa yang ditulis itu dapat menjadi tuntutan atau suri tauladan bagi masyarakat.[9] sehingga hak terbit suatu karya tidak dimonopoli oleh satu penerbit, tapi bisa dimanfaatkan oleh semua kalangan. Maka untuk melengkapi data tentang penulis, peneliti tidak hanya melalui literatur saja, namun juga dari majelis ta’lim dan wawancara.

C.    Nilai-nilai pendidikan akhlak dalam kitab washoya al-abaa’ lil abnaa’
Sebagai kitab yang berisi tentang wasiat-wasiat akhlak, washoya al- abaa’ lil abnaa’ sudah pasti mencakup pula beberapa nilai pendidikan akhlak. Nilai pendidikan akhlak dalam kitab ini dimulai dengan relasi guru dan murid yang diumpamakan sebagaimana orangtua dan anak kandung. Guru adalah orang yang mengharapkan kebaikan bagi muridnya. Seorang guru bagi muridnya adalah orang yang berperan sebagai penasehat, pendidik, pembina rohani, dan suri tauladan. Namun pengawasan guru tidak bisa dijadikan sandaran utama, karena pengawasan diri sendiri itu lebih utama. Untuk mensukseskan tugas-tugas guru tersebut, maka dibutuhkan kerjasama dari murid. Berarti, seorang murid mempunyai beberapa kewajiban, yaitu menjalankan akhlaqul karimah yang diperintahkan guru serta mencontohnya. Syaikh muhammad syakir berpendapat, jika seseorang tidak melaksanakan nasehat guru ketika sendirian, kecil kemungkinan dia akan melaksanakannya ketika bersama teman-temanya.
Harapan baik seorang guru terhadap muridnya di sini lebih ditekankan pada kebaikan akhlak. Beliau memberikan perhatiannya  ada betapa pentingnya akhlaqul karimah. Akhlak yang baik adalah perhiasan setiap orang bagi dirinya, teman-teman, keluarga dan masyarakat, karena dengan berakhlak baik akan dihormati dan dicintai setiap orang. Perumpamaan dari hal ini adalah, jika ilmu pengetahuan tidak disertai dengan akhlak mulia, maka ilmu pengetahuan itu lebih berbahaya daripada kebodohan. Karena orang bodoh medapatkan dispensasi sebab kebodohannya, dan tidak demikian dengan orang alim.
Selanjutnya nilai-nilai pendidikan akhlak tersebut terangkum dalam beberapa wasiat akhlak, di antaranya adalah:
1.      Bertakwa kepada allah
Sebelum menyampaikan nasihat untuk bertakwa, terlebih dahulu beliau menyampaikan bahwa allah maha melihat segala sesuatu dalam keadaan apapun, bahkan apa yang ada dalam hati sekalipun. Karena segala kenikmatan yang diberikan allah pada kita, maka sebagai ungkapan rasa syukur kita adalah dengan bertakwa kepada-nya. Yaitu menjalankan perintah-nya dan menjauhi larangan-nya. Perintah bertakwa diumpamakan ketika seorang ayah mengetahui anaknya melakukan hal-hal yang dilarangnya, maka si anak menjadi takut akan diberi hukuman oleh ayahnya.[10] selanjutnya, disampaikanlah perintah untuk bertakwa. Sebagaimana beliau menyampaikan hal terkait takwa, yaitu:[11]
يَا بُنَيَ اِيَّاكَ اَنْ تَظّنُ ان تقوالله هى الصلاة والصيام ونحوهما من العبدات فقط ان تقوى الله تدخل فى كل شئ
“hai anakku sayang, janganlah kamu mengira kalau takwa kepada allah adalah solat, puasa atau ibadah-ibadah saja, tapi takwa itu meliputi segala hal”.

Yang dimaksud bertakwa kepada allah bukan hanya ibadah kepada allah, namun juga hablun minal ‘alam (berbuat baik kepada makhluk allah dan hubungan dengan sesama manusia). Takwa itu memang berat, maka caranya adalah dengan melalui latihan hingga akhirnya menjadi kebiasaan.
2.      Kewajiban terhadap allah dan rasulullah
Bertakwa kepada allah adalah bagian dari hak-hak allah. Dalam wasiat ini, alasan manusia bertakwa dan memenuhi hak-hak allah tidaklah berbeda. Namun pada term ini lebih luas diuraikan betapa allah mempunyai hak-nya yang tidak terhitung dan harus kita penuhi. Kenikmatan yang diberikan allah baik lahir maupun batin sangat berlimpah, yang paling terlihat adalah awal kejadian manusia yang hanya dari setetes air mani bisa menjadi makhluk yang paling sempurna. Belajar dari ini, maka syaikh muhammad syakir berpesan supaya kita berkeyakinan bahwa kebaikan adalah apa yang allah pilihkan bagi kita, bukan yang baik menurut kita. Jangan sampai kita terhalang mentaati-nya karena ketaatan kita pada makhluk.[12] di sinilah kemudian letak perbedaan akal dan nafsu. Termasuk nikmat allah selanjutnya adalah diutusnya para rasul, yakni untuk memberikan bimbingan dan petunjuk kepada manusia pada sesuatu yang baik bagi kehidupan manusia. Dan allah mensyariatkan manusia untuk takwa pula kepada rasul. Perintah allah ini sudah dinash dalam al-qur’an surat an-nisa’ ayat 59, dan dalam beberapa hadis bahwa taat kepada rasul berarti taat pula kepada allah. Hal ini karena segala perintah dan larangannya berdasarkan wahyu allah. Sama dengan golongan sunni, syaikh muhammad syakir meyakini bahwa rasul yang terakhir adalah nabi muhammad saw. Bin abdullah bin abdul muttalib.[13]
3.      Kewajiban kepada orang tua[14]
يا بني: مهما تكبد ت من المشقات فى خدمة أ بيك وأمك فإن حقوقهما عليك فوق ذلك أضعافا مضعفة

Artinya: “hai anakku sayang, jika kamu merasa berat dalam mengabdi kepada ayah dan ibumu, sesungguhnya kewajibanmu kepada keduanya itu lebih dari itu dengan berlipat ganda.”

Seakan mengetahui psikologi seseorang jika lagi-lagi dibebani kewajiban, syaikh muhammad syakir lebih dulu mengungkapkan sebuah teguran untuk jangan merasa berat untuk mengabdi kepada ayah dan ibu. Sebagai bahan renungannya adalah pengorbanan dan keikhlasan kedua orang tua kita. Keduanya memperhatikan kesehatan, makanan, minuman dan kehidupan kita siang-malam hingga dewasa, bahkan doa yang keduanya panjatkan adalah harapan yang tinggi, yakni harapan yang jauh di atas doa untuk dirinya sendiri. Maka sudah menjadi kewajiban kita untuk berbakti kepadanya. Jangan membuatnya murka, karena ridho allah adalah ridho kedua orang tua. Seorang gurupun mempunyai tugas untuk mengajarkan hal ini pada muridnya.[15]
4.      Kewajiban terhadap teman
Sebagai konsekuensi logis dari hidup sosial, menjadi pelajar berarti mempunyai teman belajar, mereka adalah sahabat-sahabat dan teman pergaulan, maka seorang pelajar mempunyai kewajiban beradab terhadap sesama temannya. Diantara kewajibannya yaitu tidak menyakiti dan tidak merusak pergaulan yang sudah terjalin. Secara spesifik syaikh muhammad syakir menguraikan adab-adab tersebut, yaitu: bila sedang duduk jangan menyempitkan tempat duduk temannya atau berikanlah tempat duduk yang luas agar bisa duduk dengan leluasa, karena mendesak tempat duduk teman bisa menimbulkan kemarahan dan akibat-akibat yang lain. Menghormati temannya yang belum bisa dalam memahami pelajaran. Barang kali dengan mendengarkan pemahaman ulang, kita akan mendapatkan faedah yang belum diketahui sebelumnya.
Jangan segan-segan memberikan bantuan jika dimintai pertolongan, serta jangan menunjukkan bahwa memberi bantuan berarti telah berjasa. Jika kehidupan sehari-hari kita bersama dengan teman atau di asrama itu lebih utama salat berjamaah, maka jagalah ketentraman bersama, jangan mengagetkan dengan berdiskusi ketika waktunya beristirahat, karena kita sama-sama membutuhkan ketenangan, jika sudah waktunya terjaga maka bangunkanlah dengan baik. Sebagai dalilnya, rasulullah bersabda: 􀂳orang mukmin dengan mukmin lainnya ibarat satu bangunan, saling menguatkan satu sama lain.[16]
5.      Tata cara menuntut ilmu
Pesan beliau bagi orang yang menuntut ilmu adalah menuntut ilmu dengan sungguh-sungguh dan semangat serta tidak menyia-nyiakan waktu. Sedangkan akhlak menuntut ilmu yaitu: pelajari materi sebelum pelajaran disampaikan, jangan segan diskusi, memahami dengan tuntas, guru mempunyai hak menentukan tempat duduk muridnya, bahkan saat tempat duduk kita direbut orang lain, maka serahkanlah pada kebijakan guru. Jangan berdebat, diskusi dan memikirkan tentang masalah pribadi saat pelajaran dimulai. Jangan bersuara keras melebihi suara guru. Hiasan ilmu adalah tawadu dan sopan santun, maka murid yang tidak berlaku hormat terhadap guru berarti berhak diberi peringatan dan dihukum. Maka carilah keridhoan gurumu dan mintalah doa mereka agar ilmu bermanfaat dan terbuka pikiran kita, karena tidak ada sesuatu yang lebih berbahaya bagi seorang murid selain kemarahan guru dan ulama. Doa yang harus diperbanyak seorang murid adalah dikaruniai ilmu yang bermanfaat dan dapat mengamalkannya.[17]
6.      Adab belajar dan berdiskusi
Di atas sudah diterangkan bahwa seorang pelajar harus belajar dengan sungguh-sungguh agar berhasil, tata cara belajar yang baik adalah dengan menghindari belajar dengan menghafal kata-kata tanpa memahami artinya, karena hakikat ilmu adalah apa yang kita pahami bukan sesuatu yang kita hafalkan.
Beberapa hal yang perlu diketahui orang yang menuntut ilmu adalah bahwa ilmu pengetahuan merupakan amanat, maka barang siapa menolong kebatilan berarti telah menyia-nyiakan amanat. Dan bahayanya ilmu adalah lupa, maka dari itu syaikh muhammad syakir selalu berpesan untuk memperbanyak mengulang dan mengkaji ilmu pengetahuan. Beliau menganjurkan pentingnya berdiskusi saat mengulang pelajaran jika menginginkan prestasi yang baik. Hal ini untuk mengantisipasi perasaan cukup dalam memahami pelajaran, karena barang kali apa yang kita pahami perlu dilengkapi oleh pemahaman teman yang lain. Diskusi ilmiah sangat banyak manfaatnya, antara lain memperkuat pemahaman, memperlancar pemahaman, memperindah pengungkapan, menambah keberanian dan kemajuan. Dan dalam berdiskusi tersebut ada sopan santunnya, diantaranya: menghindari perdebatan dengan cara yang tidak baik, menghormati anggota diskusi, jangan takut dicela dalam hal-hal yang benar, jangan memotong pembicaraan, pahami suatu permasalahan dengan baik terlebih dahulu sebelum menjawab atau membantah dan jangan menyimpang dari topik diskusi.[18]
7.      Adab berolah raga dan berjalan di jalan umum
Syaikh muhammad syakir juga memberi perhatian pada kesehatan dengan menasihati murid untuk tidak lupa berolah raga walaupun dalam sekali waktu. Tentunya dengan mencari tempat yang bebas dari polusi. Dalam berolah raga dan aktifitas lainnya, tentu kita terkait dengan penggunaan fasillitas umum seperti jalan raya dan lain-lain. Menggunakan fasilitas umum itu ada adab dan aturannya supaya tercipta ketentraman bersama. Karena milik umum, maka setiap pemakai jalan memiliki hak untuk memakainya. Sebagai orang yang terdidik kita harus berlaku sopan, supaya kehormatan sebagai pelajar tetap terjaga. Secara praktisnya yaitu: berjalan dengan tenang, tidak tergesa-gesa, jangan mendesak orang lain, jangan tertawa kecuali sekedar tersenyum, tidak mengganggu pengguna jalan yang lain, jangan terlibat jika terjadi kerusuhan di jalan, jangan membalas dengan kesalahan yang sama ketika seseorang mengganggu kita, jangan menghiraukan perkataan orang-orang yang tidak berguna yang ditujukan kepada kita, tanggapilah dengan baik orang yang sedang mengajak bicara.[19]
8.      Adab dalam suatu pertemuan
Beberapa wasiat beliau mengenai adabnya dalam suatu pertemuan adalah:
a.       Jika bertemu sekelompok orang ucapkan salam sebagaimana yang diajarkan oleh nabi muhammad, yakni assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.
b.      Hindarilah suatu pertemuan tanpa diundang, meski yang melakukannya adalah orang paling ‘alim di zamannya.
c.       Apabila dalam suatu pertemuan kamu adalah yang termuda, maka janganlah mengambil tempat duduk sebelum mereka mengizinkan.
d.      Jangan menempati tempat duduk hingga mendesak orang yang terlebih dahulu menempati.
e.       Jangan duduk di tempat yang lebih tinggi jika ada yang lebih berhak menempatinya.
f.       Jangan mencampuri pembicaraan suatu kelompok sebelum diijinkan.
g.      Jangan berkata panjang lebar kecuali sekedar yang dibutuhkan.
h.      Hati-hati untuk tertawa terbahak-bahak.
i.        Berhati-hati dalam memilih pergaulan.[20]
9.      Adab makan dan minum
Syaikh muhammad syakir menukil dari sabda rasulullah, bahwa tidaklah manusia memenuhi suatu wadah yang lebih jelek daripada perutnya, hal ini menunjukkan bahwa banyak penyakit yang datangnya lantaran urusan perut. Hingga beliau berwasiat, ada beberapa aturan makan dan minum supaya sehat dan tubuhmu terhindar dari penyakit. Di antaranya: jangan mengisi perut dengan berbagai macam makanan, makanlah saat benar-benar lapar, terlebih dahulu cuci tangan dan menyebut asma allah, jangan menelan makanan sekaligus, tetapi kunyahlah hingga lumat, ambillah makanan yang ada di dekat saja, jangan mengulurkan tangan ke sana-kemari, jangan biasakan makan di pasar atau jalanan, jauhilah sifat kikir dan rakus, misalnya dengan cara menawari makanan pada orang yang berada di dekat, hindari menggunakaan alat-alat yang kotor, jangan minum air kotor, jangan minum dengan cara diteguk sekaligus, selesai makan bacalah hamdalah.[21]
10.  Adab beribadah dan di dalam masjid
Beliau menekankan supaya kita jangan teledor dalam beribadah, terlebih seorang pelajar, karena orang awam mengamati pelajar adalah untuk meneladani perilakunya. Hal yang biasa dipandang dari seorang pelajar kaitannya dengan ibadah misalnya: menjalankan solat fardhu tepat pada waktunya dengan berjamaah, segeralah melaksanakan solat dan dirikanlah solat dengan khusyuk, sebelum solat, mengerjakan solat sunah qobliyah dan selesai, menjalankan solat sunah badiyah, kemudian berdoa dengan doa yang dianggap mudah diantara doa-doa yang baik dengan memohon ampunan sebanyak-banyaknya. Di dalam masjid berusaha untuk tidak dalam keadaan berhadas. Jika menegur kesalahan orang yang sama-sama berada dalam masjid, tegurlah dengan cara yang baik.[22]
11.  Anjuran bersifat jujur
Jujur yang dimaksud beliau adalah dalam segala hal, bahkan terhadap diri sendiri, baik disaat serius maupun santai dan bergurau. Jujur ini dimulai dari jujur berbicara, karena orang dapat dipercaya itu dari hal yang terkecil, yakni jujur dalam berbicara. Begitu juga berdusta, sekali orang berdusta, kemungkinan dia akan berdusta untuk selanjutnya, hingga akhirnya menjadi kebiasaan.
Karena dusta adalah sifat tercela yang paling buruk, maka jangan sampai kita dikenal sebagai pendusta, sehingga tidak ada seorang pun yang mempercayai ucapan, meski apa yang kita katakan adalah benar. Begitu juga allah melaknati orang-orang yang berdusta. Bila kamu melakukan suatu kesalahan yang berhak mendapatkan hukuman, maka jangan sekalikali mendustainya, apalagi melimpahkan kesalahan pada orang lain, karena perbuatan yang demikian justru menimbulkan dua hukuman, yaitu hukuman karena berbuat kesalahan dan satu lagi hukuman karena berbohong. Walaupun dusta ini tidak diketahui manusia, namun tidak bisa luput dari pengetahuan allah. Dalam hal ini, syaikh muhammad syakir menuntut muridnya bersumpah untuk selalu berbuat jujur.[23]
12.  Anjuran bersifat amanah
Jadilah orang yang dipercaya, karena amanah adalah perhiasan manusia, serta bagian dari akhlak rasul allah. Jangan sekali-kali kamu menghianati seseorang dalam hal harga diri, harta kekayaan, dan lain sebagainya. Demikian nasehat beliau tentang keutamaan amanah. Sebagai contohnya, bila salah seorang teman mempercayakan suatu barang kepadamu, maka janganlah menghianatinya, dan kembalikanlah amanat tersebut jika dia memintanya kembali. Contoh lagi, bila kau dipercaya tentang suatu rahasia, maka janganlah kau menghianati dan menceritakannya walaupun kepada teman yang paling dipercaya ataupun seseorang yang dianggap mulia. Kita harus menjaga diri untuk jangan sampai dikenal sebagai penghianat walaupun bergurau, karena bisa jadi orang lain menganggap itu adalah yang sebenarnya. Karena berkhianat itu bisa merendahkan nama baik dan martabat seseorang. Bila ada kehilangan, mereka bisa menganggap penghianat yang mengambilnya dan menuduh sebagai pencuri walau sebenarnya tidak mengambilnya. Ada juga berkhianat terhadap diri sendiri, misalnya, menjawab pertanyaan guru dengan diam-diam membaca buku terlebih dahulu, kemudian menjawabnya seolah-olah mengetahui jawaban pertanyaan tersebut.[24]
13.  Iffah
Iffah adalah menjauhkan diri dari segala hal yang tidak halal dan tidak baik.[25] ini sesuai dengan yang dimaksud syaikh syakir yaitu menjaga diri dari perkara haram. Iffah merupakan akhlak mulia. Maka berusahalah menghiasi diri dengan sifat iffah sampai menjadi watak dan tertanam kuat dalam hatimu. Maka sebagaimana sabda nabi yaitu sesungguhnya setan menggoda manusia seperti peredaran darah, setiap kali kamu tergoda suatu keinginan setan, mohonlah perlindungan kepada allah dari godaan setan yang terkutuk. Diantara tanda iffah adalah kemampuan menahan diri dan nafsu. Sedangkan contoh sikap iffah adalah: tidak mungkin memasukkan makanan ke dalam perutnya apabila telah kenyang, dan sikap qona’ah (puas menerima pemberian allah).[26]
14.  Harga diri, kesatria dan keluhuran jiwa
Pada bab ini ada tiga pembahasan dijadikan satu yaitu seseorang harus percaya pada dirinya dan tidak merendahkan dirinya serta berjiwa besar, semua sikap tersebut ditopang dengan keluhuran jiwa. Harga diri tersebutlah yang disebut muru’ah. Kebalikannya muru’ah adalah apabila seseorang dihina dia merasa kecil hati, dan apabila diejek merasa tidak mampu mempertahankan harga dirinya. Miskin harta bukanlah sebuah aib bagi manusia. Dia akan dicela apabila telah kehilangan harga dirinya bukan karena dia miskin. Dia akan dipuji karena perilakunya yang baik. Di antara tanda-tanda muru’ah adalah :
a.       Menjaga diri dari kehinaan meminta-minta.
b.      Rela dengan kehidupan yang sederhana.
c.       Merasa culup dengan beberapa suapan sekedar penguat pinggang.
d.      Tidak menggunakan jasa seseorang untuk memperoleh kenikmatan sementara.
e.       Memandang orang-orang yang hidup kekurangan diantara teman-temanmu dengan sikap hormat dan kasih sayang.
f.       Apabila kamu memberikan suatu pertolongan terhadap salah satu temanmu dengan harta, tidak menjadikannya sebagai bahan ejekan untuk merendahkannya.[27] di antara tanda-tanda kesatria adalah :
1)      Memaafkan orang yang berbuat dzolim kepadamu, sedangkan kamu mampu membalasnya.
2)      Berbuat baik kepada orang yang berbuat buruk kepadamu, sedangkan kamu lebih perkasa dari pada dia.
3)      Berkata benar, walaupun akibatnya kembali kepada dirimu sendiri.
4)      Menjaga kehormatan diri, walaupun dalam keadaan sangat butuh dan tidak punya apa-apa.[28]
Di antara keluhuran jiwa ialah :
1)      Bersikap sopan dihadapan orang lain, walaupun kamu dalam keadaan miskin.
2)      Tidak memperlihatkan kebutuhanmu kepada orang lain, walaupun dengan orang yang paling dekat.
3)      Menghadapi cobaan hidup dangan penuh kesabaran terpuji.
4)      Tidak memohon bantuan selain kepada allah[29]
15.  Gunjingan, adu domba, dengki, sombong dan lalai beribadah kepada allah.
Pada bab ini membahas beberapa akhlak tercela, dari dosa mulut, dosa hati dan perbuatan dosa. Termasuk dosa mulut yaitu ghibah yang berarti menceritakan sesuatu tentang orang lain yang bila ia mendengarnya akan marah. Setiap orang pasti memiliki aib, maka wajib menjaga lidah dari aib orang lain, seperti kamu tidak suka bila digunjingkan. Perbuatan tercela yang serupa dengan ghibah adalah mengadu domba. Diantara dosa hati tersebut yaitu dengki, dendam dan sombong. Dengki dan dendam adalah dua perilaku tercela yang akibat buruknya tak lain kembali pada pemiliknya. Kedengkian tidak akan dapat menjadikan kenikmatan dari orang yang kamu dengki berpindah kepadamu, dan dendam tidak akan mencelakai orang yang kau dendami kecuali gerak allah menghendaki. Maka, jadilah orang yang berhati bersih dari hasrat ingin menyakiti orang lain. Dengki pada temanmu karena kenikmatan yang diberikan allah kepadanya. Orang yang dengki tidak akan memperoleh sesuatu kecuali dendam dan permusuhan.
Bila allah memberi nikmat kepadamu maka bersyukurlah dan jangan sombong kepada orang lain. Karena dzat yang memberikan nikmat (allah) sangat mampu untuk mengambilnya darimu, dan bila allah menghendaki memberikan kepada orang lain nikmat dan karunia yang berlipat-lipat dari apa yang diberikan-nya kepadamu. Pesan syaikh syakir terhadap orang yang diberi kenikmatan kepada allah, jangan sampai terbuai dengan pemberian allah. Sehinggga lalai beribadah kepada-nya. Kamu hanya seorang diantara ciptaanciptaannya tidak ada yang melebihkan kamu diatas mereka bagi allah kecuali dengan takwa kepada-nya.[30]
16.  Taubat, cemas, pengharapan, sabar dan syukur
Termasuk dari sifat para nabi adalah terpelihara dari dosa, maka segera bertaubatlah setelah melakukan dosa. Bertaubat dari dosa tidak cukup dengan ucapan yang keluar dari mulut, namun hakikat taubat adalah pengakuan salah di depan allah, mengaku bersalah dan berhak menerima hukuman yang setimpal dengan dosa yang kamu lakukan. Memperlihatkan kesedihan dan penyesalan atas ketelodaranmu dan berjanji tidak akan mengulanginya kembali selamanya. Kemudian dengan penuh harap memohon agar allah mengampuni segala dosa yang telah lalu, bila dia berkehendak niscaya dia akan mengampunimu dan bila dia berkehendak maka dia akan menghukummu. Bertaubat tapi diulangi lagi adalah suatu kebohongan yang berhak memperoleh hukuman tersendiri.
Termasuk sifat-sifat yang berhubungan dengan taubat adalah takut kepada allah, berharap pahala dari allah dan bersyukur atas segala nikmat allah. Perasan takut kepada allah adalah dinding antara seseorang dengan dosanya. Barang siapa sangat takut pada tuhannya, kecil sekali kemungkinan dia melakukan kesalahan. Kemudian apabila suatu musibah menimpa diri atau hartamu maka bersabarlah dan memohon pahala disisi allah, terimalah ketentuan-nya dengan senag hati dan kerelaan. Bersyukurlah atas kelembutan dan kebaikan-nya. Mintalah ketentuan dan takdir yang baik. Doa yang diusulkan syaikh muhammad syakir mengenai hal ini adalah:
اللهم انى اسألك ردالقضاء ولكن اسألك الطف فيه
“ya allah, aku tidak mohon kepadamu untuk mengubah keputusanmu, akan tetapi aku memohon kelembutan-mu di dalamnya”.[31]

17.  Keutamaan berusaha disertai tawakkal dan zuhud
Berusaha dalam bab ini lebih difokuskan dalam mencari ilmu dengan tujuan untuk memberi petunjuk dalam proses bekerja mencari rizki. Orang yang berilmu lebih layak dicontoh dalam bekerja dengan cara yang halal dan bermanfaat untuk kebaikan. Begitulah yang dimaksud ilmu sebagai cayaha penerang masyarakat. Pada poin inilah bisa diputuskan bahwa pekerjaan apapun yang penting halal, tidaklah menjadi aib bagi oarng yang berilmu, bahkan menjadi seorang petani sekalipun. Yang menjadi aib bagi orang yang berilmu adalah bila ia menjadi beban bagi orang lain.
Berusaha tersebut harus disertai dengan tawakal dan zuhud. Tawakkal bukannya tidak berusaha dan menyerahkan diri pada takdir. Profesi yang dicontohkan sebagai implementasi tawakkal adalah petani. Seorang petani yang bertanam siang dan malam adalah orang yang paling tawakkal apabila niatnya bagus, karena dia menyebarkan benih diperut bumi, mengolah tanahnya dengan baik kemudian menyerahkan hasilnya kepada allah. Bila allah menghendaki akan tumbuh tujuh bulir dari setiap biji, setiap bulir menghasilkan seratus biji. Dan bila allah menghendaki, maka matilah tanamannya. Sedangkan zuhud adalah mengeluarkan cinta yang berlebihan kepada dunia dari hati, berusaha memperoleh kebutuhan yang lebih kemudian menyantuni kaum lemah, memberikan sedekah kepada kaum fakir dan tidak rakus mencari dunia kecuali dengan tujuan yang dihalalkan allah untuk hamba-hamba-nya.
18.  Ikhlas dalam segala perbuatan
Bersandar pada hadis:[32]
انماالأ عمال بالنية
“sesungguhnya setiap amal perbuatan itu tergantung pada niatnya”

Syaikh muhammad syakir berwasiat untuk menata niat dalam setiap perbuatan. Sebagai pembeda adalah dua orang yang sama-sama meninggalkan makan dan minum sejak terbitnya fajar sampai terbenamnya matahari, namun yang satu berniat berpuasa, sedangkan yang satunya lagi tanpa niat, maka yang pertama mendapat pahala dan yang kedua tidak mendapat pahala. Maka jadikanlah semua perbuatanmu sebagai pengabdian kepada tuhan-mu yang telah menciptakan dan menyempurnakan ciptaanmu. Jangan mencari balasan selain ridho allah. Begitu juga mencari ilmu, harus ditata niatnya supaya tidak sia-sia dan dapat bermanfaat.[33] bekas cinta manusia kepada tuhan-nya ialah ibadah dengan bentuknya yang bermacam-macam, ibadah itu sebaiknya dengan kecintaan, keihklasan dan ketaatan hanya kepada allah.[34]
Ikhlas punya arti melakukan sesuatu dengan hati yang bersih atau jujur. Ikhlas adalah suatu aktivitas yang dilakukan tanpa pamrih duniawi. Seorang muslim ketika melaksanakan sesuatu selalu dituntut untuk ikhlas, hanya karena allah swt semata.[35] sebagaimana firman allah dalam al-qur’an surat al-bayyinah ayat 5:
وماأمرواالا ليعبدو الله مخلصين له الدين حنفاء
“padahal mereka tidak disuruh kecuali menyembah allah dengan memurnikan ketaatan kepada-nya dengan lurus".

Wasiat syaikh muhammad syakir yang terakhir lebih banyak bicara tentang keutamaan al-qur’an dan mendekatkan diri kepada allah serta berdoa untuk kebaikan diri, orang tua, keluarga dan teman-teman yang beriman. Selain itu beliau juga menganjurkan kita untuk selalu mengoreksi diri tentang segala perbuatan yang telah dikerjakan pada setiap hendak tidur, dianjurkan demikian supaya kita tidak menyesal sebelum dihisab allah. Bila kamu merasa baik, memujilah kepada allah yang telah membimbingmu, bila merasa jelek, segeralah bertaubat. Dalam keutamaan al-qur’an, beliau memerintahkan untuk sering-sering membacanya sambil direnungi maknanya.




[1]            Martin Van Bruinessen, Kitab Kuning, Pesantren Dan Tarekat: Tradisi-Tradisi Islam Di Indonesia, (Bandung; Mizan, 1995), Hlm. 160.
[2]            Abdullah, “biografi Syaikh Muhammad Syakir”, Http://Www.Scribd.Com/Doc/5281560/Biografi-Syaikh-Muhammad-Syakir.
[3]            Taufik Abdullah, Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, Akar Dan Awal, ( Jakarta: Pt. Ikhtiar Baru Van Hoeve, 2002), Hlm. 173.

[4]            Cyrril Glasse, Penerjemah Gufron A. Mas􀂶adi, Ensiklopedi Islam Ringkas, (Jakarta: Pt. Raja Grafindo Persada, 1999), Cet. Ke-2, Hlm. 267.
[5]            Taufik Abdullah, Op.Cit., Hlm. 172.
[6]            Zainuddin, “ahli Hadis”, Sumber:Http://Ahlulhadits.Wordpress.Com.
[7]            Taufik Abdullah, Op.Cit., Hlm. 73.
[8]            Muhammad Syakir, Washoya Al-Abaa’ Lil Abnaa’, (Semarang: Toha Putra, T.T.) Hlm. 47.
[9]            Irfan Firdaus, Dialog Agama Dan Budaya Lokal, Dalam Jurnal Penelitian Agama Uin Sunan Kalijaga Vol. Xv (Yogjakarta: Lembaga Penelitian Uin Sunan Kalijaga, 2006), Hlm. 483.
[10]          Muhammad Syakir, Op.Cit., Hlm. 6.
[11]          Ibid., Hlm. 6.
[12]          ibid., Hlm. 8.
[13]          ibid., Hlm. 8.
[14]          ibid., Hlm. 9.
[15]          ibid., Hlm. 9.
[16]          ibid., Hlm. 12.
[17]          ibid., Hlm. 14.
[18]          ibid., Hlm. 16.
[19]          ibid., Hlm. 18.
[20]          ibid., Hlm. 20.
[21]          ibid., Hlm. 22.
[22]          ibid., Hlm. 24.
[23]          ibid., Hlm. 27.
[24]          ibid., Hlm. 29.
[25]          a.W. Munawir, Al-Munawir, Kamus Arab-Indonesia, (Surabaya: Pustaka Progressif, 2002), Hlm. 949.
[26]          Muhammad Syakir, Op.Cit., Hlm. 32.
[27]          ibid., Hlm. 35.
[28]          ibid., Hlm. 35.
[29]          ibid., Hlm. 36.
[30]          ibid., Hlm. 37.
[31]          ibid., Hlm. 39.
[32]          ibid., Hlm. 41.
[33]          ibid., Hlm. 44.
[34]          Rahmat Taufiq Hidayat, Khazanah Istilah Al-Qur’an, (Bandung: Mizan, 1999), Hlm. 18.
[35]          Imam Ibnul Qoyyim, Keikhlasan Dan Ancaman Riya’, Nifak Dan Ujub, Penerjemah H. Abdurrahman Ali Bauzir, (Bandung: H.I. Press, 1994), Hlm. 15.
  



BAB IV
RELEVANSI KITAB WASHOYA AL-ABAA’ LIL ABNAA’
TERHADAP PENDIDIKAN AKHLAK KONTEKSTUAL

A.    Analisis terhadap penyusunan dan kemasan bahasa kitab washoya al-abaa’ lil abnaa’
Sebagai kitab yang berisi tentang wasiat-wasiat akhlak, washoya al-abaa’ lil abnaa’ sudah pasti mencakup pula beberapa nilai pendidikan akhlak. Nilai pendidikan akhlak dalam kitab ini dimulai dengan relasi guru dan murid yang diumpamakan sebagaimana orangtua dan anak kandung. Guru adalah orang yang mengharapkan kebaikan bagi muridnya. Hal ini sangat kontras dengan dunia pendidikan saat ini, sering dijumpai relasi guru dan murid yang kering dari kedekatan dan aspek religiusitas. Hubungan keduanya hanya sebatas antara guru dan murid yang lebih ditekankan saat di lingkungan sekolah saja, keluar dari itu, secara moril guru seakan terlepas dari tanggung jawabnya.
Justru dalam kitab washoya relasi keduanya tidaklah demikian. Sebagaimana di atas disinggung, relasi keduanya sama dengan relasi orang tua dan anak kandungnya. Seorang guru bagi muridnya adalah orang yang berperan sebagai penasehat, pendidik, pembina rohani, dan suri tauladan. Namun pengawasan guru tidak bisa dijadikan sandaran utama, karena pengawasan diri sendiri itu lebih utama.
54
harapan baik seorang guru terhadap muridnya di sini lebih ditekankan pada kebaikan akhlak. Beliau memberikan perhatiannya pada betapa pentingnya akhlakul karimah. Di awal nasehatnya sebagai seorang guru, beliau mengulang-ngulang akan betapa pentingnya berakhlak mulia, apalagi seorang yang sedang menuntut ilmu. Akhlak yang baik adalah perhiasan setiap orang bagi dirinya, teman-teman, keluarga dan masyarakat, karena dengan berakhlak baik akan dihormati dan dicintai setiap orang. Perumpamaan dari hal tersebut adalah, jika ilmu pengetahuan tidak disertai dengan akhlak mulia, maka ilmu pengetahuan itu lebih berbahaya daripada kebodohan. Karena orang bodoh medapatkan dispensasi sebab kebodohannya, dan tidak demikian dengan orang alim. Dalam konsep islam, manusia dituntut untuk mencari ilmu yang bermanfaat dan menghindarkan dari ilmu yang tidak bermanfaat. Ukuran kemanfaatan terletak sejauh mana suatu ilmu mendekatkan diri kepada kebenaran allah dan sejauh mana ia tidak merusak kehidupan manusia itu sendiri secara luas.[1] untuk tercapainya tujuan utama pembentukan karakter positif pada peserta didik, syaikh muhammad syakir menyepakati dengan adanya usaha yang terus menerus sebagai proses mencapai hasil yang maksimal. Yakni dalam ungkapan bahasa,” proses” dan “hasil”.
Untuk mensukseskan tugas-tugas guru tersebut, maka dibutuhkan kerjasama dari murid. Berarti, seorang murid mempunyai beberapa kewajiban, yaitu menjalankan akhlaqul karimah yang diperintahkan guru serta mencontohnya. Syaikh muhammad syakir berpendapat, jika seseorang tidak melaksanakan nasihat guru ketika sendirian, kecil kemungkinan dia akan melaksanakannya ketika bersama teman-temanya. Hal ini sesuai dengan kebutuhan pendidikan saat ini yang menuntut keaktifan dari semua pihak, sudah bukan saatnya lagi guru menjadi satu-satunya sumber keilmuan dan satu-satunya qiblat dari proses kegiatan belajar mengajar. Layaknya dalam kitab-kitab kuning lainnya, pengarang tidak mencantumkan biografi penulis, tahun terbit maupun hak cipta penerbit, sebagaimana layaknya buku-buku ilmiah lain. Mereka menyampaikan suatu karya lebih didorong oleh keinginan untuk menyampaikan sesuatu yang diketahuinya kepada masyarakat, mereka merasa berkewajiban untuk menyampaikan ilmu yang dimilikinya. Mereka berharap apa yang ditulis itu dapat menjadi tuntutan atau suri tauladan bagi masyarakat.[2] sehingga hak terbit suatu karya tidak dimonopoli oleh satu penerbit, tapi bisa dimanfaatkan oleh semua kalangan. Maka untuk melengkapi data tentang penulis, peneliti tidak hanya melalui literatur saja, namun juga dari majelis talim dan wawancara. Bahasa tidak hanya sebagai alat komunikasi antara satu individu dengan individu lainnya. Bahasa juga membentuk nalar (kognitif) seseorang. Dan dengan terbentuknya nalar, terbentuk pula budaya suatu masyarakat tertentu.[3] kitab washoya yang menggunakan bahasa yang ringan, sehingga mudah dipahami oleh kalangan secara umum yang menguasai bahasa arab. Untuk menerjemahkannya pun tidak sulit untuk menyesuaikannya dengan kemampuan seseorang pada umumnya. Hal ini seakan sesuai dengan tujuan pengarangnya, yaitu diperuntukkan untuk pelajar pemula. Terkait dengan penggunaan bahasanya yang ringan dan mudah difahami, materi-materinya juga mengupas macamnya akhlak yang bersifat praktis. Misalnya, tatacara diskusi yang baik adalah dengan tidak memotong pembicaraan anggota diskusi yang lain.
Beberapa hal yang selalu diikutkan dalam setiap nasehatnya syaikh muhammad syakir adalah: pertama, memuji kebesaran allah. Misalnya dengan lafad wallahu yatawallaa hidayataka wairsyadaka washalahika (allah yang berwenang atas petunjuk dan kebaikanmu). Pujian ini juga bisa berfungsi sebagai pengetahuan. Pujian terhadap allah itu sebagaimana yang sering dilakukan oleh ulama-ulama pengarang kitab kuning dengan tujuan ngalap barokah, namun biasanya di pembukaan dan penutupnya saja. Kedua, memperingatkan akibat-akibat akhlak tercela maupun peringatan untuk selalu berbuat baik. Hal ini sebagai bahan renungan murid dalam setiap perilakunya. Selain itu sebagai bahan renungan, beliau juga menguraikannya dengan beberapa perumpamaan. Sehingga dalam setiap nasehatnya syaikh muhammad syakir tidak terkesan melarang dan memerintah saja, tapi disertai rasionalisasinya. Ketiga, selalu tidak lupa mendoakan muridnya dengan berbagai macam doa kebaikan. Sebagaimana uraian beliau tentang relasi guru dan murid, syaikh muhammad syakir telah komitmen dengan pendapatnya bahwa seorang guru adalah sosok yang berharap kebaikan terjadi pada muridnya. Seperti dalam lafadz arsyadakallahu wawaffaqoka lisholihil a’maali (semoga allah menujukkan amal shaleh kepadamu).[4] doa-doa demikian tidak lupa beliau ungkapkan demi kebaikan muridnya.
Sapaan-sapaan dalam lafadznya merupakan implementasi proses pembelajaran yang komunikatif. Sapaaan-sapaan tersebut diungkapkan dalam setiap nasehatnya dalam lafadz “ya bunayya” (hai anakku sayang), lafadz ini sama dengan apa yang diungkapkan luqmanul hakim al-iskandariyah (mesir) dalam setiap mengawali nasihat maupun dalam beberapa peribahasanya. Dalam buku the complete guide to learning and assessment, julie cotton juga berbicara mengenai pembelajaran yang komunikatif. Salah satu cara komunikatif yang dia sampaikan adalah misalnya dengan guru mengajukan pertanyaan kepada peserta didik. Seorang guru harus mempunyai keterampilan komunikasi yang baik, supaya apa yang disampaikan bisa difahami peserta didik.[5]
Sapaan ya bunayya merupakan ciri khas syaikh muhammad syakir ketika menyapa muridnya. Ini juga merupakan penyampaian pesan-pesan baik melalui bahasa, yakni pesan emosional. Orang tua menggunakan bentuk katakata tertentu untuk mengungkapkan kedekatan emosionalnya dengan anak, misalnya menggunakan kata-kata “cayang” (sayang). Hal ini untuk memberikan kesan bermain dan sebagainya.[6]
Dalam mengungkapkan larangan dan anjurannya, syaikh muhammad syakir tidak secara langsung mengungkapkan apa yang dilarang, tapi terlebih dahulu memberi analogi seandainya kita menjadi korban perbuatan tercela, atau menunjukkan tujuan dan manfaat jika kita menjalankan mau’idhoh hasanah, atau mengajak murid merenung terlebih dahulu. Perintah untuk merenung dan memperhatikan membuat peserta didik tidak saja berpengatahuan akhlak, tapi berpikir dan merenungi tindakan mereka yang tercela dan terpuji, karena letak akhlak bukan pada ingatan tapi di hati. Selain itu juga murid dilatih untuk selalu berfikir. Selain itu syaikh muhammad syakir juga menguatkan nasihatnya dengan dalil-dalil dalam al-quran maupun hadis.

B.     Analisis terhadap isi materi kitab washoya al-abaa’ lil abnaa’
Nasihat-nasihat dalam kitab washoya diposisikan sama sebagaimana wasiat orang tua kepada anaknya. Hal ini bisa kita lihat dari nama kitabnya, yakni, washoya al-abaa’ lil abnaa’. Yang demikian adalah sebagai sebuah peringatan bahwa ini adalah nasehat yang harus dilaksanakan, tidak sekedar berfungsi sebagai pengetahuan, karena nasehat-nasehat ini merupakan bekal yang dibutuhkan oleh setiap orang dalam menjalani kehidupannya. Sebagaimana kita tahu, wasiat adalah amanat yang harus dilaksanakan oleh orang yang mendapat wasiat ketika pewasiat meninggal. Jadi, nasihat ini disampaikan ibarat sang guru adalah orang yang tidak bisa selamanya mendampingi muridnya, murid itu pula yang selanjutnya akan menjalankan amanah tersebut dengan pengawasan utama dirinya sendiri. Pada titik ini beliau menguraikan tentang begitu urgennya peran guru. Selain sebagai pendidik, guru juga sebagai pembina rohani.[7]
Guru mempunyai peranan yang amat luas, baik di sekolah, keluarga, dan dalam masyarakat. Dalam hubungannya dengan aktifitas pengajaran dan administrasi pendidikan, lebih jauh guru berperan sebagai, pengambil inisiatif, pengarah, penilai aktifitas pengajaran dan pendidikan, wakil masyarakat di sekolah, penegak disiplin, pelaksana administrasi, pemimpin generasi muda, penerjemah kepada masyarakat atau guru berperan untuk menyampaikan berbagai kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi kepada masyarakat.[8]
Sesuai dengan komitmennya, yakni dengan mengacu pada nama kitab (wasiat orang tua kepada anaknya), serta lebih dalam beliau menjelaskan, kitab ini diperuntukkan bagi pelajar pemula, maka menurut penulis, syaikh muhammad syakir telah menjalankan komitmennya. Hal itu bisa dilihat pada penggunaan bahasanya yang sangat ringan dan konsep keterikatan guru dan muridnya. Dengan beberapa metode penyampaiannya beliau tidak serta merta membiarkan peserta didik belajar secara mandiri layaknya orang dewasa yang belajar. Begitu juga secara materi, analisis terhadap relevansi tersebut jika kita menggunakan analisis swot adalah sebagai berikut:
1.      Kekuatan pendukung: tersedianya kebijakan makro
Yaitu upaya mengatasi kemerosotan moral dan budi pekerti dapat dilakukan atas dasar adanya kekuatan yang mendukung, seperti telah dituangkan dalam perundang-undangan dan sistem pendidikan nasional serta komitmen masyarakat dalam berbagai lapisan terhadap etika bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
2.      Kelemahan implementasi: krisis multidimensional
Beberapa kelemahan tersebut adalah: pertama, pada tataran pemerintah baru sebatas membuat peraturan, implementasinya masih sangat minim. Kedua, teladan para birokrat dan tokoh masyarakat. Dengan sangat vulgar mereka mempertontonkan korupsi, kekerasan dan perbuatanperbuatan tercela lainnya di hadapan publik. Salah satu problem pendidikan akhlak saat ini adalah krisis keteladanan, baik dari pihak pemerintah, masyarakat (tokoh-tokohnya), guru, bahkan orang tua. Padahal dakwah yang lebih efektif mengena pada audien adalah dengan uswah hasanah bukan sekedar mau’idhoh hasanah, karena realitas perbuatan itu jauh lebih mengena. Maka, harus diakui saat kini kita butuh pendidikan yang mengikut sertakan keteladanan dari semua pihak. Seperti salah satu metode dalam kitab washoya yang juga menggunakan metode keteladanan. Teladan tersebut selain diperankan dirinya sendiri, yakni image beliau yang dikenal sebagai keluarga dermawan, beliau juga memberi contoh misalnya tokoh imam abu hanifah, rasulullah, kemudian yang lebih spesifik adalah kedua orang tua.
Peranan para tokoh ini cukup berpengaruh bagi perkembangan moral anak, kususnya orang tua sebagai keluarga. Orang tua atau perawat anak adalah guru pertama seorang anak, karena sejak anak itu lahir dan berinteraksi, maka pada saat itulah terjadi proses pendidikan, anak tersebut belajar dari orang yang ada di sekitarnya.[9] sebagai kelompok primer keluarga berpengaruh besar terhadap anggota-anggotanya, yaitu: keluarga memberi kesempatan yang unik kepada anggotanya untuk menyadari dan memperkuat nilai kepribadiaanya dan keluarga mengatur dan menjadi perantara hubungan anggota-anggotanya dengan dunia luar.[10] ketiga, krisis moral, selain korupsi dari para tokoh, sekarang ini tampak ada gejala di kalangan anak muda, bahkan orang tua yang menunjukkan bahwa mereka mengabaikan moral dalam tata krama pergaulan, yang sangat diperlukan dalam suatu masyarakat yang beradab (civil society). Dalam era reformasi sekarang ini seolah-olah orang bebas berbuat apa saja sesuai kehendaknya. Misalnya, perkelahian massal, penjarahan, pemerkosaan, pembajakan kendaraan umum, penghujatan, perusakan tempat ibadah, lembaga pendidikan, kantor-kantor pemerintahan, pembunuhan, pemerkosaan, perkelahian, penculikan, pembakaran, perusakan dan sebagainya, yang menimbulkan korban jiwa dan korban kemanusiaan.
Pendidikan akhlak berperanan penting dalam upaya mewujudkan manusia indonesia yang utuh. Pembinaan moral sebagai bagian yang tak terpisahkan dari pendidikan agama dapat menjadi sarana ampuh dalam menangkal pengaruh-pengaruh negatif, baik pengaruh yang berasal dari dalam negeri maupun luar negeri. Secara isi materi, pendidikan akhlak dalam kitab washoya lebih mengarah pada pengembangan moral dan mental anak. Bisa dilihat dari 20 bab yang diuraikan, ada 17 bab yang mengarahkan perhatiannya pada kehidupan sosial. Jika disesuaikan dengan cakupan materi pendidikan akhlak yang berorientasi pada penegakan moral, maka bisa dilihat sebagai berikut: pengembangan nilai-nilai demokratis ada dalam materi adabnya pertemuan, belajar, berdiskusi dan menuntut ilmu. Pengembangan kehidupan kewargaan, nilai-nilai komunitas dan pembentukan identitas nasional bisa dilihat dari materi salah satu takwa kepada allah swt adalah cinta tanah air dan pemimpinnya, hal ini yang kemudian memunculkan pemerintahan yang bersih. Pengembangan ikatan sosial dan kebhinnekaan dan pengembangan kehidupan pribadi ada dalam beberapa materi yang kaitannya dengan akhlak terpuji seperti, jujur, amanah, iffah, tawadhu’, percaya diri dan lain-lain. Materi di atas sebagai pemenuhan kebutuhan bangsa indonesia saat ini yang tidak hanya mengalami proses pendangkalan nilai yang dimiliki serta dihayati dan dijunjung tinggi. Nilai- nilai itu kini bergeser dari kedudukan dan fungsinya serta digantikan oleh keserakahan, ketamakan, kekuasaan, kekayaan dan kehormatan. Dengan pergeseran fungsi dan kedudukan nilai itu, hidup dan kehidupan bermasyarakat dan berbangsa dirasakan semakin hambar dan keras, rawan terhadap kekerasan, kecemasan, bentrok fisik (kerusuhan) dan merasa tidak aman. Kebocoran soal saat ujian nasional menunjukkan bahwa kejujuran, etos belajar, dan meraih hasil dengan kerja keras, justru belum membudaya. Maka, materi-materi di atas dapat digunakan untuk menanamkan nilai-nilai diantaranya keterbukaan, kejujuran, penghargaan pada pendapat orang lain, sportivitas, kerendahan hati, dan toleransi. Sedangkan melalui materi adab diskusi dan pertemuan anak diajak untuk mulai berani mengungkapkan perasaanya, tahap demi tahap anak diarahkan untuk menata jalan pikiran, cara berbicara, dan sikap hidupnya. Hal ini bisa mengurangi krisis moral seperti, integritas pribadi, kesadaran religius, karya yang berkualitas kompetitif dan kepekaan sosial yang rendah.
Dari beberapa sifat terpuji ini, beliau menguraikan beberapa tandatandanya agar murid bisa membedakan mana yang “baik” dan mana yang “buruk”. Misalnya dengan uraian ,diantara tanda iffah adalah kemampuan menahan diri dan nafsu. Sedangkan contoh sikap iffah adalah: tidak mungkin memasukkan makanan ke dalam perutnya apabila telah kenyang, sikap qona’ah (puas menerima pemberian allah). Dari beberapa materi tersebut pula, anak dididik untuk memiliki toleransi, rasa menghargai diri sendiri, disiplin diri, etos kerja dan belajar, kebersamaan dan gotong royong, saling menghormati, sopan santun dan tumbuhnya kejujuran. Mempunyai rasa tanggung jawab bisa dimulai dari keluarga, misalnya pada materi kewajiban terhadap orang tua. Maka, hal ini sesuai dengan kebutuhan pendidikan akhlak saat ini, yakni, tujuan akhir pendidikan akhlak di era global adalah menyediakan sdm yang memiliki mental untuk tidak hanyut di era globalisasi. Pengembangan mental selanjutnya juga bisa diusahakan dengan materi kewajiban kepada allah dan rasulullah, hal ini adalah bagian dari sikap meyakini adanya tuhan yang maha esa dan ketaatan terhadap ajaran agama. Diantara beberapa hal sangat dibutuhkan saat ini, khususnya bagi perkembangan moral anak ramaja adalah melindungi mentalnya dari pengaruh negatif pergeseran zaman. Karena gaya hidup saat ini yang sangat kental dengan nuansa minuman keras, obat-obatan terlarang, seks bebas dan kemerosotan moral yang lain. Gaya hidup demikian terbukti akan membawa resiko yang besar bagi kelangsungan hidup seorang anak.
Seperti diketahui bahwa tidak sedikit diantara anak-anak ini terutama yang berusia antara 15-17 tahun yang sudah berhubungan seks bebas dengan pasangannya. Begitu juga resiko-resiko yang lain.[11]
Seandainya bisa disamakan antara akhlak dan tasawuf, maka sebagaimana mengutip dari pendapatnya nurkholis majid, yaitu, sufisme baru itu mempunyai ciri utama berupa tekanan kepada motif moral. Jadi sufisme baru menekankan perlunya pelibatan diri dalam masyarakat secara lebih kuat.[12] sehingga image imam hanafi sebagai imam mazhab yang lebih modern diantara mazhab-mazhab lain,[13] serta keberagaman negara mesir ikut mewarnai corak pendidikan akhlak dalam kitab washoya. Yakni, pendidikan akhlak yang ada di dalamnya tidak mengarah pada akhlak yang bercorak tasawuf. Yang demikian adalah masuk dalam materi pendidikan akhlak yang meliputi tanggung jawab sebagai manusia. Lingkup materi ini juga dilengkapi dengan akhlak terhadap kedua orang tua dan sesama teman. Akhlak terhadap kedua orang tua disampaikan lewat beberapa pengetahuan tentang jerih payah orang tua sebagai bahan renungan. Metode tersebut terlihat sama dengan perintah birrul walidain allah dalam firmannya surat al-luqman ayat 14, yaitu:
ووصينا الا نسن بولديه حملته أمه، وهنا على وهن وفصله، في عامين أن اشكر لي ولولديك الي المصير
“dan kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu- bapanya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah- tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepadaku dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-kulah kembalimu”.

Sedangkan mengenai akhlak yang kaitannya dengan anggota keluarga yang lain tidak dijelaskan dalam pembahasan kitab whasoya. Padahal hubungan kekerabatan yang perlu diajarkan kepada anak tidak hanya dengan kedua orang tua saja, hubungan dengan kakak dan adik juga perlu dijelaskan. Hal ini tidak akan menjadi masalah ketika anak tidak bersaudara, namun ketika terdapat saudara-saudara lain atau anggota keluarga yang lain dan anak tidak dibiasakan dengan pembinaan adab berinteraksi dengan anggota keluarga selain bapak dan ibu, maka dikhawatirkan mengenai perkembangan moralnya. Karena keluarga merupakan kelompok sosial yang pertama dalam kehidupan manusia.[14]
Keluarga mempunyai peranan penting untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan jasmani anak serta menciptakan kesehatan jasmani dan rohani yang baik.[15] sedangkan ruang lingkup materi dan subtansi pendidikan akhlak yang meliputi akhlak terhadap tuhan yang maha esa diterangkan dalam bab takwa kepada allah swt. Materi ini merupakan implementtasi pendidikan akhlak yang berkaitan dengan penghayatan terhadap ajaran agama. Penghayatan terhadap ajaran agama pada tataran tertentu akan tidak mengenal sekat-sekat primordialisme, karena semuanya dipandangnya sebagai satu hakekat.[16]
Secara materi, isi kitab washoya sudah mencakup 3 cakupan materi pendidikan akhlak, yaitu, akhlak kepada allah, akhlak kepada sesama manusia, dan akhlak terhadap alam. Yang kemudian dikemas dengan dikaitkan nilai-nilai pendidikan akhlak yang diteladankan pada beberapa tokoh seperti, orang tua, saudara, tokoh idola, maupun dikaitkan dengan beberapa kasus yang bersifat praksis sehari-hari dalam kehidupan seseorang. Keempat, kondisi ekonomi indonesia. Kondisi ekonomi bangsa yang semakin terpuruk ikut mempengaruhi perkembangan akhlak warga negaranya. Contoh kecil adalah dari rakyat miskin, fokus perhatian orang tua yang lebih mengarah pada ekonomi demi memenuhi kebutuhan hidup, menyebabkan mereka kurang memperhatikan perilaku dan akhlak si anak.
3.      Peluang: munculnya kesadaran kolektif
Pada dasarnya, tingkat kesadaran masyarakat sudah cukup tinggi untuk menanggulangi kemerosotan moral dan akhlak generasi muda. Kesadaran itu muncul baik dari peran orang tua, keluarga, pemerintah maupun lembaga pendidikan.
4.      Tantangan pendidikan akhlak
Pertama, arus globalisasi dengan teknologinya yang berkembang pesat merupakan tantangan tersendiri, di mana informasi, baik positif maupun negatif dapat langsung diakses. Tanpa adanya bekal yang cukup dalam penanaman agama (termasuk akhlak) hal itu akan berdampak negatif jika tidak disaring dengan benar. Kedua, pola hidup dan perilaku yang telah bergeser sedemikian serempaknya di tengah-tengah masayarakat. Ketiga, krisis kepercayaan rakyat terhadap para pejabat dan birokrat karena moral yang sudah amat melekat, seperti, koruptor, curang, tidak perduli pada kesusahan rakyatnya. Keempat, kondisi ekonomi indonesia.
Selain wacana di atas, isi materi dalam kitab washoya diperuntukkan untuk kategori anak-remaja, hal ini bisa dilihat dari keseluruhan materinya yang kurang menekankan pada aspek nilai-nilai pendidikan akhlak dalam masalah nyata dalam masyarakat. Sehingga santri/ siswa mampu menggunakan pengalaman akhlak yang baik bagi pembentukan kesadaran dan pola perilaku yang berguna dan bertanggung jawab atas tindakannya. Materi-materi diatas disampaikan jika disesuaikan dengan tujuan yang sifatnya praktis dalam dunia pendidikan sekolah, yaitu, santri/siswa memahami nilai-nilai akhlak di lingkungan keluarga, lokal, melalui adat istiadat, hukum, undang-undang dan tatanan dalam suatu bangsa. Siswa mampu mengembangkan watak atau tabiatnya secara konsisten dalam mengambil keputusan akhlak di tengah-tengah rumitnya kehidupan bermasyarakat saat ini. Santri/siswa juga dihadapkan pada suatu masalah dengan perumpamaan menghadapi. Jika disesuaikan dengan karakteristik dan perkembangan anak pada masa berakhirnya daya khayal dan mulai munculnya berpikir konkrit, maka penggambaran syaikh muhammad syakir dalam proses diskusi dan belajar, seperti, bakhil dalam berbagi ilmu, memotong pembicaraan, terkesan beliau memperkenalkan peristiwa-peristiwa yang merupakan realitas yang ada dalam masyarakat kita, sehingga peserta didik yang pernah melakukan, akan merasa tersindir dan akan mempertimbangkan sikapnya selama ini.  Dari semua bab yang tercantum di atas, bisa dikatakan isi materi sesuai dengan pendidikan akhlak yang berorientasi pada penegakan moral yakni harus mencakup beberapa komponen penting, diantaranya: pengembangan nilai-nilai demokratis, pengembangan kehidupan kewargaan dan nilai-nilai komunitas, pengembangan pemerintahan yang bersih, pembentukan identitas nasional, pengembangan ikatan sosial dan kebhinnekaan, pengembangan kehidupan pribadi.keterbukaan pendidikan akhlak dalam kitab washoya seperti mengarahkan pendidikan akhlak yang bervisi penegakan moral. Dan pelibatannya pada semua pihak, menjadikan kitab ini dipandang bisa menjawab problematika pendidikan akhlak kontekstual. Hal ini bisa dilihat dari linngkup materi yang dikaji, kemasan bahasa maupun metode yang digunakan.




[1]            Achmad Charris Zubair, Dimensi Etik Dan Asketik Ilmu Pengetahuan Manusia, Kajian Filsafat Ilmu, (Yogyakarta: Lesfi, 2002), Hlm. 141.
[2]            Irfan Firdaus, Dialog Agama Dan Budaya Lokal, Dalam Jurnal Penelitian Agama Uin Sunan Kalijaga Vol. XV (Yogjakarta: Lembaga Penelitian Uin Sunan Kalijaga, 2006), Hlm. 483.
[3]            Monty P. Satiadarma, Persepsi Orang Tua Membentuk Perilaku Anak, Dampak Pygmalion Dalam Keluarga, (Jakarta: Pustaka Populer Obor, 2001), Hlm. 96.
[4]            Muhammad Syakir, Washoya Al-Abaa’ Lil Abnaa’, (Semarang: Toha Putra, Tt.), Hlm. 4.
[5]            Julie Cotton, The Complete Guide To Learning And Assessment-Learners, Vol.I, (New Delhi: Kogan Page India Pvt.Ltd, 2004), Hlm. 27.
[6]            Monty P. Satiadarma, Op.Cit., Hlm. 96.
[7]            Muhammad Syakir, Op.Cit., Hlm. 2.
[8]            Tohirin, Psikologi Pembelajaran Pendidikan Agama Islam, (Jakarta: Pt. Rajagrafindo Persada, 2005), Hlm. 165-167.
[9]            Eugenian Hepworth Berger, Parents As Partners In Educatioan, (Missouri, England: C.V.Mosby Company, 1983), Hlm. Vii.
[10]          st. Vembriarto, Sosiologi Pendidikan, (Jakarta: Pt. Grasindo, 1993), Hlm. 41.
[11]          Wiwid Trisnadi, Lika-Liku Pendampingan Anak Jalanan Perempuan Di Yogyakarta, (Yogyakarta: Mitra Wacana, 2004), Hlm. 19.
[12]          Nurcholish Madjid, Sufisme Baru Dan Sufisme Lama: Masalah Kontinuitas Dan Perkembangan Dalam Esoterisme Islam, Dalam Demokrasi, Jurnal Dan Media Dialog Komunitas Kebudayaan, Peradaban, Ke-Indonesiaan Dan Ke-Islaman, Volume Iii (Semarang: Universitas Peradaban Nubuwah, 1999), Hlm. 3.
[13]          Abdullah Mustofa Al Maraghi, Pakar-Pakar Fiqh Sepanjang Sejarah, Penerjemah Husein Muhammad, (Yogyakarta: Lkpsm, 2001), Hlm. 75.
[14]          94w.A.Gerungan, Psikologi Sosial, (Bandung: Pt. Al-Ma’arif, 1978), Hlm. 180.
[15]          Ramayulis, Pendidikan Islam Dalam Rumah Tangga, (Jakarta: Kalam Mulia, 1990), Hlm. 79.
[16]          H.M. Amin Syukur, Op.Cit., Hlm. 38.

BAB V

PENUTUP

A.    Kesimpulan
Dari telaah yang dilakukan pada bab-bab sebelumnya, yakni mengenai penelaahan terhadap isi kitab washoya al-abaa’ lil abnaa’, telah tersebut lebih khusus memfokuskan pokok bahasannya pada relevansi kitab washoya al-abaa’ lil abnaa’ terhadap pendidikan akhlak kontekstual. Maka akan disampaikan beberapa poin penting yang menjadi inti dari pokok permasalahan dalam penelitian ini, antara lain sebagai berikut :
1.      Secara analisis pendidikan akhlak kita sudah punya kekuatan pendukung dalam bentuk kebijakan makro dan peluang dari munculnya kesadaran kolektif. Salah satu kelemahan kita adalah krisis multidimensi, sehingga kita terjebak pada sebuah pertanyaan, harus mulai dari mana kita benahi problem ini. Selain itu, kita juga menghadapi tantangan arus globalisasi yang setiap detiknya selalu berubah tanpa bisa kita cegah. Mau ataupun tidak hal ini harus tetap dihadapi. Maka, kita membutuhkan model pendidikan akhlak yang memang berorientasi pada penegakan moral dan mau membuka diri terhadap perubahan zaman. Karena kita butuh generasi-generasi yang tangguh dalam menghadapi cobaan arus globalisasi. Diharapkan sikap keilmuan yang demikian mampu mengurai benang kusut problematika pendidikan akhlak kontekstual.
2.     
68
kandungan pendidikan akhlak dalam kitab washoya al-abaa’ lil abnaa’.karya syaikh muhammad syakir mencakup tiga hal yaitu, tanggung jawab terhadap allah swt yang mencakup pula kewajiban terhadap rasulullah, tanggung jawab sebagai manusia baik individu maupun sosial, dan tanggung jawab terhadap alam. Maka dari semua bab yang tercantum di atas, bisa dikatakan isi materi juga sesuai dengan pendidikan akhlak yang berorientasi pada penegakan moral yakni harus mencakup beberapa komponen penting, diantaranya pengembangan nilai-nilai demokratis, pengembangan kehidupan kewargaan dan nilai-nilai komunitas, pengembangan pemerintahan yang bersih, pembentukan identitas nasional, pengembangan ikatan sosial dan kebhinnekaan, pengembangan kehidupan pribadi, dan tidak meninggalkan akidah sebagai implementasi pendidikan akhlak yang berkaitan dengan penghayatan terhadap ajaran agama.
3.      Dari pendidikan akhlak yang ada dalam kitab washoya terdapat beberapa relevansinya terhadap pendidikan akhlak kontekstual yaitu, dari perspektif penyusunan dan kemasan bahasa, washoya menggunakan metode pembelajaran yang mengarah pada perkembangan peserta didik, metodemetode yang sering dipakai dalam praktek pembelajaran saat ini, misalnya, model pendidikan yang komunikatif, metode keteladanan, demokratis, metode santri/siswa aktif dan lain-lain. Yang ini perpengaruh pada perkembangan anak. Walaupun pendidikan akhlak sasaran utamanya adalah pada perkembangan moral anak, namun dengan beberapa metode “cerdas” yang digunakan syaikh muhammad syakir, dinilai bisa memberi pengaruh pada tingkat perkembangan-perkembangan yang lain. Namun juga tidak meninggalkan aspek religiusitas dari suatu proses pendidikan, yakni dengan mendoakan murid-muridnya. Sedangkan dalam perspektif isi materi, selain tidak meninggalkan cakupan materi yang menjadi poin utama hakikat pendidikan akhlak, washoya juga memuat materi yang menjadi kebutuhan pendidikan akhlak kontekstual, yakni dari semua bab yang tercantum di atas, bisa dikatakan isi materi juga sesuai dengan pendidikan akhlak yang berorientasi penegakan moral.

B.     Saran-saran
Adapun saran-saran terkait pembahasan dalam muallafah ini adalah sebagai berikut:
1.      Karya-karya ulama’ islam tentang pendidikan akhlak dalam bentuk kitab kuning sangat banyak sekali, dan juga familiar dipakai, namun pada kalangan tertentu, yakni pondok pesantren dan madrasah. Namun kita sering terjebak pada penelitian kitab-kitab yang pegarangnya sudah punya nama di khalayak umum, atau ada juga keinginan meneliti  karena pertimbangan bentuk fisik kitabnya. Maka sebagai tholibul ‘ilmi, kita juga perlu menelaah karya-karya lain, terlebih karya yang sering digunakan dalam dunia pendidikan, namun luput dari penelitian, walaupun karya tersebut hanya familiar di pojok dunia pesantren dan madrasah.
2.      Pendidikan akhlak yang ada dalam kitab washoya karya syaikh muhammad syakir sangat relevan diterapkan sebagai pendidikan akhlak kontekstual. Selain metode dan materinya mengenai pendidikan akhlak, metode pengembangan mental di dalamnya juga bisa membantu menyiapkan perkembangan mental generasi muda dalam meghadapi arus globalisasi. Sebagai kitab yang intens dalam pendidikan moral yang bercirikan islam, kitab washoya tidak sekedar sibuk pada kaidah-kaidah pembelajaran dan pendidikan, namun sisi religiusitas seperti, do’a dan barokah tidak ditinggalkannya.
3.      Untuk kepentingan teoritis maupun praktis bagi pengembangan pendidikan islam, pengkajian secara kritis terhadap konsep-konsep yang berasal dari ulama-ulama tradisional penting untuk terus dilakukan, karena kitab kuning merupakan karya agung para ulama’ sholeh sejak dari periode tabi’in. Melestarikan kitab kuning berarti menjaga mata rantai keilmuan islam. Memutuskan mata rantai ini, sama artinya membuang sebagian sejarah intelektual umat. Membaca karya ulama’  berarti menyerap keilmuan para pewaris nabi. Maka, kitab kuning merupakan khazanah keilmuan islam yang harus dilestarikan
4.      Salah satu hal yang ditemukan dalam penelitian ini adalah nilai-nilai pendidikan akhlak dalam kitab washoya yang mengarah pada perkembangan mental anak, namun dalam penelitian ini hanya disinggung sebagian kecil saja, maka dalam penelitian kitab washoya berikutnya, diharapkan bisa lebih jauh pada nilai-nilai pendidikan akhlak yang mengarah pada perkembangan mental anak. Kajian demikian bisa lebih difokuskan dalam perspektif psikologisnya. Penelitian ini memiliki signifikansi dan urgensi yang cukup penting untuk dilakukan demi berlangsungnya peradaban keilmuan dunia islam.

C.    Penutup
Puji syukur patut kami haturkan kehadirat ilahi robbi, alhamdulillah perjalanan ini mencapai garis finish. Apa yang tertulis/tersusun dan tertuang dalam muallafah ini dilakukan dengan kesungguhan dan bertanggung jawab. Mengacu pada hadits nabi yang kurang lebih artinya adalah manusia tempatnya salah dan lupa, begitu juga muallafah ini, tetap harus diakui bahwa segala kekurangan dan kesalahan sudah barang tentu masih ada dalam apa yang tertuang dari awal sampai akhir. Maka, sebagai penulis/penyusun, kami berharap kritik yang bersifat konstruktif demi perbaikan muallafah  ini khususnya dan semua pihak. Namun penulis/penyusun tetap berharap, dengan segala kekurangan dan kesalahan yang ada, muallafah ini tetap menjadi bagian dari usaha yang bermanfaat bagi pengembangan pendidikan islam pada khususnya, dan pengayaan khazanah islam pada umumnya, atau paling tidak dapat memenuhi standar minimal dari kriteria kegunaan yang telah ditetapkan sejak penelitian ini berupa rancangan. Amin.

 

No comments:

Post a Comment