KEDUDUKAN
AKAL DALAM AL-QUR’AN
DAN
IMPLEMENTASINYA DALAM PENGEMBANGAN
KURIKULUM
PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
MUALLAFAH
Diajukan Kepada Pondok Pesantren Ma’ahidul ‘Irfan
Untuk memenuhi Salah Satu Syarat Kelulusan
Program Madrasah Diniyah Aliyah Takhassus Ilmiah
Pondok Pesantren Ma’ahidul ‘Irfan
Oleh:
TAUFIQURROHMAN
NIS. 200501191
MADRASAH
DINIYAH ALIYAH TAKHASUS ILMIAH
PONDOK
PESANTREN MA’AHIDUL ‘IRFAN
MAGELANG
2014M/1435 H
BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang Masalah
Agama Islam, agama yang kita anut dan dianuti oleh
ratusan juta kaum muslim di seluruh dunia merupakan way of life yang
menjamin kebahagiaan hidup pemeluknya di dunia dan di akhirat kelak. Ia
mempunyai satu sendi utama yang esensial: berfungsi memberi petunjuk ke jalan
yang sebaikbaiknya. Al-Qur'an memberikan petunjuk dalam persoalan-persoalan
akidah, syariah dan akhlak, dengan jalan meletakkan dasar-dasar prinsipil
mengenai persoalan-persoalan tersebut; dan Allah SWT menugaskan Rasul SAW,
untuk memberikan keterangan yang lengkap mengenai dasar-dasar itu. Di samping
keterangan yang diberikan oleh Rasulullah SAW, Allah memerintahkan pula kepada
umat manusia seluruhnya agar memperhatikan dan mempelajari Al-Qur'an. Mempelajari
Al-Qur'an adalah kewajiban. Berikut ini beberapa prinsip dasar untuk
memahaminya, khusus dari segi hubungan Al-Qur'an dengan ilmu pengetahuan. Atau
dengan kata lain, mengenai memahami Al-Qur'an dalam hubungannya dengan ilmu
pengetahuan. Persoalan ini sangat penting, terutama pada masa-masa sekarang
ini, di mana perkembangan ilmu pengetahuan demikian pesat dan meliputi seluruh
aspek kehidupan.2
Dengan
demikian Al-Qur'an di dalam membangkitkan semangat, dan hal semacam ini
merupakan karakternya, sebagai hal yang logis, termasuk semangat untuk berdebat
dan berpikir, baik terhadap mereka yang dengan penuh keikhlasan mengikuti agama
baru ini, ataupun orang-orang yang telah masuk Islam, tetapi di dalam hatinya
banyak atau sedikit masih tetap mengikuti agama dan keyakinan yang masih belum
bersih dari pengaruh tradisi masyarakat Arab jahiliyah.3 2 M.
Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur'an Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan
Masyarakat, (Bandung: PT Mizan Pustaka, 2004), Cet. XXVIII, hlm. 33. 3 M. Yusuf
Musa, Al-Qur'an dan Filsafat, terj. M. Thalib, (Yogyakarta: PT Tiara Wacana,
1991), Cet. I, hlm. 19-20. Al-Qur'an telah menambahkan dimensi baru
terhadap studi mengenai fenomena jagad raya dan membantu pikiran manusia
melakukan terobosan terhadap batas penghalang dari alam materi. Al-Qur'an
menunjukkan bahwa materi bukanlah sesuatu yang kotor dan tanpa nilai, karena
padanya terdapat tanda-tanda yang membimbing manusia kepada Allah serta
kegaiban dan keagungan-Nya. Alam semesta yang amat luas adalah ciptaan Allah,
dan Al- Qur'an mengajak manusia untuk menyelidikinya, mengungkap keajaiban dan kegaibannya,
serta berusaha memanfaatkan kekayaan alam yang melimpah ruah untuk
kesejahteraan hidupnya. Jadi, Al-Qur'an membawa manusia kepada Allah melalui
ciptaan-Nya dan realitas konkret yang terdapat di bumi dan di langit. Inilah
yang sesungguhnya dilakukan oleh ilmu pengetahuan, yaitu mengadakan observasi
dan eksperimen. Dengan demikian, ilmu pengetahuan dapat mencapai Yang Maha
Pencipta melalui observasi yang teliti dan tepat terhadap hukum-hukum yang
mengatur gejala alam, dan Al- Qur'an menunjukkan kepada realitas intelektual
Yang Maha Besar, yaitu Allah SWT lewat ciptaan-Nya.4 Fungsi
Al-Qur'an yang paling berharga dalam wacana keilmuan kita adalah pembentukan
akal ilmiah. Ada bentuk akal yang bisa kita namakan sebagai akal orang awam
atau akal yang dipengaruhi khurafat. Akal seperti ini membenarkan segala
sesuatu yang diajukan kepadanya tanpa menelitinya. Malah akal ini menerima apa
adanya, terutama jika yang mengajukan itu adalah orang yang dianggap istimewa
olehnya, seperti nenek moyang, para pembesar, dan pemimpin. Mereka akan
menyatakan, “Ini yang telah dilakukan oleh nenek moyang kami.” Selain bentuk
akal tadi, ada akal lain yang memiliki sifat dari ciri khas tersendiri, yakni
bentuk akal yang dibangun secara Islam oleh Al-Qur'an sebagai bekal bagi
manusia untuk mengarungi kehidupannya di dunia. Sudah menjadi kesepakatan
bersama bahwa ilmu tidak akan dapat berkembang, mengakar dan meluas. Bahkan ia
tidak dapat berbentuk kecuali dalam kondisi 4 Afzalur
Rahman, Qur’anic Science, terj. M. Arifin, Al-Qur'an Sumber Ilmu Pengetahuan,
(Jakarta: PT Rineka Cipta, 2000), Cet. III, hlm. 1. jiwa dan pikiran
yang siap untuk berpikir. Oleh karena itu, pemikiran harus terbuka, segala
pendapat harus siap didiskusikan, dan orang yang mempunyai gagasan harus
mengajukan dalil-dalilnya. Kesemuanya itu secara bertahap telah diproyeksikan
oleh Al-Qur'an dalam kehidupan yang Islami. Dengan kata lain, Al-Qur'an telah
mengajak dan memberikan tuntutan untuk membentuk “akal ilmiah” yang bebas dan
obyektif. Serta menolak “akal khurafat” yang sesat, “akal taklid” yang jumud,
serta akal yang mengikuti hawa nafsu.5 Islam memandang
pendidikan sebagai proses yang terkait dengan upaya mempersiapkan manusia untuk
mampu memikul taklif (tugas hidup) sebagai khalifah Allah di muka bumi.
Untuk maksud itu, manusia diciptakan lengkap dengan potensinya berupa akal dan
kemampuan belajar.
`tB $pkÏù
ã@yèøgrBr&
(#þqä9$s%
( ZpxÿÎ=yz
ÇÚöF{$#
Îû ×@Ïã%y`
oÎTÎ)
Ïps3Í´¯»n=yJù=Ï9
/u
tA$s%
øOEÎ)ur
w $tB
ãNn=ôãr&
þoÎTÎ)
tA$s%
( y7s9
â¨dÏs)çRur
x8ÏôJpt¿2
ßxmÎ7|¡çR
ß`øtwUur
uä!$tBeÏ$!$#
à7Ïÿó¡our
$pkÏù
ßÅ¡øÿã
ÎTqä«Î6/Rr&
tA$s)sù
Ïps3Í´¯»n=yJø9$#
n?tã
öNåkyÎztä
§NèO $yg¯=ä.
uä!$oÿôoeF{$#
tPy#uä
zN¯=tæur
ÇÌÉÈ tbqßJn=÷ès?
ÇÌÊÈ tûüÏ%Ï»|¹
öNçFZä.
bÎ) ÏäIwàs¯»yd
Ïä!$yJór'Î/
Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para
malaikat: "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi."
Mereka berkata: "Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu
orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami
senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?" Tuhan
berfirman: "Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui."
Dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya, kemudian
mengemukakannya kepada para malaikat lalu berfirman: "Sebutkanlah
kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu memang benar orang-orang yang
benar!"(QS. Al-Baqarah [2]: 30-31) Dalam hal ini, Allah mengutus para
rasul setelah Adam a.s. kepada umat manusia untuk membimbing mereka dari
kondisi yang “gelap” kepada 5 Yusuf Qardhawi, Al-Aqlu wal
Ilmu Fil Qur’anil Karim, terj. Abdul Hayyie al-Kattani, Irfan Salim dan
Sochimien, Al-Qur'an Berbicara tentang Akal dan Ilmu Pengetahuan,
(Jakarta: Gema Insani Press, 2004), Cet. VI, hlm. 277-278. kondisi
yang “terang”, dari kondisi serba tidak berperadaban menjadi berperadaban
melalui al-Kitab, al-Hikmah, dan pendidikan. Selanjutnya, Allah memerintahkan
kepada manusia untuk membaca. Diletakkannya perintah membaca dalam ayat-ayat
permulaan diturunkannya Al-Qur'an – wallahu a’lam bishshawab – betapa
peran membaca dalam upaya persiapan kekhalifahan manusia di muka bumi. Membaca
tidak hanya berarti memberantas buta huruf, tetapi juga memahami dan
mempelajari semua ilmu yang berguna bagi makhluk dan membimbing manusia agar
insyaf dan bertakwa kepada Allah. Inilah yang dimaksud dengan firman-Nya,
“Bacalah dengan menyebut nama Tuhanmu.” Perhatikan firman-Nya, “Dia telah
menciptakan manusia dari segumpal darah,” dan isyarat-Nya untuk menggunakan
peralatan memperoleh ilmu, “yang mengajar (manusia) dengan perantara kalam.”
Tidak ada petunjuk yang lebih jelas tentang kemuliaan ilmu, ulama dan
pendidikan ketimbang penamaan Al-Qur'an dengan al-Kitab yang melambangkan makna
membaca pengetahuan dan belajar. Oleh sebab itu, tidak aneh apabila umat Islam disebut
umat iqra’, umat ilmu pengetahuan dan cahaya. Jelas sekali jalan untuk
dapat beribadah, memperoleh petunjuk, menjadi berbudaya, dan memakmurkan bumi
guna melaksanakan tugas hidup dari Allah adalah ilmu dan pengetahuan yang
dijiwai dengan iman.6 Akal menghasilkan ilmu dan ilmu
berkembang dalam masa keemasan sejarah Islam. Supaya dapat dipelajari dengan
baik dan benar, ilmu perlu diklasifikasikan (digolong-golongkan). Klasifikasi
ilmu, karena itu, merupakan salah satu kunci untuk memahami tradisi intelektual
Islam.7
Sejak
manusia menuntut kemajuan dan kehidupan, maka sejak itu timbul gagasan untuk
maka pengalihan, pelestarian dan pengembangan kebudayaan melalui pendidikan.
Maka dari itu dalam sejarah pertumbuhan masyarakat, pendidikan senantiasa
menjadi perhatian utama dalam rangka 6 Hery Noer Aly
dan Munzier, Watak Pendidikan Islam, (Jakarta: Friska Agung Insani, 2003),
Cet. II, hlm. 11-13. 7 Muhammad Daud Ali, Pendidikan Agama
Islam, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1998), Cet. V, hlm. 388. kemajuan
kehidupan generasi demi generasi sejalan dengan tuntutan kemajuan masyarakatnya.8 Dalam
masyarakat yang dinamis, pendidikan memegang peranan yang menentukan eksistensi
dan perkembangan masyarakat tersebut, karena pendidikan merupakan usaha
melestarikan, dan mengalihkan serta mentransformasikan nilai-nilai kebudayaan
dalam segala aspeknya dan jenisnya kepada generasi penerus. Demikian pula
halnya dengan peranan pendidikan Islam di kalangan umat Islam merupakan salah
satu bentuk manifestasi dari cita-cita hidup Islam untuk melestarikan,
mengalihkan dan menanamkan (internalisasi) dan mentransformasikan nilai-nilai
Islam tersebut kepada pribadi generasi penerusnya sehingga nilai-nilai
kultural-religius yang dicita-citakan dapat berfungsi dan berkembang dalam
masyarakat dari waktu ke waktu.9 Mata pelajaran dalam kurikulum
menempati tempat yang penting untuk memberi jawaban terhadap apa yang
dikerjakan untuk menciptakan manusia yang dicita-citakan oleh pembuat kurikulum
itu. Sebagai misal, kita ambil anak ayam. Makanan apakah yang harus diberikan
kepada anak ayam supaya badannya menjadi besar? Jagungkah atau beras, ataukah
lain-lain? Begitu juga dengan kanak-kanak apakah yang harus diajarkan kepadanya
untuk mencapai cita-cita pembuat kurikulum? Jawabannya ialah pengetahuan.10 Dari
uraian di atas, maka kita dapat menarik garis besar bahwa akal sangat berperan
terhadap proses pembelajaran. Sedangkan proses pembelajaran agar bisa berhasil
dengan baik maka yang perlu diperhatikan adalah kurikulum. Berangkat dari latar
belakang di atas, maka penulis tertarik untuk mengkaji secara komprehensif
mengenai kedudukan akal yang diproyeksikan Al-Qur'an tersebut, dengan judul Kedudukan
Akal dalam Al- Qur'an dan Implementasinya dalam Pengembangan Kurikulum
Pendidikan Agama Islam. 8 Nur Uhbiyati, Ilmu Pendidikan
Islam II, (Bandung: Pustaka Setia, 1997), Cet. I, hlm. 9. 9 Ibid., hlm.
14. 10
Ibid., hlm.
82.
B. Penegasan
Istilah
1.
Akal
Kata
akal yang sudah menjadi kata Indonesia itu berasal dari bahasa Arab al-‘aql.
Artinya pikiran atau intelek.11 Dalam bahasa Indonesia
perkataan akal menjadi kata majemuk akal pikiran.12 Jadi,
kedudukan akal dalam Al-Qur'an, yang dimaksud adalah tempat akal dalam
Al-Qur'an. Dengan mengetahui kedudukannya, dapat pula diketahui peranannya
dalam kurikulum Pendidikan Agama Islam. Kedudukan dan peranan adalah dua hal
yang tidak mungkin diceraipisahkan, karena peranan adalah aspek dinamis
kedudukan. Karena kedudukannya, misalnya, orang dapat berperan, bertindak
melalui sesuatu.13
2.
Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama
Islam
Istilah
kurikulum digunakan pertama kali pada dunia olahraga pada zaman Yunani kuno
yang berasal dari kata curir dan curere, yang pada waktu itu
kurikulum diartikan sebagai jarak yang harus ditempuh oleh seorang pelari.
Orang mengistilahkannya dengan tempat berpacu atau tempat berlari dari mulai
start sampai finish. Selanjutnya istilah kurikulum digunakan dalam dunia
pendidikan. Para ahli pendidikan memiliki penafsiran yang berbeda-beda tentang kurikulum.
Namun demikian, dalam penafsiran yang berbeda itu, ada juga kesamaannya.
Kesamaan tersebut adalah, bahwa kurikulum berhubungan erat dengan usaha mengembangkan
peserta didik sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai.14 Pendidikan
Agama Islam adalah pendidikan tentang ajaran-ajaran agama Islam dan merupakan
salah satu mata pelajaran yang diajarkan di 11 Daya
atau proses pikiran yang lebih tinggi berkenaan dengan ilmu pengetahuan. 12 Muhammad
Daud Ali, op.cit., hlm. 384. 13 Ibid., hlm.
384-385. 14
Wina
Sanjaya, Kajian Kurikulum dan Pembelajaran, (Bandung: Sekolah
Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia, 2007), hlm. 2-3. setiap
lembaga pendidikan, baik pendidikan dasar, menengah, maupun sekolah menengah
umum negeri maupun swasta. Jadi, implementasinya dalam kurikulum Pendidikan
Agama Islam adalah suatu proses, suatu aktifitas yang digunakan untuk
mentransfer ide/gagasan, program, atau harapan-harapan yang dituangkan dalam bentuk
kurikulum disain (tertulis) yang sesuai dengan ajaran Islam agar dilaksanakan
sesuai dengan disain tersebut.15
C. Rumusan
Masalah
Penjelasan tentang akal merupakan bagian yang
mendasar dan penting dalam dunia pendidikan khususnya terhadap kurikulum. Maka
dari itu peneliti termotivasi untuk mengkajinya. Oleh karena itu, dalam
penelitian ini difokuskan pada pokok permasalahan sebagai berikut:
1. Bagaimana
kedudukan akal dalam Al-Qur'an?
2. Bagaimanakah
implementasi kedudukan akal dalam pengembangan kurikulum Pendidikan Agama
Islam?
D. Tujuan
dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan
Penelitian skripsi
Berdasarkan
rumusan masalah tersebut di atas, maka tujuan yang hendak dicapai dalam
penulisan skripsi ini adalah:
a.
Untuk mengetahui kedudukan akal dalam Al-Qur'an.
b.
Untuk mengetahui implementasi kedudukan akal dalam pengembangan kurikulum
Pendidikan Agama Islam.
2. Manfaat
Penulisan skripsi
Nilai
guna yang dapat diambil dari pemahaman skripsi ini adalah sebagai berikut: a.
Dengan mengetahui kedudukan akal dalam Al-Qur'an maka dapat memberikan
pemahaman yang lebih luas tahun dunia pendidikan 15 Syafruddin
Nurdin, Guru Profesional dan Implementasi Kurikulum,(Jakarta: Ciputat Press,
2002), Cet. 7, hlm. 73. khususnya kurikulum Pendidikan Agama
Islam. Bahwa sebenarnya akal kita sangat berperan dan berpotensi terhadap
kurikulum tersebut. Dengan pengetahuan kedudukan tersebut maka kurikulum akan berkembang
dan sesuai dengan zaman sehingga proses pendidikan akan berjalan dengan baik.
b.
Bagi penulis, dengan meneliti kedudukan akal dalam Al-Qur'an, maka akan dapat
menambah wawasan pemahaman yang lebih komprehensif sehingga diupayakan dapat
terealisasi dalam kehidupan.
c.
Hasil dari pengkajian dan pemahaman masalah di atas, sedikit banyak diharapkan
dapat membantu usaha penghayatan dan pengamalan terhadap isi dan kandungan
Al-Qur'an.
d.
Penelitian ini sebagai kajian dari usaha untuk menambah khasanah ilmu
pengetahuan di Fakultas Tarbiyah umumnya dan jurusan PAI khususnya.
E. Telaah
Pustaka
Dalam rangka mewujudkan penulisan skripsi yang
profesional dan mencapai target yang maksimal, penulis memaparkan beberapa buku
dan skripsi sebagai rujukan. Hal ini dilakukan untuk menghindari kesamaan obyek
dalam penelitian.
1.
Yusuf Qardhawi dalam Al-Qur'an
Berbicara tentang Akal dan Ilmu Pengetahuan, menjelaskan bahwa keberadaan
Al-Qur’an sebagai petunjuk hidup bagi umat Islam tidak berarti menafikan pesan
akal sebagai sarana olah fikir dan pertimbangan bagi manusia dalam menjalani
hidup kesehariannya. Malah lebih jauh dari itu, Al-Qur’an justru memberikan bimbingan
kepada akal manusia untuk senantiasa beristiqamah berjalan dalam hukum dan
ketentuan yang telah ditetapkan bagi seluruh makhluk- Nya.16
2.
Mohammad Hilal dalam skripsinya yang
berjudul Manusia dalam Semantik Al-Qur'an dan Implikasinya terhadap Tujuan
Pendidikan Islam, 16 Yusuf Qardhawi, Al-Aqlu wal Ilmu Fil
Qur’anil Karim, op.cit., hlm. ii. menjelaskan
bahwa dalam rangka mewujudkan optimalisasi potensi manusia, maka kegiatan
pendidikan harus dimaknai sebagai upaya untuk membantu manusia mencapai
realitas diri dengan mengoptimalkan semua potensi kemanusiaannya tanpa
memandang tempat dan waktu. Pembentukan totalitas anak menjadi manusia sempurna
tersebut, baik dari aspek fisik biologis (jismiyah), psikis psikologis (nafsiyah),
dan spiritual transendental (ruhaniyah).17
3.
Shofi Inayah dengan judul skripsinya, Makna
Qalam dalam Al-Qur'an dan Implementasinya dalam Pendidikan Islam,
menjelaskan bahwa dalam pendidikan membutuhkan adanya media pembelajaran yang
berfungsi sebagai penunjang kesuksesan dalam kegiatan belajar mengajar, di sini
qalam diartikan bukan hanya sebatas pena namun diperluas menjadi alat atau
media yang difungsikan dalam proses belajar mengajar. Dengan media ini siswa
dapat belajar dengan penuh motivasi dan mendapatkan hasil yang maksimal.18
4. Achmad
Furqon dalam skripsinya yang berjudul Kajian Surat Ar-rahman Ayat 1-4
Perspektif Pendidikan Islam menjelaskan bahwa unsur-unsur pendidikan yang
tersirat dalam surat Ar-Rahman ayat 1-4 antara lain: Allah SWT sebagai subyek
didik (pendidik utama). Kedua, al-insan adalah subyek dan sekaligus
obyek didik (peserta didik). Ketiga, Al- Qur'an adalah materi pendidikan Islam
yang darinya dapat digali berbagai macam isi pendidikan yang kemudian
dikembangkan menjadi ilmu pengetahuan yang bermanfaat. Keempat, al-bayan adalah
metode sekaligus alat pendidikan atau alat untuk mentransformasikan ilmu pengetahuan
kepada manusia.19
17
Mohammad
Hilal, “Manusia dalam Semantik Al-Qur'an dan Implikasinya terhadap Tujuan
Pendidikan Islam”, Skripsi, (Semarang: Perpustakaan Fakultas Tarbiyah IAIN
Walisongo, 2006), t.d. 18 Shofi Inayah, “Makna Qalam dalam
Al-Qur'an dan Implementasinya dalam Pendidikan Islam”, Skripsi, (Semarang:
Perpustakaan Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo, 2006), t.d. 19 Achmad
Furqon, “Kajian Surat Ar-Rahman Ayat 1-4 Perspektif Pendidikan Islam”, Skripsi,
(Semarang: Perpustakaan Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo, 2009), t.d.
5.
F. Metode
Penelitian
Merujuk pada kajian di atas, penulis menggunakan
beberapa metode yang relevan untuk mendukung dalam pengumpulan dan
penganalisaan data yang dibutuhkan dalam penulisan skripsi. Adapun skripsi ini
menggunakan metode sebagai berikut:
1. Jenis
Penelitian Penelitian ini bersifat kualitatif, karena menekankan pada penelitian
yang berupaya untuk menelusuri dan mencari teks yang berkaitan dengan akal
dalam kurikulum Pendidikan Agama Islam yang membahas pada masalah tersebut.
2. Metode
Pengumpulan Data Dalam penulisan skripsi ini penulis menggunakan sumber utama berupa
ayat-ayat Al-Qur'an yang berkaitan secara langsung maupun tidak langsung dengan
permasalahan yang menjadi pokok bahasan dalam skripsi ini. Selanjutnya untuk
memberi penjelasan-penjelasan atas penafsiranpenafsiran tentang ayat-ayat
Al-Qur'an tersebut penulis menggunakan studi pustaka (library research)
atau suatu penelitian kepustakaan.20 Di mana
pengumpulan data ini meliputi:
a. Sumber
Primer
Sumber
primer merupakan sumber pokok diperoleh melalui Al- Qur'an, yaitu Al-Qur'an dan
terjemahannya, tafsir Al-Qur'an meliputi Tafsir Al-Misbah karya M.
Quraish Shihab, Tafsir An-Nuur karya Hasbi Ash-Shiddieqy, Tafsir
Fizhilalil Qur’an karya Sayyid Quthb, Tafsir Al-Maraghi karya Ahmad
Musthafa Al-Maraghi, dan didukung oleh buku-buku yang berkaitan dan relevan
dengan permasalahan skripsi ini.
b. Sumber
Sekunder
Merupakan
sumber penunjang yang dijadikan alat bantu untuk menganalisa terhadap masalah
yang telah ditetapkan atau yang dikaji. 20 Sutrisno Hadi, Metodologi
Research I, (Yogyakarta: Andi Offset, 1995), hlm. 5.
3.
Metode Analisis Data
Melihat
permasalahan dan tujuan penelitian di atas, penelitian ini termasuk penelitian
kualitatif. Dengan demikian analisis yang digunakan adalah analisis kualitatif
dengan menggunakan metode tafsir tahlili. Metode tahlili ialah
menafsirkan ayat-ayat Al-Qur'an dengan memaparkan segala aspek yang terkandung
di dalam ayat-ayat yang ditafsirkan itu serta menerangkan makna-makna yang
tercakup di dalamnya sesuai dengan keahlian dan kecenderungan mufasir yang menafsirkan
ayat-ayat tersebut. Dalam metode ini, biasanya mufasir menguraikan makna yang dikandung
oleh Al-Qur’an ayat demi ayat dan surat demi surat sesuai dengan urutannya di
dalam mushaf. Uraian tersebut menyangkut berbagai aspek yang dikandung
ayat yang ditafsirkan seperti pengertian, kosakata, konotasi kalimatnya, latar
belakang turun ayat, kaitannya dengan ayat-ayat yang lain, baik sebelum maupun
sesudahnya (munasabah), dan tidak ketinggalan pendapat-pendapat yang
telah diberikan berkenaan dengan tafsiran ayat-ayat tersebut, baik yang
disampaikan oleh Nabi, sahabat, para tabi’in maupun ahli tafsir
lainnya.21 Dalam hal ini penulis akan membahas dan menganalisis ayat-ayat yang
berhubungan dengan kedudukan akal yaitu surat Al-Ankabut: 63, Saba’: 46,
Az-Zumar: 9, dan Ali Imran: 7. Selanjutnya penulis akan menguraikan makna akal
dan kata-kata lain yang berhubungan dengan akal, misalnya yatafakkarun, yatadzakkarun,
dan ulul albab. Setelah katakata tersebut diuraikan penulis selanjutnya
menghubungkan atau mengimplementasikan ke dalam pengembangan kurikulum PAI. 21 Nashruddin
Baidan, op.cit., hlm. 31.
BAB
II
KEDUDUKAN
AKAL DALAM AL-QUR’AN
G. Pengertian
Akal
Para ahli mengartikan akal dengan 3 makna. Makna
pertama, akal bermakna akal itu sendiri, tanpa ada makan lain. Makna kedua dan
ketiga, akal diartikan sebagai kata benda (isim) yang bisa digunakan
oleh orang Arab. Dari kata benda itu muncul penggunaan kata akal dalam bentuk
kata kerja (fi’il). Dalam Al-Qur'an, Allah SWT juga menggunakan kedua
makna tersebut. Para ahlipun menamakan dua makna tersebut sebagai akal. Makna dan
hakikat akal tidak lain adalah naluri yang dianugerahkan Allah SWT kepada
mayoritas makhluk-Nya (manusia). Para hamba tidak bisa mengetahui naluri mereka
satu sama lain. Mereka bahkan juga tidak dapat mengetahui nalurinya sendiri,
baik dengan cara melihat maupun merasakan. Namun, Allah SWT mengenal mereka
dengan perantara akal. Karena akal itulah, mereka mengenal Allah SWT. Mereka
dapat menyaksikan Allah SWT dengan akal. Mereka juga mengenal diri mereka
dengan akal. Lantaran akal pula mereka dapat mengetahui sesuatu yang bermanfaat
dan membahayakan dirinya.22 Mengenai akal,
sesungguhnya tidak jelas sejak kapan menjadi kosakata ahasa Indonesia. Yang jelas ia diambil dari
bahasa Arab Al-‘aql
atau ’aqala.
kata ‘aql sendiri sudah digunakan oleh orang Arab sebelum datangnya
agama.23
Kamus
Besar Bahasa Indonesia (KBBI), mengartikan akal dengan 4 pengertian: 1) daya
pikir (untuk mengerti), pikiran, ingatan, (2) jalan atau cara 22 Magdy
Shehab, dkk, Al-I’jaz Al-Ilmi fi Al-Qur'an wa al Sunah, (terj.
Penerjemah: Syarif Made Masyah, dkk), Ensiklopedia Mu’jizat Al-Qur'an dan
Hadits, (Bekasi: PT. Sapta Santosa, 2008), Cet. I, Jilid 2, hlm. 165. 23 Taufik
Pasiak, Revolusi IQ/EQ/SQ: Menyingkap Rahasia Kecerdasan Berdasarkan Al- Qur'an
dan Neurosains Mutakhir, (Bandung: PT. Mizan 2008), Cet. I, hlm. 257. melakukan
sesuatu, daya upaya, ikhtiar, (3) tipu daya muslihat, kecerdikan, kelicikan dan
(4) kemampuan melihat atau cara-cara memahami lingkungan.24 Kamus
bahasa Arab, mengartikan akal (secara harfiah) sebagai pengertian al-imsak (menahan),25 al-ribath
(ikatan),
al-hijr (menahan), alnahy (melarang dan al-man’u (mencegah).26 Ibn
Manzhur, misalnya mengartikan al’aql dengan 6 macam, (1) akal pikiran,
inteligensi, (2) menahan, (3) mencegah, (4) membedakan, (5) lambang pengikat
dan, (6) ganti rugi. Akal juga sering dinamakan dengan ()
al-hijr (menahan atau mengikat). Sehingga seorang yang berakal adalah orang
yang dapat menahan diri dan mengekang hawa nafsunya. Kata-kata Hamka seorang
ulamasastrawan Indonesia mewakili pengertian itu. Mengikat binatang dengan
tali, mengikat manusia dengan akalnya.
H. Pengertian
Kedudukan Akal dalam Al-Qur'an
Para sufi memahami kedudukan akal
dalam konteks “mengikat” “melekatkan” dan “membatasi”. Pilihan makna ini
berkaitan dengan penciptaan alam semesta oleh Tuhan. Tuhan dianggap tidak
terbatas, tidak terjangkau. Namun, ketika ia bertajalli, setiap
ciptaan-Nya senantiasa terbatas. Ciptaan ini “mengikat” dimensi Tuhan yang
tidak terbatas itu. Jadi, akal cenderung berkaitan dengan segala ciptaan Tuhan,
bukan Tuhan sendiri, yang Maha Luas itu.27 Kedudukan akal
dalam Al-Qur'an, yang dimaksud adalah tempat akal dalam Al-Qur'an. Dengan
mengetahui kedudukannya, dapat pula diketahui peranannya dalam kurikulum
Pendidikan Agama Islam. Kedudukan dan peranan adalah dua hal yang tidak mungkin
diceraipisahkan, karena peranan 24 Depdiknas, Kamus
Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2005), Cet. 3, Ed. 3, hlm.
18. 25
Luwis
Ma’luf, Al-Munjid fi Al-Lughat wa Al-A’lam, (Beirut: Dar al-Masyriqi,
2007), hlm. 520. Lihat juga, Ahmad Warson Munawir, Al-Munawwir Kamus Arab
Indonesia, (Yogyakarta: Al-Munawir, 1984), hlm. 1027. 26 Atabik
Ali dan A. Zuhdi Mudlor, Kamus Al-Ashri Arab Indonesia, (Yogyakarta:
Multi Karya Grafika, 2003), hlm. 1307-1308. 27 Taufik
Pasiak, op.cit., hlm. 257-259. adalah aspek dinamis kedudukan.
Karena kedudukannya, misalnya, orang dapat berperan, bertindak melalui sesuatu.28 Terdapat
7 sinonim untuk kata akal : (1) dabbara (merenungkan), (2) faqiha (mengerti), (3) fahima (menahan), (4) nazhara (melihat dengan mata kepala), 5) dzakara (mengingat), 6) fakkara (berpikir secara dalam), dan 7) alima (menahan dengan jelas). Selain
tujuh kata itu, masih ada kata-kata yang dari segi fungsi yang ditunjukkannya
memiliki kemiripan dengan kata akal, yang paling mendekati adalah kata al-qolb.29
I.
Akal dalam Perspektif Al-Qur'an
Al-Qur'an
mendorong umat Islam agar menggiatkan penggunaan akal. Dan berkaitan dengan hal
itu, maka dapat kita lihat demikian banyaknya Allah menyebut beberapa kata yang
berkait dengan pentingnya akal, yaitu disebutkannya kata al-aqlu sebanyak
50 kali,30
kata
ulul albab (cerdik cendekia) sebanyak 16 kali, kata ulin nuha (ahli
ilmu) sebanyak dua kali dan masih banyak yang lain, seperti ulil abshor (pengamat
ahli) dan kata-kata lainnya.31 Al-Qur'an
berulang-ulang menggerakkan dan mendorong perhatian manusia dengan bermacam
cara, supaya manusia mempergunakan akalnya. Ada secara tegas, perintah mempergunakan
akal dan ada pula berupa pertanyaan, mengapa seseorang tidak mempergunakan
akalnya. Selanjutnya 28 Muhammad Daud Ali, Pendidikan Agama
Islam, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1998), Cet. V, hlm. 384-385. 29 Ibid., hlm.
276. 30
Di
referensi lain penulis menemukan bahwa kata akal berjumlah 49 kali. Secara
rinci ke-49 ayat tersebut antara lain terdapat
pada QS. (Al-Baqarah: 75), (Al-Baqarah:
164), (Ar-Ra’d: 4), (An-Nahl: 12), (Ar-Rum: 24), (Al-Baqarah: 170 dan 171), (Al-Ma’idah:
61 dan 106), (Al-Ankabut: 63), (Al-Hujurat: 4), (Al-Anfal: 2), (Yunus: 42 dan
100), (An-Nahl: 67), (Al-Hajj: 46), (Al-Furqon: 44), (Al-Ankabut: 353),
(Ar-Rum: 28), (Yasin: 28), (Az-Zumar: 43), (Al-Jasiyah: 4), (Al-Hasyr: 14); (Al-Baqarah:
44 dan 76), (Ali Imron: 65), (Al-An’am: 32), (Al-A’raf: 168), (Yunus: 16),
(Hud: 51), (Yusuf: 109), (Al-Anbiya: 10 dan 67), (AL-Mu’minun: 81), (Al- Qasas:
60), (Shad: 138), (Al-Baqarah: 73 dan 242), (Ali Imran: 118), (As-Syu’ara: 28),
(Al- An’am: 151), (Yusuf: 2), (Az-Zukhruf: 3), (An-Nur, 61), (Al-Hadid: 17),
(Yasin: 62), (Al- Mu’min: 67); (Al-Mulk:
10), (Al-Ankabut: 43). Lihat, Ahmad Ibnu Hasan, Fathu al-Rohman Li Tolib
al-Ayat al-Qur’an, (Jakarta: Dar al-Hikmah, t.t), hlm. 306. 31 Imam Muchlas,
Al-Qur'an Berbicara (Kajian Kontekstual Beragam Persoalan), (Surabaya:
Pustaka Progressif, 1996), Cet. I, hlm. 120. diterangkan pula
bahwa segala benda di langit dan di bumi menjadi bukti kebenaran tentang
kekuasaan, kemurahan dan kebijaksanaan Tuhan, hanya oleh kaum yang
mempergunakan akalnya. Disuruhnya manusia mengadakan perjalanan, supaya akal
dan pikirannya tumbuh dan berkembang. Timbulnya perpecahan antara satu golongan
selamanya, disebutkan karena mereka tiada mempergunakan akalnya. Selanjutnya
penyesalan di hari kemudian disebabkan karena tidak mempergunakan akal. Supaya
akal itu dapat tumbuh dan berkembang dengan cepat, perlu diberi ilmu
pengetahuan, sehingga berpikir lebih tepat dan mendasar kenyataan, tidak
menerawang langit dan tidak ngawur. Akal yang berisi pengetahuan, dapat
mengetahui bagaimana alam ini diciptakan Tuhan dengan serba teratur,
menyebabkan tumbuhnya kepercayaan bahwa Tuhan itu Maha kuasa dan Maha
bijaksana. Orang yang mempergunakan akalnya suka bersatu dan selalu menjaga
persatuan, karena persatuan itu pokok kekuatan.32 Penggunaan
akal untuk berpikir akan mengantarkan individu dan masyarakat menjadi pribadi
atau masyarakat yang unggul.33 Kata ‘aql (akal)
yang mula-mula hanya berhubungan dengan kecerdasan praktis dan berguna untuk
“mengikat” atau “menahan” memperoleh pemadatan makna dalam Al-Quran. Kata ini
disebut 49 kali dalam 28 surah: 31 kali dalam 19 surah yang diturunkan di
Makkah tempat kehidupan kaum Muslim berada dalam suasana kaotis, dan 18
kali dalam 9 surah yang diturunkan di Madinah ketika struktur kehidupan
kebudayaan kaum Muslim boleh dikatakan sudah mapan. Akal sangat padat maknanya
dalam Al-Quran, dan digunakan secara luas oleh para pemikir Muslim. Dalam
perbendaharaan kata orang Islam, kata itu sangat tinggi kedudukannya.
Berfungsinya akal memiliki signifikansi ibadah. Sehingga, orang gila (yang
dianggap “kehilangan” akal) akan dianggap tidak laik beribadah. lbadahnya itu
tidak berguna sama sekali karena 32 Fachruddin, Ensiklopedia
Al-Qur'an, Jilid I, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1998), Cet. II, hlm. 73-74.
33
H.
Fuad Nashori, Potensi-Potensi Manusia Seri Psikologi Islam, (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2005), Cet. 2, hlm. 120. tidak dilakukan
dengan kesadaran. Dari segi ibadah, ia akan berhubungan erat dengan kesadaran. Dengan
menelusuri bagaimana kata itu dipakai, akan dapat dipahami weltanschauung atau
“pandangan-dunia” masyarakat yang menggunakan bahasa itu, tidak hanya sebagai
alat berpikir atau berbicara, tetapi yang lebih penting lagi, pengonsepan dan
penafsiran terhadap dunia sekitarnya. “Dengan analisis semantik,” kata Izutsu,“
akan dipahami pandangan masyarakat terhadap kenyataan yang ditunjukkan oleh
kata itu.”34
Ada
tiga fungsi yang diperankan oleh otak dan membuatnya berbeda dengan yang lain,
yaitu: 1) fungsi emosi (kecerdasan emosi (EQ), 2) fungsi rasional (IQ), dan 3)
fungsi spiritual (rohani dan religius) yang biasa kita kenal dengan kecerdasan
SQ.35
Beberapa
cara kerja otak kiri antara lain kegiatan analisis dan faktual36 juga
kognitif, rasional serta logis. Sedangkan otak kanan bekerja secara afektif,
emosional, kualitatif dan spirit. Otak kecil (cerebellum) sebagai
jembatan antara otak belakang dan saraf tulang belakang. Otak ini berperan
untuk pernapasan dan koordinasi gerakan tubuh37 juga
merekam
seluruh
kejadian yang dialami manusia.
J.
Ayat-ayat akal dalam Al-Qur'an
Kata
dasar al-’aql tidak terdapat dalam Al-Quran. Ia dipakai sebagai
kata
kerja dalam
49 kali penyebutan: 1 kali dalam bentuk lampau (past
tense, ( )
dan 48 kali dalam bentuk sekarang (present tense).
Penyebutannya
meliputi: ‘aqlah (1 kali); ta’qilun (24 kali); na’qilu
(1
kali); ya’qiluha (1 kali); dan ya’qilun (22 kali).38
No
Penyebutan Jumlah
1 .086
Tw11
2 24
34 Taufik
Pasiak, op.cit., hlm. 271-273.
35 Ibid., 364.
36 Ibid., hlm.
161.
37 Ibid., hlm.
101.
38 Ibid., hlm.
273.
3 1
4 1
5 22
Jumlah
49
1.
Istilah dalam QS. Al-Ankabut [29]: 63)
a.
Redaksi Ayat
£`ä9qà)us9
$ygÏ?öqtB
Ï÷èt/
.`ÏB uÚöF{$#
ÏmÎ/ $uômr'sù
[ä!$tB
Ïä!$yJ¡¡9$#
ÆÏB tA¨¯R
`¨B OßgtFø9r'y
ûÍ.s!ur
ÇÏÌÈ
tbqè=É)÷èt
w óOèdçsYò2r&
ö@t/ 4
¬! ßôJysø9$#
È@è% 4
ª!$#
Dan
Sesungguhnya jika kamu menanyakan kepada mereka39:
"Siapakah
yang menurunkan air dari langit lalu menghidupkan dengan
air itu
bumi sesudah matinya?" tentu mereka akan menjawab: "Allah",
Katakanlah:
"Segala puji bagi Allah", tetapi kebanyakan mereka tidak
memahami(nya).
(QS. Al-Ankabut [29]: 63).40
b. Arti
Kosakata
OßgtFø9r'y
:
kamu menanyakan kepada mereka
tA¨¯R
`¨B : Siapakah yang menurunkan
óOèdçsYò2r&
ö@t/ : tetapi
kebanyakan mereka
tbqè=É)÷èt
w : tidak memahami, mengerti41
39 Ada
macam manusia tertentu yang mengerti tentang kekuasaan Allah, namun dalam
pikiran
dan ibadahnya ia tetap sesat. Ada lagi manusia yang mendapat kemurahan Allah
yang
sudah
jelas berupa hujan dan alam. Ia tahu adanya perubahan-perubahan setiap hari dan
setiap
musim
yang sudah berlangsung selama berabad-abad sebagai bukti kemurahan Allah dalam
memberikan
kehidupan (jasmani dan rohani) dan menghidupkan kita kembali setelah kita
nampak
seperti
mati: tetapi ia tidak dapat menarik kesimpulan yang benar dan membuat hidupnya
sendiri
benar
dan indah hingga demikian bila masa percobaannya itu berakhir ia dapat masuk
dalam
haknya
yang abadi. Karena sudah begitu jauh ia melangkah pada tingkat yang sangat
menentukan
ia
gagal. Pada tingkat itu seharusnya ia sudah mengingat dan mengagungkan Allah
dan menerima
karunia
dan cahaya-Nya, tapi dengan gagalnya mendapat faedah dari segala pemberian
Allah itu,
membuktikan
pengertiannya yang sebenarnya masih kurang. (Lihat Abdullah Yusuf Ali, The
Holy
Qur’an
Text, Translation and Commentary, (Penerjemah: Ali Audah) Qur’an dan
Terjemah
Tafsirnya
Juz 1 s/d XV,
(Jakarta: Pustaka Firdaus, 1993), Cet. I, hlm. 123.
40 Depag
RI, Al-Qur'an dan Terjemahan, Juz 1-30, (Semarang: PT. Karya Toha Putra
1995),
hlm. 637.
41 Ahmad
Musthafa Al-Maraghi, Terjemah Tafsir Al-Maraghi Juz 3, Penerjemah: Drs.
M.
Thalib, Bandung:
CV. Rosda, 1989 Cet. I, hlm. 32.
c.
Asbabun Nuzul
Diriwayatkan
oleh Ibnu Abbas, bahwa ketika Nabi melihat para
mukmin
disakiti oleh orang-orang Quraisy yang musyrik di Mekkah,
beliau
bersabda: “Pergilah kamu ke Madinah, berhijrah ke sana.
Janganlah
kamu duduk sekampung dengan orang-orang yang dzalim
itu”.
Para sahabat menjawab: “Kami tidak mempunyai rumah, kebun
dan
ladang serta tidak mempunyai orang yang memberi makan dan
minum
kepada kami di sana”42
d.
Munasabah
Adapun
munasabah ayat ini dengan ayat sebelumnya yaitu
berbicara
tentang bimbingan kepada kaum muslimin yang mendapat
perlakuan
aniaya dari kaum musyrikin. Kini ayat di atas kembali
berbicara
kaum musyrikin yang antara lain juga dinyatakan pada ayat
50 yang
lalu.43
e.
Penjelasan Ayat
Lafal () ya’qiluna
terambil dari kata () yang
pada
mulanya
berarti menjelas. Kata () aqal
berarti tali: yaitu sesuatu
yang
digunakan untuk mengikat. Dari sini potensi manusia yang
menjadikannya
dapat memahami sekaligus membedakan antara yang
baik dan
yang buruk, serta “mengikat” dan menghalanginya terjerumus
dalam
kesesatan dan keburukan dinamai “akal”. karena itu akal dalam
pengertian
Al-Qur'an tidak terbatas pada daya pikir semata-mata, tetapi
juga
daya kalbu.44
Inventarisasi
ayat-ayat Al-Quran yang memakal kata akal dapat
diklasifikasikan
dalam 3 bagian: (1) teologis, yang bersangkut paut
dengan
keimanan, (2) kosmologis, menyangkut pemahaman dan
42 Teungku
Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Tafsir Al-Qur'an Majid An-Nur Jilid 4
(Semarang:
Pustaka Rizki Putra, 2000), Cet. II, Ed. II, hlm. 3152.
43 M.
Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah, Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur'an,
vol.
10,
(Jakarta: Lentera Hati, 2005), Cet. III, hlm. 533.
44 M.
Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah, Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur'an, Vol
10,
(Jakarta: Lentera Hati, 2000), Cet. IX, hlm. 536.
keberadaan
alam semesta, baik makro maupun mikro, dan (3)
moralitas,
terutama me- nyangkut etika pribadi dan etika sosial.
Jumlah
Ayat
Sub
Topik Klasifikasi
14
Keimanan
3 Kehidupan
akhirat
5 Kitab
suci
1 Sholat
Teologis
7
Dinamika manusia
6 Tanda
kebesaran Tuhan
12 Alam
semesta
Kosmologis
1 Etika
pribadi/sosial Moralitas
2.
Istilah dalam QS. Saba’ 46
Kata
‘pikir” dan ‘pakar” dalam bahasa Indonesia diambil dan
bahasa
Arab fikr yang dalam Al-Qur’an menggunakan istilah fakkara dan
tafakkarun. Kata
‘fikr” menurut Quraish Shihab diambil dari kata fark
yang
dalam bentuk faraka dapat berarti: (1) mengorek sehingga apa yang
dikorek
itu muncul, (2) menumbuk sampai hancur, dan (3) menyikat
(pakaian)
sehingga kotorannya hilang. Baik kata “fikr” maupun “fark”
memiliki
makna yang serupa. Bedanya, “fikr” digunakan untuk hal-hal
yang
abstrak, sedangkan “fark” digunakan untuk hal-hal yang konkret.
Larangan
berpikir tentang Tuhan adalah sebuah contoh tentang objek
“fikr”.
Tuhan memang tidak dapat tergambar dalam pikiran seseorang
sehingga
sangat sukar untuk diketahui.
Dengan
pemusatan pikiran pada saat bertafakur ini mirip meditasi
dalam
tradisi Hindu memudahkan seseorang untuk memahami gejala di
sekitarnya.
Di samping ia memperoleh kenikmatan tersendiri dan kegiatan
tersebut,
bertafakur memberikan dua akibat: (1) refleksi (permenungan)
yang
menumbuhkan kesadaran-kesadaran spiritual bagi yang
melakukannya
dan mengarah pada pembersihan hati, dan (2) relaksasi
yang
memberi kenikmatan secara ragawi bagi yang melakukannya.
Dengan
bertafakur, dapat dipahami hubungan erat antara “pikiran” dan
“perasaan”.
Demikian halnya hubungan antara fikr dan dzikr. Perasaan itu,
sebagaimana
dibuktikan melalui penelitian amigdala di otak, ternyata
harus
juga memiliki pikirannya sendiri. Inti Kecerdasan Emosi(EQ), yang
antara
lain dapat disuburkan melalui tafakur, adalah bagaimana pikiran itu
mengontrol
emosi. Bagaimana kulit otak (pusat dan intelektualitas
manusia)
menata amigdala (pusat emosi manusia). 45
a.
Redaksi Ayat
$tB
4 (#rã¤6xÿtGs?
¢OèO 3yºtèùur
4Óo ÷WtB
¬! (#qãBqà)s?
br& ( >oyÏmºuqÎ/
Nä3ÝàÏãr&
!$yJ¯RÎ)
ö@è% *
ÇÍÏÈ
7Ïx©
5>#xtã
ôyt
tû÷üt/
Nä3©9
ÖÉtR
wÎ) uqèd
÷bÎ) 4
>p¨ZÅ_
`iÏB /ä3Î6Ïm$|ÁÎ/
Katakanlah:
"Sesungguhnya aku hendak memperingatkan kepadamu
suatu
hal saja, Yaitu supaya kamu menghadap Allah (dengan ikhlas)
berdua-
dua atau sendiri-sendiri; kemudian kamu fikirkan (tentang
Muhammad)
tidak ada penyakit gila46 sedikitpun pada kawanmu itu.
Dia
tidak lain hanyalah pemberi peringatan bagi kamu sebelum
(menghadapi)
azab yang keras (QS. Saba’: 46).47
b. Arti
Kosakata
Nä3ÝàÏãr&
:
aku hendak memperingatkan kepadamu
(#qãBqà)s?
br& : kamu menghadap
4Óo
÷WtB :
berdua-dua
yºtèù
:
sendiri-sendiri
#rã¤6xÿtGs?
kamu
fikirkan48
45 Taufik
Pasiak, op.cit., hlm. 280-283.
46 Coba
kita perhatikan ayat 46, 47, 48, 49 dan 50. semua dalil itu dianjurkan kepada
Nabi
yang
dengan itu pula ia dapat meyakinkan orang yang berpikir sehat, mengenai
kesungguhan dan
kejujurannya.
Dalilnya disini ialah bahwa dia tidak kesurupan atau gila, kalaupun dia berbeda
dari
manusia
biasa hanya karena dia memberi peringatan mengenai bahaya dalam arti rohani
yang
mengerikan
kepada orang-orang yang dicintainya, namun mereka tidak juga dapat menangkap
ajarannya.
47 Depag
RI, op.cit., hlm. 691.
48 Ahmad
Musthafa Al-Maraghi, Terjemah Tafsir Al-Maraghi Juz 22, Penerjemah:
Bahrun
Abu Bakar Lc., (Semarang: CV. Toha Putra, 1989), Cet. I, hlm. 153.
c.
Asbabun Nuzul
Diriwayatkan
bahwa pada suatu hari Nabi Muhammad saw.
Mendaki
bukit Shafa dan berseru memanggil suku Quraisy. Ketika
mereka
berkumpul Nabi saw. bersabda: “Bagaimana tanggapan kalian
jika aku
menyampaikan bahwa ada musuh yang sedang menanti
datangnya
pagi atau malam untuk menyerang kamu. Apakah kamu
percaya?”
Mereka menjawab: “Kami percaya.” Lalu Nabi saw.
bersabda:
“Sesungguhnya aku adalah pemberi peringatan bagi kamu
sebelum
datangnya siksa yang pedih.” Mendengar hal ini, Abu Lahab
berkata:
“Celakalah engkau! Apakah untuk maksud tersebut engkau
mengumpulkan
kami?” Maka turunlah firman Allah: “Tabbat yadâ Abi
Lahab.” (HR.
Bukhâri, Muslim, Ibn Hibban dan al-Baihaqi melalui Ibn
‘Abbas).49
d.
Munasabah
Ayat ini
dan ayat-ayat berikut dimulai dengan kata
qul/katakanlah.
Tujuannva adalah menggarisbawahi serta meminta
perhatian
mitra bicara menyangkut apa yang disampaikan. Yang
diminta
oleh ayat ini hanya satu yaitu berpikir. Bahwa yang ditekankan
hanya
satu, untuk mengisyaratkan bahwa apa yang diminta itu
bukanlah
sesuatu yang sulit, tetapi setiap orang dapat melakukannva.
Bahwa
yang diminta adalah berpikir, menunjukkan betapa berpikir
obyektif
dapat mengantar kepada kesimpulan yang benar dan betapa
ajaran
Islam sangat mengandalkan akal dalam pembuktian
kebenarannya.50
e.
Penjelasan Ayat
Pada
ayat ini Allah SWT memerintahkan kepada Muhammad
supaya
memperingatkan dan menasehati kaumnya agar jangan cepatcepat
mendustakan
kerasulan dan Al Qur’an yang dibawanya.
Sebaiknya
mereka itu mempergunakan waktunya untuk menghadap
49 M.
Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur'an,
Vol. II,
(Jakarta:
Lentera Hati, 2005), Cet. IX, hlm. 407-408.
50 M.
Quraish Shihab, loc.cit.
Allah
dengan ikhlas, memikirkan dan merenungkan dengan sungguhsungguh
apa yang
telah dibawa Muhammad baik sendiri-sendiri
maupun
bersama-sama, semoga dengan demikian mereka dapat
mencapai
kebenaran yang sebenarnya, menemukan jalan yang lurus
yang
diridhai oleh Allah SWT, menginsafi kebenaran yang dibawanya
membuka
selubung yang menutup mata mereka sehingga dengan rela
dan
penuh keikhlasan mengakui kebenaran apa yang dibawa oleh
Rasulullah
saw itu. Mereka dianjurkan berpikir dan merenung di dalam
suasana
tenang cukup hanya seorang, atau secara berduaan atau secara
berkelompok,
karena biasanya kalau banyak orang berkumpul
beramai-ramai,
pikiran sering terganggu, sehingga apa yang dipikirkan
dan
direnungkan itu tidak tentu arah tujuannya’ tak dapat mengenal
sasaran
dan sampai kepada apa yang dicita-citakan. Allah SWT
menegaskan
juga di dalam ayat ini bahwa Muhammad teman mereka
itu
bukanlah seorang yang gila tidak ada sedikitpun penyakit gila
padanya
dan dia bukan pula seorang pembohong, tetapi Muhammad
itu
tiada lain hanyalah seorang pemberi peringatan agar mereka itu
tidak
ditimpa azab yang keras akibat keingkaran dan kedurhakaan
mereka
terhadap perintah-perintah Allah SWT.
Ayat di
atas mendahulukan penyebutan dua-dua/bersama-sama
atas
sendiri-sendiri agaknya karena berpikir bersama akan lebih baik
dan
menghasilkan kesimpulan yang lebih tepat daripada berpikir
sendiri-sendiri
Kendati demikian, berpikir dan merenung sendiri pun
dapat
mengantar seseorang mencapai kebenaran.51
Akan
tetapi, menurut Ahmad Musthofa al-Maraghi, bahwa
apabila
Allah menyuruh mereka berpikir secara terpisah dua orang dua
orang
atau seorang-seorang, maka hal itu tak lain dalam kerumunan
orang
banyak, maka pikiran akan terganggu sehingga tidak bisa
berpikir
lama. Sedang perkataan bercampur dan tidak bisa lagi dengan
sempurna
mempertimbangkan sesuatu secara adil. Padahal
51 Ibid., hlm.
409.
sebagaimana
dapat disaksikan sehari-hari kegoncangan dan pikiran
yang
tidak teratur akan senantiasa terjadi pada kelompok-kelompok
yang
banyak ketika terjadi perdebatan dan perselisihan pendapat, suatu
hal yang
mendukung kebenaran ayat ini.52
Penjelasan
terakhir dalam surat ini dimulai dengan
pembicaraan
tentang orang-orang musyrik, ucapan mereka tentang nabi
saw dan
tentang Al-Qur'an yang dibawa beliau dan memperingatkan
mereka
tentang apa yang telah terjadi dengan orang-orang seperti
mereka
sebelumnya, juga memperlihatkan kepada mereka cara
kematian
orang-orang zaman lampau yang mengingkari risalah agama,
padahal
mereka itu lebih kuat, lebih berpengetahuan dan lebih kaya
dibandingkan
orang-orang musyrik itu.
Hal ini
dilihat beberapa dentangan yang keras, seakan-akan
palu
yang dipukul berulang-ulang. Di awal dentangan Al-Qur'an
mengajak
mereka untuk menghadap Allah secara jujur. Kemudian
berpikir
tanpa terpengaruh oleh rintangan-rintangan yang menghalangi
mereka
dari petunjuk dan berpikir yang benar.53
3.
Istilah dalam QS. Az-Zumar: 9
Tadzakkur
adalah
salah satu tugas akal yang paling tinggi. Dan
dzakirah
(Ingatan”)
adalah tempat penyimpanan pengetahuan dan
informasi
yang diperoleh manusia untuk dipergunakannya pada saat
dibutuhkan.
Manusia, menurut Qardhawi, tidak bisa hidup tanpa tadzakkur
dan dzakirah.
Entah di dunia, dan di akhirat.
Ada
perbedaan penekanan makna antara tafakkur dan tadzakkur.
Untuk
memperoleh pengetahuan baru dan segar, tafakur diperlukan.
Sedangkan
untuk mengingatnya, supaya tidak lupa dan lalai, tadzakkur
diperlukan.
Imam Al-Ghazali mempertegas posisi keduanya, “Setiap orang
52 Ahmad
Musthafa Al-Maraghiy, Terjemah Tafsir Al-Maraghi Juz 22, (Penerjemah:
Bahrun
Abu Bakar Lc) (Semarang: CV. Toha Putra, 1989), Cet. I, hlm. 158-159.
53 Sayyid
Quthb, Fizhilalil Qur’an, (Penerjemah: As’ad Yasin, dkk), Tafsir Fi
Zhilahil
Qur’an
di Bawah Naungan Al-Qur'an, Jilid 9, (Jakarta: Gema Insani Press
2004), Cet. I, hlm. 329.
yang
berpikir adalah ber-tadzakkur. Namun, tidak setiap ber-tadzakkur itu
berpikir.”
Tadzakkur
sama
dengan menyebut berulang-ulang dalam psikologi
kognitif.
Sel-sel saraf ketika seseorang mengingat atau “menyebut
berulang-ulang”
senantiasa bertambah dan tidak hilang. Hal ini, terutama
bagaimana
proses mengingat terjadi pada sel-sel saraf yang plastis itu,
memiliki
dimensi yang luas.
Zikir
dapat dilakukan dengan hati (dzikr al-shadr). Bisa pula
dengan
lidah saja. Yang penting, dengan itu, seseorang dapat mengingat
Tuhan.
Kapan saja, di mana saja. Relevansi cara ni dengan kegiatan
berpikir
terletak pada hikmah yang diperoleh. Berpikir yang balk adalah
bila
dengan itu seseorang mendapatkan “Zat Maha tinggi” di balik setiap
objek
pikiran. Dalam hal ini, kata ayat yang berulang-ulang disebut dalam
Al-Quran
memiliki medan makna yang sangat luas. Inilah yang dilukiskan
para
ahli hikmah dengan kata-kata: “Bertafakur satu jam lebih baik
daripada
beribadah satu tahun”.
Dalam
maknanya yang sempit, zikir dimaksudkan Untuk menyebut
nama
Allah secara berulang-ulang’. Dalam Al-Quran, Allah berfirman,
(“lngatlah
kepada-Ku, niscaya Aku mengingatmu”). Biasanya, zikir
dilakukan
usai shalat dengan menyebut frasa-frasa pendek, seperti
astagfirullah, subhanallah,
alhamdulillah, la ilâha illaIIâh, Allahu Akbar.
Kegiatan
seperti ini, bila dilakukan secara serius, sangat efektif sebagai
pereda
ketegangan dan kecemasan.
Penelitian
Herbert Benson menunjukkan bahwa kata-kata zikir itu
dapat
menjadi salah satu frasa fokus (kata-kata yang menjadi titik
perhatian)
dalam proses penyembuhan diri dan kecemasan, ketakutan,
bahkan
dan keluhan fisik, seperti sakit kepala, nyeri dada, dan hipertensi.
Frasa
fokus itu jika dikombinasikan dengan respons relaksasi dapat
menghambat
kerja sistem saraf simpatis yang mengatur kecepatan denyut
jantung,
nadi, pernapasan, dan metabolisme. Ia berfungsi seperti obat-obat
Beta
Blocker (penghambat
reseptor beta) dalam kerja saraf simpatis. Pada
sisi
lain, zikir dapat membuat alur gelombang otak berada pada gelombang
alfa
ketika seseorang menjadi sangat kreatif dan berdaya renung tinggi.
Perubahan
gelombang otak inilah yang terjadi ketika seseorang bertafakur.
a.
Redaksi Ayat
ö@è%
3 ¾ÏmnÎ/u
spuH÷qu
(#qã_ötur
notÅzFy$#
âxøts
$VJͬ!$s%ur
#YÉ`$y
È@ø©9$#
uä!$tR#uä
ìMÏZ»s%
uqèd ô`¨Br&
ÇÒÈ
É=»t7ø9F{$#
(#qä9'ré&
ã©.xtGt
$yJ¯RÎ)
3 tbqßJn=ôèt
w tûïÏ%©!$#ur
tbqçHs>ôèt
tûïÏ%©!$#
ÈqtGó¡o
ö@yd
(apakah
kamu Hai orang musyrik yang lebih beruntung) ataukah orang
yang
beribadat di waktu-waktu malam dengan sujud dan berdiri,
sedang
ia takut kepada (azab) akhirat dan mengharapkan rahmat
Tuhannya?
Katakanlah: "Adakah sama orang-orang yang mengetahui
dengan
orang-orang yang tidak mengetahui?" Sesungguhnya orang
yang
berakallah yang dapat menerima pelajaran.54 (QS. Az-Zumar:
39:
9).55
b. Arti
Kosakata
ìMÏZ»s%
:
Orang-orang yang melakukan ketaatan
yang
diwajibkan kepadanya.
È@ø©9$#
uä!$tR#uä
:
Saat-saat malam
notÅzFy$#
âxøts
:
Takut kepada azab di akhirat
ã©.xtGt
:
orang yang berakal56
c.
Asbabun Nuzul
Dalam
suatu riwayat dikemukakan bahwa yang dimaksud
dengan amman
huwa qonit …. (Apakah kamu hai orang musyrik yang
lebih
beruntung) ataukah orang yang beribadah….) dalam ayat ini (QS.
39 Az
Zumar: 9) ialah Utsman bin Affan yang selalu bangun malam
54 Ayat ini
menolak paham orang yang mencela orang yang beribadah lantaran takut
kepada
neraka. Dan mengatakan ketinggian orang yang berilmu serta menyatakan bahwa
garis
orang
alim tidak sekufu dengan orang jahil. Dan ayat ini mengindikasikan bahwa yang
dipandang
berilmu
ialah orang-orang yang mengamalkan ilmunya. Lihat Teungku Muhammad Hasbi Ash-
Shiddieqy,
Al-Bayan Tafsir Penjelas Al-Qur'an Karim, Jilid 2, (Semarang: PT.
Pustaka Rizki
Putra,
2002), Cet. I, hlm. 979.
55 Depag
RI, op.cit., hlm. 441.
56 Ahmad
Musthafa Al-Maraghi, Terjemah Tafsir Al-Maraghi Juz 23, (Penerjemah:
Drs.
M.
Thalib), (Bandung: CV. Rosda, 1989), Cet. I, hlm. 260.
sujud
kepada Allah SWT. Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hakim yang
bersumber
dari Ibnu Umar.
Keterangan.
Menurut
riwayat Ibnu Sa’id dari Al-Kalbi dari Abu Shalih,
yang
bersumber dari Ibnu Abbas, orang yang dimaksud dalam ayat ini
adalah
‘Ammar bin Yasir, dan menurut Juwabir yang bersumber dari
Ibnu
Abbas, orang-orang yang dimaksud dalam surat ini adalah Ibnu
Mas’ud,
Ammar bin Yasir dan Salim, Maula abu Hudzaifah.
Sedangkan
menurut Juwaibir yang bersumber dari Ikrimah orang yang
dimaksud
adalah ‘Ammar bin Yasir.57
d.
Munasabah
Adapun
munasabah surat ini dengan surat sebelumnya bahwa
ayat
yang lalu mengecam dan mengancam orang-orang kafir, ayat di
atas menegaskan
perbedaan sikap dan ganjaran yang akan mereka
terima
dengan sikap dan ganjaran bagi orang-orang beriman.58
e.
Penjelasan kandungan ayat
Ayat di
atas menggarisbawahi rasa takut hanya pada akhirat,
sedang
rahmat tidak dibatasi dengan akhirat, sehingga dapat mencakup
rahmat
duniawi dan ukhrawi. Memang seorang mukmin hendaknya
tidak
merasa takut menghadapi kehidupan duniawi, karena apapun
yang
terjadi selama ia bertakwa maka itu tidak masalah, bahkan dapat
merupakan
sebab ketinggian derajatnya di akhirat. Adapun rahmat,
maka
tentu saja yang diharapkan adalah rahmat menyeluruh, dunia dan
akhirat.
Takut
dan mengharap menjadikan seseorang selalu waspada,
tetapi
tidak berputus asa dan dalam saat yang sama tidak yakin.
Keputusasaan
mengundang apatisme, sedang keyakinan penuh dapat
mengundang
pengabaian persiapan. Seseorang hendaknya selalu
57 Dahlan
M. Zakia Al-Farisi, Asbabun Nuzul, Latar Belakang Historis Turunnya ayatayat
Al-Qur'an,
(Bandung: CV. Penerbit Diponegoro 2000), Ed. II, hlm. 464.
58 M. Quraish
Shihab, Tafsir Al-Mishbah, Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur'an, vol.
12,
(Jakarta: Lentera Hati, 2005), Cet. III, hlm. 195.
waspada,
sehingga akan selalu meningkatkan ketakwaan, namun tidak
pernah
kehilangan optimisme dan sangka baik kepada Allah swt.
Kata () ya’lamun
pada ayat di atas, ada juga ulama yang
memahaminya
sebagai kata yang tidak memerlukan objek. Maksudnya
siapa
yang memiliki pengetahuan apapun pengetahuan itu pasti tidak
sama
dengan yang tidak memilikinya. Hanya saja jika makna ini yang
Anda
pilih, maka harus digarisbawahi bahwa ilmu pengetahuan yang
dimaksud
adalah pengetahuan yang bermanfaat, yang menjadikan
seseorang
mengetahui hakikat sesuatu lalu menyesuaikan diri dan
amalnya
dengan pengetahuannya itu.
Kata () yatadzakkaru
terambil dan kata () dzikr yakni
pelajaran/peringatan.
Penambahan huruf () ta’ pada kata yang
digunakan
ayat ini mengisyaratkan banyaknya pelajaran yang dapat
diperoleh
oleh Ulul Albab. Ini berarti bahwa selain mereka pun dapat
memperoleh
pelajaran, tetapi tidak sebanyak Ulul albab.59 Karena ulul
albab sendiri
ialah para pemilik kalbu yang senantiasa sadar, terbuka
dan
memahami hakikat yang ada di balik lahiriah. Juga yang
memanfaatkan
apa yang dilihat dan diketahuinya, yang ingat kepada
Allah
melalui segala sesuatu yang dilihatnya dan disentuhnya. Dia
tidak
melupakan-Nya, maka takkan lupa saat kamu menemui-Nya.60
Di akhir
ayat ini Allah SWT menyatakan bahwa orang-orang
yang
berakallah yang dapat mengambil pelajaran. Baik pelajaran dari
pengalaman
hidupnya atau dari tanda-tanda kebesaran Allah yang
terdapat
di langit dan di bumi serta isinya, juga terdapat pada dirinya
suri
tauladan dari kisah umat yang lalu.61
59 Ibid., hlm.
196-197.
60 Sayyid
Quthb, Fizhilalil Qur’an, (Penerjemah: As’ad Yasin, dkk), Tafsir fi
Zhilalil
Qur’an
di Bawah Naungan Al-Qur'an Jilid 10, (Jakarta: Gema Insani Press
2004), Cet. I, hlm. 71.
61 Depag
RI, Al-Qur'an dan Tafsirnya, Jilid VIII (UII) (Yogyakarta: PT. Dana
Bhakti
Wakaf,
1990), hlm. 441.
4.
Istilah dalam QS. Ali Imran: 7
Sesuatu
yang amat agung dari petunjuk Al-Qur'an, berkenaan
dengan
visi pemikiran dan ilmu pengetahuan, adalah bahwa Al-Qur'an
memberi
penghargaan terhadap ulul-albab dan kaum cendekiawan, atau
kaum
intelektual. Allah memuji mereka dalam banyaknya ayat dalam
surat-surat
Makiyah dan Madaniyah.
Beberapa
penulis mengatakan bahwa Al-Qur‘an memberi perhatian
terhadap
kata kerja ‘aqala dan derivasinva seperti ya’qilun atau ta’qilun,
tetapi
Al-Qur'an tidak menyebut al-aql sebagai potensi dan substansi
dalam
diri manusia yang darinya berlangsung beberapa proses olah pikir,
seperti
berpikir, mengingat, mengambil iktibar, dan sebagainya.
Pendapat
tersebut benar jika kita melihat dari sisi term al-’aql,
tetapi
jika kita melihat kepada makna yang dimaksudkan darinya, kita
akan
mendapatkan dalam Al-Qur‘an tertulis secara jelas term al-albab’
atau ‘uqul.
Ia adalah bentuk jamak dari term lubbu ‘isi’, yaitu antonim
‘kulit’.
Di sini, A1-Qur’an seakan ingin menunjukkan bahwa manusia
terdiri
atas dua bagian: kulit dan isi. Bentuk Fisik adalah kulit, sedangkan
akal
adalah isi.
Term ulul
albab atau ulil albab terulang dalam Al-Qur'an sebanyak
16 kali.
Sembilan di antaranya terdapat dalam Al-Qur'an Maki dan tujuh
lainnya
terdapat dalam Al-Qur'an Madani. Di antara delapan yang
Madaniyah,
empat di antaranya dengan redaksi memanggil.62
Dalam
Surat ali imran, ulul-albab disebut sebanyak dua kali.
Pertama,
dalam pembicaraan tentang ayat-ayat yang mutasyabihat. Di sini
dijelaskan
bahwa ulul albab tidak terjerumus dalam kecelakaan seperti
yang
terjadi pada orang-orang yang terdapat penyakit dalam hatinya,
mereka
yang mengikuti apa yang tersamar dari ayat Al-Qur’an. Kaum ulul
albab tersebut
mengembalikan ayat-ayat mutasyabihat itu kepada ayatayat
muhkamat, yaitu
Ummul-Kitab dan sebagian besar Al-Qur'an. Ini
62 Yusuf
Qordhawi, Al-Qur'an Berbicara tentang Akal dan Ilmu Pengetahuan,
(Jakarta:
Gema
Insani, 1998), hlm. 29-30.
merupakan
buah dan ketinggian ilmu mereka. Mereka, seperti disinyalir
Al-Qur’an
adalah63
a.
Redaksi Ayat
ãyzé&ur
É=»tGÅ3ø9$#
Pé& £`èd
ìM»yJs3øtC
×M»t#uä
çm÷ZÏB
|=»tGÅ3ø9$#
y7øn=tã
tAtRr&
üÏ%©!$#
uqèd
ÏpuZ÷GÏÿø9$#
uä!$tóÏGö/$#
çm÷ZÏB
tmt7»t±s?
$tB tbqãèÎ6®Kusù
Ô÷÷y
óOÎgÎ/qè=è%
Îû tûïÏ%©!$#
$¨Br'sù
( ×M»ygÎ7»t±tFãB
¾ÏmÎ/
$¨ZtB#uä
tbqä9qà)t
ÉOù=Ïèø9$#
Îû tbqãź§9$#ur
3 ª!$#
wÎ) ÿ¼ã&s#Írù's?
ãNn=÷èt
$tBur
3 ¾Ï&Î#Írù's?
uä!$tóÏGö/$#ur
ÇÐÈ
É=»t6ø9F{$#
(#qä9'ré&
HwÎ) ã©.¤t
$tBur
3 $uZnÎ/u
ÏZÏã
ô`iÏB @@ä.
Dia-lah
yang menurunkan Al kitab (Al Quran) kepada kamu. di antara
(isi)
nya ada ayat-ayat yang muhkamaat, Itulah pokok-pokok isi Al
qur'an
dan yang lain (ayat-ayat) mutasyaabihaat. Adapun orang-orang
yang
dalam hatinya condong kepada kesesatan, Maka mereka
mengikuti
sebahagian ayat-ayat yang mutasyaabihaat daripadanya
untuk
menimbulkan fitnah untuk mencari-cari ta'wilnya, Padahal tidak
ada yang
mengetahui ta'wilnya melainkan Allah. dan orang-orang yang
mendalam
ilmunya64
berkata:
"Kami beriman kepada ayat-ayat yang
mutasyaabihaat,
semuanya itu dari sisi Tuhan kami." dan tidak dapat
mengambil
pelajaran (daripadanya) melainkan orang-orang yang
berakal.
(QS. Ali Imran: 7).65
b. Arti
Kosakata
ìM»yJs3øtC
:
Ayat-ayat yang kandungannya sudah jelas
É=»tGÅ3ø9$#
Pé& : Induk
kitab
×M»ygÎ7»t±tFãB
:
Serupa, kesamaran, ayat-ayat yang mengandung
kesamaran
dalam maknanya
óOÎgÎ/qè=è%
Îû : Dalam hatinya
ÿ¼ã&s#Írù's?
:
Penjelas, substansi sesuatu
63 Ibid., hlm.
33.
64 Satu
bacaan yang ditolak oleh sebagian besar ahli tafsir, tetapi diterima oleh
mujahid
dan yang
lain tidak akan berhenti pada titik ini yang diberi tanda waqaf lazim, tetapi
akan
membaca
2 kalimat itu bersama-sama. Dengan demikian kalimat itu akan terbaca: “Tidak
ada yang
mengetahui
takwilnya melainkan Allah dan orang-orang yang mendalam ilmunya. Mereka
berkata:
..” Lihat Abdullah Yusuf Ali, op.cit., hlm. 123.
65 Depag
RI, Al-Qur'an dan Terjemahan, Juz 1-30 (Semarang: PT. Karya Toha Putra,
1995),
hlm. 76.
É=»t6ø9F{$#
(#qä9'ré&
:
Saripati
sesuatu, orang-orang yang memiliki akal
yang
murni yang tidak selubungi oleh kulit yakni
kabut
ide66
c.
Asbabun Nuzul
Sejauh
ini penulis hanya menemukan asbabun nuzul ayat 3
yaitu
dalam suatu riwayat dikemukakan bahwa turunnya dari surat 3
Ali Imran
anta ayat 1 sampai 80-an. Sebagai penjelasan yang diberikan
kepada
nabi saw atas kedatangan kaum Nasrani yang mempersoalkan
Nabi Isa
as.67
Diriwayatkan
oleh Ibnu Abi Hatim yang bersumber dari
al-Rabi.68
d.
Munasabah
Adapun
munasabah ayat ini dengan ayat sebelumnya yaitu
sama-sama
menegaskan keluasan ilmu dan kekuasaan-Nya antara lain
dengan
membentuk cara dan substansi bagi segala sesuatu sesuai
dengan
fungsi yang dikehendaki-Nya, sehingga ia berada dalam
keadaan
yang sebaik-baiknya.69
e.
Penjelasan Kandungan Ayat
Pada
ayat ini Allah SWT menjelaskan bahwa Al Qur’an yang
diturunkan
yaitu di dalamnya ada ayat-ayat yang Muhkamat dan ada
yang Mutasyabihat.
Ayat yang Muhkamat” ialah ayat yang jelas
artinya,
seperti ayat-ayat hukum dan sebagainya. “Ayat
Mutasyabihat” ialah
ayat yang tidak jelas, artinya yang dapat
ditafsirkan
dengan bermacam-macam penafsiran seperti ayat yang
berhubungan
dengan hal-hal yang gaib dan sebagainya. Ayat-ayat
muhkamat
dapat
diketahui dengan mudah arti dan maksudnya sedang
ayat-ayat
yang Mutasyabihat itu ialah ayat-ayat yang sukar diketahui
66 M.
Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-Qur'an,
Vol.
2, op.cit.,
hlm. 15-17.
67 Kaum
Nasrani menganggap Nabi Isa as lebih mulia daripada Nabi Muhammad saw,
karenanya
mereka tidak mempercayai nabi Muhammad sebagai rasul.
68 Dahlan
dan Zaha Al-Farisi, op.cit., hlm. 93.
69 M.
Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-Qur'an,
Vol.
2, op.cit.,
hlm. 11.
arti dan
maksudnya yang sebenarnya hanyalah Allah SWT yang
mengetahuinya
tentang tujuan menurunkan ayat-ayat Mutasyabihat itu.
Menurut
sebagian para mufasir ialah:
1. Untuk
menguji iman dan keteguhan hati seseorang muslim kepada
Allah,
iman yang benar hendaklah disertai dengan penyerahan diri
dalam
arti yang seluas-luasnya kepada Allah SWT. Allah SWT
menurunkan
ayat-ayat yang dapat dipikirkan artinya dengan mudah
dan Dia
menurunkan ayat-ayat yang sukar diketahui makna dan
maksud
yang sebenarnya, yaitu ayat-ayat Mutasyãbihat. Dalam
menghadapi
ayat-ayat yang Mutasyãbihat ini, manusia akan
merasa
bahwa dirinya bukanlah makhluk yang sempurna, ia hanya
diberi
Allah pengetahuan yang sedikit karena itu ia akan
menyerahkan
pengertian ayat-ayat itu kepada Allah SWT Yang
Maha
Mengetahui.
2.
Dengan adanya ayat-ayat yang muhkamat dan mutasyãbihat itu
kaum
muslimin akan berfikir sesuai dengan batas-batas yang
diberikan
Allah yang dapat dipikirkan secara mendalam dan ada
pula
yang sukar dipikirkan lalu diserahkan kepada Allah.
3. Para
nabi dan para rasul diutus kepada seluruh manusia yang
keadaannya
berbeda-beda, misalnya: berbeda kepandaiannya,
kemampuannya,
kekayaannya; berbeda pula bangsa. bahasa dan
daerahnya.
Karena itu cara penyampaian agama kepada mereka itu
hendaklah
disesuaikan tingkatan keadaan mereka itu dan dengan
tingkatan
bahasa yang sesuai dengan kemampuan mereka; ada
yang
mudah difahami dan ada yang sukar difahami. Yang mudah
untuk
orang yang kurang mempunyai ilmu, sedang yang sukar
untuk
orang yang dalam ilmunya.
Dalam
hal ini Allah SWT. menerangkan sikap manusia dalam
memahami
dan menghadapi ayat-ayat yang mutasyäbihat, yaitu:
1.
Orang-orang yang hatinya tidak menginginkan kebenaran, mereka
jadikan
ayat-ayat itu untuk bahan fitnah yang mereka sebarkan di
kalangan
manusia dan mereka mencari-cari artinya yang dapat
dijadikan
alasan untuk menguatkan pendapat dan keinginan
mereka.
2.
Orang-orang yang mempunyai pengetahuan yang mendalam dan
ingin
mencari kebenaran, mereka haruslah mencari pengertian
yang
benar, dari ayat itu. Bila mereka belum atau tidak sanggup
mengetahuinya,
mereka berserah diri kepada Allah sambil berdo’a
dan
mohon petunjuk.
Pada
akhir ayat ini Allah SWT menerangkan sifat-sifat orangorang
yang
dalam ilmunya, yaitu orang-orang yang suka
memperhatikan
makhluk Allah suka memikirkan dan
merenungkannya.
Ia berfikir semata-mata karena dan untuk mencari
kebenaran.
70
Dan
tidaklah akan mengingat kecuali orang-orang yang
mempunyai
pikiran. Menurut Ahmad Musthofa al-Maraghi, bahwa
ayat
tersebut Maksudnya, tidaklah akan memikirkan dan memahami
hikmah
ayat-ayat mutasyabih, kecuali rang yang punya pandangan
jernih
dan akal yang luas yang secara istimewa dipergunakan untuk
memikirkan
dan memperhatikan semua ayat-ayat muhkam yang
menjadi
pokok Al Qur’an. . Dan di kala dia. menemukan ayat-ayat
mutasyabih
dengan
mana didapat mengingat dan merujuk ayat-ayat.
mutasyabih
kepada
ayat-ayat muhkam.
Dalam
menghadapi ayat-ayat mutasyabih, yang merupakan
berita
dalam alam ghaib, mereka punya pendirian: “Mempersamakan
yang
ghaib yang tidak dengan yang nyata adalah mempersamakan dua
hal yang
tidak sama. Dan orang yang berakal tentu tidak patut berbuat
demikian.71
70 Depag
RI, Al-Qur'an dan Tafsirnya, Jilid I, Juz 1-2-3 (Semarang: PT. Citra
Effhar,
1993),
hlm. 515-516.
71 Ahmad
Musthafa Al-Maraghi, Terjemah Tafsir Al-Maraghi Juz 3, (Penerjemah: Drs.
M.
Thalib) (Bandung: CV. Rosda, 1987) Cet. II, hlm. 132.
Dijelaskan
dalam Tafsir al-Mishbah, bahwa al-Albab adalah
bentuk
jamak dari lubb, yaitu saripati sesuatu. Kacang misalnya
memiliki
kulit yang menutupi isinya. Isi kacang dinamai lubb. Ulul alalbab
adalah
orang-orang yang memiliki akal yang murni, yang tidak
diselubungi
oleh “kulit, “ yakni kabut ide, yang dapat melahirkan
kerancuan
dalam berpikir.
Jika
seseorang memperturutkan akalnya semata-mata apalagi
akal
yang dipenuhi oleh kabut-kabut ide, maka tidak mustahil ia
tergelincir.
Karena itu, lanjutan ayat ini mengajarkan doa, atau lanjutan
doa
orang-orang yang dalam pengetahuannya dan mantap imannya,
menyatakan,
seperti terbaca dalam ayat-ayat selanjutnya.72
Dalam
Al-Qur'an, akal memiliki posisi yang sangat mulia. Meski
demikian
bukan berarti akal diberi kebebasan tanpa batas dalam
memahami
agama. Al-Qur'an memiliki aturan untuk menempatkan akal
sebagaimana
kedudukannya. Bagaimanapun, akal yang sehat akan selalu
cocok
dengan syariat Islam dalam permasalahan apapun.
Akal
adalah nikmat yang besar yang Allah titipkan dalam jasmani
manusia.
Hikmat yang bisa disebut hadiah ini menunjukkan kekuasaan
Allah
yang sangat menakjubkan. Oleh karena itu dalam banyak ayat, Allah
memberi
semangat untuk berakal (yakni menggunakan akalnya).
Sebaliknya,
Allah mencela orang yang tidak berakal.
Kita pun
dapat melihat agama Islam dalam ajarannya memberikan
bentuk
kemuliaan terhadap akal, seperti Allah menjadikan akal sebagai
tempat
bergantungnya hukum sehingga yang tidak berakal tidak dibebani
hukum.
Walaupun akal dimuliakan tapi kita menyadari bahwa akal sesuatu
yang
berada dalam jasmani makhluk. Maka ia sebagaimana makhluk yang
lain
memiliki kelemahan dan keterbatasan.
Dari
uraian di atas Al-Qur'an meletakkan akal sesuai dengan
kedudukannya
tidak seperti yang dilakukan oleh kalangan Barat yang
72 M.
Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-Qur'an,
Vol.
2,
(Jakarta: Lentera Hati, 2005), Cet. III, hlm. 17.
menempatkan
akal sebagai “Tuhan” dengan segala-galanya di dalam
kehidupan
mereka. Allah menciptakan akal dalam keadaan terbatas
sehingga
akal memerlukan perangkat lain berupa hati untuk dapat
memahami
fenomena alam yang tidak mampu dijangkaunya. Sehingga
dengan
keserasian antara akal dan hati, manusia dapat menjadi manusia
seutuhnya
dan sesuai dengan apa yang digambarkan dalam kedudukan
akal
oleh Al-Qur'an.
Jadi
kedudukan Al-Qur'an dalam bila dijabarkan dalam pendidikan
Islam
yaitu perpaduan antara aqliyah dan qalbiyah. Dalam artian apabila
peserta
didik menerima pelajaran itu harus diamalkan dan dihayati dengan
sepenuh
hati. Tidak hanya menjadi pengetahuan yang rasional saja tetapi
harus
diamalkan dalam kehidupan sehari-hari.
BAB III
PENGEMBANGAN
KURIKULUM PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
K. Pengertian
Pengembangan kurikulum
1. Pengertian
Kurikulum
Kurikulum adalah
program pendidikan yang disediakan oleh
lembaga
pendidikan (sekolah) bagi siswa. Berdasarkan program
pendidikan
tersebut siswa melakukan berbagai kegiatan belajar, sehingga
mendorong
perkembangan dan pertumbuhannya sesuai dengan tujuan
pendidikan yang
telah ditetapkan. Dengan kata lain, dengan program
kurikuler
tersebut, sekolah / lembaga pendidikan menyediakan lingkungan
pendidikan
sedemikian rupa yang memungkinkan siswa melakukan
beraneka ragam
kegiatan belajar. Kurikulum tidak terbatas pada sejumlah
mata pelajaran,
namun meliputi segala sesuatu yang dapat mempengaruhi
perkembangan
siswa, seperti: bangunan sekolah, alat pelajaran,
perlengkapan
sekolah, perpustakaan, karyawan tata usaha, gambargambar,
halaman sekolah
dan lain-lain.73
Kurikulum
menurut Saylor dan Alexander sebagaimana yang
dikutip oleh
Peter F. Oliva, bahwa: curriculum as the plan for providing
sets of learning
opportunities to achieve broad goals and related specific
objectives for
an identifiable population served by a single school center.74
Kurikulum adalah
sesuatu yang direncanakan sebagai pegangan
guna mencapai
tujuan pendidikan. Apa yang direncanakan biasanya
bersifat idea,
suatu cita-cita tentang manusia atau warga negara yang akan
dibentuk.
Kurikulum ini lazim mengandung harapan-harapan yang sering
berbunyi
muluk-muluk.
Apa yang dapat
diwujudkan dalam kenyataan disebut kurikulum
yang real.
Karena tak segala sesuatu yang direncanakan dapat
73 Oemar
Hamalik, Proses belajar Mengajar, (Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2007), Cet.
VI,
hlm. 64)
74 Peter F.
Oliva, Developing the Curriculum, (Canada: Little, Brown and Company
Boston Toronto,
1982), hlm. 6.
direalisasikan,
maka terdapatlah kesenjangan antara idea dan real
curriculum.
Smith dan
kawan-kawan memandang kurikulum sebagai rangkaian
pengalaman yang
secara potensi dapat diberikan kepada anak, jadi dapat
disebut
potential curriculum. Namun apa yang benar-benar dapat
diwujudkan pada
anak secara individual, misalnya bahan yang benar-benar
diperolehnya,
disebut actual curriculum.
Berbagai
tafsiran tentang kurikulum dapat kita tinjau dari segi lain,
sehingga kita
peroleh penggolongan sebagai berikut:
1) Kurikulum
dapat dilihat sebagai produk, yakni sebagai hasil karya para
pengembang
kurikulum, biasanya dalam suatu panitia. Hasilnya
dituangkan dalam
bentuk buku atau pedoman kurikulum, yang
misalnya berisi
sejumlah mata pelajaran yang harus diajarkan.
2) Kurikulum
dapat pula dipandang sebagai program, yakni alat yang
dilakukan oleh
sekolah untuk mencapai tujuannya. Ini dapat berupa
mengajarkan
berbagai mata pelajaran tetapi dapat juga meliputi segala
kegiatan yang
dianggap dapat mempengaruhi perkembangan siswa
misalnya
perkumpulan sekolah, pertandingan pramuka, warung
sekolah dan
lain-lain.
3) Kurikulum
dapat pula dipandang sebagai hal-hal yang diharapkan akan
dipelajari
siswa, yakni pengetahuan, sikap, ketrampilan tertentu. Apa
yang diharapkan
akan dipelajari tidak selalu sama dengan apa yang
benar-benar
dipelajari.
Mengenai masalah
kurikulum senantiasa terdapat pendirian yang
berbeda-beda,
bahkan sering yang bertentangan. Ketidakpuasan dengan
kurikulum yang
berlaku adalah sesuatu yang biasa dan memberi dorongan
mencari
kurikulum baru. Akan tetapi mengajukan kurikulum yang ekstrim
sering dilakukan
dengan mendiskreditkan kurikulum yang lama, pada hal
kurikulum itu
pun mengandung kebaikan, sedangkan kurikulum pasti tidak
akan sempurna
dan akan tampil kekurangannya setelah berjalan dalam
beberapa waktu.75
Macam-macam
definisi yang diberikan tentang kurikulum.
Lazimnya
kurikulum dipandang sebagai suatu rencana yang disusun untuk
melancarkan
proses belajar mengajar di bawah bimbingan dan tanggung
jawab sekolah atau
lembaga pendidikan beserta staf pengajarnya.
Ada sejumlah
ahli teori kurikulum yang berpendapat bahwa kurikulum
bukan hanya
meliputi semua kegiatan yang direncanakan melainkan juga
peristiwa-peristiwa
yang terjadi di bawah pengawasan sekolah, jadi selain
kegiatan
kurikulum yang formal juga kegiatan yang tak formal. Yang
terakhir ini
sering disebut kegiatan ko-kurikuler atau ekstrakurikuler (cocurriculum
atau extra-curriculum).
Kurikulum formal
meliputi:
- Tujuan
pelajaran, umum dan spesifik
- Bahan pelajaran
yang tersusun sistematis
- Strategi
belajar mengajar serta kegiatan-kegiatannya.
- Sistem
evaluasi untuk mengetahui hingga mana tujuan tercapai.
Kurikulum tak
formal terdiri atas kegiatan-kegiatan yang juga
direncanakan
akan tetapi tidak berkaitan langsung dengan pelajaran
akademis dan
kelas tertentu. Kurikulum ini dipandang sebagai pelengkap
kurikulum
formal. Yang termasuk kurikulum tak formal ini antara lain:
pertunjukan
sandiwara, pertandingan antar kelas atau antar sekolah,
perkumpulan
berbagai hobby, pramuka dan lain-lain.
Ada lagi yang
harus diperhitungkan yaitu kurikulum
“tersembunyi” (hidden
curriculum). Kurikulum ini antara lain berupa
aturan yang tak
tertulis di kalangan siswa misalnya “harus kompak
terhadap guru”
yang turut mempengaruhi suasana pengajaran dalam kelas.
75 S.
Nasution, Asas-Asas Pengembangan Kurikulum, (Jakarta: PT. Bumi Aksara,
2001),
hlm. 8-9.
Kurikulum
tersembunyi ini dianggap oleh kalangan tertentu tidak
termasuk
kurikulum karena tidak direncanakan.76
2. Pengertian
Pengembangan Kurikulum
Pengembangan
kurikulum adalah proses perencanaan kurikulum
agar
menghasilkan rencana kurikulum yang luas dan spesifik. Proses ini
berhubungan
dengan seleksi dan pengorganisasian berbagai komponen
situasi belajar
mengajar, antara lain penetapan jadwal pengorganisasian
kurikulum dan
spesifikasi tujuan yang disarankan, mata pelajaran,
kegiatan, sumber
dan alat pengukur pengembangan kurikulum yang
mengacu pada
kreasi sumber-sumber unit, rencana unit, dan garis
pelajaran
kurikulum ganda lainnya, untuk memudahkan proses belajar
mengajar.77
Menurut Audrey
Nichols dan S. Howard Nichools sebagaimana
yang dikutip
oleh Oemar Hamalik, bahwa pengembangan kurikulum
(curriculum
development) adalah: the planning of learning opportunities
intended to
bring about certain desered in pupils, and assessment of the
extent to which
these changes have taken place.
Rumusan ini
menunjukkan bahwa pengembangan kurikulum
adalah
perencanaan kesempatan-kesempatan belajar yang dimaksudkan
untuk membawa
siswa ke arah perubahan-perubahan yang diinginkan dan
menilai hingga
mana perubahan-perubahan itu telah terjadi pada diri
siswa. Sedangkan
yang dimaksud kesempatan belajar (learning
opportunity) adalah
hubungan yang telah direncanakan dan terkontrol
antara para
siswa, guru, bahan peralatan dan lingkungan di mana belajar
yang diinginkan
diharapkan terjadi. Ini terjadi bahwa semua kesempatan
belajar
direncanakan oleh guru; bagi para siswa sesungguhnya adalah
“kurikulum itu
sendiri”
76 S.
Nasution, Kurikulum dan Pengajaran, (Jakarta: PT. Bumi Aksara, 1999),
Cet. III,
hlm. 5-6.
77 Oemar
Hamalik, Dasar-Dasar Pengembangan Kurikulum, (Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya,
2008), Cet. II, hlm. 183-184.
Dalam pengertian
di atas sesungguhnya pengembangan kurikulum
adalah proses
siklus yang tidak pernah berakhir. Proses kurikulum tersebut
dapat
ditampilkan dalam diagram sebagai berikut: proses tersebut terdiri
dari empat unsur
yakni:
a. Tujuan:
Mempelajari dan menggambarkan semua sumber pengetahuan
dan pertimbangan
tentang tujuan-tujuan pengajaran, baik yang
berkenaan dengan
mata pelajaran (subject course) maupun kurikulum
secara
menyeluruh.
b. Metode dan
material: mengembangkan dan mencoba menggunakan
metode-metode
dan material sekolah untuk mencapai tujuan-tujuan
tadi yang serasi
menurut pertimbangan guru.
c. Penilaian (assessment):
menilai keberhasilan pekerjaan yang telah
dikembangkan itu
dalam hubungan dengan tujuan dan bila
mengembangkan
tujuan-tujuan baru.
d. Balikan (feedback):
umpan balik dari semua pengalaman yang telah
diperoleh yang pada
gilirannya menjadi titik tolak bagi studi
selanjutnya.78
Menurut UU No.
20 tahun 2003, kurikulum dianggap sebagai
seperangkat
rencana dan pengaturan mengenai isi dan bahan pelajaran
serta cara yang
digunakan pedoman penyelenggaraan kegiatan belajar
mengajar.
Sesuai dengan
konsep di atas maka pengembangan kurikulum pada
hakikatnya
adalah proses penyusunan rencana tentang isi dan bahan
pelajaran yang
harus dipelajari serta bagaimana mempelajarinya. Namun
demikian
persoalan pengembangan isi dan bahan pelajaran serta
bagaimana cara
belajar siswa bukanlah suatu proses yang sederhana, sebab
menentukan isi
atau mutan kurikulum harus berangkat dari visi, misi serta
tujuan yang
ingin dicapai, sedangkan menentukan tujuan erat kaitannya
dengan persoalan
sistem nilai dan kebutuhan masyarakat. Persoalan inilah
78 Oemar
Hamalik, Manajemen Pengembangan Kurikulum, (Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya,
2008), Cet. III, hlm. 96-97.
yang kemudian
membawa kita pada persoalan menentukan hal-hal yang
mendasar dalam
proses pengembangan kurikulum yang kemudian kita
namakan
asas-asas atau landasan-landasan pengembangan kurikulum.
Menurut David
Pratt, sebagaimana yang dikutip oleh Wina
Sanjaya, bahwa
istilah desain lebih mengena dibandingkan dengan
pengembangan
yang mengandung konotasi yang bersifat gradual. Disain
adalah proses
yang disengaja tentang suatu pemikiran, perencanaan dan
penyeleksian
bagian-bagian, teknik dan prosedur yang mengatur suatu
tujuan atau
usaha. Atas dasar itu, maka pengembangan kurikulum
(curriculum
development atau curriculum planning) adalah proses atau
kegiatan yang
disengaja dan dipikirkan untuk menghasilkan sebuah
kurikulum
sebagai pedoman dalam proses dan penyelenggaraan
pembelajaran
oleh guru di sekolah.79
L. Landasan
Pengembangan Kurikulum
Ada beberapa landasan
utama dalam pengembangan suatu kurikulum,
yaitu landasan
filosofis, landasan psikologis, landasan sosial budaya, serta
perkembangan
ilmu dan teknologi. Pada skripsi ini yang menjadi acuan adalah
landasan
filosofis. Penulis menganggap bahwa landasan tersebut sangat erat
hubungannya
dengan pembahasan tentang akal manusia. Maka untuk lebih
jelasnya dalam
skripsi ini akan dibahas sedikit mengenai landasan filosofis.
Secara harfiah
filosofis (filsafat) berarti “cinta akan kebijakan” (love of
wisdom). Orang
belajar berfilsafat agar ia menjadi orang yang mengerti dan
berbuat secara
bijak. Untuk dapat mengerti kebijakan dan berbuat secara bijak,
ia harus tahu
atau berpengetahuan. Pengetahuan tersebut diperoleh melalui
proses berpikir,
yaitu berpikir secara sistematis, logis, dan mendalam.
Pemikiran
demikian dalam filsafat sering disebut sebagai pemikiran radikal,
atau berpikir
sampai ke akar-akarnya (radic berarti akar). Berfilsafat diartikan
pula berpikir
secara radikal, berpikir sampai ke akar. Secara akademik, filsafat
79 Wina
Sanjaya, Kajian Kurikulum dan Pembelajaran, (Bandung: Sekolah
Pascasarjana
Universitas
Pendidikan Indonesia, 2007), hlm. 48-49.
berarti upaya
untuk menggambarkan dan menyatakan suatu pandangan yang
sistematis dan
komprehensif tentang alam semesta dan kedudukan manusia di
dalamnya.
Berfilsafat berarti menangkap sinopsis peristiwa-peristiwa yang
simpang siur
dalam pengalaman manusia. Suatu cabang ilmu pengetahuan
mengkaji satu
bidang pengetahuan manusia, daerah cakupannya terbatas.
Filsafat
mencakup keseluruhan pengetahuan manusia, berusaha melihat segala
yang ada ini
sebagai satu kesatuan yang menyeluruh dan mencoba mengetahui
kedudukan
manusia di dalamnya. Sering dikatakan bahwa filsafat merupakan
ibu dari segala
ilmu.80
Filsafat
membahas segala permasalahan yang dihadapi oleh manusia
termasuk
masalah-masalah pendidikan ini yang disebut filsafat pendidikan.
Walaupun dilihat
sepintas, filsafat pendidikan ini hanya merupakan aplikasi
dari
pemikiran-pemikiran filosofis untuk memecahkan masalah-masalah
pendidikan,
tetapi antara keduanya yaitu antara filsafat dan filsafat pendidikan
terdapat hub
yang sangat erat. Menurut Donald Butler, filsafat memberikan
arah dan
metodologi terhadap praktik pendidikan, sedangkan praktik
pendidikan memberikan
bahan-bahan bagi pertimbangan-pertimbangan
filosofis.
Keduanya sangat berkaitan erat.
Pendidikan
menurut John Dewey, sebagaimana dikutip oleh Nana
Syaodih
Sukmadinata, berarti perkembangan, perkembangan sejak lahir
hingga menjelang
kematian. Jadi, pendidikan itu juga berarti sebagai
kehidupan. Bagi
Dewey, Education is growth, development, life. Ini berarti
bahwa proses
pendidikan itu tidak mempunyai tujuan di luar dirinya, tetapi
terdapat dalam
pendidikan itu sendiri. Proses pendidikan juga bersifat kontinu,
merupakan
reorganisasi, rekonstruksi, dan pengubahan pengalaman hidup.
Jadi, pendidikan
itu merupakan organisasi pengalaman hidup, pembentukan
kembali
pengalaman hidup, dan juga perubahan pengalaman hidup sendiri.81
Sesuai dengan
pandangan John Dewey, bahwa pendidikan itu adalah
pertumbuhan itu
sendiri. Karena itu, pendidikan tersebut dimulai sejak lahir
80 Nana
Syaodih Sukmadinata, Pengembangan Kurikulum Teori dan Praktek, (Bandung:
Remaja
Rosdakarya, 2009), Cet. 11, hlm. 39-40.
81 Ibid., hlm.
41.
dan berakhir
pada saat kematian. Demikian juga proses belajar tidak dapat
dilepaskan dari
proses pendidikan. Pendidikan adalah pengalaman, yaitu suatu
proses yang
berlangsung terus-menerus. Bagaimana hubungan antara proses
belajar,
pengalaman dan berpikir?
Pengalaman itu
bersifat aktif dan pasif. Pengalaman yang bersifat aktif
berarti
berusaha, mencoba, dan mengubah, sedangkan pengalaman pasti
berarti menerima
dan mengikuti saja. Kalau kita mengalami sesuatu maka kita
berbuat,
sedangkan kalau mengikuti sesuatu kita memperoleh akibat atau
hasil. Belajar
dari pengalaman berarti menghubungkan kemunduran dengan
kemajuan dalam
perbuatan kita, yakni kita merasakan kesenangan atau
penderitaan
sebagai suatu akibat atau hasil.
Belajar dari
pengalaman adalah bagaimana menghubungkan
pengalaman kita
dengan pengalaman masa lalu dan yang akan datang. Belajar
dari pengalaman
berarti mempergunakan daya pikir reflektif (reflective
thinking), dalam
pengalaman kita. Pengalaman yang efektif adalah
pengalaman
reflektif. Ada lima langkah berpikir reflektif menurut John
Dewey, yaitu:
1. Merasakan
adanya keraguan, kebingungan yang menimbulkan masalah,
2. Mengadakan
interpretasi tentatif (merumuskan hipotesis),
3. Mengadakan
penelitian atau pengumpulan data yang cermat,
4. Memperoleh
hasil dari pengujian hipotesis tentatif;
5. Hasil
pembuktian sebagai sesuatu yang dijadikan dasar untuk berbuat.
Langkah-langkah
berpikir reflektif ini dipergunakan sebagai metode
belajar dalam
pendekatan pendidikan proyek dari John Dewey, yang sampai
dengan tahun
50-an sangat populer. Belajar seperti halnya pendidikan adalah
proses
pertumbuhan, belajar, dan berpikir adalah satu.
Dalam penyusunan
bahan ajaran menurut Dewey hendaknya
memperhatikan
syarat-syarat sebagai berikut: 1) Bahan ajaran hendaknya
konkret, dipilih
yang betul-betul berguna dan dibutuhkan, dipersiapkan secara
sistematis dan
mendetil, 2) Pengetahuan yang telah diperoleh sebagai hasil
belajar,
hendaknya ditempatkan dalam kedudukan yang berarti, yang
memungkinkan
dilaksanakannya kegiatan baru, dan kegiatan yang lebih
menyeluruh.
Bahan pelajaran
bagi anak tidak bisa semata-mata diambil dari buku
pelajaran, yang
diklasifikasikan dalam mata-mata pelajaran yang terpisah.
Bahan pelajaran
harus berisikan kemungkinan-kemungkinan, harus
mendorong anak
untuk bergiat dan berbuat. Bahan pelajaran harus
memberikan
rangsangan pada anak-anak untuk bereksperimen. Demikianlah
dengan bahan
pelajaran ini, kita mengharapkan anak-anak yang aktif, anakanak
yang bekerja,
anak-anak yang bereksperimen. Bahan pelajaran tidak
diberikan dalam
disiplin-disiplin ilmu yang ketat, tetapi merupakan kegiatan
yang berkenaan
dengan sesuatu masalah (problem).82
M. Pendekatan
Pengembangan Kurikulum
Pendekatan yang
berorientasi pada tujuan ini, menempatkan rumusan
atau penerapan
tujuan yang hendak dicapai dalam posisi sentral, sebab tujuan
adalah pemberi
arah dalam pelaksanaan proses belajar-mengajar. Kelebihan
dari pendekatan
pengembangan kurikulum yang berorientasi pada tujuan
adalah:
1. Tujuan yang
ingin dicapai jelas bagi penyusun kurikulum.
2. Tujuan yang
jelas akan memberikan arah yang jelas pula dalam
menetapkan
materi pelajaran, metode, jenis kegiatan dan alat yang
diperlukan untuk
mencapai tujuan.
3. Tujuan-tujuan
yang jelas itu juga akan memberikan arah dalam
mengadakan
penilaian terhadap hasil yang dicapai.
4. Hasil
penilaian yang terarah tersebut akan membantu penyusunan
kurikulum dalam
mengadakan perbaikan-perbaikan yang diperlukan.
Meskipun
pendekatan ini memiliki banyak kelebihan jika
dibandingkan
dengan pendekatan yang berorientasi pada bahan, pendekatan
ini juga
memiliki kelemahan, yaitu kesulitan dalam merumuskan tujuan itu
sendiri (bagi
guru). Apa lagi jika tujuan tersebut harus dirumuskan lebih
82 Ibid., hlm.
42-44.
khusus, jelas,
operasional dan dapat diukur. Untuk merealisasikan maksud
tersebut, pihak
guru dituntut memiliki keahlian, pengalaman dan keterampilan
dalam perumusan
tujuan khusus pengajaran. Jika tidak demikian, maka akan
terwujud rumusan
tujuan khusus yang bersifat dangkal dan mekanistik.83
Dalam hal ini
berdasarkan filosofis pengembangan kurikulum, bahwa
tujuan yang
ingin dicapai dalam pembahasan skripsi ini adalah pendidikan
yang merangsang
kerja akal dan mendorong peserta didik untuk mengamalkan
apa yang mereka
peroleh dari pendidikan. Bahan pelajaran hendaknya yang
menggiatkan
kerja akal dan bereksperimen agar peserta didik benar-benar
paham dan bisa
mengamalkannya. Sehingga ranah kognitif, afektif dan
psikomotorik
dapat tercapai dengan baik.
Oleh karena itu
sebagai acuan kurikulum PAI sekarang maka penulis
akan memaparkan
tentang KTSP, yaitu antara lain sebagai berikut:
1. Landasan
Penyusunan KTSP
KTSP (Kurikulum
Tingkat Satuan Pendidikan) disusun dalam
rangka memenuhi
amanat yang tertuang dalam Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor
20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
dan Peraturan
Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2005
tentang Standar
Nasional Pendidikan.
Dalam
penyusunannya, KTSP jenjang pendidikan dasar dan
menengah mengacu
kepada Peraturan Menteri Pendidikan Nasional
Nomor 22 Tahun
2006 tentang Standar Isi untuk Satuan Pendidikan
Dasar dan
Menengah, Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 23
Tahun 2006
tentang Standar Kompetensi.
Lulusan untuk
Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah, Peraturan
Menteri Pendidikan
Nasional Nomor 24 Tahun 2006 tentang Pelaksanaan
Peraturan
Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22 Tahun 2006 dan
83 M.
Ahmad, dkk., Pengembangan Kurikulum untuk Fakultas Tarbiyah Komponen
MKDK,
(Bandung: CV. Pustaka Setia, 1998), Cet. I, hlm. 74.
nomor 23 Tahun
2006, dan berpedoman pada panduan yang disusun oleh
Badan Standar
Nasional Pendidikan (BSNP).84
2. Acuan
Operasional Penyusunan KTSP
KTSP disusun
dengan memperhatikan hal-hal sebagai berikut:
a. Peningkatan
iman dan takwa serta akhlak mulia. Keimanan dan
ketakwaan serta
akhlak mulia menjadi dasar pembentukan
kepribadian
peserta didik secara utuh. Kurikulum disusun yang
memungkinkan
semua mata pelajaran dapat menunjang peningkatan
iman dan takwa
serta akhlak mulia.
b. Peningkatan
potensi, kecerdasan, dan minat sesuai dengan tingkat
perkembangan dan
kemampuan peserta didik. Pendidikan merupakan
proses
sistematik untuk meningkatkan martabat manusia secara
holistik yang
memungkinkan potensi diri (afektif, kognitif,
psikomotor)
berkembang secara optimal. Sejalan dengan itu,
kurikulum
disusun dengan memperhatikan potensi, tingkat
perkembangan,
minat, kecerdasan intelektual, emosional dan sosial,
spiritual, dan
kinestetik peserta didik.85
c. Keragaman
potensi dan karakteristik daerah dan lingkungan
Daerah memiliki
potensi, kebutuhan, tantangan, dan
keragaman
karakteristik lingkungan. Masing-masing daerah
memerlukan
pendidikan sesuai dengan karakteristik daerah dan
pengalaman hidup
sehari-hari. Oleh karena itu, kurikulum harus
memuat keragaman
tersebut untuk menghasilkan lulusan yang relevan
dengan kebutuhan
pengembangan daerah.
d. Tuntutan
pembangunan daerah dan nasional
Dalam era
otonomi dan desentralisasi untuk mewujudkan
pendidikan yang
otonom dan demokratis perlu memperhatikan
keragaman dan
mendorong partisipasi masyarakat dengan tetap
84 Masnur
Muslich, KTSP: Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan, (Jakarta: Bumi
Aksara,
2008), Cet.
Ke-4, hlm. 1.
85 Khaerudin,
dkk. Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) Konsep dan
Implementasinya
di Madrasah, Semarang:
MDC Jateng, 2007, hlm. 82.
mengedepankan
wawasan nasional. Untuk itu, keduanya harus
ditampung secara
berimbang dan saling mengisi.
e. Tuntutan
dunia kerja
Kegiatan
pembelajaran harus dapat mendukung tumbuh
kembangnya
pribadi peserta didik yang berjiwa kewirausahaan dan
mempunyai
kecakapan hidup. Oleh sebab itu, kurikulum perlu
memuat kecakapan
hidup untuk membekali peserta didik memasuki
dunia kerja. Hal
ini sangat penting terutama bagi satuan pendidikan
kejuruan dan
peserta didik yang tidak melanjutkan ke jenjang yang
lebih tinggi.
f. Perkembangan
ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni
Pendidikan perlu
mengantisipasi dampak global yang
membawa
masyarakat berbasis pengetahuan di mana IPTEKS sangat
berperan sebagai
penggerak utama perubahan. Pendidikan harus
terus-menerus
melakukan adaptasi dan penyesuaian perkembangan
IPTEKS sehingga
tetap relevan dan kontekstual dengan perubahan.
Oleh karena itu,
kurikulum harus dikembangkan secara berkala dan
berkesinambungan
sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan,
teknologi, dan
seni.
g. Agama
Kurikulum harus
dikembangkan untuk mendukung
peningkatan iman
dan taqwa serta akhlak mulia dengan tetap
memelihara
toleransi dan kerukunan umat beragama. Oleh karena itu,
muatan kurikulum
semua mata pelajaran harus ikut mendukung
peningkatan
iman, taqwa dan akhlak mulia.
h. Dinamika
perkembangan global
Pendidikan harus
menciptakan kemandirian, baik pada
individu maupun
bangsa, yang sangat penting ketika dunia
digerakkan oleh
pasar bebas. Pergaulan antarbangsa yang semakin
dekat memerlukan
individu yang mandiri dan mampu bersaing serta
mempunyai
kemampuan untuk hidup berdampingan dengan suku dan
bangsa lain.
i. Persatuan
nasional dan nilai-nilai kebangsaan
Pendidikan
diarahkan untuk membangun karakter dan
wawasan
kebangsaan peserta didik yang menjadi landasan penting
bagi upaya
memelihara persatuan dan kesatuan bangsa dalam
kerangka NKRI.
Oleh karena itu, kurikulum harus mendorong
berkembangnya
wawasan dan sikap kebangsaan serta persatuan
nasional untuk
memperkuat keutuhan bangsa dalam wilayah NKRI.86
j. Kondisi
sosial budaya masyarakat setempat
Kurikulum harus
dikembangkan dengan memperhatikan
karakteristik
sosial budaya masyarakat setempat dan menunjang
kelestarian
keragaman budaya. Penghayatan dan apresiasi pada
budaya setempat
harus terlebih dahulu ditumbuhkan sebelum
mempelajari
budaya dari daerah dan bangsa lain.
k. Kesetaraan
jender. Kurikulum harus diarahkan kepada terciptanya
pendidikan yang
berkeadilan dan memperhatikan kesetaraan jender.
l. Karakteristik
satuan pendidikan. Kurikulum harus dikembangkan
sesuai dengan
visi, misi, tujuan, kondisi, dan ciri khas satuan
pendidikan.87
N. Kurikulum
Pendidikan Agama Islam
Pendidikan Agama
Islam (PAI) merupakan usaha sadar dan terencana
untuk menyiapkan
siswa dalam meyakini, memahami, menghayati dan
mengamalkan
ajaran Islam melalui kegiatan bimbingan, pengajaran dan atau
latihan. PAI
yang hakikatnya merupakan sebuah proses itu, dalam
perkembangannya
juga dimaksudkan sebagai rumpun mata pelajaran yang
diajarkan di
sekolah maupun di Perguruan Tinggi. Jadi berbicara tentang PAI
maka dapat
dimaknai dalam dua pengertian; sebagai sebuah proses penanaman
86 BNSP, Panduan
Penyusunan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan Jenjang
Pendidikan Dasar
dan Menengah,
Jakarta: BNSP, 2006, hlm. 8.
87 Khaerudin,
dkk, op.cit., hlm. 84.
ajaran Islam,
maupun sebagai bahan kajian yang menjadi materi proses itu
sendiri. Namun
dalam uraian lebih lanjut tentang PAI dalam Pedoman ini,
pengertian kedua
akan lebih dominan dibandingkan yang pertama.
Sebagai mata
pelajaran, rumpun mata pelajaran atau bahan kajian PAI
memiliki ciri
khas atau karakteristik tertentu yang membedakannya dengan
mata pelajaran
lain. Adapun karakteristik mata pelajaran PAI itu dapat
dijelaskan
sebagai berikut:
1. PAI merupakan
rumpun mata pelajaran yang dikembangkan dari ajaranajaran
pokok (dasar)
yang terdapat dalam agama Islam. Karena itulah PAI
merupakan bagian
yang tidak dapat dipisahkan dari ajaran Islam. Ditinjau
dari segi
isinya, PAI merupakan mata pelajaran pokok yang menjadi salah
satu komponen,
dan tidak dapat dipisahkan dari rumpun mata pelajaran
yang bertujuan
mengembangkan moral dan kepribadian peserta didik.
2. Tujuan PAI
adalah terbentuknya peserta didik yang beriman dan bertakwa
kepada Allah
SWT, berbudi pekerti luhur (berakhlak mulia), memiliki
pengetahuan
tentang ajaran Pokok Agama Islam dan mengamalkannya
dalam kehidupan
sehari-hari, serta memiliki pengetahuan yang luas dan
mendalam tentang
Islam sehingga memadai baik untuk kehidupan
bermasyarakat
maupun untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang
lebih tinggi.
3. Pendidikan
Agama Islam, sebagai sebuah program pembelajaran,
diarahkan pada
(a) menjaga aqidah dan ketakwaan peserta didik, (b)
menjadi landasan
untuk lebih rajin mempelajari ilmu-ilmu lain yang
diajarkan di madrasah,
(c) mendorong peserta didik untuk kritis, kreatif
dan inovatif,
dan (d) menjadi landasan perilaku dalam kehidupan seharihari
di masyarakat,
PAI bukan hanya mengajarkan pengetahuan tentang
Agama Islam,
tetapi juga untuk diamalkan dalam kehidupan sehari-hari
(membangun etika
sosial).
4. Pembelajaran
PAI tidak hanya menekankan penguasaan kompetensi
kognitif saja,
tetapi juga afektif dan psikomotoriknya.
5. Isi mata
pelajaran PAI didasarkan dan dikembangkan dari ketentuanketentuan
yang ada dalam
dua sumber pokok ajaran Islam, yaitu Al-
Qur'an dan
sunnah Nabi Muhammad saw (dalil naqli). Di samping itu,
materi PAI juga
diperkaya dengan hasil-hasil istimbath atau ijtihad (dalil
aqli) para
ulama sehingga ajaran-ajaran pokok yang bersifat umum lebih
rinci dan
mendetail.
6. Materi PAI
dikembangkan dari tiga kerangka dasar ajaran Islam, yaitu
aqidah, syari’ah
dan akhlak. Aqidah merupakan penjabaran dari konsep
iman, syariah
merupakan penjabaran dari konsep Islam, dan akhlak
merupakan
penjabaran konsep ihsan. Dari ketiga konsep dasar itulah
berkembang
berbagai kajian keislaman, termasuk kajian-kajian yang
terkait dengan
ilmu, teknologi, seni dan budaya.
7. Output
program Pembelajaran PAI di sekolah adalah terbentuknya peserta
didik yang
memiliki akhlak mulia (budi pekerti yang luhur) yang
merupakan misi
utama dari diutusnya Nabi Muhammad.88
Berikut ini
adalah Standar Kompetensi Kelulusan kurikulum
Pendidikan Agama
Islam di tingkat Madrasah Tsanawiyah, Madrasah Aliyah,
dan Madrasah
Aliyah Program Keagamaan:
a. Madrasah
Tsanawiyah
1) Al-Qur’an dan
Hadits
- Memahami dan
mencintai Al-Qur’an dan hadits sebagai pedoman
hidup umat
Islam.
- Meningkatkan
pemahaman Al-Qur’an, Al Fatihah, dan surat
pendek melalui
upaya penerapan cara membacanya, menangkap
maknanya,
memahami kandungan isinya, dan mengaitkannya
dengan fenomena
kehidupan.
- Menghafal dan
memahami makna hadits-hadits yang terkait
dengan tema isi
kandungan surat atau ayat sesuai dengan tingkat
perkembangan
anak.
88 Depag, Pedoman
Pendidikan Agama Islam untuk Sekolah Umum, (Jakarta: Ikhlas
Beramal, 2004),
hlm. 1-3.
2) Aqidah-Akhlak
- Meningkatkan
pemahaman dan keyakinan terhadap rukun iman
melalui
pembuktian dengan dalil aqli dan naqli, serta pemahaman
dan penghayatan
terhadap asma’ul khusna dengan menunjukkan
cirri-ciri /
tanda-tanda perilaku seseorang dalam fenomena
kehidupan dan
pengamalannya dalam kehidupan sehari-hari.
- Membiasakan
akhlak terpuji seperti ikhlas, taat, khouf, taubat,
tawakkal,
ikhtiar, sabar, syukur, qona’ah, tawadhu’, husnuzh-zhan,
tasamuh, ta’awun,
berilmu, kreatif, produktif dan pergaulan
remaja, serta
menghindari akhlak tercela, seperti riya’, nifak,
ananiyah, putus
asa, marah, tamak, takabur, hasad, dendam, fitnah,
ghibah dan namimah.
3) Fiqih
Memahami
ketentuan hokum Islam yang berkaitan dengan ibadah
mahdah dan
mu’amalah serta dapat mempraktekkan dengan benar
dalam kehidupan
sehari-hari.
4) Sejarah
Kebudayaan Islam
- Meningkatkan
pengenalan dan kemampuan mengambil ibrah
terhadap
peristiwa penting sejarah kebudayaan Islam mulai
perkembangan
masyarakat Islam pada masa Nabi Muhammad
SAW dan para
Khulafaur Rasyidin, Bani Umayyah, Abbasiyah, Al
Ayyubiyah sampai
dengan perkembangan Islam di Indonesia.
- Mengapresiasi
fakta dan makna peristiwa-peristiwa bersejarah dan
mengaitkannya
dengan fenomena kehidupan social, budaya,
politik,
ekonomi, IPTEK dan seni.
- Meneladani
nilai-nilai dan tokoh-tokoh yang berprestasi dalam
peristiwa
bersejarah.
b. Madrasah
Aliyah
1) Al-Qur’an dan
Hadits
Memahami isi
pokok Al-Qur’an, fungsi dan bukti-bukti kemurniannya,
istilah-istilah
hadits, fungsi hadits terhadap Al-Qur’an, pembagian
hadits ditinjau
dari segi kualitas dan kuantitasnya, serta memahami dan
mengamalkan
ayat-ayat Al-Qur’an dan hadits tentang manusia dan
tanggungjawabnya
di muka bumi, demokrasi serta pengembangan
IPTEK.
2) Aqidah Akhlak
- Memahami
istilah-istilah aqidah, prinsip-prinsip, aliran-aliran dan
metode
peningkatan kualitas Aqidah serta meningkatkan kualitas
keimanan melalui
pemahaman dan penghayatan asma’ul khusna
serta penerapan
perilaku bertauhid dalam kehidupan.
- Memahami
istilah-istilah akhlak dan tasawuf, meningkatkan
metode
peningkatan kualitas akhlak, serta membiasakan perilaku
terpuji dan
menghindari perilaku tercela.
3) Fiqih
Memahami dan
menerapkan sumber hukum Islam dan hokum taklifi,
prinsip-prinsip
ibadah dan syari’at dalam Islam, fiqih ibadah,
mu’amalah, munakahat,
mawaris, jinayah, siyasah serta dasar-dasar
Istinbath, dan
kaidah ushul fiqih.
4) Sejarah
Kebudayaan Islam
- Memahami dan
mengambil ibrah sejarah dakwah Nabi
Muhammad pada
periode Mekah dan Madinah, masalah
kepemimpinan
umat setelah Rasulullah SAW wafat.
Perkembangan
Islam pada abad klasik atau zaman keemasan (650
– 1250 M), abad
pertengahan atau zaman kemunduran (1250 –
1800 M), masa
modern atau zaman kebangkitan (1800 - sekarang),
serta
perkembangan Islam di Indonesia dan di dunia.
- Mengapresiasi
fakta dan makna peristiwa-peristiwa bersejarah dan
mengaitkannya
dengan kehidupan sosial, budaya, politik, ekonomi,
IPTEK dan seni.
- Meneladani
tokoh-tokoh Islam yang berprestasi dalam
perkembangan
sejarah atau peradaban Islam.
c. Madrasah
Aliyah Program Keagamaan
1) Akhlak
Memahami
istilah-istilah akhlak dan tasawuf, menerapkan metode
peningkatan
kualitas akhlak, dan membiasakan perilaku terpuji serta
menghindari perilaku
tercela.
2) Sejarah
Kebudayaan Islam
- Memahami dan
mengambil ibrah sejarah dakwah Nabi
Muhammad pada
periode Mekah dan Madinah, masalah
kepemimpinan
umat setelah Rasulullah SAW wafat.
Perkembangan
Islam pada abad klasik atau zaman keemasan (650
– 1250 M), abad
pertengahan atau zaman kemunduran (1250 –
1800 M), masa
modern atau zaman kebangkitan (1800 - sekarang),
serta
perkembangan Islam di Indonesia dan di dunia.
- Mengapresiasi
fakta dan makna peristiwa-peristiwa bersejarah dan
mengaitkannya dengan
kehidupan sosial, budaya, politik, ekonomi,
IPTEK dan seni.
- Meneladani
tokoh-tokoh Islam yang berprestasi dalam
perkembangan
sejarah atau peradaban Islam.
3) Tafsir
- Mengenali
pokok-pokok ilmu tafsir serta ilmu-ilmu yang dapat
membantu dan
diperlukan dalam memahami dan menafsirkan Al-
Qur’an, sehingga
dapat dijadikan bekal dasar dalam memahami
ayat-ayat
Al-Qur’an, serta dijadikan pondasi untuk melanjutkan
pendidikan ke
lanjutan yang lebih tinggi.
- Memahami
ayat-ayat Al-Qur’an tentang:
- Makanan yang
halal, sehat, dan bergizi, dan bahaya minuman keras
- Pendayagunaan
akal pikiran, pentingnya pengembangan alam, dan
pemanfaatan alam
semesta bagi kehidupan manusia
- Tata cara
menyelesaikan perselisihan, musyawarah, dan ta’aruf
dalam kehidupan
- Kepemimpinan,
syarat0syarat, tugas dan tanggungjawab pemimpin
- Pembinaan
pribadi dan keluarga, serta pembinaan masyarakat
secara umum
4) Hadits
- Memahami ilmu
hadits dan sejarahnya, sejarah penghimpunan dan
pembukuan
hadits, cara menerima dan menyampaikan hadits,
pembagian
hadits, ilmu jarh wa ta’dill, generasi perawi hadits dan
kitab-kitab
hadits.
- Memahami Al
Hadits tentang taat kepada Allah dan Rasul-Nya,
kebesaran dan
kekuasaan Allah, nikmat Allah, kewajiban dan
tanggungjawab
manusia, serta pengembangan IPTEK
5) Ushul Fiqih
- Memahami ilmu
ushul fiqih, sumber hokum Islam yang muttafaq
maupun yang mukhtalaf
dan kaidah-kaidah ushul fiqih serta
mampu
mempraktekkannya.
- Memahami dan
menerapkan sumber hukum Islam dan hokum
taklifi,
prinsip-prinsip ibadah dan syari’at dalam Islam, fiqih
ibadah,
mu’amalah, munakahat, mawaris, jinayah, siyasah,
serta
dasar-dasar Istinbath
dan kaidah ushul fiqih
6) Ilmu Kalam
- Memahami
istilah-istilah aqidah, prinsip-prinsip, aliran-aliran dan
metode
peningkatan kualitas aqidah serta meningkatkan kualitas
keimanan melalui
pengamalan dan penghayatan al-asma’ al-husna
serta penerapan
perilaku bertauhid dalam kehidupan.
- Memahami ilmu
kalam, fungsi dan peranannya dalam kehidupan,
aliran-aliran
dan tokok-tokoh yang berperan dalam
pengembangannya
serta berbagai pandangan tentang ilmu kalam.89
89 Peraturan
Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2008 Tentang Standar
Kompetensi
Lulusan dan Standar Isi Pendidikan Agama Islam dan Bahasa Arab di Madrasah,
hlm.
3-10.
O. Dasar-dasar
Pengembangan Kurikulum
1.
Prinsip-prinsip Pengembangan Kurikulum
Sistem
pendidikan akan melakukan perubahan bilamana kondisikondisi
pada
supra-sistem, masyarakat, mengalami perubahan. Perubahan
kurikulum adalah
hal yang normal, dan diharapkan, sebagai akibat
perubahan dalam
lingkungannya. Para pekerja / spesialis kurikulum
bertanggung
jawab untuk mencari cara untuk melakukan perbaikan
kurikulum secara
berkesinambungan. Tugas para pekerja (tim
pengembang)
kurikulum akan lebih mudah / lancar bilamana mengikuti
sejumlah prinsip
yang telah diterima secara umum untuk pengembangan
kurikulum. Peter
F. Oliva (1982) mengemukakan 10 prinsip umum atau
aksioma.
Prinsip-prinsip itu tidak hanya bersumber dari luar disiplin ilmu
pendidikan
profesional, tetapi juga dari tradisi / kebiasaan kurikulum,
observasi, data
eksperimen dan common sense. Joseph J. Scwabb (1970)
membedakan
bentuk disiplin ilmu teoritis yang praktis. Yang teoritis
menghasilkan
pengetahuan yang bersifat umum atau universal yang
dipandang benar,
dijamin dan dipercaya, tahan lama dan ekstensif. Dan
hasil akhir dari
disiplin ilmu yang praktis adalah suatu keputusan, suatu
pilihan dan
terarah pada tindakan yang mungkin diambil. Keputusan itu
belum tentu
benar dan dinilai secara komparatif dengan alternatif yang
lain, misalnya,
….. ini lebih baik daripada yang lain. Dan berlakunya
relatif tidak
lama dan kurang ekstensif.
Kesepuluh
aksioma itu dirumuskan sebagai berikut:
Aksioma ke-1
sebagai titik awal dipostulatkan bahwa perubahan
adalah perlu dan
diinginkan (mendesak) sebab melalui perubahanperubahan
bentuk kehidupan
akan tumbuh dan berkembang. Lembagalembaga
pendidikan, sama
halnya dengan manusia sendiri, tumbuh dan
berkembang
sebanding dengan kemampuannya untuk merespon terhadap
perubahan dan
untuk mengadaptasikan diri pada kondisi-kondisi yang
berubah.
Masyarakat dan lembaga-lembaga terus menerus menghadapi
problema-problema
yang harus dijawab atau hancur. Glen Hass
mengidentifikasi
masalah-masalah umum masa kini yang dihadapi
masyarakat. Di
antaranya yaitu: (1) pelestarian lingkungan, (2) krisis
energi, (3)
perubahan nilai-nilai dan moralitas, (4) perubahan dalam
struktur dan
kehidupan keluarga, (5) krisis perkotaan dan pedesaan, (6)
gerakan
minoritas, wanita dan cacat yang menuntut persamaan hak, (7)
meningkatnya
angka kejahatan, termasuk kekerasan dan kenakalan di
sekolah,
timbulnya rasa terasing dan cemas yang dialami oleh banyak
orang.
Perubahan dalam
bentuk jawaban-jawaban terhadap masalahmasalah
masa kini harus
mendapat pertimbangan dari para pengembangan
kurikulum.
Aksioma ke-2.
merupakan akibat logis dari aksioma 1, bahwa
kurikulum
sekolah tidak hanya merupakan refleksi diri, tetapi juga
merupakan produk
dari waktunya perubahan pendidikan, khususnya
perubahan
kurikulum adalah bagian dan merupakan paket dari perubahan
sosial, serta
berlangsung lebih kurang dengan kecepatan yang sama.
Aksioma ke-3.
perubahan-perubahan kurikulum yang terjadi pada
masa lampau
dapat tetap ada bersamaan waktunya dengan perubahan
kurikulum yang
baru dilakukan. Revisi kurikulum jarang yang diawali dan
diakhiri secara
tegas. Perubahan-perubahan lazimnya ada dalam waktu
yang sama dan
yang terjadi tumpang tindih antara unsur kurikulum yang
lama dan yang
baru. Biasanya dalam perkembangan kurikulum, masuknya
unsur-unsur baru
dilakukan secara berangsur-angsur, demikian pula waktu
mengeluarkan
unsur-unsur yang lama.
Aksioma ke-4,
perubahan kurikulum adalah hasil dari perubahan
diri orang-orang
(yang terlibat) dengan demikian pengembangan
kurikulum harus
mulai dengan usaha mengubah orang-orang yang secara
langsung
mempengaruhi perubahan kurikulum. Usaha ini mencakup upaya
melibatkan
orang-orang dalam proses pengembangan kurikulum untuk
memperoleh
komitmen pada perubahan itu. Pernah terjadi pengalaman
pahit yaitu
perubahan-perubahan kurikulum yang dikomandokan dari atas
(top down) kepada
bawahan-bawahannya tidak berjalan dengan baik.
Selama bawahan
belum memahami dan menerima perubahan itu sebagai
program sendiri,
perubahan-perubahan itu akan berhasil dan bertahan
lama.
Aksioma ke-5,
perbaikan kurikulum akan berhasil bilamana
diciptakan
kerjasama dari berbagai kelompok. Dahulu perubahan
kurikulum hanya
melibatkan kelompok kecil saja, tetapi kini agar berhasil
dengan baik,
harus mengikutsertakan banyak kelompok dan individuindividu
didorong untuk
aktif berpartisipasi yang dilandasi semangat
kerjasama yang
murni.
Aksioma ke-6,
pengembangan kurikulum pada dasarnya adalah
suatu proses
pemilihan antara alternatif-alternatif dan proses pengambilan
keputusan.
Perencanaan kurikulum bekerjasama dengan mereka yang
terlibat harus
melakukan berbagai pilihan, termasuk: 1) memilih di antara
disiplin-disiplin
ilmu, 2) memilih di antara berbagai pandangan yang
bersaing, 3)
memilih tentang hal-hal yang perlu mendapat tekanan /
perhatian, 4)
memilih metodologi, 5) memilih organisasi dan sebagainya.
Aksioma ke-7,
pengembangan kurikulum pada hakikatnya
merupakan suatu
proses yang terus menerus tanpa akhir, perencanaan
kurikulum
senantiasa mengupayakan yang ideal, namun yang ideal itu
tidak pernah ada
akhirnya. Hal ini disebabkan karena kebutuhankebutuhan
pelajar selalu
berubah, masyarakat berubah, ilmu pengetahuan
dan teknologi
berkembang, sehingga kurikulumpun harus berubah dan
berkembang.
Aksioma ke-8,
pengembangan kurikulum adalah suatu proses yang
komprehensif.
Perencanaan kurikulum seringkali selalu bersifat
fragmentaris,
lebih bersifat sektoral daripada komprehensif atau holistik.
Banyak perencana
kurikulum hanya memfokuskan perhatian kepada
pohon-pohon,
bukan hutan secara keseluruhan.
Aksioma ke-9
pengembangan kurikulum secara sistematis adalah
lebih efektif
daripada tindakan trial and error. Pengembangan kurikulum
yang ideal
adalah yang bersifat komprehensif dengan melihat keseluruhan
unsur dan
masukan sebagai sistem serta secara sistematis mengikuti
seperangkat
prosedur yang efektif dan efisien. Prosedur tersebut harus
disetujui dan
diketahui oleh semua pihak yang terlihat dalam kegiatan
pengembangan
kurikulum.
Aksioma ke-10.
Perencanaan kurikulum harus mulai dari
kurikulum itu
sendiri, sebagaimana seorang guru yang mulai dari mana
peserta didik
berada. Pengembangan kurikulum tidak terjadi dalam
semalam. Tetapi
usaha itu merupakan proses yang cukup lama dalam
mengkaji
kurikulum. Bilamana perencana kurikulum mulai dari kurikulum
yang ada, akan
lebih tepat apabila ia berbicara tentang reorganisasi
kurikulum
daripada organisasi kurikulum. Keseluruhan investasi fikiran,
usaha, waktu,
uang dan sebagainya, dari perencanaan yang lampau tidak
begitu saja
dapat dibuang walaupun akan dilakukan pembaharuan yang
drastis
sekalipun.90
2. Kerangka
Pengembangan Kurikulum
Pengembangan
kurikulum ini harus mengacu pada sebuah
kerangka umum,
yang berisikan hal-hal yang diperlukan dalam pembuatan
keputusan.
a. Asumsi
Asumsi yang
digunakan dalam pengembangan kurikulum ini
menekankan pada
keharusan pengembangan kurikulum yang telah
terkonsep dan
diinterpretasikan dengan cermat, sehingga upaya-upaya
yang terbatas
dalam reformasi pendidikan, kurikulum yang tidak
berimbang, dan
inovasi jangka pendek dapat dihindarkan.
Dalam konteks
ini kurikulum didefinisikan sebagai suatu
rencana untuk
mencapai hasil-hasil yang diharapkan, atau dengan kata
lain suatu
rencana mengenai tujuan, hal yang dipelajari dan hasil
pembelajaran.
Dengan demikian, kurikulum terdiri atas beberapa
90 Peter F.
Oliva, op.cit., hlm. 12-15.
komponen, yaitu
hasil belajar dan struktur (sekuens berbagai kegiatan
belajar).
Konsekuensi
lebih jauh dari keharusan penggunaan dasar
teoritis untuk
pengembangan kurikulum adalah pada pembelajaran
(instruction).
Pembelajaran adalah proses mengajar yaitu menyiapkan
lingkungan
mengajar agar siswa dapat berinteraksi dengan orang,
benda, tempat
dan ide melalui penyampaian kurikulum merupakan
suatu proses
perencanaan yang kompleks, mulai dari penilaian
kebutuhan,
identifikasi hasil belajar yang diharapkan, serta persiapan
pembelajaran
untuk mencapai tujuan dan pemenuhan kebutuhan
budaya, sosial
dan personal.
Sesuai dengan
definisi tersebut, kriteria evaluasi kurikulum
disiapkan jika
hasil-hasil belajar yang diharapkan sudah teridentifikasi.
Pengembangan
kurikulum melibatkan banyak keputusan pada
beberapa level
yang berbeda, seperti anak-anak usia prasekolah, SD,
sekolah lanjutan
(SLTP dan SMU), dan perguruan tinggi (termasuk
pendidikan
kejuruan). Pengembangan kurikulum dapat difokuskan
pada unit yang
sangat terbatas, misalnya pada satu guru dan satu siswa,
sampai pada
scope yang luas dengan melibatkan kelompok besar,
misalnya
kelompok guru di suatu daerah atau negara.
Dilihat dari
aspek ruang lingkup pengembangan kurikulum,
tersirat adanya
sejumlah pilihan untuk melakukan pengembangan
kurikulum.
Akibatnya terjadi pertentangan antarkonsepsi kurikulum,
hal ini dapat
memunculkan kontroversi di sekolah atau dalam
masyarakat. Oleh
karena itu, administrator sekolah hendaknya
memahami secara
mendalam perbedaan orientasi berbagai konsep
kurikulum
tersebut.
Dalam
pengembangan kurikulum kepemimpinan yang efektif
bergantung pada
kemampuan menjelaskan dan menerapkan
pendekatan dalam
tercapainya tujuan kurikulum, serta melibatkan
orang lain dalam
proses perencanaan dan implementasinya.
b. Tujuan
Pengembangan Kurikulum
Istilah yang
digunakan untuk menyatakan tujuan
pengembangan
kurikulum adalah goals dan objectives. Tujuan sebagai
goals dinyatakan
dalam rumusan yang lebih abstrak dan bersifat
umum, dan
pencapaiannya relatif dalam jangka pendek.
Aspek tujuan,
baik yang dinyatakan dalam goals maupun
objectives,
memainkan peran yang sangat penting dalam
pengembangan
kurikulum. Tujuan berfungsi untuk menentukan arah
seluruh upaya
kependidikan sekolah atau unit organisasi lainnya,
sekaligus
menstimulasi kualitas yang diharapkan. Berbagai kegiatan
lain dalam
pengembangan kurikulum seperti penentuan ruang lingkup,
sekuensi dan
kriteria seleksi konten, tidak akan efektif jika tidak
berdasarkan
tujuan yang signifikan. tujuan pendidikan pada umumnya
berdasarkan
filsafat yang dianut atau yang mendasari pendidikan
tersebut.
Mengingat
pentingnya tujuan ini, tidak heran jika perumusan
tujuan menjadi
langkah pertama dalam pengembangan kurikulum.
Filosofi yang dianut
pendidikan atau sekolah biasanya menjadi dasar
pengembangan
tujuan. Oleh karena itu, tujuan hendaknya
merefleksikan
kebijaksanaan, kondisi masa kini dan masa datang,
prioritas
sumber-sumber yang sudah tersedia, serta kesadaran terhadap
unsur-unsur pokok
dalam pengembangan kurikulum.
Secara lebih
jauh, tujuan berfungsi sebagai pedoman bagi
pengembangan
tujuan-tujuan spesifik (objective), kegiatan belajar,
implementasi
kurikulum dan evaluasi untuk mendapatkan balikan
(feedback).
Sebagai contoh, menurut Komite Pengembangan
Kurikulum
Amerika Serikat, terdapat sepuluh tujuan umum (goals),
yaitu
ketrampilan dasar (basic skills), konseptualisasi diri, pemahaman
terhadap orang
lain penggunaan pengetahuan yang telah terkumpul
untuk
menginterpretasi dunia (lingkungan kehidupan), belajar
berkelanjutan,
kesehatan mental dan fisik, partisipasi dalam dunia
ekonomi,
produksi dan konsumsi, warga masyarakat yang bertanggung
jawab,
kreativitas dan kesiapan menghadapi perubahan (coping with
change).
Setiap tujuan
yang bersifat umum di atas harus diuraikan lagi
menjadi beberapa
sub tujuan (subgoals) yang lebih operasional.
Misalnya tujuan
pengembangan ketrampilan dasar diuraikan menjadi:
- Mendapatkan
informasi dan pengertian melalui kegiatan
mengamati,
mendengar, dan membaca.
- Mengolah
informasi dan pengertian yang diperoleh melalui
ketrampilan
berpikir reflektif.
- Berbagi
informasi dan mengekspresikan pengertian melalui
kegiatan
percakapan, menulis dan alat-alat nonverbal.
- Memanipulasi
lambang dan menggunakan pikiran matematis dan
sebagainya.
c. Penilaian
Kebutuhan
Kebutuhan
merupakan suatu hal yang pokok dalam
perencanaan
(Unruh dan Unruh, 1984) dalam kaitannya dengan
pengembangan
kurikulum dan pembelajaran, kebutuhan didefinisikan
sebagai
perbedaan antara keadaan aktual (actual circumstance) dan
keadaan ideal
yang dicita-citakan (envisioned ideal circumstance).
Dengan kata
lain, suatu perbedaan antara keadaan riil dan ideal
kondisi,
kualitas dan sikap.
Penilaian
kebutuhan adalah prosedur, baik secara terstruktur
maupun informal
untuk mengidentifikasi kesenjangan antara situasi
“di sini dan
sekarang” (here and now situation) dan tujuan yang
diharapkan.
Penilaian kebutuhan dapat mendahului maupun mengikuti
penentuan
tujuan. Kebutuhan juga dapat dimanfaatkan oleh
pengembang
kurikulum untuk melakukan revisi dan modifikasi
kurikulum.
d. Konten
Kurikulum
Pada umumnya,
konten kurikulum dipandang sebagai
informasi yang
terkandung dalam bahan-bahan yang dicetak, rekaman
audio dan
visual, komputer dan alat-alat elektronik lainnya, atau yang
ditransmisikan
secara lisan. Konten kurikulum seperti ini sebenarnya
sangat potensial
bagi siswa informasi menjadi konten bagi siswa jika
dapat memberi
pengertian terhadap aktivitas yang berguna. Karena itu,
seleksi konten
untuk kurikulum dan pembelajaran hanya merupakan
salah satu
bagian dari tugas-tugas pengembangan kurikulum yang
berhubungan
dengan konten tersebut. Konsekuensi yang lebih jauh,
penentuan konten
kurikulum harus disertai dengan perencanaan
aktivitas yang
bermakna.
e. Sumber Materi
Kurikulum
Materi kurikulum
yang diperlukan oleh para pengembang
kurikulum dapat
diperoleh di buku-buku teks dan petunjuk bagi guru.
Materi tersebut
juga dapat diperoleh di beberapa tempat seperti
perpustakaan
kurikulum di berbagai universitas, khususnya pada
bagian
pendidikan. Selain itu pusat-pusat sistem sekolah umum, pusat
pendidikan guru,
kantor konsultan kurikulum, departemen pendidikan
dan agen-agen
pelayanan regional lainnya, hg merupakan tempat untuk
memperoleh
materi kurikulum.
Deskripsi dan analisis
suatu pandangan komprehensif tentang
lapangan
kurikulum tidak mungkin tersaji hanya dalam satu literatur.
Oleh karena itu,
diperlukan sumber-sumber yang mendukung dalam
memperoleh
informasi dan ide-ide lebih jauh tentang lapangan
kurikulum yang
dikaji. Sumber-sumber yang dimaksud meliputi karyakarya
yang diterbitkan
oleh asosiasi profesional, penerbitan berkala
dan buku-buku
teks yang relevan.
f. Implementasi
Kurikulum
Sebuah kurikulum
yang telah dikembangkan tidak akan berarti
(menjadi
kenyataan) jika tidak diimplementasikan, dalam artian
digunakan secara
aktual di sekolah dan di kelas. Dalam implementasi
ini, tentu saja
harus diupayakan penanganan terhadap pengaruh faktorfaktor
tertentu,
misalnya kesiapan sumber daya, faktor budaya
masyarakat dan lain-lain.
Berbagai dimensi
implementasi kurikulum yang penting untuk
dicermati adalah
materi kurikulum, struktur organisasi kurikulum,
peranan atau
perilaku, pengetahuan dan internalisasi nilai.
Keberhasilan
implementasi terutama ditentukan oleh aspek
perencanaan dan
strategi implementasinya. Pada prinsipnya,
implementasi ini
mengintegrasikan aspek-aspek filosofis, tujuan,
subject matter,
strategi mengajar dan kegiatan belajar, serta evaluasi
dan feedback.
g. Evaluasi
Kurikulum
Evaluasi adalah
suatu proses interaksi, deskripsi, dan
pertimbangan (judgment)
untuk menemukan hakikat dan nilai dari
suatu hal yang
dievaluasi, dalam hal ini kurikulum. Evaluasi
kurikulum
sebenarnya dimaksudkan untuk memperbaiki substansi
kurikulum,
prosedur implementasi, metode instruksional, serta
pengaruhnya pada
belajar dan perilaku siswa.
Pertimbangan
penting lainnya bagi evaluator kurikulum adalah
evaluasi
formatif (Untuk perbaikan program), dan evaluasi sumatif,
untuk memutuskan
melanjutkan program yang dievaluasi untuk
menghentikannya
dengan program lain. Model-model evaluasi
kurikulum yang
dapat dipilih dan diaplikasikan adalah model
pencapaian
tujuan (goal attainment model), model pertimbangan
(judgment
evaluation model), model pengambilan keputusan (decision
facilitative
evaluation model), dan model deskriptif.
h. Keadaan di
Masa Mendatang
Oleh karena
manusia memiliki visi terhadap masa yang akan
datang, maka
manusia selalu menghadapi tantangan yang semakin
berat. Dalam
pengembangan kurikulum dan pembelajaran, pandangan
dan
kecenderungan pada kehidupan masa datang sudah menjadi
kepentingan
pokok.
Pesatnya
perubahan dalam kehidupan sosial, ekonomi,
teknologi, serta
berbagai peristiwa dunia, memaksa setiap warga
masyarakat
berpikir dan merespon setiap perubahan yang dihadapi.
Oleh karenanya,
harus dipikirkan solusi alternatif dalam menghadapi
situasi masa
yang akan datang tersebut. Prediksi keadaan penduduk,
persediaan
makanan, polusi, sumber-sumber yang tidak dapat
diperbaharui,
ancaman nuklir, serta gejolak politik dan ekonomi, harus
direspons sejak
sekarang, tidak terkecuali respon dari pengembangan
pendidikan.
Dengan kata lain, setiap rencana pengembangan
kurikulum harus
memasukkan pertimbangan kehidupan di masa depan,
serta
implikasinya pada perencanaan kurikulum.91
Kurikulum PAI di
Indonesia bersifat normatif dan kurang bisa
mengikuti
perkembangan zaman. Penggunaan akal dalam kurikulum PAI ini
sedikit tidak
ada. Kebanyakan kurikulum PAI di Indonesia hanya berupa
pemaparan
terutama hukum fiqh tanpa adanya rancangan untuk berpikir dan
berbuat. Hal
tersebut tidak sesuai dengan apa yang diterangkan dalam filosofis
pengembangan
kurikulum, yaitu bahwa pendidikan harus merangsang fungsi
akal dan
mendorong kita untuk berpikir dan berbuat. Sehingga ranah kognitif,
afektif dan
psikomotorik dapat tercapai dengan baik. Kurikulum PAI harus
berkembang
mengikuti zaman supaya dapat menjawab permasalahanpermasalahan
masa kini dan
isi kurikulum PAI tidak boleh stagnan.
91 Oemar
Hamalik, op.cit., hlm. 185-191.
BAB IV
IMPLEMENTASI
KEDUDUKAN AKAL DALAM PENGEMBANGAN
KURIKULUM
PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
A. Urgensi
Kedudukan Akal dalam Pengembangan Kurikulum Pendidikan
Agama Islam
Pelajaran agama
yang diberikan secara tradisional tidak
mementingkan
pemakaian akal. Yang banyak dijalankan dalam cara ini ialah
memompakan
pengetahuan keagamaan he dalam din anak didik. Institut Studi
Islam, baik di
dunia Islam maupun di dunia Barat, dengan kurikulumnya yang
berbeda dengan
yang ada di lembaga pendidikan agama tradisional,
sebaliknya,
menonjolkan pemakaian akal dan pendidikan akhlak dalam Islam.
Dengan demikian,
di Institut Studi Islam ketika mempelajari filsafat
Islam, soal
akal, yang merupakan terjemahan dan kata nous dalam filsafat
Yunani, ternyata
sangat ditekankan seperti diajarkan dalam Al-Quran dan
hadis. Berpikir
dalam Al-Quran diungkapkan dalam berbagai kata.
Yang termasyhur,
sebagaimana diketahui adalah kata ya’qilu
(memakai akal)
yang terdapat pada 49 ayat dalam berbagai bentuk katanya.
Kata al-‘aql yang
masuk ke dalam Bahasa Indonesia dan menjadi akal, berasal
dari kata ini.
Kata lainnya adalah nazhara (melihat secara abstrak) yang
terdapat dalam
30 ayat. Dalam Bahasa Indonesia kata ini menjadi nalar,
penalaran dan
sebagainya. Kata lainnya adalah tafakkara (berpikir) yang
terkandung dalam
19 ayat. Kata Indonesia berpikir jelas berasal dari kata ini.
Perbuatan
berpikir juga diungkapkan dengan kata fahima, dan dalam bahasa
Indonesia ia
menjadi “paham”. Kata faqiha dalam berbagai bentuknya
terdapat dalam
16 ayat juga menggambarkan perbuatan berpikir. Di dalam
Al-Quran juga
dijumpai kata tadzakara (memperhatikan, mempelajari) dalam
40 ayat. Dalam
bahasa Indonesia kata ini dikenal sebagai mudzakarah,
bertukar
pikiran. Kata lainnya lagi adalah tadabbara yang juga mengandung
arti berfikir.
Se1ain dan
kata-kata di atas terdapat pula di dalam A1-Quran kata ulul
albab (orang
berpikir). Ulu al-ilm (orang berilmu, ulul al abshar (orang
berpandangan)
dan ulu al nuha (orang bijaksana) semua itu adalah sebutan
yang memberi
sifat berpikir yang terdapat pada manusia.
Kata “ayah”
sendiri, yang dalam bahasa Indonesia menjadi ‘ayat,
mempunyai
hubungan yang erat sekali dengan pekerjaan berpikir. Arti asli
dari kata “ayah”
ialah ‘tanda. Ayah dalam anti ini kemudian dipakai untuk
fenomena alam,
yang banyak disebut dalam ayat al-kauniyah, yaitu ayat
Quran yang
membicarakan fenomena alam. Tanda yang ditangkap dengan
indera,
mempunyai arti abstrak yang terletak di dalamnya. Tanda itu harus
diperhatikan,
diteliti, dipikirkan dan direnungkan untuk memperoleh arti
abstrak yang
terletak di belakangnya itu.
Demikian juga
dengan ayat al-kauniyah, Al-Qur'an menyebut bahwa
alam ini penuh
ayat, tanda-tanda yang harus diteliti, dipelajari dan dipikirkan
untuk mengetahui
rahasia yang terletak di belakangnya. Penulisan dan
pemikiran
mendalam tentang ayat al-kauniyah itu membawa kepada
terungkapnya
hukum alam yang mengatur perjalanan alam dan akhirnya
kepada Tuhan,
Maha Pencipta dan Maha Pengatur alam semesta.
Sebagaimana
diketahui ayat-ayat yang pertama diturunkan kepada
Nabi mengandung
kata-kata iqra’ (bacalah, ‘allama (mengajar), al-qalam
(pena), dan ya’lam
(mengetahui). Jelas bahwa kata-kata baca, mengajar, pena,
dan mengetahui
erat sekali hubungannya. dengan ilmu pengetahuan. Ayat-ayat
itu datang bukan
dalam bentuk cerita. tetapi dalam bentuk perintah, maka
tersirat di
dalamnya perintah bagi umat Islam untuk mencari ilmu
pengetahuan.
Perintah
tersirat ini, ditegaskan hadis yang menuntut umat supaya
mencari ilmu dan
masa ayun sampai ke masa akan masuk liang lahat, yaitu
apa yang disebut
sekarang sebagai pendidikan seumur hidup. Kalau hadis ini
menyebut masa,
hadis lain menyebut tempat. Hadits itu memerintahkan
supaya umat
mencari ilmu kemana saja, walaupun sejauh cina.
Sebagaimana
diketahui, di zaman Nabi, Cina adalah negeri yang paling
jauh. Dan Cina
bukanlah negeri agama, tetapi negeri industri, seperti kain
sutera,
porselin, dan lain-lain. Jadi, yang dimaksud hadis ini bukanlah mencari
ilmu agama,
tetapi ilmu dunia.
Tegasnya,
Al-Quran dan hadis sama-sama memberikan kedudukan
yang tinggi
kepada akal dan sama-sama memerintahkan mencari ilmu; dan
mencari ilmu
bukan ilmu keagamaan saja, tetapi juga ilmu keduniaan, dan
bukan untuk masa
terbatas saja, tetapi untuk seumur hidup, dan bukan di
dekat saja
tetapi juga di tempat jauh.
Pemakaian akal
dalam sejarah Islam bukan terjadi dalam soal-soal
keduniaan saja,
tetapi juga dalam soal-soal keagamaan sendiri. Karena ayatayat
Al-Quran yang
mengandung masalah keimanan, ibadah dan hidup
kemasyarakatan
manusia dikenal dengan muamalah, berjumlah kurang lebih
hanya 500 ayat,
dan itu pun hanya pada umumnya datang dalam bentuk
prinsip-prinsip
dan garis-garis besar tanpa penjelasan lebih lanjut mengenai
perincian maupun
cara pelaksanaannya, maka akal banyak masalah iman,
ibadah, dan muamalah.
Pemakaian akal yang dilakukan ulama terhadap teks
ayat Al-Quran
dan hadis disebut ijtihad, dan ijtihad tegasnya pemikiran
merupakan sumber
ketiga dalam Islam. Jelasnya, sumber ajaran Islam adalah
tiga: Al-Quran,
hadis, dan akal.
B. Implementasi
Kedudukan Akal dalam Pendidikan Agama Islam
Para ahli
pendidikan muslim umumnya sependapat bahwa teori dan
praktek
kependidikan Islam harus didasarkan pada konsepsi dasar tentang
akal.
Pembicaraan di seputar persoalan ini adalah merupakan sesuatu yang
sangat vital
dalam pendidikan. Tanpa kejelasan tentang konsep ini, pendidikan
akan
meraba-raba. Bahkan menurut Ali Ashraf, pendidikan Islam tidak akan
dapat difahami
secara jelas tanpa terlebih dahulu memahami penafsiran Islam
tentang
pengembangan individu seutuhnya. Paling tidak ada 2 (dua) implikasi
terpenting dalam
hubungannya dengan pendidikan Islam, yaitu:
1. Karena
manusia adalah makhluk yang merupakan resultan dari dua
komponen (materi
dan immateri), maka konsepsi itu menghendaki proses
pembinaan yang
mengacu ke arah realisasi dan pengembangan komponenkomponen
tersebut. Hal
ini berarti bahwa sistem pendidikan Islam harus
dibangun di atas
konsep kesatuan integrasi antara pendidikan qalbiyah dan
aqliyah sehingga
mampu menghasilkan manusia muslim yang pintar
secara
intelektual dan terpuji secara moral. Jika kedua komponen itu
terpisah atau
dipisahkan dalam proses pendidikan Islam, maka manusia
akan kehilangan
keseimbangan dan tidak akan pernah menjadi pribadipribadi
yang sempurna (al-insan
al-kamil)
2. Al-Qur'an
menjelaskan bahwa fungsi penciptaan manusia di alam ini
adalah sebagai
khalifah dan ‘abd. Untuk melaksanakan fungsi ini Allah
SWT membekali
manusia dengan akal. Dalam konteks ini, maka
pendidikan Islam
harus merupakan upaya yang ditujukan ke arah
pengembangan
potensi yang dimiliki manusia secara maksimal sehingga
dapat diwujudkan
dalam bentuk konkrit, dalam arti berkemampuan
menciptakan
sesuatu yang bermanfaat bagi diri, masyarakat dan
lingkungannya
sebagai realisasi dan tujuan penciptaannya, baik sebagai
khalifah maupun
‘abd.
Kedua hal di
atas menjadi acuan dasar dalam menciptakan dan
mengembangkan
kurikulum pendidikan agama Islam masa kini dan masa
depan.
Fungsionalisasi pendidikan Islam dalam mencapai tujuannya sangat
bergantung pada
sejauh mana kemampuan umat Islam menterjemahkan dan
merealisasikan
konsep kedudukan akal dalam Al-Qur'an da fungsi penciptaan
manusia dalam
alam semesta ini. Untuk menjawab hal itu, maka pendidikan
Islam dijadikan
sebagai sarana yang kondusif bagi proses transformasi ilmu
pengetahuan dan
budaya Islami dari satu generasi kepada generasi berikutnya.
Dalam konteks
ini difahami bahwa posisi manusia sebagai khalifah dan ‘abd
menghendaki
program pendidikan yang menawarkan sepenuhnya penguasaan
ilmu pengetahuan
secara totalitas, agar manusia tegas sebagai khalifah dan
taqwa sebagai
substansi dan aspek ‘abd. Sementara itu, keberadaan manusia
sebagai resultan
dari dua komponen (materi dan immateri) menghendaki pula
program
pendidikan yang sepenuhnya mengacu pada konsep equilibrium,
yaitu integrasi
yang utuh antara pendidikan aqliyah dan qalbiyah.
Agar pendidikan
umat berhasil dalam prosesnya, maka konsep
kedudukan akal
dalam Al-Qur'an harus sepenuhnya diakomodasikan dalam
perumusan
teori-teori pendidikan Islam melalui pendekatan kewahyuan,
empirik keilmuan
dan rasional filosofis. Dalam hal ini harus difahami pula
bahwa pendekatan
keilmuan dan filosofis hanya merupakan media untuk
menalar
pesan-pesan Tuhan yang absolut, baik melalui ayat-ayat-Nya yang
bersifat
tekstual (qur’aniyah) maupun ayat-ayat-Nya yang bersifat kontekstual
(kauniyah)
yang telah dijabarkan-Nya melalui sunatullah.92
Pemikiran
keislaman dalam pengembangan kurikulum membutuhkan
pendekatan Bayani,
Irfani dan Burhani, sesuai dengan obyek kajiannya --
apakah teks, ilham
atau realitas-- berikut seluruh masalah yang menyangkut
aspek
tranhistoris, transkultural dan transreligius. Berikut implementasi
pemikiran Islam
terhadap pengembangan kurikulum Pendidikan Agama Islam.
Pertama, pendekatan
bayani adalah pendekatan yang beranggapan
bahwa sumber
ilmu pengetahuan adalah wahyu [teks] atau penalaran dari teks.
Ilmu-ilmu
keislaman seperti hadis, fikih, ushul fikih, dan lainnya,
menggunakan
pendekatan ini. pendekatan bayani merupakan suatu cara untuk
mendapatkan
pengetahuan dengan berpijak pada teks, baik secara langsung
maupun tidal
langsung. Secara langsung dalam arti langsung menganggap teks
sebagai
pengetahuan jadi, dan secara tidak langsung yaitu dengan melakukan
penalaran yang
berpijak pada teks ini. Dengan kata lain sumber pengetahuan
menurut
pendekatan ini adalah teks, atau penalaran yang berpijak pada teks.
Kedua, pendekatan
irfani adalah pendekatan yang beranggapan bahwa
ilmu pengetahuan
adalah kehendak [irodah]. Pendekatan ini memiliki metode
yang khas dalam
mendapatkan pengetahuan, yaitu kasyf. Metode ini sangat
unique karena
tidak bisa dirasionalkan dan diperdebatkan. Pendekatan ini
92 Samsul
Nizar, Filsafat Pendidikan Islam Pendekatan Historis, Teoritis dan
Praktis,
(Jakarta
Selatan: PT. Intermasa 2002), cet. I, hlm. 21-23
benar-benar
sulit dipahami, karena sifatnya yang tidak bisa diverifikasi dan
didemonstrasikan.
pendekatan ini lebih mengandalkan pada rasa individual,
daripada
penggambaran dan penjelasan, bahkan ia menolak penalaran.
Penganut
pendekatan ini adalah para sufi, oleh karenanya teori-teori yang
dikomunikasikan
menggunakan metafora dan tamsil, bukan dengan
mekanisme bahasa
yang definite.
Ketiga, pendekatan
burhani adalah pendekatan yang berpandangan
bahwa sumber
ilmu pengetahuan adalah akal. Akal menurut pendekatan ini
mempunyai
kemampuan untuk menemukan berbagai pengetahuan, bahkan
dalam bidang
agama sekalipun akal mampu untuk mengetahuinya, seperti
masalah baik dan
buruk [tansin dan tahbih]. Pendekatan burhani ini dalam
bidang keagamaan
banyak dipakai oleh aliran berpaham rasionalis seperti
Mu’tazilah. Ibnu
Kholdun menyebut pendekatan ini dengan ulum al-aqliyyah
[knowledge by
intellect]. Tokoh pendiri pendekatan ini adalah Aristoteles.
Karena
pendekatan ini lebih berpijak pada tradisi berpikir yunani, maka ciri
utamanya adalah
penggunaan akal secara maksimal.
Ketiga, kecenderungan
pendekatan Islam di atas, secara teologis
mendapatkan
justifikasi dari al-Qur’an. Dalam al-Qur’an banyak ditemukan
ayat-ayat yang
berbicara tentang pengetahuan yang bersumber pada
rasionalitas.
Perintah untuk menggunakan akal dengan berbagai macam
bentuk kalimat
dan ungkapan merupakan suatu indikasi yang jelas untuk hal
ini. Akan tetapi
meski demikian tidak sedikit pula paparan ayat-ayat yang
mengungkap
tentang pengetahuan yang bersumber pada intuisi [hati atau
perasaan]
terdalam.
Namun, jika
dalam perkembangannya, kajian pendekatan s dalam
literatur Barat
dapat membuka perspektif baru dalam kajian ilmu pengetahuan
yang
multidimensional, kecenderungan pendekatan dalam pemikiran Islam
beringsut lebih
tajam ke wilayah bayani dan irfani dengan mengabaikan
penggunaan rasio
[burhan] secara maksimal, sebagaimana pernah
dipraktekkan
pada masa golden age of science in Islam antara tahun 650 M
sampai 1100 M.
Hal inilah kemudian yang diperkirakan menjadi faktor utama
yang
mengakibatkan keterpurukan umat Islam dalam hal Iptek.
Berangkat dari
Hellenisme Yunani yang spekulatif-kontemplatif, para
sarjana muslim
pada masa kejayaannya leluasa menyerap, kemudian
memodifikasi
menjadi tradisi Filsafat sains yang berangkat dari postulatpostulat
al Qur’an dengan
mengetengahkan tradisi berpikir empirikaleksperimental.
Usaha tersebut
dilakukan dengan mendayagunakan perangkatperangkat
intelektual
sebagai jalan mencari jawab tentang hakekat realitas,
baik yang nyata
[fisis] maupun yang gaib [metafisis]. Dari revolusi filsafat di
tangan kaum
muslimin itu, lahirlah konsep ilmu atau sains yang tegak di atas
postulat-postulat
Qur’an.
Metode
eksperimen dikembangkan oleh sarjana-sarjana Muslim pada
abad keemasan
Islam, ketika ilmu dan pengetahuan lainnya mencapai
kulminasi antara
abad IX dan XII. Semangat mencari kebenaran yang dimulai
oleh
pemikir-pemikir Yunani dan hampir padam dengan jatuhnya kekaisaran
Romawi
dihidupkan kembali dalam kebudayaan Islam. “Jika orang Yunani
adalah bapak
metode ilmiah“, simpul H.G. Wells, “maka orang Muslim adalah
bapak
angkatnya.” Dalam perjalanan sejarah lewat orang Muslimlah, dan
bukan lewat
kebudayaan Latin, dunia modern sekarang ini mendapatkan
kekuatan dan
cahayanya.
Hanya saja, setelah
memasuki abad XII M, pergumulan pemikiran
kaum muslimin
sedikit mulai meninggalkan tradisi pelacakan dalam filsafat,
khususnya
Filsafat Sains, dan lebih mengembangkan kesadaran mistis dan
asketisme, lari
dari dunia materi atau kesadaran kosmis menuju pada dunia
sufisme.
Pentakwilan secara rasional terhadap nash-nash Qur’an menjadi
haram. Pintu
ijtihad ditutup rapat-rapat. Kegiatan berfilsafat mulai dihujat, dan
para filosof
mulai dicap kafir. Islam kemudian direduksi sebatas persoalanpersoalan
ritual semata,
atau sekedar ajaran-ajaran moral yang melangit. Pada
fase inilah umat
Islam menuju pintu gerbang awal kemunduran dan redupnya
mercusuar
peradabannya.
Pada prinsipnya,
Islam telah memiliki pendekatan yang komprehensif
sebagai kunci
untuk mendapatkan ilmu pengetahuan. Hanya saja dari tiga
kecenderungan
pendekatan s yang ada [bayani, irfani atau kasyf dan burhani],
dalam
perkembangannya lebih didominasi oleh corak berpikir bayani yang
sangat tekstual
dan corak berpikir irfani [kasyf] yang sangat sufistik. Kedua
kecenderungan
ini kurang begitu memperhatikan pada penggunaan rasio
[burhani]
secara optimal.
Dalam pendekatan
bayani sebenarnya ada penggunaan rasio [akal],
tapi relatif
sedikit dan sangat tergantung pada teks yang ada. Penggunaan yang
terlalu dominan
atas pendekatan ini, telah menimbulkan stagnasi dalam
kehidupan
beragama, karena ketidakmampuannya merespon perkembangan
zaman. Hal ini
dikarenakan pendekatan bayani selalu menempatkan akal
menjadi sumber
sekunder, sehingga peran akal menjadi terpasung di bawah
bayang-bayang
teks, dan tidak menempatkannya secara sejajar, saling mengisi
dan melengkapi
dengan teks.
Metode kasyf dalam
kritik pendekatan , bukanlah suatu pola yang
berada di atas
akal, seperti yang diklaim irfaniyyun. Bahkan ia tidak lebih dari
sekedar
pemikiran yang paling rendah dan bentuk pemahaman yang tidak
terkendali. Irfaniyyun
masuk ke alam mistis yang telah ada dalam pemikiran
agama-agama
Persi kuno, yang dikembangkan pemikir-pemikir Hermeticism.
Apa yang mereka
alami “ mungkin benar “ atau barangkali “kebenaran karena
kebetulan “,
akan tetapi tidak akan dapat menyelesaikan masalah.
Pendekatannya
yang supra-rasional, menafikan kritik atas nalar, serta
pijakannya pada
logika paradoksal yang segalanya bisa diciptakan tanpa harus
berkaitan dengan
sebab-sebab yang mendahuluinya, mengakibatkan
pendekatan ini
kehilangan dimensi kritis dan terjebak pada nuansa magis
yang berandil
besar pada kemunduran pola pikir manusia.
Dalam menyikapi
kemunduran pada Iptek yang dialami oleh umat
Islam dewasa
ini, maka seyogyanya umat Islam lebih mengedepankan
pendekatan yang
bercorak burhani dengan dipandu oleh kebersihan hati
sebagai
manifestasi dari pendekatan irfani. Penggunaan akal yang maksimal
bukan berarti
pengabaian terhadap teks [nash]. Teks tetap dipakai sebagai
pedoman
universal dalam kehidupan manusia.
Manusia dan
akalnya adalah penentu dalam perkembangan kehidupan
setelah adanya
patokan-patokan nash. Tetapi patokan ini, terutama yang
diberikan
al-Qur’an masih bersifat global. Hal ini bertujuan agar memberikan
kekuasaan bagi
manusia menyesuaikan dengan realitas keadaan dan zaman
yang terus
berubah.
Pendekatan burhani
berusaha memaksimalkan akal dan
menempatkannya
sejajar dengan teks suci dalam mendapatkan ilmu
pengetahuan.
Dalam pendekatan burhani ini, penggunaan rasionalitas tidak
terhenti hanya
sebatas rasio belaka, tetapi melibatkan pendekatan empiris
sebagai kunci
utama untuk mendapatkan ilmu pengetahuan, sebagaimana
banyak
dipraktekkan oleh para ilmuwan Barat.
Perpaduan antara
pikiran yang brilian yang dipadu dengan hati yang
jernih, akan
menjadikan Iptek yang dimunculkan kelak tetap terarah tanpa
menimbulkan
dehumanisasi yang menyebabkan manusia teralienasi [terasing]
dari
lingkungannya. Kegersangan yang dirasakan oleh manusia modern saat
ini, karena
Iptek yang mereka munculkan hanya berdasarkan atas rasionalitas
belaka, dan
menafikan hati atau perasaan yang mereka miliki. Mereka
menuhankan Iptek
atas segalanya, sedang potensi rasa [jiwa] mereka abaikan,
sehingga mereka
merasa ada sesuatu yang hilang dalam diri mereka.
Keseimbangan
antara pikiran [fikr] dan rasa [dzikr] ini menjadi penting
karena secanggih
apapun manusia tidak dapat menciptakan sesuatu. Keduanya
adalah pilar
peradaban yang tahan banting sejarah. Keduanya adalah
perwujudan iman
seorang muslim. Umat yang berpegang kepada kedua pilar
ini disebut al
Qur’an sebagai ulul albab. Mereka, disamping mampu
mengintegrasikan
kekuatan fikr dan dzikr, juga mampu pula mengembangkan
kearifan yang
menurut al Qur’an dinilai sebagai khairan katsiran. Perpaduan
antara pikiran
dan rasa ini merupakan prasyarat mutlak dalam membangun
pendidikan Islam
melalui pengembangan kurikulum PAI. Dalam ungkapan
Iqbal bahwa fikr
dan dzikr atau ‘aqal dan ‘isyq harus diintegrasikan secara
mantap bila mau
membangun peradaban modern yang segar. Sesuatu yang
tentunya sangat
diidamkan oleh umat manusia, dan disinilah semestinya peran
yang harus
dimainkan umat Islam untuk memerikan kontribusinya bagi
pendidikan Islam
melalui pengembangan kurikulum PAI.93
93 Hujair
AH. Sanaky, “Dinamika Pemikiran dalam Islam”,
http:sanaky.staff.uii.ac.id/category/modul/
BAB V
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Dari uraian dan
penjelasan di muka, kiranya dapat diambil butir-butir
kesimpulan
sebagai berikut:
1. Kedudukan
akal dalam Al-Qur'an dijelaskan pada Bab II halaman 18,
antara lain akal
dan kata-kata yang berhubungan dengan kedudukan akal
misalnya, tadzakkarun,
tafakkaru, dan ulil albab, sangat erat hubungannya
dengan masalah
teologi (keimanan, kehidupan akhirat, kitab suci dan
sholat),
kosmologis (dinamika manusia, tanda kebesaran Tuhan dan
semesta) dan
moralitas yang mencakup etika pribadi atau hubungan sosial.
Dengan potensi
yang dimiliki manusia, dengan akal-akalnya manusia
dituntut selalu
berpikir dan menggali semua yang ada di bumi. Manusia
sebagai khalifah
di bumi dengan akalnya harus bisa menjembatani amanah
dengan berpikir
yang jernih seperti yang diajarkan dalam Al-Qur'an.
Dalam hal ini
manusia dengan akalnya dituntut untuk bisa taat dan
mengikat hawa
nafsunya.
Dalam Al-Qur'an,
akal memiliki posisi yang sangat mulia. Meski
demikian bukan
berarti akal diberi kebebasan tanpa batas dalam
memahami agama.
Al-Qur'an memiliki aturan untuk menempatkan akal
sebagaimana
kedudukannya. Bagaimanapun, akal yang sehat akan selalu
cocok dengan
syariat Islam dalam permasalahan apapun.
Akal adalah
nikmat yang besar yang Allah titipkan dalam jasmani
manusia. Hikmat
yang bisa disebut hadiah ini menunjukkan kekuasaan
Allah yang
sangat menakjubkan. Oleh karena itu dalam banyak ayat, Allah
memberi semangat
untuk berakal (yakni menggunakan akalnya).
Sebaliknya,
Allah mencela orang yang tidak berakal.
Kita pun dapat
melihat agama Islam dalam ajarannya memberikan
bentuk kemuliaan
terhadap akal, seperti Allah menjadikan akal sebagai
tempat
bergantungnya hukum sehingga yang tidak berakal tidak dibebani
hukum. Walaupun
akal dimuliakan tapi kita menyadari bahwa akal sesuatu
yang berada
dalam jasmani makhluk. Maka ia sebagaimana makhluk yang
lain memiliki
kelemahan dan keterbatasan.
Dari uraian di
atas Al-Qur'an meletakkan akal sesuai dengan
kedudukannya
tidak seperti yang dilakukan oleh kalangan Barat yang
menempatkan akal
sebagai “Tuhan” dengan segala-galanya di dalam
kehidupan
mereka. Allah menciptakan akal dalam keadaan terbatas
sehingga akal
memerlukan perangkat lain berupa hati untuk dapat
memahami
fenomena alam yang tidak mampu dijangkaunya. Sehingga
dengan
keserasian antara akal dan hati, manusia dapat menjadi manusia
seutuhnya dan
sesuai dengan apa yang digambarkan dalam kedudukan
akal oleh
Al-Qur'an.
Selanjutnya pada
halaman 31 bahwa Al-Qur'an meletakkan akal
sesuai dengan
kedudukannya tidak seperti yang dilakukan oleh kalangan
Barat yang
menempatkan akal sebagai “Tuhan” dengan segala-galanya di
dalam kehidupan
mereka. Allah menciptakan akal dalam keadaan terbatas
sehingga akal
memerlukan perangkat lain berupa hati untuk dapat
memahami fenomena
alam yang tidak mampu dijangkaunya. Sehingga
dengan
keserasian antara akal dan hati, manusia dapat menjadi manusia
seutuhnya dan
sesuai dengan apa yang digambarkan dalam kedudukan
akal oleh
Al-Qur'an.
2. Implementasi
kedudukan akal dalam Al-Qur'an dalam pengembangan
kurikulum
pendidikan agama Islam bahwa Al-Qur'an menjunjung tinggi
kedudukan akal.
Ayat pertama yang diturunkan kepada Nabi adalah iqra’
(bacalah)
seperti tercantum pada halaman 65. Itu menunjukkan bahwa akal
sangat erat
hubungannya dengan pendidikan, dan akal selalu dituntut
untuk berpikir
dan mencari tahu tentang segala hal. Untuk bisa menggali
segala sesuatu
yang ada di dunia ini, diperlukan sistem pendidikan yang
baik. Dalam
pendidikan harus ada kurikulum yang baik dan selalu
berkembang mengikuti
zaman.
Perpaduan antara
pikiran yang brilian yang dipadu dengan hati yang
jernih, akan
menjadikan Iptek yang dimunculkan kelak tetap terarah tanpa
menimbulkan
dehumanisasi yang menyebabkan manusia teralienasi [terasing]
dari
lingkungannya. Kegersangan yang dirasakan oleh manusia modern saat
ini, karena
Iptek yang mereka munculkan hanya berdasarkan atas rasionalitas
belaka, dan
menafikan hati atau perasaan yang mereka miliki. Mereka
menuhankan Iptek
atas segalanya, sedang potensi rasa [jiwa] mereka abaikan,
sehingga mereka
merasa ada sesuatu yang hilang dalam diri mereka.
Keseimbangan
antara pikiran [fikr] dan rasa [dzikr] ini menjadi penting
karena secanggih
apapun manusia tidak dapat menciptakan sesuatu. Keduanya
adalah pilar
peradaban yang tahan banting sejarah. Keduanya adalah
perwujudan iman
seorang muslim. Umat yang berpegang kepada kedua pilar
ini disebut al
Qur’an sebagai ulul albab. Mereka, disamping mampu
mengintegrasikan
kekuatan fikr dan dzikr, juga mampu pula mengembangkan
kearifan yang menurut
al Qur’an dinilai sebagai khairan katsiran. Perpaduan
antara pikiran
dan rasa ini merupakan prasyarat mutlak dalam membangun
pendidikan Islam
melalui pengembangan kurikulum PAI. Dalam ungkapan
Iqbal bahwa fikr
dan dzikr atau ‘aqal dan ‘isyq harus diintegrasikan secara
mantap bila mau
membangun peradaban modern yang segar. Sesuatu yang
tentunya sangat
diidamkan oleh umat manusia, dan disinilah semestinya peran
yang harus
dimainkan umat Islam untuk memerikan kontribusinya bagi
pendidikan Islam
melalui pengembangan kurikulum PAI.
B. SARAN
Dari uraian
beberapa sebelumnya dapat diketahui bahwa Al-Qur'an
menjunjung
tinggi kedudukan akal. Oleh karena itu manusia harus selalu
berpikir dan
berdzikir agar menjadi manusia seutuhnya. Bagi guru hendaknya
semaksimal
mungkin menggunakan akal untuk mengembangkan kurikulum.
Seorang guru
dalam mengajar tidak hanya mengedepankan hafalan saja, tetapi
harus
mengajarkan sikap yang kritis dan penalaran, sehingga akal dari peserta
didik terolah
dan mereka bisa memahami sekaligus mengamalkan apa yang
mereka pelajari.
Bagi siswa hendaknya mereka selalu kritis tidak hanya diam
dan taklid.
Mereka harus bersemangat dan selalu ingin lebih tahu terhadap
ilmu yang mereka
terima.
C. PENUTUP
Dengan
mengucapkan syukur alhamdulillah, penulis dapat
menyelesaikan
skripsi ini, dengan disertai doa semoga skripsi ini dapat
bermanfaat bagi
penulis pada khususnya dan bagi para pembaca pada
umumnya.
Penulis
menyadari, meskipun skripsi ini sudah diusahakan sepenuhnya
bahwa skripsi
ini kurang dari sempurna, maka dari itu segala kritik, koreksi
dan saran yang
membangun dari pembaca yang budiman sangat penulis
harapkan demi
kesempurnaan skripsi ini.
Akhirnya penulis
berdoa semoga Allah SWT senantiasa
menganugerahkan
rahmat, hidayah dan inayah-Nya kepada kita semua dan
semoga skripsi
ini bermanfaat bagi kita semua. Amin.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad, M., dkk.,
Pengembangan Kurikulum untuk Fakultas Tarbiyah Komponen
MKDK,
Bandung: CV. Pustaka Setia, 1998, Cet. I.
Al-Farisi,
Dahlan M. Zakia, Asbabun Nuzul, Latar Belakang Historis Turunnya
ayat-ayat
Al-Qur'an,
Bandung: CV. Penerbit Diponegoro 2000, Ed. II.
Ali, Abdullah
Yusuf, The Holy Qur’an Text, Translation and Commentary,
(Penerjemah: Ali
Audah) Qur’an dan Terjemah Tafsirnya Juz 1 s/d XV,
Jakarta: Pustaka
Firdaus, 1993, Cet. I.
Ali, Atabik, dan
A. Zuhdi Mudlor, Kamus Al-Ashri Arab Indonesia, Yogyakarta:
Multi Karya
Grafika, 2003.
Ali, Muhammad
Daud, Pendidikan Agama Islam, Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 1998,
Cet. V.
Al-Maraghi,
Ahmad Musthafa, Terjemah Tafsir Al-Maraghi Juz 3, (Penerjemah:
Drs. M. Thalib),
Bandung: CV. Rosda, 1987 Cet. II.
_______, Terjemah
Tafsir Al-Maraghi Juz 22, (Penerjemah: Bahrun Abu Bakar
Lc.), Semarang:
CV. Toha Putra, 1989, Cet. I.
Aly, Hery Noer,
dan Munzier, Watak Pendidikan Islam, Jakarta: Friska Agung
Insani, 2003,
Cet. II.
Ash-Shiddieqy,
Teungku Muhammad Hasbi, Al-Bayan Tafsir Penjelas Al-Qur'an
Karim, Jilid
2, Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 2002, Cet. I.
_______, Tafsir
Al-Qur'an Majid An-Nur Jilid 4, Semarang: Pustaka Rizki Putra,
2000, Cet. II,
Ed. II.
Baidan,
Nashruddin, Metodologi Penafsiran Al-Qur'an, Yogyakarta: Pustaka
Pelajar Offset,
2005, Cet. III.
BNSP, Panduan
Penyusunan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan Jenjang
Pendidikan Dasar
dan Menengah,
Jakarta: BNSP, 2006.
Depag RI, Al-Qur'an
dan Tafsirnya, Jilid I, Juz 1-2-3, Semarang: PT. Citra Effhar,
1993.
_______, Al-Qur'an
dan Tafsirnya, Jilid VIII (UII), Yogyakarta: PT. Dana Bhakti
Wakaf, 1990.
_______, Al-Qur'an
dan Terjemahan, Juz 1-30, Semarang: PT. Karya Toha Putra,
1995.
_______, Pedoman
Pendidikan Agama Islam untuk Sekolah Umum, Jakarta:
Ikhlas Beramal,
2004.
Depdiknas, Kamus
Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 2005, Cet. 3,
Ed. 3.
Fachruddin, Ensiklopedia
Al-Qur'an, Jilid I, Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1998, Cet.
II.
Furqon, Achmad,
“Kajian Surat Ar-Rahman Ayat 1-4 Perspektif Pendidikan
Islam”, Skripsi,
Semarang: Perpustakaan Fakultas Tarbiyah IAIN
Walisongo, 2009,
t.d.
Hadi, Sutrisno, Metodologi
Research I, Yogyakarta: Andi Offset, 1995.
Hamalik, Oemar, Dasar-Dasar
Pengembangan Kurikulum, Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya,
2008, Cet. II.
_______, Manajemen
Pengembangan Kurikulum, Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya,
2008, Cet. III.
_______, Proses
belajar Mengajar, Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2007, Cet. VI.
Hasan, Ahmad
Ibnu, Fathu al-Rohman Li Tolib al-Ayat al-Qur’an, Jakarta: Dar
al-Hikmah, t.t.
Hilal, Mohammad,
“Manusia dalam Semantik Al-Qur'an dan Implikasinya
terhadap Tujuan
Pendidikan Islam”, Skripsi, Semarang: Perpustakaan
Fakultas
Tarbiyah IAIN Walisongo, 2006, t.d.
Inayah, Shofi,
“Makna Qalam dalam Al-Qur'an dan Implementasinya dalam
Pendidikan
Islam”, Skripsi, Semarang: Perpustakaan Fakultas Tarbiyah
IAIN Walisongo,
2006, t.d.
Khaerudin, dkk. Kurikulum
Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) Konsep dan
Implementasinya
di Madrasah,
Semarang: MDC Jateng, 2007.
Ma’luf, Luwis, Al-Munjid
fi Al-Lughat wa Al-A’lam, (Beirut: Dar al-Masyriqi,
2007), hlm. 520.
Lihat juga, Ahmad Warson Munawir, Al-Munawwir
Kamus Arab
Indonesia,
Yogyakarta: Al-Munawir, 1984.
Muchlas, Imam, Al-Qur'an
Berbicara (Kajian Kontekstual Beragam Persoalan),
Surabaya:
Pustaka Progressif, 1996, Cet. I.
Musa, M. Yusuf, Al-Qur'an
dan Filsafat, terj. M. Thalib, Yogyakarta: PT Tiara
Wacana, 1991,
Cet. I.
Nashori, H.
Fuad, Potensi-Potensi Manusia Seri Psikologi Islam, Yogyakarta:
Pustaka Pelajar,
2005, Cet. 2.
Nasution, Harun,
Islam Rasional: Gagasan dan Pemikiran, Bandung: Mizan,
1998, Cet. 5.
Nasution, S., Asas-Asas
Pengembangan Kurikulum, Jakarta: PT. Bumi Aksara,
2001.
Nasution, S., Kurikulum
dan Pengajaran, Jakarta: PT. Bumi Aksara, 1999), Cet.
III.
Nizar, Samsul, Filsafat
Pendidikan Islam Pendekatan Historis, Teoritis dan
Praktis, Jakarta
Selatan: PT. Intermasa 2002, Cet. I.
Nurdin,
Syafruddin, Guru Profesional dan Implementasi Kurikulum, Jakarta:
Ciputat Press,
2002, Cet. 7.
Oliva, Peter F.,
Developing the Curriculum, (Terjemahan), Canada: Little, Brown
and Company
Boston Toronto, 1982.
Pasiak, Taufik, Revolusi
IQ/EQ/SQ: Menyingkap Rahasia Kecerdasan
Berdasarkan
Al-Qur'an dan Neurosains Mutakhir, Bandung: PT. Mizan
2008, Cet. I.
Qardhawi, Yusuf,
Al-Aqlu wal Ilmu Fil Qur’anil Karim, terj. Abdul Hayyie al-
Kattani, Irfan
Salim dan Sochimien, Al-Qur'an Berbicara tentang Akal
dan Ilmu
Pengetahuan,
Jakarta: Gema Insani Press, 2004, Cet. VI.
_______, Al-Qur'an
Berbicara tentang Akal dan Ilmu Pengetahuan, Jakarta:
Gema Insani,
1998.
Quthb, Sayyid, Fizhilalil
Qur’an, (Penerjemah: As’ad Yasin, dkk), Tafsir Fi
Zhilahil Qur’an
di Bawah Naungan Al-Qur'an, Jilid 9, Jakarta: Gema
Insani Press
2004, Cet. I.
_______, Fizhilalil
Qur’an, (Penerjemah: As’ad Yasin, dkk), Tafsir fi Zhilalil
Qur’an di Bawah
Naungan Al-Qur'an Jilid 10, Jakarta: Gema Insani Press
2004, Cet. I.
Rahman, Afzalur,
Qur’anic Science, terj. M. Arifin, Al-Qur'an Sumber Ilmu
Pengetahuan,
Jakarta: PT Rineka Cipta, 2000, Cet. III.
Sanaky, Hujair
AH., “Dinamika Pemikiran dalam Islam”,
http:sanaky.staff.uii.ac.id/category/modul/
Sanjaya, Wina,
“Kajian Kurikulum dan Pembelajaran”, Tesis Pascasarjana
Universitas
Pendidikan Indonesia, Bandung: Perpustakaan UPI Bandung,
2005, t.d.
Shehab, Magdy,
dkk, Al-I’jaz Al-Ilmi fi Al-Qur'an wa al Sunah, (terj. Penerjemah:
Syarif Made
Masyah, dkk), Ensiklopedia Mu’jizat Al-Qur'an dan Hadits,
Bekasi: PT. Sapta
Santosa, 2008, Cet. I, Jilid 2.
Shihab, M.
Quraish, Tafsir Al-Mishbah, Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur'an,
vol. 12,
Jakarta: Lentera Hati, 2005, Cet. III.
_______, Membumikan
Al-Qur'an Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan
Masyarakat,
Bandung: PT Mizan Pustaka, 2004, Cet. XXVIII.
_______, Tafsir
Al-Misbah, Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur'an, Vol. II,
Jakarta: Lentera
Hati, 2005, Cet. IX.
_______, Tafsir
al-Mishbah Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-Qur'an, Vol. 2,
Jakarta: Lentera
Hati, 2005, Cet. III.
_______, Tafsir
Al-Mishbah, Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur'an, Vol 10,
Jakarta: Lentera
Hati, 2000, Cet. IX.
Sukmadinata,
Nana Syaodih, Pengembangan Kurikulum Teori dan Praktek,
Bandung: Remaja
Rosdakarya, 2009, Cet. 11.
Uhbiyati, Nur, Ilmu
Pendidikan Islam II, Bandung: Pustaka Setia, 1997, Cet. I.
DAFTAR RIWAYAT
HIDUP
Nama : Asep
Awaludin
Alamat : Jl.
Duku Rt 02 Rw 01 Kel. Wiyoro Wetan
Kec. Ulujami
Kab. Pemalang 52371
Tempat, Tanggal
Lahir : Pemalang, 3 Desember 1985
Nomor Panggil :
08562740467
Nama Orangtua :
Ayah : Mudzakir
Ibu : Khodiroh
Anak ke- : 1
dari 3 bersaudara
Riwayat
Pendidikan Formal :
- TK Muslimat NU
Rowosari lulus 1992
- SD Negeri 01
Wiyoro Wetan Ulujami lulus 1999
- SMP Negeri 1
Ulujami lulus 2002
- MA Futuhiyah
01 Mranggen Demak lulus 2005
- Program Studi
PAI Fakultas Tarbiyah
IAIN Walisongo
Semarang angkatan 2005
Riwayat
Pendidikan Non-Formal :
- Madrasah
Diniyah Awaliyah Nurul Islam Wiyoro Wetan
- Madrasah
Diniyah Wustha Nurul Islam Wiyoro Wetan
- Pondok
Pesantren Darul Ma’wa (KH. Ahmad Muthohar) Mranggen
Demak
- Pondok
Pesantren Al-Ishlah Mangkang Kulon Semarang
Pengalaman
Organisasi :
- Pengurus UKM
PSHT IAIN Walisongo Semarang 2005-2009
- Pengurus UKM
BITA Fakultas Tarbiyah 2005
- IMPP (Ikatan
Mahasiswa Pelajar Pemalang) 2005
Motto : Gerak
lahir luluh dengan gerak batin.
Gerak batin tercermin oleh gerak lahir.
No comments:
Post a Comment