Friday 2 May 2014

MAKALAH KEDUDUKAN AKAL DALAM AL-QUR’AN



KEDUDUKAN AKAL DALAM AL-QUR’AN
DAN IMPLEMENTASINYA DALAM PENGEMBANGAN
KURIKULUM PENDIDIKAN AGAMA ISLAM



MUALLAFAH

Diajukan Kepada Pondok Pesantren Ma’ahidul ‘Irfan
Untuk memenuhi Salah Satu Syarat Kelulusan
Program Madrasah Diniyah Aliyah Takhassus Ilmiah
Pondok Pesantren Ma’ahidul ‘Irfan



Oleh:

TAUFIQURROHMAN
NIS. 200501191



MADRASAH DINIYAH ALIYAH TAKHASUS ILMIAH
PONDOK PESANTREN MA’AHIDUL ‘IRFAN
MAGELANG
2014M/1435 H



BAB I

PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang Masalah
Agama Islam, agama yang kita anut dan dianuti oleh ratusan juta kaum muslim di seluruh dunia merupakan way of life yang menjamin kebahagiaan hidup pemeluknya di dunia dan di akhirat kelak. Ia mempunyai satu sendi utama yang esensial: berfungsi memberi petunjuk ke jalan yang sebaikbaiknya. Al-Qur'an memberikan petunjuk dalam persoalan-persoalan akidah, syariah dan akhlak, dengan jalan meletakkan dasar-dasar prinsipil mengenai persoalan-persoalan tersebut; dan Allah SWT menugaskan Rasul SAW, untuk memberikan keterangan yang lengkap mengenai dasar-dasar itu. Di samping keterangan yang diberikan oleh Rasulullah SAW, Allah memerintahkan pula kepada umat manusia seluruhnya agar memperhatikan dan mempelajari Al-Qur'an. Mempelajari Al-Qur'an adalah kewajiban. Berikut ini beberapa prinsip dasar untuk memahaminya, khusus dari segi hubungan Al-Qur'an dengan ilmu pengetahuan. Atau dengan kata lain, mengenai memahami Al-Qur'an dalam hubungannya dengan ilmu pengetahuan. Persoalan ini sangat penting, terutama pada masa-masa sekarang ini, di mana perkembangan ilmu pengetahuan demikian pesat dan meliputi seluruh aspek kehidupan.2 Dengan demikian Al-Qur'an di dalam membangkitkan semangat, dan hal semacam ini merupakan karakternya, sebagai hal yang logis, termasuk semangat untuk berdebat dan berpikir, baik terhadap mereka yang dengan penuh keikhlasan mengikuti agama baru ini, ataupun orang-orang yang telah masuk Islam, tetapi di dalam hatinya banyak atau sedikit masih tetap mengikuti agama dan keyakinan yang masih belum bersih dari pengaruh tradisi masyarakat Arab jahiliyah.3 2 M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur'an Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, (Bandung: PT Mizan Pustaka, 2004), Cet. XXVIII, hlm. 33. 3 M. Yusuf Musa, Al-Qur'an dan Filsafat, terj. M. Thalib, (Yogyakarta: PT Tiara Wacana, 1991), Cet. I, hlm. 19-20. Al-Qur'an telah menambahkan dimensi baru terhadap studi mengenai fenomena jagad raya dan membantu pikiran manusia melakukan terobosan terhadap batas penghalang dari alam materi. Al-Qur'an menunjukkan bahwa materi bukanlah sesuatu yang kotor dan tanpa nilai, karena padanya terdapat tanda-tanda yang membimbing manusia kepada Allah serta kegaiban dan keagungan-Nya. Alam semesta yang amat luas adalah ciptaan Allah, dan Al- Qur'an mengajak manusia untuk menyelidikinya, mengungkap keajaiban dan kegaibannya, serta berusaha memanfaatkan kekayaan alam yang melimpah ruah untuk kesejahteraan hidupnya. Jadi, Al-Qur'an membawa manusia kepada Allah melalui ciptaan-Nya dan realitas konkret yang terdapat di bumi dan di langit. Inilah yang sesungguhnya dilakukan oleh ilmu pengetahuan, yaitu mengadakan observasi dan eksperimen. Dengan demikian, ilmu pengetahuan dapat mencapai Yang Maha Pencipta melalui observasi yang teliti dan tepat terhadap hukum-hukum yang mengatur gejala alam, dan Al- Qur'an menunjukkan kepada realitas intelektual Yang Maha Besar, yaitu Allah SWT lewat ciptaan-Nya.4 Fungsi Al-Qur'an yang paling berharga dalam wacana keilmuan kita adalah pembentukan akal ilmiah. Ada bentuk akal yang bisa kita namakan sebagai akal orang awam atau akal yang dipengaruhi khurafat. Akal seperti ini membenarkan segala sesuatu yang diajukan kepadanya tanpa menelitinya. Malah akal ini menerima apa adanya, terutama jika yang mengajukan itu adalah orang yang dianggap istimewa olehnya, seperti nenek moyang, para pembesar, dan pemimpin. Mereka akan menyatakan, “Ini yang telah dilakukan oleh nenek moyang kami.” Selain bentuk akal tadi, ada akal lain yang memiliki sifat dari ciri khas tersendiri, yakni bentuk akal yang dibangun secara Islam oleh Al-Qur'an sebagai bekal bagi manusia untuk mengarungi kehidupannya di dunia. Sudah menjadi kesepakatan bersama bahwa ilmu tidak akan dapat berkembang, mengakar dan meluas. Bahkan ia tidak dapat berbentuk kecuali dalam kondisi 4 Afzalur Rahman, Qur’anic Science, terj. M. Arifin, Al-Qur'an Sumber Ilmu Pengetahuan, (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2000), Cet. III, hlm. 1. jiwa dan pikiran yang siap untuk berpikir. Oleh karena itu, pemikiran harus terbuka, segala pendapat harus siap didiskusikan, dan orang yang mempunyai gagasan harus mengajukan dalil-dalilnya. Kesemuanya itu secara bertahap telah diproyeksikan oleh Al-Qur'an dalam kehidupan yang Islami. Dengan kata lain, Al-Qur'an telah mengajak dan memberikan tuntutan untuk membentuk “akal ilmiah” yang bebas dan obyektif. Serta menolak “akal khurafat” yang sesat, “akal taklid” yang jumud, serta akal yang mengikuti hawa nafsu.5 Islam memandang pendidikan sebagai proses yang terkait dengan upaya mempersiapkan manusia untuk mampu memikul taklif (tugas hidup) sebagai khalifah Allah di muka bumi. Untuk maksud itu, manusia diciptakan lengkap dengan potensinya berupa akal dan kemampuan belajar.
`tB $pÏù ã@yèøgrBr& (#þqä9$s% ( ZpxÿÎ=yz ÇÚöF{$# Îû ×@Ïã%y` TÎ) Ïps3Í´¯»n=yJù=Ï9 š/utA$s% øOEÎ)ur Ÿw $tB ãNn=ôãr& þTÎ) tA$s% ( y7s9 â¨s)çRur x8ÏôJpt¿2 ßx7|¡çR ß`øtwUur uä!$tB$!$# à7Ïÿó¡our $pÏù ßÅ¡øÿム’ÎTqä«Î6/Rr& tA$s)sù Ïps3Í´¯»n=yJø9$# n?tã öNåkyÎztä §NèO $yg¯=ä. uä!$oÿôoeF{$# tPyŠ#uä zN¯=tæur ÇÌÉÈ tbqßJn=÷ès? ÇÌÊÈ tûüÏ%Ï»|¹ öNçFZä. bÎ) ÏäIwàs¯»yd Ïä!$yJór'Î/
Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi." Mereka berkata: "Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman: "Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui." Dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya, kemudian mengemukakannya kepada para malaikat lalu berfirman: "Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu memang benar orang-orang yang benar!"(QS. Al-Baqarah [2]: 30-31) Dalam hal ini, Allah mengutus para rasul setelah Adam a.s. kepada umat manusia untuk membimbing mereka dari kondisi yang “gelap” kepada 5 Yusuf Qardhawi, Al-Aqlu wal Ilmu Fil Qur’anil Karim, terj. Abdul Hayyie al-Kattani, Irfan Salim dan Sochimien, Al-Qur'an Berbicara tentang Akal dan Ilmu Pengetahuan, (Jakarta: Gema Insani Press, 2004), Cet. VI, hlm. 277-278. kondisi yang “terang”, dari kondisi serba tidak berperadaban menjadi berperadaban melalui al-Kitab, al-Hikmah, dan pendidikan. Selanjutnya, Allah memerintahkan kepada manusia untuk membaca. Diletakkannya perintah membaca dalam ayat-ayat permulaan diturunkannya Al-Qur'an – wallahu a’lam bishshawab – betapa peran membaca dalam upaya persiapan kekhalifahan manusia di muka bumi. Membaca tidak hanya berarti memberantas buta huruf, tetapi juga memahami dan mempelajari semua ilmu yang berguna bagi makhluk dan membimbing manusia agar insyaf dan bertakwa kepada Allah. Inilah yang dimaksud dengan firman-Nya, “Bacalah dengan menyebut nama Tuhanmu.” Perhatikan firman-Nya, “Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah,” dan isyarat-Nya untuk menggunakan peralatan memperoleh ilmu, “yang mengajar (manusia) dengan perantara kalam.” Tidak ada petunjuk yang lebih jelas tentang kemuliaan ilmu, ulama dan pendidikan ketimbang penamaan Al-Qur'an dengan al-Kitab yang melambangkan makna membaca pengetahuan dan belajar. Oleh sebab itu, tidak aneh apabila umat Islam disebut umat iqra’, umat ilmu pengetahuan dan cahaya. Jelas sekali jalan untuk dapat beribadah, memperoleh petunjuk, menjadi berbudaya, dan memakmurkan bumi guna melaksanakan tugas hidup dari Allah adalah ilmu dan pengetahuan yang dijiwai dengan iman.6 Akal menghasilkan ilmu dan ilmu berkembang dalam masa keemasan sejarah Islam. Supaya dapat dipelajari dengan baik dan benar, ilmu perlu diklasifikasikan (digolong-golongkan). Klasifikasi ilmu, karena itu, merupakan salah satu kunci untuk memahami tradisi intelektual Islam.7 Sejak manusia menuntut kemajuan dan kehidupan, maka sejak itu timbul gagasan untuk maka pengalihan, pelestarian dan pengembangan kebudayaan melalui pendidikan. Maka dari itu dalam sejarah pertumbuhan masyarakat, pendidikan senantiasa menjadi perhatian utama dalam rangka 6 Hery Noer Aly dan Munzier, Watak Pendidikan Islam, (Jakarta: Friska Agung Insani, 2003), Cet. II, hlm. 11-13. 7 Muhammad Daud Ali, Pendidikan Agama Islam, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1998), Cet. V, hlm. 388. kemajuan kehidupan generasi demi generasi sejalan dengan tuntutan kemajuan masyarakatnya.8 Dalam masyarakat yang dinamis, pendidikan memegang peranan yang menentukan eksistensi dan perkembangan masyarakat tersebut, karena pendidikan merupakan usaha melestarikan, dan mengalihkan serta mentransformasikan nilai-nilai kebudayaan dalam segala aspeknya dan jenisnya kepada generasi penerus. Demikian pula halnya dengan peranan pendidikan Islam di kalangan umat Islam merupakan salah satu bentuk manifestasi dari cita-cita hidup Islam untuk melestarikan, mengalihkan dan menanamkan (internalisasi) dan mentransformasikan nilai-nilai Islam tersebut kepada pribadi generasi penerusnya sehingga nilai-nilai kultural-religius yang dicita-citakan dapat berfungsi dan berkembang dalam masyarakat dari waktu ke waktu.9 Mata pelajaran dalam kurikulum menempati tempat yang penting untuk memberi jawaban terhadap apa yang dikerjakan untuk menciptakan manusia yang dicita-citakan oleh pembuat kurikulum itu. Sebagai misal, kita ambil anak ayam. Makanan apakah yang harus diberikan kepada anak ayam supaya badannya menjadi besar? Jagungkah atau beras, ataukah lain-lain? Begitu juga dengan kanak-kanak apakah yang harus diajarkan kepadanya untuk mencapai cita-cita pembuat kurikulum? Jawabannya ialah pengetahuan.10 Dari uraian di atas, maka kita dapat menarik garis besar bahwa akal sangat berperan terhadap proses pembelajaran. Sedangkan proses pembelajaran agar bisa berhasil dengan baik maka yang perlu diperhatikan adalah kurikulum. Berangkat dari latar belakang di atas, maka penulis tertarik untuk mengkaji secara komprehensif mengenai kedudukan akal yang diproyeksikan Al-Qur'an tersebut, dengan judul Kedudukan Akal dalam Al- Qur'an dan Implementasinya dalam Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam. 8 Nur Uhbiyati, Ilmu Pendidikan Islam II, (Bandung: Pustaka Setia, 1997), Cet. I, hlm. 9. 9 Ibid., hlm. 14. 10 Ibid., hlm. 82.
B.     Penegasan Istilah
1.        Akal  
Kata akal yang sudah menjadi kata Indonesia itu berasal dari bahasa Arab al-‘aql. Artinya pikiran atau intelek.11 Dalam bahasa Indonesia perkataan akal menjadi kata majemuk akal pikiran.12 Jadi, kedudukan akal dalam Al-Qur'an, yang dimaksud adalah tempat akal dalam Al-Qur'an. Dengan mengetahui kedudukannya, dapat pula diketahui peranannya dalam kurikulum Pendidikan Agama Islam. Kedudukan dan peranan adalah dua hal yang tidak mungkin diceraipisahkan, karena peranan adalah aspek dinamis kedudukan. Karena kedudukannya, misalnya, orang dapat berperan, bertindak melalui sesuatu.13
2.        Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam  
Istilah kurikulum digunakan pertama kali pada dunia olahraga pada zaman Yunani kuno yang berasal dari kata curir dan curere, yang pada waktu itu kurikulum diartikan sebagai jarak yang harus ditempuh oleh seorang pelari. Orang mengistilahkannya dengan tempat berpacu atau tempat berlari dari mulai start sampai finish. Selanjutnya istilah kurikulum digunakan dalam dunia pendidikan. Para ahli pendidikan memiliki penafsiran yang berbeda-beda tentang kurikulum. Namun demikian, dalam penafsiran yang berbeda itu, ada juga kesamaannya. Kesamaan tersebut adalah, bahwa kurikulum berhubungan erat dengan usaha mengembangkan peserta didik sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai.14 Pendidikan Agama Islam adalah pendidikan tentang ajaran-ajaran agama Islam dan merupakan salah satu mata pelajaran yang diajarkan di 11 Daya atau proses pikiran yang lebih tinggi berkenaan dengan ilmu pengetahuan. 12 Muhammad Daud Ali, op.cit., hlm. 384. 13 Ibid., hlm. 384-385. 14 Wina Sanjaya, Kajian Kurikulum dan Pembelajaran, (Bandung: Sekolah Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia, 2007), hlm. 2-3. setiap lembaga pendidikan, baik pendidikan dasar, menengah, maupun sekolah menengah umum negeri maupun swasta. Jadi, implementasinya dalam kurikulum Pendidikan Agama Islam adalah suatu proses, suatu aktifitas yang digunakan untuk mentransfer ide/gagasan, program, atau harapan-harapan yang dituangkan dalam bentuk kurikulum disain (tertulis) yang sesuai dengan ajaran Islam agar dilaksanakan sesuai dengan disain tersebut.15

C.    Rumusan Masalah
Penjelasan tentang akal merupakan bagian yang mendasar dan penting dalam dunia pendidikan khususnya terhadap kurikulum. Maka dari itu peneliti termotivasi untuk mengkajinya. Oleh karena itu, dalam penelitian ini difokuskan pada pokok permasalahan sebagai berikut:
1.      Bagaimana kedudukan akal dalam Al-Qur'an?
2.      Bagaimanakah implementasi kedudukan akal dalam pengembangan kurikulum Pendidikan Agama Islam?
D.    Tujuan dan Manfaat Penelitian
1.      Tujuan Penelitian skripsi
Berdasarkan rumusan masalah tersebut di atas, maka tujuan yang hendak dicapai dalam penulisan skripsi ini adalah:
a. Untuk mengetahui kedudukan akal dalam Al-Qur'an.
b. Untuk mengetahui implementasi kedudukan akal dalam pengembangan kurikulum Pendidikan Agama Islam.
2.      Manfaat Penulisan skripsi
Nilai guna yang dapat diambil dari pemahaman skripsi ini adalah sebagai berikut: a. Dengan mengetahui kedudukan akal dalam Al-Qur'an maka dapat memberikan pemahaman yang lebih luas tahun dunia pendidikan 15 Syafruddin Nurdin, Guru Profesional dan Implementasi Kurikulum,(Jakarta: Ciputat Press, 2002), Cet. 7, hlm. 73. khususnya kurikulum Pendidikan Agama Islam. Bahwa sebenarnya akal kita sangat berperan dan berpotensi terhadap kurikulum tersebut. Dengan pengetahuan kedudukan tersebut maka kurikulum akan berkembang dan sesuai dengan zaman sehingga proses pendidikan akan berjalan dengan baik.
b. Bagi penulis, dengan meneliti kedudukan akal dalam Al-Qur'an, maka akan dapat menambah wawasan pemahaman yang lebih komprehensif sehingga diupayakan dapat terealisasi dalam kehidupan.
c. Hasil dari pengkajian dan pemahaman masalah di atas, sedikit banyak diharapkan dapat membantu usaha penghayatan dan pengamalan terhadap isi dan kandungan Al-Qur'an.
d. Penelitian ini sebagai kajian dari usaha untuk menambah khasanah ilmu pengetahuan di Fakultas Tarbiyah umumnya dan jurusan PAI khususnya.

E.     Telaah Pustaka
Dalam rangka mewujudkan penulisan skripsi yang profesional dan mencapai target yang maksimal, penulis memaparkan beberapa buku dan skripsi sebagai rujukan. Hal ini dilakukan untuk menghindari kesamaan obyek dalam penelitian.
1.        Yusuf Qardhawi dalam Al-Qur'an Berbicara tentang Akal dan Ilmu Pengetahuan, menjelaskan bahwa keberadaan Al-Qur’an sebagai petunjuk hidup bagi umat Islam tidak berarti menafikan pesan akal sebagai sarana olah fikir dan pertimbangan bagi manusia dalam menjalani hidup kesehariannya. Malah lebih jauh dari itu, Al-Qur’an justru memberikan bimbingan kepada akal manusia untuk senantiasa beristiqamah berjalan dalam hukum dan ketentuan yang telah ditetapkan bagi seluruh makhluk- Nya.16
2.        Mohammad Hilal dalam skripsinya yang berjudul Manusia dalam Semantik Al-Qur'an dan Implikasinya terhadap Tujuan Pendidikan Islam, 16 Yusuf Qardhawi, Al-Aqlu wal Ilmu Fil Qur’anil Karim, op.cit., hlm. ii. menjelaskan bahwa dalam rangka mewujudkan optimalisasi potensi manusia, maka kegiatan pendidikan harus dimaknai sebagai upaya untuk membantu manusia mencapai realitas diri dengan mengoptimalkan semua potensi kemanusiaannya tanpa memandang tempat dan waktu. Pembentukan totalitas anak menjadi manusia sempurna tersebut, baik dari aspek fisik biologis (jismiyah), psikis psikologis (nafsiyah), dan spiritual transendental (ruhaniyah).17
3.        Shofi Inayah dengan judul skripsinya, Makna Qalam dalam Al-Qur'an dan Implementasinya dalam Pendidikan Islam, menjelaskan bahwa dalam pendidikan membutuhkan adanya media pembelajaran yang berfungsi sebagai penunjang kesuksesan dalam kegiatan belajar mengajar, di sini qalam diartikan bukan hanya sebatas pena namun diperluas menjadi alat atau media yang difungsikan dalam proses belajar mengajar. Dengan media ini siswa dapat belajar dengan penuh motivasi dan mendapatkan hasil yang maksimal.18
4.       Achmad Furqon dalam skripsinya yang berjudul Kajian Surat Ar-rahman Ayat 1-4 Perspektif Pendidikan Islam menjelaskan bahwa unsur-unsur pendidikan yang tersirat dalam surat Ar-Rahman ayat 1-4 antara lain: Allah SWT sebagai subyek didik (pendidik utama). Kedua, al-insan adalah subyek dan sekaligus obyek didik (peserta didik). Ketiga, Al- Qur'an adalah materi pendidikan Islam yang darinya dapat digali berbagai macam isi pendidikan yang kemudian dikembangkan menjadi ilmu pengetahuan yang bermanfaat. Keempat, al-bayan adalah metode sekaligus alat pendidikan atau alat untuk mentransformasikan ilmu pengetahuan kepada manusia.19 17 Mohammad Hilal, “Manusia dalam Semantik Al-Qur'an dan Implikasinya terhadap Tujuan Pendidikan Islam”, Skripsi, (Semarang: Perpustakaan Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo, 2006), t.d. 18 Shofi Inayah, “Makna Qalam dalam Al-Qur'an dan Implementasinya dalam Pendidikan Islam”, Skripsi, (Semarang: Perpustakaan Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo, 2006), t.d. 19 Achmad Furqon, “Kajian Surat Ar-Rahman Ayat 1-4 Perspektif Pendidikan Islam”, Skripsi, (Semarang: Perpustakaan Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo, 2009), t.d.
5.        
F.      Metode Penelitian
Merujuk pada kajian di atas, penulis menggunakan beberapa metode yang relevan untuk mendukung dalam pengumpulan dan penganalisaan data yang dibutuhkan dalam penulisan skripsi. Adapun skripsi ini menggunakan metode sebagai berikut:
1.      Jenis Penelitian Penelitian ini bersifat kualitatif, karena menekankan pada penelitian yang berupaya untuk menelusuri dan mencari teks yang berkaitan dengan akal dalam kurikulum Pendidikan Agama Islam yang membahas pada masalah tersebut.
2.      Metode Pengumpulan Data Dalam penulisan skripsi ini penulis menggunakan sumber utama berupa ayat-ayat Al-Qur'an yang berkaitan secara langsung maupun tidak langsung dengan permasalahan yang menjadi pokok bahasan dalam skripsi ini. Selanjutnya untuk memberi penjelasan-penjelasan atas penafsiranpenafsiran tentang ayat-ayat Al-Qur'an tersebut penulis menggunakan studi pustaka (library research) atau suatu penelitian kepustakaan.20 Di mana pengumpulan data ini meliputi: 
a.       Sumber Primer  
Sumber primer merupakan sumber pokok diperoleh melalui Al- Qur'an, yaitu Al-Qur'an dan terjemahannya, tafsir Al-Qur'an meliputi Tafsir Al-Misbah karya M. Quraish Shihab, Tafsir An-Nuur karya Hasbi Ash-Shiddieqy, Tafsir Fizhilalil Qur’an karya Sayyid Quthb, Tafsir Al-Maraghi karya Ahmad Musthafa Al-Maraghi, dan didukung oleh buku-buku yang berkaitan dan relevan dengan permasalahan skripsi ini.  
b.       Sumber Sekunder 
Merupakan sumber penunjang yang dijadikan alat bantu untuk menganalisa terhadap masalah yang telah ditetapkan atau yang dikaji. 20 Sutrisno Hadi, Metodologi Research I, (Yogyakarta: Andi Offset, 1995), hlm. 5.
3.       Metode Analisis Data 
Melihat permasalahan dan tujuan penelitian di atas, penelitian ini termasuk penelitian kualitatif. Dengan demikian analisis yang digunakan adalah analisis kualitatif dengan menggunakan metode tafsir tahlili. Metode tahlili ialah menafsirkan ayat-ayat Al-Qur'an dengan memaparkan segala aspek yang terkandung di dalam ayat-ayat yang ditafsirkan itu serta menerangkan makna-makna yang tercakup di dalamnya sesuai dengan keahlian dan kecenderungan mufasir yang menafsirkan ayat-ayat tersebut. Dalam metode ini, biasanya mufasir menguraikan makna yang dikandung oleh Al-Qur’an ayat demi ayat dan surat demi surat sesuai dengan urutannya di dalam mushaf. Uraian tersebut menyangkut berbagai aspek yang dikandung ayat yang ditafsirkan seperti pengertian, kosakata, konotasi kalimatnya, latar belakang turun ayat, kaitannya dengan ayat-ayat yang lain, baik sebelum maupun sesudahnya (munasabah), dan tidak ketinggalan pendapat-pendapat yang telah diberikan berkenaan dengan tafsiran ayat-ayat tersebut, baik yang disampaikan oleh Nabi, sahabat, para tabi’in maupun ahli tafsir lainnya.21 Dalam hal ini penulis akan membahas dan menganalisis ayat-ayat yang berhubungan dengan kedudukan akal yaitu surat Al-Ankabut: 63, Saba’: 46, Az-Zumar: 9, dan Ali Imran: 7. Selanjutnya penulis akan menguraikan makna akal dan kata-kata lain yang berhubungan dengan akal, misalnya yatafakkarun, yatadzakkarun, dan ulul albab. Setelah katakata tersebut diuraikan penulis selanjutnya menghubungkan atau mengimplementasikan ke dalam pengembangan kurikulum PAI. 21 Nashruddin Baidan, op.cit., hlm. 31.
 


BAB II
KEDUDUKAN AKAL DALAM AL-QUR’AN

G. Pengertian Akal  
Para ahli mengartikan akal dengan 3 makna. Makna pertama, akal bermakna akal itu sendiri, tanpa ada makan lain. Makna kedua dan ketiga, akal diartikan sebagai kata benda (isim) yang bisa digunakan oleh orang Arab. Dari kata benda itu muncul penggunaan kata akal dalam bentuk kata kerja (fi’il). Dalam Al-Qur'an, Allah SWT juga menggunakan kedua makna tersebut. Para ahlipun menamakan dua makna tersebut sebagai akal. Makna dan hakikat akal tidak lain adalah naluri yang dianugerahkan Allah SWT kepada mayoritas makhluk-Nya (manusia). Para hamba tidak bisa mengetahui naluri mereka satu sama lain. Mereka bahkan juga tidak dapat mengetahui nalurinya sendiri, baik dengan cara melihat maupun merasakan. Namun, Allah SWT mengenal mereka dengan perantara akal. Karena akal itulah, mereka mengenal Allah SWT. Mereka dapat menyaksikan Allah SWT dengan akal. Mereka juga mengenal diri mereka dengan akal. Lantaran akal pula mereka dapat mengetahui sesuatu yang bermanfaat dan membahayakan dirinya.22 Mengenai akal, sesungguhnya tidak jelas sejak kapan menjadi kosakata  ahasa Indonesia. Yang jelas ia diambil dari bahasa Arab 􀏞􀏘􀏌􀏟􀎍 Al-‘aql atau 􀏞􀏘􀏋aqala. kata ‘aql sendiri sudah digunakan oleh orang Arab sebelum datangnya agama.23 Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), mengartikan akal dengan 4 pengertian: 1) daya pikir (untuk mengerti), pikiran, ingatan, (2) jalan atau cara 22 Magdy Shehab, dkk, Al-I’jaz Al-Ilmi fi Al-Qur'an wa al Sunah, (terj. Penerjemah: Syarif Made Masyah, dkk), Ensiklopedia Mu’jizat Al-Qur'an dan Hadits, (Bekasi: PT. Sapta Santosa, 2008), Cet. I, Jilid 2, hlm. 165. 23 Taufik Pasiak, Revolusi IQ/EQ/SQ: Menyingkap Rahasia Kecerdasan Berdasarkan Al- Qur'an dan Neurosains Mutakhir, (Bandung: PT. Mizan 2008), Cet. I, hlm. 257. melakukan sesuatu, daya upaya, ikhtiar, (3) tipu daya muslihat, kecerdikan, kelicikan dan (4) kemampuan melihat atau cara-cara memahami lingkungan.24 Kamus bahasa Arab, mengartikan akal (secara harfiah) sebagai pengertian al-imsak (menahan),25 al-ribath (ikatan), al-hijr (menahan), alnahy (melarang dan al-man’u (mencegah).26 Ibn Manzhur, misalnya mengartikan al’aql dengan 6 macam, (1) akal pikiran, inteligensi, (2) menahan, (3) mencegah, (4) membedakan, (5) lambang pengikat dan, (6) ganti rugi. Akal juga sering dinamakan dengan (􀎮􀎠􀎤􀏟􀎍) al-hijr (menahan atau mengikat). Sehingga seorang yang berakal adalah orang yang dapat menahan diri dan mengekang hawa nafsunya. Kata-kata Hamka seorang ulamasastrawan Indonesia mewakili pengertian itu. Mengikat binatang dengan tali, mengikat manusia dengan akalnya.

H. Pengertian Kedudukan Akal dalam Al-Qur'an
Para sufi memahami kedudukan akal dalam konteks “mengikat” “melekatkan” dan “membatasi”. Pilihan makna ini berkaitan dengan penciptaan alam semesta oleh Tuhan. Tuhan dianggap tidak terbatas, tidak terjangkau. Namun, ketika ia bertajalli, setiap ciptaan-Nya senantiasa terbatas. Ciptaan ini “mengikat” dimensi Tuhan yang tidak terbatas itu. Jadi, akal cenderung berkaitan dengan segala ciptaan Tuhan, bukan Tuhan sendiri, yang Maha Luas itu.27 Kedudukan akal dalam Al-Qur'an, yang dimaksud adalah tempat akal dalam Al-Qur'an. Dengan mengetahui kedudukannya, dapat pula diketahui peranannya dalam kurikulum Pendidikan Agama Islam. Kedudukan dan peranan adalah dua hal yang tidak mungkin diceraipisahkan, karena peranan 24 Depdiknas, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2005), Cet. 3, Ed. 3, hlm. 18. 25 Luwis Ma’luf, Al-Munjid fi Al-Lughat wa Al-A’lam, (Beirut: Dar al-Masyriqi, 2007), hlm. 520. Lihat juga, Ahmad Warson Munawir, Al-Munawwir Kamus Arab Indonesia, (Yogyakarta: Al-Munawir, 1984), hlm. 1027. 26 Atabik Ali dan A. Zuhdi Mudlor, Kamus Al-Ashri Arab Indonesia, (Yogyakarta: Multi Karya Grafika, 2003), hlm. 1307-1308. 27 Taufik Pasiak, op.cit., hlm. 257-259. adalah aspek dinamis kedudukan. Karena kedudukannya, misalnya, orang dapat berperan, bertindak melalui sesuatu.28 Terdapat 7 sinonim untuk kata akal : (1) 􀎮􀋷􀎑􀎩 dabbara (merenungkan), (2) 􀏪􀏘􀏓 faqiha (mengerti), (3) 􀏢􀏬􀏓 fahima (menahan), (4) 􀎮􀏈􀏧 nazhara (melihat dengan mata kepala), 5) 􀎮􀏛􀎫 dzakara (mengingat), 6) 􀎮􀋷􀏜􀏓 fakkara (berpikir secara dalam), dan 7) 􀏢􀏠􀏋 alima (menahan dengan jelas). Selain tujuh kata itu, masih ada kata-kata yang dari segi fungsi yang ditunjukkannya memiliki kemiripan dengan kata akal, yang paling mendekati adalah kata 􀎐􀏠􀏘􀏟􀎍 al-qolb.29

I.                   Akal dalam Perspektif Al-Qur'an

Al-Qur'an mendorong umat Islam agar menggiatkan penggunaan akal. Dan berkaitan dengan hal itu, maka dapat kita lihat demikian banyaknya Allah menyebut beberapa kata yang berkait dengan pentingnya akal, yaitu disebutkannya kata al-aqlu sebanyak 50 kali,30 kata ulul albab (cerdik cendekia) sebanyak 16 kali, kata ulin nuha (ahli ilmu) sebanyak dua kali dan masih banyak yang lain, seperti ulil abshor (pengamat ahli) dan kata-kata lainnya.31 Al-Qur'an berulang-ulang menggerakkan dan mendorong perhatian manusia dengan bermacam cara, supaya manusia mempergunakan akalnya. Ada secara tegas, perintah mempergunakan akal dan ada pula berupa pertanyaan, mengapa seseorang tidak mempergunakan akalnya. Selanjutnya 28 Muhammad Daud Ali, Pendidikan Agama Islam, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1998), Cet. V, hlm. 384-385. 29 Ibid., hlm. 276. 30 Di referensi lain penulis menemukan bahwa kata akal berjumlah 49 kali. Secara rinci ke-49 ayat tersebut antara lain 􀏩􀏮􀏠􀏘􀏋 terdapat pada QS. (Al-Baqarah: 75), 􀏥􀏮􀏠􀏘􀏌􀏳 (Al-Baqarah: 164), (Ar-Ra’d: 4), (An-Nahl: 12), (Ar-Rum: 24), (Al-Baqarah: 170 dan 171), (Al-Ma’idah: 61 dan 106), (Al-Ankabut: 63), (Al-Hujurat: 4), (Al-Anfal: 2), (Yunus: 42 dan 100), (An-Nahl: 67), (Al-Hajj: 46), (Al-Furqon: 44), (Al-Ankabut: 353), (Ar-Rum: 28), (Yasin: 28), (Az-Zumar: 43), (Al-Jasiyah: 4), (Al-Hasyr: 14); 􀏥􀏮􀏠􀏘􀏌􀎗 (Al-Baqarah: 44 dan 76), (Ali Imron: 65), (Al-An’am: 32), (Al-A’raf: 168), (Yunus: 16), (Hud: 51), (Yusuf: 109), (Al-Anbiya: 10 dan 67), (AL-Mu’minun: 81), (Al- Qasas: 60), (Shad: 138), (Al-Baqarah: 73 dan 242), (Ali Imran: 118), (As-Syu’ara: 28), (Al- An’am: 151), (Yusuf: 2), (Az-Zukhruf: 3), (An-Nur, 61), (Al-Hadid: 17), (Yasin: 62), (Al- Mu’min: 67); 􀏞􀏘􀏌􀏧 (Al-Mulk: 10), (Al-Ankabut: 43). Lihat, Ahmad Ibnu Hasan, Fathu al-Rohman Li Tolib al-Ayat al-Qur’an, (Jakarta: Dar al-Hikmah, t.t), hlm. 306. 31 Imam Muchlas, Al-Qur'an Berbicara (Kajian Kontekstual Beragam Persoalan), (Surabaya: Pustaka Progressif, 1996), Cet. I, hlm. 120. diterangkan pula bahwa segala benda di langit dan di bumi menjadi bukti kebenaran tentang kekuasaan, kemurahan dan kebijaksanaan Tuhan, hanya oleh kaum yang mempergunakan akalnya. Disuruhnya manusia mengadakan perjalanan, supaya akal dan pikirannya tumbuh dan berkembang. Timbulnya perpecahan antara satu golongan selamanya, disebutkan karena mereka  tiada mempergunakan akalnya. Selanjutnya penyesalan di hari kemudian disebabkan karena tidak mempergunakan akal. Supaya akal itu dapat tumbuh dan berkembang dengan cepat, perlu diberi ilmu pengetahuan, sehingga berpikir lebih tepat dan mendasar kenyataan, tidak menerawang langit dan tidak ngawur. Akal yang berisi pengetahuan, dapat mengetahui bagaimana alam ini diciptakan Tuhan dengan serba teratur, menyebabkan tumbuhnya kepercayaan bahwa Tuhan itu Maha kuasa dan Maha bijaksana. Orang yang mempergunakan akalnya suka bersatu dan selalu menjaga persatuan, karena persatuan itu pokok kekuatan.32 Penggunaan akal untuk berpikir akan mengantarkan individu dan masyarakat menjadi pribadi atau masyarakat yang unggul.33 Kata ‘aql (akal) yang mula-mula hanya berhubungan dengan kecerdasan praktis dan berguna untuk “mengikat” atau “menahan” memperoleh pemadatan makna dalam Al-Quran. Kata ini disebut 49 kali dalam 28 surah: 31 kali dalam 19 surah yang diturunkan di Makkah tempat kehidupan kaum Muslim berada dalam suasana kaotis, dan 18 kali dalam 9 surah yang diturunkan di Madinah ketika struktur kehidupan kebudayaan kaum Muslim boleh dikatakan sudah mapan. Akal sangat padat maknanya dalam Al-Quran, dan digunakan secara luas oleh para pemikir Muslim. Dalam perbendaharaan kata orang Islam, kata itu sangat tinggi kedudukannya. Berfungsinya akal memiliki signifikansi ibadah. Sehingga, orang gila (yang dianggap “kehilangan” akal) akan dianggap tidak laik beribadah. lbadahnya itu tidak berguna sama sekali karena 32 Fachruddin, Ensiklopedia Al-Qur'an, Jilid I, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1998), Cet. II, hlm. 73-74. 33 H. Fuad Nashori, Potensi-Potensi Manusia Seri Psikologi Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), Cet. 2, hlm. 120. tidak dilakukan dengan kesadaran. Dari segi ibadah, ia akan berhubungan erat dengan kesadaran. Dengan menelusuri bagaimana kata itu dipakai, akan dapat dipahami weltanschauung atau “pandangan-dunia” masyarakat yang menggunakan bahasa itu, tidak hanya sebagai alat berpikir atau berbicara, tetapi yang lebih penting lagi, pengonsepan dan penafsiran terhadap dunia sekitarnya. “Dengan analisis semantik,” kata Izutsu,“ akan dipahami pandangan masyarakat terhadap kenyataan yang ditunjukkan oleh kata itu.”34 Ada tiga fungsi yang diperankan oleh otak dan membuatnya berbeda dengan yang lain, yaitu: 1) fungsi emosi (kecerdasan emosi (EQ), 2) fungsi rasional (IQ), dan 3) fungsi spiritual (rohani dan religius) yang biasa kita kenal dengan kecerdasan SQ.35 Beberapa cara kerja otak kiri antara lain kegiatan analisis dan faktual36 juga kognitif, rasional serta logis. Sedangkan otak kanan bekerja secara afektif, emosional, kualitatif dan spirit. Otak kecil (cerebellum) sebagai jembatan antara otak belakang dan saraf tulang belakang. Otak ini berperan untuk pernapasan dan koordinasi gerakan tubuh37 juga merekam
seluruh kejadian yang dialami manusia.
J. Ayat-ayat akal dalam Al-Qur'an
Kata dasar al-’aql tidak terdapat dalam Al-Quran. Ia dipakai sebagai
kata kerja 􀏞􀏌􀏓 dalam 49 kali penyebutan: 1 kali dalam bentuk lampau (past
tense, (􀎽􀎎􀏣􀀃 􀏞􀏌􀏓 ) dan 48 kali dalam bentuk sekarang (present tense).
Penyebutannya meliputi: ‘aqlah (1 kali); 􀏥􀏮􀏠􀏘􀏌􀎗 ta’qilun (24 kali); 􀏞􀏘􀏌􀏧 na’qilu
(1 kali); 􀎎􀏬􀏠􀏘􀏌􀏳 ya’qiluha (1 kali); dan 􀏥􀏮􀏠􀏘􀏌􀏳 ya’qilun (22 kali).38
No Penyebutan Jumlah
1 􀎔􀏠􀏘􀏋 .086 Tw11
2 􀏥􀏮􀏠􀏘􀏌􀎗 24
34 Taufik Pasiak, op.cit., hlm. 271-273.
35 Ibid., 364.
36 Ibid., hlm. 161.
37 Ibid., hlm. 101.
38 Ibid., hlm. 273.
3 􀏞􀏘􀏌􀏧 1
4 􀎎􀏬􀏠􀏘􀏌􀏳 1
5 􀏥􀏮􀏠􀏘􀏌􀏳 22
Jumlah 49
1. Istilah 􀏥􀏮􀏠􀏘􀏌􀏳 dalam QS. Al-Ankabut [29]: 63)
a. Redaksi Ayat
£`ä9qà)us9 $ygÏ?öqtB Ï÷èt/ .`ÏB uÚöF{$# ÏmÎ/ $uŠômr'sù [ä!$tB Ïä!$yJ¡¡9$# šÆÏB tA¨¯R `¨B OßgtFø9r'yûÍ.s!ur
ÇÏÌÈ tbqè=É)÷ètƒ Ÿw óOèdçŽsYò2r& ö@t/ 4 ¬! ßôJysø9$# È@è% 4 ª!$#
Dan Sesungguhnya jika kamu menanyakan kepada mereka39:
"Siapakah yang menurunkan air dari langit lalu menghidupkan dengan
air itu bumi sesudah matinya?" tentu mereka akan menjawab: "Allah",
Katakanlah: "Segala puji bagi Allah", tetapi kebanyakan mereka tidak
memahami(nya). (QS. Al-Ankabut [29]: 63).40
b. Arti Kosakata
OßgtFø9r'y: kamu menanyakan kepada mereka
tA¨¯R `¨B : Siapakah yang menurunkan
óOèdçŽsYò2r& ö@t/ : tetapi kebanyakan mereka
tbqè=É)÷ètƒ Ÿw : tidak memahami, mengerti41
39 Ada macam manusia tertentu yang mengerti tentang kekuasaan Allah, namun dalam
pikiran dan ibadahnya ia tetap sesat. Ada lagi manusia yang mendapat kemurahan Allah yang
sudah jelas berupa hujan dan alam. Ia tahu adanya perubahan-perubahan setiap hari dan setiap
musim yang sudah berlangsung selama berabad-abad sebagai bukti kemurahan Allah dalam
memberikan kehidupan (jasmani dan rohani) dan menghidupkan kita kembali setelah kita nampak
seperti mati: tetapi ia tidak dapat menarik kesimpulan yang benar dan membuat hidupnya sendiri
benar dan indah hingga demikian bila masa percobaannya itu berakhir ia dapat masuk dalam
haknya yang abadi. Karena sudah begitu jauh ia melangkah pada tingkat yang sangat menentukan
ia gagal. Pada tingkat itu seharusnya ia sudah mengingat dan mengagungkan Allah dan menerima
karunia dan cahaya-Nya, tapi dengan gagalnya mendapat faedah dari segala pemberian Allah itu,
membuktikan pengertiannya yang sebenarnya masih kurang. (Lihat Abdullah Yusuf Ali, The Holy
Qur’an Text, Translation and Commentary, (Penerjemah: Ali Audah) Qur’an dan Terjemah
Tafsirnya Juz 1 s/d XV, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1993), Cet. I, hlm. 123.
40 Depag RI, Al-Qur'an dan Terjemahan, Juz 1-30, (Semarang: PT. Karya Toha Putra
1995), hlm. 637.
41 Ahmad Musthafa Al-Maraghi, Terjemah Tafsir Al-Maraghi Juz 3, Penerjemah: Drs. M.
Thalib, Bandung: CV. Rosda, 1989 Cet. I, hlm. 32.
c. Asbabun Nuzul
Diriwayatkan oleh Ibnu Abbas, bahwa ketika Nabi melihat para
mukmin disakiti oleh orang-orang Quraisy yang musyrik di Mekkah,
beliau bersabda: “Pergilah kamu ke Madinah, berhijrah ke sana.
Janganlah kamu duduk sekampung dengan orang-orang yang dzalim
itu”. Para sahabat menjawab: “Kami tidak mempunyai rumah, kebun
dan ladang serta tidak mempunyai orang yang memberi makan dan
minum kepada kami di sana”42
d. Munasabah
Adapun munasabah ayat ini dengan ayat sebelumnya yaitu
berbicara tentang bimbingan kepada kaum muslimin yang mendapat
perlakuan aniaya dari kaum musyrikin. Kini ayat di atas kembali
berbicara kaum musyrikin yang antara lain juga dinyatakan pada ayat
50 yang lalu.43
e. Penjelasan Ayat
Lafal (􀏥􀏮􀏠􀏘􀏌􀏳) ya’qiluna terambil dari kata (􀏞􀏘􀏋) yang pada
mulanya berarti menjelas. Kata (􀏝􀎎􀏘􀏋) aqal berarti tali: yaitu sesuatu
yang digunakan untuk mengikat. Dari sini potensi manusia yang
menjadikannya dapat memahami sekaligus membedakan antara yang
baik dan yang buruk, serta “mengikat” dan menghalanginya terjerumus
dalam kesesatan dan keburukan dinamai “akal”. karena itu akal dalam
pengertian Al-Qur'an tidak terbatas pada daya pikir semata-mata, tetapi
juga daya kalbu.44
Inventarisasi ayat-ayat Al-Quran yang memakal kata akal dapat
diklasifikasikan dalam 3 bagian: (1) teologis, yang bersangkut paut
dengan keimanan, (2) kosmologis, menyangkut pemahaman dan
42 Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Tafsir Al-Qur'an Majid An-Nur Jilid 4
(Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2000), Cet. II, Ed. II, hlm. 3152.
43 M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah, Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur'an, vol.
10, (Jakarta: Lentera Hati, 2005), Cet. III, hlm. 533.
44 M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah, Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur'an, Vol
10, (Jakarta: Lentera Hati, 2000), Cet. IX, hlm. 536.
keberadaan alam semesta, baik makro maupun mikro, dan (3)
moralitas, terutama me- nyangkut etika pribadi dan etika sosial.
Jumlah
Ayat
Sub Topik Klasifikasi
14 Keimanan
3 Kehidupan akhirat
5 Kitab suci
1 Sholat
Teologis
7 Dinamika manusia
6 Tanda kebesaran Tuhan
12 Alam semesta
Kosmologis
1 Etika pribadi/sosial Moralitas
2. Istilah 􀏥􀏭􀎮􀏜􀏔􀎘􀏳 dalam QS. Saba’ 46
Kata ‘pikir” dan ‘pakar” dalam bahasa Indonesia diambil dan
bahasa Arab fikr yang dalam Al-Qur’an menggunakan istilah fakkara dan
tafakkarun. Kata ‘fikr” menurut Quraish Shihab diambil dari kata fark
yang dalam bentuk faraka dapat berarti: (1) mengorek sehingga apa yang
dikorek itu muncul, (2) menumbuk sampai hancur, dan (3) menyikat
(pakaian) sehingga kotorannya hilang. Baik kata “fikr” maupun “fark
memiliki makna yang serupa. Bedanya, “fikr” digunakan untuk hal-hal
yang abstrak, sedangkan “fark” digunakan untuk hal-hal yang konkret.
Larangan berpikir tentang Tuhan adalah sebuah contoh tentang objek
fikr”. Tuhan memang tidak dapat tergambar dalam pikiran seseorang
sehingga sangat sukar untuk diketahui.
Dengan pemusatan pikiran pada saat bertafakur ini mirip meditasi
dalam tradisi Hindu memudahkan seseorang untuk memahami gejala di
sekitarnya. Di samping ia memperoleh kenikmatan tersendiri dan kegiatan
tersebut, bertafakur memberikan dua akibat: (1) refleksi (permenungan)
yang menumbuhkan kesadaran-kesadaran spiritual bagi yang
melakukannya dan mengarah pada pembersihan hati, dan (2) relaksasi
yang memberi kenikmatan secara ragawi bagi yang melakukannya.
Dengan bertafakur, dapat dipahami hubungan erat antara “pikiran” dan
“perasaan”. Demikian halnya hubungan antara fikr dan dzikr. Perasaan itu,
sebagaimana dibuktikan melalui penelitian amigdala di otak, ternyata
harus juga memiliki pikirannya sendiri. Inti Kecerdasan Emosi(EQ), yang
antara lain dapat disuburkan melalui tafakur, adalah bagaimana pikiran itu
mengontrol emosi. Bagaimana kulit otak (pusat dan intelektualitas
manusia) menata amigdala (pusat emosi manusia). 45
a. Redaksi Ayat
$tB 4 (#rã¤6xÿtGs? ¢OèO 3yŠºtèùur 4Óo ÷WtB ¬! (#qãBqà)s? br& ( >oyÏmºuqÎ/ Nä3ÝàÏãr& !$yJ¯RÎ) ö@è% *
ÇÍÏÈ 7ƒÏx© 5>#xtã ôytƒ tû÷üt/ Nä3©9 ÖƒÉtR žwÎ) uqèd ÷bÎ) 4 >p¨ZÅ_ `B /ä3Î6Ïm$|ÁÎ/
Katakanlah: "Sesungguhnya aku hendak memperingatkan kepadamu
suatu hal saja, Yaitu supaya kamu menghadap Allah (dengan ikhlas)
berdua- dua atau sendiri-sendiri; kemudian kamu fikirkan (tentang
Muhammad) tidak ada penyakit gila46 sedikitpun pada kawanmu itu.
Dia tidak lain hanyalah pemberi peringatan bagi kamu sebelum
(menghadapi) azab yang keras (QS. Saba’: 46).47
b. Arti Kosakata
Nä3ÝàÏãr& : aku hendak memperingatkan kepadamu
(#qãBqà)s? br& : kamu menghadap
4Óo ÷WtB : berdua-dua
yŠºtèù : sendiri-sendiri
#rã¤6xÿtGs? kamu fikirkan48
45 Taufik Pasiak, op.cit., hlm. 280-283.
46 Coba kita perhatikan ayat 46, 47, 48, 49 dan 50. semua dalil itu dianjurkan kepada Nabi
yang dengan itu pula ia dapat meyakinkan orang yang berpikir sehat, mengenai kesungguhan dan
kejujurannya. Dalilnya disini ialah bahwa dia tidak kesurupan atau gila, kalaupun dia berbeda dari
manusia biasa hanya karena dia memberi peringatan mengenai bahaya dalam arti rohani yang
mengerikan kepada orang-orang yang dicintainya, namun mereka tidak juga dapat menangkap
ajarannya.
47 Depag RI, op.cit., hlm. 691.
48 Ahmad Musthafa Al-Maraghi, Terjemah Tafsir Al-Maraghi Juz 22, Penerjemah:
Bahrun Abu Bakar Lc., (Semarang: CV. Toha Putra, 1989), Cet. I, hlm. 153.
c. Asbabun Nuzul
Diriwayatkan bahwa pada suatu hari Nabi Muhammad saw.
Mendaki bukit Shafa dan berseru memanggil suku Quraisy. Ketika
mereka berkumpul Nabi saw. bersabda: “Bagaimana tanggapan kalian
jika aku menyampaikan bahwa ada musuh yang sedang menanti
datangnya pagi atau malam untuk menyerang kamu. Apakah kamu
percaya?” Mereka menjawab: “Kami percaya.” Lalu Nabi saw.
bersabda: “Sesungguhnya aku adalah pemberi peringatan bagi kamu
sebelum datangnya siksa yang pedih.” Mendengar hal ini, Abu Lahab
berkata: “Celakalah engkau! Apakah untuk maksud tersebut engkau
mengumpulkan kami?” Maka turunlah firman Allah: “Tabbat yadâ Abi
Lahab.” (HR. Bukhâri, Muslim, Ibn Hibban dan al-Baihaqi melalui Ibn
‘Abbas).49
d. Munasabah
Ayat ini dan ayat-ayat berikut dimulai dengan kata
qul/katakanlah. Tujuannva adalah menggarisbawahi serta meminta
perhatian mitra bicara menyangkut apa yang disampaikan. Yang
diminta oleh ayat ini hanya satu yaitu berpikir. Bahwa yang ditekankan
hanya satu, untuk mengisyaratkan bahwa apa yang diminta itu
bukanlah sesuatu yang sulit, tetapi setiap orang dapat melakukannva.
Bahwa yang diminta adalah berpikir, menunjukkan betapa berpikir
obyektif dapat mengantar kepada kesimpulan yang benar dan betapa
ajaran Islam sangat mengandalkan akal dalam pembuktian
kebenarannya.50
e. Penjelasan Ayat
Pada ayat ini Allah SWT memerintahkan kepada Muhammad
supaya memperingatkan dan menasehati kaumnya agar jangan cepatcepat
mendustakan kerasulan dan Al Qur’an yang dibawanya.
Sebaiknya mereka itu mempergunakan waktunya untuk menghadap
49 M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur'an, Vol. II,
(Jakarta: Lentera Hati, 2005), Cet. IX, hlm. 407-408.
50 M. Quraish Shihab, loc.cit.
Allah dengan ikhlas, memikirkan dan merenungkan dengan sungguhsungguh
apa yang telah dibawa Muhammad baik sendiri-sendiri
maupun bersama-sama, semoga dengan demikian mereka dapat
mencapai kebenaran yang sebenarnya, menemukan jalan yang lurus
yang diridhai oleh Allah SWT, menginsafi kebenaran yang dibawanya
membuka selubung yang menutup mata mereka sehingga dengan rela
dan penuh keikhlasan mengakui kebenaran apa yang dibawa oleh
Rasulullah saw itu. Mereka dianjurkan berpikir dan merenung di dalam
suasana tenang cukup hanya seorang, atau secara berduaan atau secara
berkelompok, karena biasanya kalau banyak orang berkumpul
beramai-ramai, pikiran sering terganggu, sehingga apa yang dipikirkan
dan direnungkan itu tidak tentu arah tujuannya’ tak dapat mengenal
sasaran dan sampai kepada apa yang dicita-citakan. Allah SWT
menegaskan juga di dalam ayat ini bahwa Muhammad teman mereka
itu bukanlah seorang yang gila tidak ada sedikitpun penyakit gila
padanya dan dia bukan pula seorang pembohong, tetapi Muhammad
itu tiada lain hanyalah seorang pemberi peringatan agar mereka itu
tidak ditimpa azab yang keras akibat keingkaran dan kedurhakaan
mereka terhadap perintah-perintah Allah SWT.
Ayat di atas mendahulukan penyebutan dua-dua/bersama-sama
atas sendiri-sendiri agaknya karena berpikir bersama akan lebih baik
dan menghasilkan kesimpulan yang lebih tepat daripada berpikir
sendiri-sendiri Kendati demikian, berpikir dan merenung sendiri pun
dapat mengantar seseorang mencapai kebenaran.51
Akan tetapi, menurut Ahmad Musthofa al-Maraghi, bahwa
apabila Allah menyuruh mereka berpikir secara terpisah dua orang dua
orang atau seorang-seorang, maka hal itu tak lain dalam kerumunan
orang banyak, maka pikiran akan terganggu sehingga tidak bisa
berpikir lama. Sedang perkataan bercampur dan tidak bisa lagi dengan
sempurna mempertimbangkan sesuatu secara adil. Padahal
51 Ibid., hlm. 409.
sebagaimana dapat disaksikan sehari-hari kegoncangan dan pikiran
yang tidak teratur akan senantiasa terjadi pada kelompok-kelompok
yang banyak ketika terjadi perdebatan dan perselisihan pendapat, suatu
hal yang mendukung kebenaran ayat ini.52
Penjelasan terakhir dalam surat ini dimulai dengan
pembicaraan tentang orang-orang musyrik, ucapan mereka tentang nabi
saw dan tentang Al-Qur'an yang dibawa beliau dan memperingatkan
mereka tentang apa yang telah terjadi dengan orang-orang seperti
mereka sebelumnya, juga memperlihatkan kepada mereka cara
kematian orang-orang zaman lampau yang mengingkari risalah agama,
padahal mereka itu lebih kuat, lebih berpengetahuan dan lebih kaya
dibandingkan orang-orang musyrik itu.
Hal ini dilihat beberapa dentangan yang keras, seakan-akan
palu yang dipukul berulang-ulang. Di awal dentangan Al-Qur'an
mengajak mereka untuk menghadap Allah secara jujur. Kemudian
berpikir tanpa terpengaruh oleh rintangan-rintangan yang menghalangi
mereka dari petunjuk dan berpikir yang benar.53
3. Istilah 􀏥􀏭􀎮􀏛􀎬􀎘􀏳 dalam QS. Az-Zumar: 9
Tadzakkur adalah salah satu tugas akal yang paling tinggi. Dan
dzakirah (Ingatan”) adalah tempat penyimpanan pengetahuan dan
informasi yang diperoleh manusia untuk dipergunakannya pada saat
dibutuhkan. Manusia, menurut Qardhawi, tidak bisa hidup tanpa tadzakkur
dan dzakirah. Entah di dunia, dan di akhirat.
Ada perbedaan penekanan makna antara tafakkur dan tadzakkur.
Untuk memperoleh pengetahuan baru dan segar, tafakur diperlukan.
Sedangkan untuk mengingatnya, supaya tidak lupa dan lalai, tadzakkur
diperlukan. Imam Al-Ghazali mempertegas posisi keduanya, “Setiap orang
52 Ahmad Musthafa Al-Maraghiy, Terjemah Tafsir Al-Maraghi Juz 22, (Penerjemah:
Bahrun Abu Bakar Lc) (Semarang: CV. Toha Putra, 1989), Cet. I, hlm. 158-159.
53 Sayyid Quthb, Fizhilalil Qur’an, (Penerjemah: As’ad Yasin, dkk), Tafsir Fi Zhilahil
Qur’an di Bawah Naungan Al-Qur'an, Jilid 9, (Jakarta: Gema Insani Press 2004), Cet. I, hlm. 329.
yang berpikir adalah ber-tadzakkur. Namun, tidak setiap ber-tadzakkur itu
berpikir.”
Tadzakkur sama dengan menyebut berulang-ulang dalam psikologi
kognitif. Sel-sel saraf ketika seseorang mengingat atau “menyebut
berulang-ulang” senantiasa bertambah dan tidak hilang. Hal ini, terutama
bagaimana proses mengingat terjadi pada sel-sel saraf yang plastis itu,
memiliki dimensi yang luas.
Zikir dapat dilakukan dengan hati (dzikr al-shadr). Bisa pula
dengan lidah saja. Yang penting, dengan itu, seseorang dapat mengingat
Tuhan. Kapan saja, di mana saja. Relevansi cara ni dengan kegiatan
berpikir terletak pada hikmah yang diperoleh. Berpikir yang balk adalah
bila dengan itu seseorang mendapatkan “Zat Maha tinggi” di balik setiap
objek pikiran. Dalam hal ini, kata ayat yang berulang-ulang disebut dalam
Al-Quran memiliki medan makna yang sangat luas. Inilah yang dilukiskan
para ahli hikmah dengan kata-kata: “Bertafakur satu jam lebih baik
daripada beribadah satu tahun”.
Dalam maknanya yang sempit, zikir dimaksudkan Untuk menyebut
nama Allah secara berulang-ulang’. Dalam Al-Quran, Allah berfirman,
(“lngatlah kepada-Ku, niscaya Aku mengingatmu”). Biasanya, zikir
dilakukan usai shalat dengan menyebut frasa-frasa pendek, seperti
astagfirullah, subhanallah, alhamdulillah, la ilâha illaIIâh, Allahu Akbar.
Kegiatan seperti ini, bila dilakukan secara serius, sangat efektif sebagai
pereda ketegangan dan kecemasan.
Penelitian Herbert Benson menunjukkan bahwa kata-kata zikir itu
dapat menjadi salah satu frasa fokus (kata-kata yang menjadi titik
perhatian) dalam proses penyembuhan diri dan kecemasan, ketakutan,
bahkan dan keluhan fisik, seperti sakit kepala, nyeri dada, dan hipertensi.
Frasa fokus itu jika dikombinasikan dengan respons relaksasi dapat
menghambat kerja sistem saraf simpatis yang mengatur kecepatan denyut
jantung, nadi, pernapasan, dan metabolisme. Ia berfungsi seperti obat-obat
Beta Blocker (penghambat reseptor beta) dalam kerja saraf simpatis. Pada
sisi lain, zikir dapat membuat alur gelombang otak berada pada gelombang
alfa ketika seseorang menjadi sangat kreatif dan berdaya renung tinggi.
Perubahan gelombang otak inilah yang terjadi ketika seseorang bertafakur.
a. Redaksi Ayat
ö@è% 3 ¾Ïm/uspuH÷qu(#qã_ötƒur notÅzFy$# âxøts$VJͬ!$s%ur #YÉ`$yÈ@ø©9$# uä!$tR#uä ìMÏs% uqèd ô`¨Br&
ÇÒÈ É=»t7ø9F{$# (#qä9'ré& ã©.xtGtƒ $yJ¯RÎ) 3 tbqßJn=ôètƒ Ÿw tûïÏ%©!$#ur tbqçHs>ôètƒ tûïÏ%©!$# ÈqtGó¡oö@yd
(apakah kamu Hai orang musyrik yang lebih beruntung) ataukah orang
yang beribadat di waktu-waktu malam dengan sujud dan berdiri,
sedang ia takut kepada (azab) akhirat dan mengharapkan rahmat
Tuhannya? Katakanlah: "Adakah sama orang-orang yang mengetahui
dengan orang-orang yang tidak mengetahui?" Sesungguhnya orang
yang berakallah yang dapat menerima pelajaran.54 (QS. Az-Zumar: 39:
9).55
b. Arti Kosakata
ìMÏs% : Orang-orang yang melakukan ketaatan
yang diwajibkan kepadanya.
È@ø©9$# uä!$tR#uä : Saat-saat malam
notÅzFy$# âxøts: Takut kepada azab di akhirat
ã©.xtGtƒ : orang yang berakal56
c. Asbabun Nuzul
Dalam suatu riwayat dikemukakan bahwa yang dimaksud
dengan amman huwa qonit …. (Apakah kamu hai orang musyrik yang
lebih beruntung) ataukah orang yang beribadah….) dalam ayat ini (QS.
39 Az Zumar: 9) ialah Utsman bin Affan yang selalu bangun malam
54 Ayat ini menolak paham orang yang mencela orang yang beribadah lantaran takut
kepada neraka. Dan mengatakan ketinggian orang yang berilmu serta menyatakan bahwa garis
orang alim tidak sekufu dengan orang jahil. Dan ayat ini mengindikasikan bahwa yang dipandang
berilmu ialah orang-orang yang mengamalkan ilmunya. Lihat Teungku Muhammad Hasbi Ash-
Shiddieqy, Al-Bayan Tafsir Penjelas Al-Qur'an Karim, Jilid 2, (Semarang: PT. Pustaka Rizki
Putra, 2002), Cet. I, hlm. 979.
55 Depag RI, op.cit., hlm. 441.
56 Ahmad Musthafa Al-Maraghi, Terjemah Tafsir Al-Maraghi Juz 23, (Penerjemah: Drs.
M. Thalib), (Bandung: CV. Rosda, 1989), Cet. I, hlm. 260.
sujud kepada Allah SWT. Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hakim yang
bersumber dari Ibnu Umar.
Keterangan.
Menurut riwayat Ibnu Sa’id dari Al-Kalbi dari Abu Shalih,
yang bersumber dari Ibnu Abbas, orang yang dimaksud dalam ayat ini
adalah ‘Ammar bin Yasir, dan menurut Juwabir yang bersumber dari
Ibnu Abbas, orang-orang yang dimaksud dalam surat ini adalah Ibnu
Mas’ud, Ammar bin Yasir dan Salim, Maula abu Hudzaifah.
Sedangkan menurut Juwaibir yang bersumber dari Ikrimah orang yang
dimaksud adalah ‘Ammar bin Yasir.57
d. Munasabah
Adapun munasabah surat ini dengan surat sebelumnya bahwa
ayat yang lalu mengecam dan mengancam orang-orang kafir, ayat di
atas menegaskan perbedaan sikap dan ganjaran yang akan mereka
terima dengan sikap dan ganjaran bagi orang-orang beriman.58
e. Penjelasan kandungan ayat
Ayat di atas menggarisbawahi rasa takut hanya pada akhirat,
sedang rahmat tidak dibatasi dengan akhirat, sehingga dapat mencakup
rahmat duniawi dan ukhrawi. Memang seorang mukmin hendaknya
tidak merasa takut menghadapi kehidupan duniawi, karena apapun
yang terjadi selama ia bertakwa maka itu tidak masalah, bahkan dapat
merupakan sebab ketinggian derajatnya di akhirat. Adapun rahmat,
maka tentu saja yang diharapkan adalah rahmat menyeluruh, dunia dan
akhirat.
Takut dan mengharap menjadikan seseorang selalu waspada,
tetapi tidak berputus asa dan dalam saat yang sama tidak yakin.
Keputusasaan mengundang apatisme, sedang keyakinan penuh dapat
mengundang pengabaian persiapan. Seseorang hendaknya selalu
57 Dahlan M. Zakia Al-Farisi, Asbabun Nuzul, Latar Belakang Historis Turunnya ayatayat
Al-Qur'an, (Bandung: CV. Penerbit Diponegoro 2000), Ed. II, hlm. 464.
58 M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah, Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur'an, vol.
12, (Jakarta: Lentera Hati, 2005), Cet. III, hlm. 195.
waspada, sehingga akan selalu meningkatkan ketakwaan, namun tidak
pernah kehilangan optimisme dan sangka baik kepada Allah swt.
Kata (􀏥􀏮􀏤􀏠􀏌􀏳) ya’lamun pada ayat di atas, ada juga ulama yang
memahaminya sebagai kata yang tidak memerlukan objek. Maksudnya
siapa yang memiliki pengetahuan apapun pengetahuan itu pasti tidak
sama dengan yang tidak memilikinya. Hanya saja jika makna ini yang
Anda pilih, maka harus digarisbawahi bahwa ilmu pengetahuan yang
dimaksud adalah pengetahuan yang bermanfaat, yang menjadikan
seseorang mengetahui hakikat sesuatu lalu menyesuaikan diri dan
amalnya dengan pengetahuannya itu.
Kata (􀎮􀏛􀎬􀎘􀏳) yatadzakkaru terambil dan kata (􀎮􀏛􀎫) dzikr yakni
pelajaran/peringatan. Penambahan huruf (􀎕) ta’ pada kata yang
digunakan ayat ini mengisyaratkan banyaknya pelajaran yang dapat
diperoleh oleh Ulul Albab. Ini berarti bahwa selain mereka pun dapat
memperoleh pelajaran, tetapi tidak sebanyak Ulul albab.59 Karena ulul
albab sendiri ialah para pemilik kalbu yang senantiasa sadar, terbuka
dan memahami hakikat yang ada di balik lahiriah. Juga yang
memanfaatkan apa yang dilihat dan diketahuinya, yang ingat kepada
Allah melalui segala sesuatu yang dilihatnya dan disentuhnya. Dia
tidak melupakan-Nya, maka takkan lupa saat kamu menemui-Nya.60
Di akhir ayat ini Allah SWT menyatakan bahwa orang-orang
yang berakallah yang dapat mengambil pelajaran. Baik pelajaran dari
pengalaman hidupnya atau dari tanda-tanda kebesaran Allah yang
terdapat di langit dan di bumi serta isinya, juga terdapat pada dirinya
suri tauladan dari kisah umat yang lalu.61
59 Ibid., hlm. 196-197.
60 Sayyid Quthb, Fizhilalil Qur’an, (Penerjemah: As’ad Yasin, dkk), Tafsir fi Zhilalil
Qur’an di Bawah Naungan Al-Qur'an Jilid 10, (Jakarta: Gema Insani Press 2004), Cet. I, hlm. 71.
61 Depag RI, Al-Qur'an dan Tafsirnya, Jilid VIII (UII) (Yogyakarta: PT. Dana Bhakti
Wakaf, 1990), hlm. 441.
4. Istilah 􀎏􀎎􀎒􀏟􀏻􀎍􀀃􀎍􀏮􀏟􀏭􀎍 dalam QS. Ali Imran: 7
Sesuatu yang amat agung dari petunjuk Al-Qur'an, berkenaan
dengan visi pemikiran dan ilmu pengetahuan, adalah bahwa Al-Qur'an
memberi penghargaan terhadap ulul-albab dan kaum cendekiawan, atau
kaum intelektual. Allah memuji mereka dalam banyaknya ayat dalam
surat-surat Makiyah dan Madaniyah.
Beberapa penulis mengatakan bahwa Al-Qur‘an memberi perhatian
terhadap kata kerja ‘aqala dan derivasinva seperti ya’qilun atau ta’qilun,
tetapi Al-Qur'an tidak menyebut al-aql sebagai potensi dan substansi
dalam diri manusia yang darinya berlangsung beberapa proses olah pikir,
seperti berpikir, mengingat, mengambil iktibar, dan sebagainya.
Pendapat tersebut benar jika kita melihat dari sisi term al-’aql,
tetapi jika kita melihat kepada makna yang dimaksudkan darinya, kita
akan mendapatkan dalam Al-Qur‘an tertulis secara jelas term al-albab
atau ‘uqul. Ia adalah bentuk jamak dari term lubbu ‘isi’, yaitu antonim
‘kulit’. Di sini, A1-Qur’an seakan ingin menunjukkan bahwa manusia
terdiri atas dua bagian: kulit dan isi. Bentuk Fisik adalah kulit, sedangkan
akal adalah isi.
Term ulul albab atau ulil albab terulang dalam Al-Qur'an sebanyak
16 kali. Sembilan di antaranya terdapat dalam Al-Qur'an Maki dan tujuh
lainnya terdapat dalam Al-Qur'an Madani. Di antara delapan yang
Madaniyah, empat di antaranya dengan redaksi memanggil.62
Dalam Surat ali imran, ulul-albab disebut sebanyak dua kali.
Pertama, dalam pembicaraan tentang ayat-ayat yang mutasyabihat. Di sini
dijelaskan bahwa ulul albab tidak terjerumus dalam kecelakaan seperti
yang terjadi pada orang-orang yang terdapat penyakit dalam hatinya,
mereka yang mengikuti apa yang tersamar dari ayat Al-Qur’an. Kaum ulul
albab tersebut mengembalikan ayat-ayat mutasyabihat itu kepada ayatayat
muhkamat, yaitu Ummul-Kitab dan sebagian besar Al-Qur'an. Ini
62 Yusuf Qordhawi, Al-Qur'an Berbicara tentang Akal dan Ilmu Pengetahuan, (Jakarta:
Gema Insani, 1998), hlm. 29-30.
merupakan buah dan ketinggian ilmu mereka. Mereka, seperti disinyalir
Al-Qur’an adalah63
a. Redaksi Ayat
ãyzé&ur É=»tGÅ3ø9$# Pé& £`èd ìM»yJs3øtC ×M»tƒ#uä çm÷ZÏB |=»tGÅ3ø9$# y7øn=tã tAtRr& üÏ%©!$# uqèd
ÏpuZ÷GÏÿø9$# uä!$tóÏGö/$# çm÷ZÏB tmt7»t±s? $tB tbqãèÎ6®KuŠsù Ô÷÷ƒyóOÎgÎ/qè=è% ’Îû tûïÏ%©!$# $¨Br'sù ( ×M»ygÎ7»t±tFãB
¾ÏmÎ/ $¨ZtB#uä tbqä9qà)tƒ ÉOù=Ïèø9$# Îû tbqãź§9$#ur 3 ª!$# žwÎ) ÿ¼ã&s#ƒÍrù's? ãNn=÷ètƒ $tBur 3 ¾Ï&Î#ƒÍrù's? uä!$tóÏGö/$#ur
ÇÐÈ É=»t6ø9F{$# (#qä9'ré& HwÎ) ã©.¤tƒ $tBur 3 $uZ/uÏZÏã ô`B @@ä.
Dia-lah yang menurunkan Al kitab (Al Quran) kepada kamu. di antara
(isi) nya ada ayat-ayat yang muhkamaat, Itulah pokok-pokok isi Al
qur'an dan yang lain (ayat-ayat) mutasyaabihaat. Adapun orang-orang
yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, Maka mereka
mengikuti sebahagian ayat-ayat yang mutasyaabihaat daripadanya
untuk menimbulkan fitnah untuk mencari-cari ta'wilnya, Padahal tidak
ada yang mengetahui ta'wilnya melainkan Allah. dan orang-orang yang
mendalam ilmunya64 berkata: "Kami beriman kepada ayat-ayat yang
mutasyaabihaat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami." dan tidak dapat
mengambil pelajaran (daripadanya) melainkan orang-orang yang
berakal. (QS. Ali Imran: 7).65
b. Arti Kosakata
ìM»yJs3øtC : Ayat-ayat yang kandungannya sudah jelas
É=»tGÅ3ø9$# Pé& : Induk kitab
×M»ygÎ7»t±tFãB : Serupa, kesamaran, ayat-ayat yang mengandung
kesamaran dalam maknanya
óOÎgÎ/qè=è% ’Îû : Dalam hatinya
ÿ¼ã&s#ƒÍrù's? : Penjelas, substansi sesuatu
63 Ibid., hlm. 33.
64 Satu bacaan yang ditolak oleh sebagian besar ahli tafsir, tetapi diterima oleh mujahid
dan yang lain tidak akan berhenti pada titik ini yang diberi tanda waqaf lazim, tetapi akan
membaca 2 kalimat itu bersama-sama. Dengan demikian kalimat itu akan terbaca: “Tidak ada yang
mengetahui takwilnya melainkan Allah dan orang-orang yang mendalam ilmunya. Mereka
berkata: ..” Lihat Abdullah Yusuf Ali, op.cit., hlm. 123.
65 Depag RI, Al-Qur'an dan Terjemahan, Juz 1-30 (Semarang: PT. Karya Toha Putra,
1995), hlm. 76.
É=»t6ø9F{$# (#qä9'ré& :
Saripati sesuatu, orang-orang yang memiliki akal
yang murni yang tidak selubungi oleh kulit yakni
kabut ide66
c. Asbabun Nuzul
Sejauh ini penulis hanya menemukan asbabun nuzul ayat 3
yaitu dalam suatu riwayat dikemukakan bahwa turunnya dari surat 3
Ali Imran anta ayat 1 sampai 80-an. Sebagai penjelasan yang diberikan
kepada nabi saw atas kedatangan kaum Nasrani yang mempersoalkan
Nabi Isa as.67 Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim yang bersumber dari
al-Rabi.68
d. Munasabah
Adapun munasabah ayat ini dengan ayat sebelumnya yaitu
sama-sama menegaskan keluasan ilmu dan kekuasaan-Nya antara lain
dengan membentuk cara dan substansi bagi segala sesuatu sesuai
dengan fungsi yang dikehendaki-Nya, sehingga ia berada dalam
keadaan yang sebaik-baiknya.69
e. Penjelasan Kandungan Ayat
Pada ayat ini Allah SWT menjelaskan bahwa Al Qur’an yang
diturunkan yaitu di dalamnya ada ayat-ayat yang Muhkamat dan ada
yang Mutasyabihat. Ayat yang Muhkamat” ialah ayat yang jelas
artinya, seperti ayat-ayat hukum dan sebagainya. “Ayat
Mutasyabihat” ialah ayat yang tidak jelas, artinya yang dapat
ditafsirkan dengan bermacam-macam penafsiran seperti ayat yang
berhubungan dengan hal-hal yang gaib dan sebagainya. Ayat-ayat
muhkamat dapat diketahui dengan mudah arti dan maksudnya sedang
ayat-ayat yang Mutasyabihat itu ialah ayat-ayat yang sukar diketahui
66 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-Qur'an, Vol.
2, op.cit., hlm. 15-17.
67 Kaum Nasrani menganggap Nabi Isa as lebih mulia daripada Nabi Muhammad saw,
karenanya mereka tidak mempercayai nabi Muhammad sebagai rasul.
68 Dahlan dan Zaha Al-Farisi, op.cit., hlm. 93.
69 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-Qur'an, Vol.
2, op.cit., hlm. 11.
arti dan maksudnya yang sebenarnya hanyalah Allah SWT yang
mengetahuinya tentang tujuan menurunkan ayat-ayat Mutasyabihat itu.
Menurut sebagian para mufasir ialah:
1. Untuk menguji iman dan keteguhan hati seseorang muslim kepada
Allah, iman yang benar hendaklah disertai dengan penyerahan diri
dalam arti yang seluas-luasnya kepada Allah SWT. Allah SWT
menurunkan ayat-ayat yang dapat dipikirkan artinya dengan mudah
dan Dia menurunkan ayat-ayat yang sukar diketahui makna dan
maksud yang sebenarnya, yaitu ayat-ayat Mutasyãbihat. Dalam
menghadapi ayat-ayat yang Mutasyãbihat ini, manusia akan
merasa bahwa dirinya bukanlah makhluk yang sempurna, ia hanya
diberi Allah pengetahuan yang sedikit karena itu ia akan
menyerahkan pengertian ayat-ayat itu kepada Allah SWT Yang
Maha Mengetahui.
2. Dengan adanya ayat-ayat yang muhkamat dan mutasyãbihat itu
kaum muslimin akan berfikir sesuai dengan batas-batas yang
diberikan Allah yang dapat dipikirkan secara mendalam dan ada
pula yang sukar dipikirkan lalu diserahkan kepada Allah.
3. Para nabi dan para rasul diutus kepada seluruh manusia yang
keadaannya berbeda-beda, misalnya: berbeda kepandaiannya,
kemampuannya, kekayaannya; berbeda pula bangsa. bahasa dan
daerahnya. Karena itu cara penyampaian agama kepada mereka itu
hendaklah disesuaikan tingkatan keadaan mereka itu dan dengan
tingkatan bahasa yang sesuai dengan kemampuan mereka; ada
yang mudah difahami dan ada yang sukar difahami. Yang mudah
untuk orang yang kurang mempunyai ilmu, sedang yang sukar
untuk orang yang dalam ilmunya.
Dalam hal ini Allah SWT. menerangkan sikap manusia dalam
memahami dan menghadapi ayat-ayat yang mutasyäbihat, yaitu:
1. Orang-orang yang hatinya tidak menginginkan kebenaran, mereka
jadikan ayat-ayat itu untuk bahan fitnah yang mereka sebarkan di
kalangan manusia dan mereka mencari-cari artinya yang dapat
dijadikan alasan untuk menguatkan pendapat dan keinginan
mereka.
2. Orang-orang yang mempunyai pengetahuan yang mendalam dan
ingin mencari kebenaran, mereka haruslah mencari pengertian
yang benar, dari ayat itu. Bila mereka belum atau tidak sanggup
mengetahuinya, mereka berserah diri kepada Allah sambil berdo’a
dan mohon petunjuk.
Pada akhir ayat ini Allah SWT menerangkan sifat-sifat orangorang
yang dalam ilmunya, yaitu orang-orang yang suka
memperhatikan makhluk Allah suka memikirkan dan
merenungkannya. Ia berfikir semata-mata karena dan untuk mencari
kebenaran. 70
Dan tidaklah akan mengingat kecuali orang-orang yang
mempunyai pikiran. Menurut Ahmad Musthofa al-Maraghi, bahwa
ayat tersebut Maksudnya, tidaklah akan memikirkan dan memahami
hikmah ayat-ayat mutasyabih, kecuali rang yang punya pandangan
jernih dan akal yang luas yang secara istimewa dipergunakan untuk
memikirkan dan memperhatikan semua ayat-ayat muhkam yang
menjadi pokok Al Qur’an. . Dan di kala dia. menemukan ayat-ayat
mutasyabih dengan mana didapat mengingat dan merujuk ayat-ayat.
mutasyabih kepada ayat-ayat muhkam.
Dalam menghadapi ayat-ayat mutasyabih, yang merupakan
berita dalam alam ghaib, mereka punya pendirian: “Mempersamakan
yang ghaib yang tidak dengan yang nyata adalah mempersamakan dua
hal yang tidak sama. Dan orang yang berakal tentu tidak patut berbuat
demikian.71
70 Depag RI, Al-Qur'an dan Tafsirnya, Jilid I, Juz 1-2-3 (Semarang: PT. Citra Effhar,
1993), hlm. 515-516.
71 Ahmad Musthafa Al-Maraghi, Terjemah Tafsir Al-Maraghi Juz 3, (Penerjemah: Drs.
M. Thalib) (Bandung: CV. Rosda, 1987) Cet. II, hlm. 132.
Dijelaskan dalam Tafsir al-Mishbah, bahwa al-Albab adalah
bentuk jamak dari lubb, yaitu saripati sesuatu. Kacang misalnya
memiliki kulit yang menutupi isinya. Isi kacang dinamai lubb. Ulul alalbab
adalah orang-orang yang memiliki akal yang murni, yang tidak
diselubungi oleh “kulit, “ yakni kabut ide, yang dapat melahirkan
kerancuan dalam berpikir.
Jika seseorang memperturutkan akalnya semata-mata apalagi
akal yang dipenuhi oleh kabut-kabut ide, maka tidak mustahil ia
tergelincir. Karena itu, lanjutan ayat ini mengajarkan doa, atau lanjutan
doa orang-orang yang dalam pengetahuannya dan mantap imannya,
menyatakan, seperti terbaca dalam ayat-ayat selanjutnya.72
Dalam Al-Qur'an, akal memiliki posisi yang sangat mulia. Meski
demikian bukan berarti akal diberi kebebasan tanpa batas dalam
memahami agama. Al-Qur'an memiliki aturan untuk menempatkan akal
sebagaimana kedudukannya. Bagaimanapun, akal yang sehat akan selalu
cocok dengan syariat Islam dalam permasalahan apapun.
Akal adalah nikmat yang besar yang Allah titipkan dalam jasmani
manusia. Hikmat yang bisa disebut hadiah ini menunjukkan kekuasaan
Allah yang sangat menakjubkan. Oleh karena itu dalam banyak ayat, Allah
memberi semangat untuk berakal (yakni menggunakan akalnya).
Sebaliknya, Allah mencela orang yang tidak berakal.
Kita pun dapat melihat agama Islam dalam ajarannya memberikan
bentuk kemuliaan terhadap akal, seperti Allah menjadikan akal sebagai
tempat bergantungnya hukum sehingga yang tidak berakal tidak dibebani
hukum. Walaupun akal dimuliakan tapi kita menyadari bahwa akal sesuatu
yang berada dalam jasmani makhluk. Maka ia sebagaimana makhluk yang
lain memiliki kelemahan dan keterbatasan.
Dari uraian di atas Al-Qur'an meletakkan akal sesuai dengan
kedudukannya tidak seperti yang dilakukan oleh kalangan Barat yang
72 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-Qur'an, Vol.
2, (Jakarta: Lentera Hati, 2005), Cet. III, hlm. 17.
menempatkan akal sebagai “Tuhan” dengan segala-galanya di dalam
kehidupan mereka. Allah menciptakan akal dalam keadaan terbatas
sehingga akal memerlukan perangkat lain berupa hati untuk dapat
memahami fenomena alam yang tidak mampu dijangkaunya. Sehingga
dengan keserasian antara akal dan hati, manusia dapat menjadi manusia
seutuhnya dan sesuai dengan apa yang digambarkan dalam kedudukan
akal oleh Al-Qur'an.
Jadi kedudukan Al-Qur'an dalam bila dijabarkan dalam pendidikan
Islam yaitu perpaduan antara aqliyah dan qalbiyah. Dalam artian apabila
peserta didik menerima pelajaran itu harus diamalkan dan dihayati dengan
sepenuh hati. Tidak hanya menjadi pengetahuan yang rasional saja tetapi
harus diamalkan dalam kehidupan sehari-hari.


BAB III
PENGEMBANGAN KURIKULUM PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
K. Pengertian Pengembangan kurikulum
1. Pengertian Kurikulum
Kurikulum adalah program pendidikan yang disediakan oleh
lembaga pendidikan (sekolah) bagi siswa. Berdasarkan program
pendidikan tersebut siswa melakukan berbagai kegiatan belajar, sehingga
mendorong perkembangan dan pertumbuhannya sesuai dengan tujuan
pendidikan yang telah ditetapkan. Dengan kata lain, dengan program
kurikuler tersebut, sekolah / lembaga pendidikan menyediakan lingkungan
pendidikan sedemikian rupa yang memungkinkan siswa melakukan
beraneka ragam kegiatan belajar. Kurikulum tidak terbatas pada sejumlah
mata pelajaran, namun meliputi segala sesuatu yang dapat mempengaruhi
perkembangan siswa, seperti: bangunan sekolah, alat pelajaran,
perlengkapan sekolah, perpustakaan, karyawan tata usaha, gambargambar,
halaman sekolah dan lain-lain.73
Kurikulum menurut Saylor dan Alexander sebagaimana yang
dikutip oleh Peter F. Oliva, bahwa: curriculum as the plan for providing
sets of learning opportunities to achieve broad goals and related specific
objectives for an identifiable population served by a single school center.74
Kurikulum adalah sesuatu yang direncanakan sebagai pegangan
guna mencapai tujuan pendidikan. Apa yang direncanakan biasanya
bersifat idea, suatu cita-cita tentang manusia atau warga negara yang akan
dibentuk. Kurikulum ini lazim mengandung harapan-harapan yang sering
berbunyi muluk-muluk.
Apa yang dapat diwujudkan dalam kenyataan disebut kurikulum
yang real. Karena tak segala sesuatu yang direncanakan dapat
73 Oemar Hamalik, Proses belajar Mengajar, (Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2007), Cet. VI,
hlm. 64)
74 Peter F. Oliva, Developing the Curriculum, (Canada: Little, Brown and Company
Boston Toronto, 1982), hlm. 6.
direalisasikan, maka terdapatlah kesenjangan antara idea dan real
curriculum.
Smith dan kawan-kawan memandang kurikulum sebagai rangkaian
pengalaman yang secara potensi dapat diberikan kepada anak, jadi dapat
disebut potential curriculum. Namun apa yang benar-benar dapat
diwujudkan pada anak secara individual, misalnya bahan yang benar-benar
diperolehnya, disebut actual curriculum.
Berbagai tafsiran tentang kurikulum dapat kita tinjau dari segi lain,
sehingga kita peroleh penggolongan sebagai berikut:
1) Kurikulum dapat dilihat sebagai produk, yakni sebagai hasil karya para
pengembang kurikulum, biasanya dalam suatu panitia. Hasilnya
dituangkan dalam bentuk buku atau pedoman kurikulum, yang
misalnya berisi sejumlah mata pelajaran yang harus diajarkan.
2) Kurikulum dapat pula dipandang sebagai program, yakni alat yang
dilakukan oleh sekolah untuk mencapai tujuannya. Ini dapat berupa
mengajarkan berbagai mata pelajaran tetapi dapat juga meliputi segala
kegiatan yang dianggap dapat mempengaruhi perkembangan siswa
misalnya perkumpulan sekolah, pertandingan pramuka, warung
sekolah dan lain-lain.
3) Kurikulum dapat pula dipandang sebagai hal-hal yang diharapkan akan
dipelajari siswa, yakni pengetahuan, sikap, ketrampilan tertentu. Apa
yang diharapkan akan dipelajari tidak selalu sama dengan apa yang
benar-benar dipelajari.
Mengenai masalah kurikulum senantiasa terdapat pendirian yang
berbeda-beda, bahkan sering yang bertentangan. Ketidakpuasan dengan
kurikulum yang berlaku adalah sesuatu yang biasa dan memberi dorongan
mencari kurikulum baru. Akan tetapi mengajukan kurikulum yang ekstrim
sering dilakukan dengan mendiskreditkan kurikulum yang lama, pada hal
kurikulum itu pun mengandung kebaikan, sedangkan kurikulum pasti tidak
akan sempurna dan akan tampil kekurangannya setelah berjalan dalam
beberapa waktu.75
Macam-macam definisi yang diberikan tentang kurikulum.
Lazimnya kurikulum dipandang sebagai suatu rencana yang disusun untuk
melancarkan proses belajar mengajar di bawah bimbingan dan tanggung
jawab sekolah atau lembaga pendidikan beserta staf pengajarnya.
Ada sejumlah ahli teori kurikulum yang berpendapat bahwa kurikulum
bukan hanya meliputi semua kegiatan yang direncanakan melainkan juga
peristiwa-peristiwa yang terjadi di bawah pengawasan sekolah, jadi selain
kegiatan kurikulum yang formal juga kegiatan yang tak formal. Yang
terakhir ini sering disebut kegiatan ko-kurikuler atau ekstrakurikuler (cocurriculum
atau extra-curriculum).
Kurikulum formal meliputi:
- Tujuan pelajaran, umum dan spesifik
- Bahan pelajaran yang tersusun sistematis
- Strategi belajar mengajar serta kegiatan-kegiatannya.
- Sistem evaluasi untuk mengetahui hingga mana tujuan tercapai.
Kurikulum tak formal terdiri atas kegiatan-kegiatan yang juga
direncanakan akan tetapi tidak berkaitan langsung dengan pelajaran
akademis dan kelas tertentu. Kurikulum ini dipandang sebagai pelengkap
kurikulum formal. Yang termasuk kurikulum tak formal ini antara lain:
pertunjukan sandiwara, pertandingan antar kelas atau antar sekolah,
perkumpulan berbagai hobby, pramuka dan lain-lain.
Ada lagi yang harus diperhitungkan yaitu kurikulum
“tersembunyi” (hidden curriculum). Kurikulum ini antara lain berupa
aturan yang tak tertulis di kalangan siswa misalnya “harus kompak
terhadap guru” yang turut mempengaruhi suasana pengajaran dalam kelas.
75 S. Nasution, Asas-Asas Pengembangan Kurikulum, (Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2001),
hlm. 8-9.
Kurikulum tersembunyi ini dianggap oleh kalangan tertentu tidak
termasuk kurikulum karena tidak direncanakan.76
2. Pengertian Pengembangan Kurikulum
Pengembangan kurikulum adalah proses perencanaan kurikulum
agar menghasilkan rencana kurikulum yang luas dan spesifik. Proses ini
berhubungan dengan seleksi dan pengorganisasian berbagai komponen
situasi belajar mengajar, antara lain penetapan jadwal pengorganisasian
kurikulum dan spesifikasi tujuan yang disarankan, mata pelajaran,
kegiatan, sumber dan alat pengukur pengembangan kurikulum yang
mengacu pada kreasi sumber-sumber unit, rencana unit, dan garis
pelajaran kurikulum ganda lainnya, untuk memudahkan proses belajar
mengajar.77
Menurut Audrey Nichols dan S. Howard Nichools sebagaimana
yang dikutip oleh Oemar Hamalik, bahwa pengembangan kurikulum
(curriculum development) adalah: the planning of learning opportunities
intended to bring about certain desered in pupils, and assessment of the
extent to which these changes have taken place.
Rumusan ini menunjukkan bahwa pengembangan kurikulum
adalah perencanaan kesempatan-kesempatan belajar yang dimaksudkan
untuk membawa siswa ke arah perubahan-perubahan yang diinginkan dan
menilai hingga mana perubahan-perubahan itu telah terjadi pada diri
siswa. Sedangkan yang dimaksud kesempatan belajar (learning
opportunity) adalah hubungan yang telah direncanakan dan terkontrol
antara para siswa, guru, bahan peralatan dan lingkungan di mana belajar
yang diinginkan diharapkan terjadi. Ini terjadi bahwa semua kesempatan
belajar direncanakan oleh guru; bagi para siswa sesungguhnya adalah
“kurikulum itu sendiri”
76 S. Nasution, Kurikulum dan Pengajaran, (Jakarta: PT. Bumi Aksara, 1999), Cet. III,
hlm. 5-6.
77 Oemar Hamalik, Dasar-Dasar Pengembangan Kurikulum, (Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya, 2008), Cet. II, hlm. 183-184.
Dalam pengertian di atas sesungguhnya pengembangan kurikulum
adalah proses siklus yang tidak pernah berakhir. Proses kurikulum tersebut
dapat ditampilkan dalam diagram sebagai berikut: proses tersebut terdiri
dari empat unsur yakni:
a. Tujuan: Mempelajari dan menggambarkan semua sumber pengetahuan
dan pertimbangan tentang tujuan-tujuan pengajaran, baik yang
berkenaan dengan mata pelajaran (subject course) maupun kurikulum
secara menyeluruh.
b. Metode dan material: mengembangkan dan mencoba menggunakan
metode-metode dan material sekolah untuk mencapai tujuan-tujuan
tadi yang serasi menurut pertimbangan guru.
c. Penilaian (assessment): menilai keberhasilan pekerjaan yang telah
dikembangkan itu dalam hubungan dengan tujuan dan bila
mengembangkan tujuan-tujuan baru.
d. Balikan (feedback): umpan balik dari semua pengalaman yang telah
diperoleh yang pada gilirannya menjadi titik tolak bagi studi
selanjutnya.78
Menurut UU No. 20 tahun 2003, kurikulum dianggap sebagai
seperangkat rencana dan pengaturan mengenai isi dan bahan pelajaran
serta cara yang digunakan pedoman penyelenggaraan kegiatan belajar
mengajar.
Sesuai dengan konsep di atas maka pengembangan kurikulum pada
hakikatnya adalah proses penyusunan rencana tentang isi dan bahan
pelajaran yang harus dipelajari serta bagaimana mempelajarinya. Namun
demikian persoalan pengembangan isi dan bahan pelajaran serta
bagaimana cara belajar siswa bukanlah suatu proses yang sederhana, sebab
menentukan isi atau mutan kurikulum harus berangkat dari visi, misi serta
tujuan yang ingin dicapai, sedangkan menentukan tujuan erat kaitannya
dengan persoalan sistem nilai dan kebutuhan masyarakat. Persoalan inilah
78 Oemar Hamalik, Manajemen Pengembangan Kurikulum, (Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya, 2008), Cet. III, hlm. 96-97.
yang kemudian membawa kita pada persoalan menentukan hal-hal yang
mendasar dalam proses pengembangan kurikulum yang kemudian kita
namakan asas-asas atau landasan-landasan pengembangan kurikulum.
Menurut David Pratt, sebagaimana yang dikutip oleh Wina
Sanjaya, bahwa istilah desain lebih mengena dibandingkan dengan
pengembangan yang mengandung konotasi yang bersifat gradual. Disain
adalah proses yang disengaja tentang suatu pemikiran, perencanaan dan
penyeleksian bagian-bagian, teknik dan prosedur yang mengatur suatu
tujuan atau usaha. Atas dasar itu, maka pengembangan kurikulum
(curriculum development atau curriculum planning) adalah proses atau
kegiatan yang disengaja dan dipikirkan untuk menghasilkan sebuah
kurikulum sebagai pedoman dalam proses dan penyelenggaraan
pembelajaran oleh guru di sekolah.79
L. Landasan Pengembangan Kurikulum
Ada beberapa landasan utama dalam pengembangan suatu kurikulum,
yaitu landasan filosofis, landasan psikologis, landasan sosial budaya, serta
perkembangan ilmu dan teknologi. Pada skripsi ini yang menjadi acuan adalah
landasan filosofis. Penulis menganggap bahwa landasan tersebut sangat erat
hubungannya dengan pembahasan tentang akal manusia. Maka untuk lebih
jelasnya dalam skripsi ini akan dibahas sedikit mengenai landasan filosofis.
Secara harfiah filosofis (filsafat) berarti “cinta akan kebijakan” (love of
wisdom). Orang belajar berfilsafat agar ia menjadi orang yang mengerti dan
berbuat secara bijak. Untuk dapat mengerti kebijakan dan berbuat secara bijak,
ia harus tahu atau berpengetahuan. Pengetahuan tersebut diperoleh melalui
proses berpikir, yaitu berpikir secara sistematis, logis, dan mendalam.
Pemikiran demikian dalam filsafat sering disebut sebagai pemikiran radikal,
atau berpikir sampai ke akar-akarnya (radic berarti akar). Berfilsafat diartikan
pula berpikir secara radikal, berpikir sampai ke akar. Secara akademik, filsafat
79 Wina Sanjaya, Kajian Kurikulum dan Pembelajaran, (Bandung: Sekolah Pascasarjana
Universitas Pendidikan Indonesia, 2007), hlm. 48-49.
berarti upaya untuk menggambarkan dan menyatakan suatu pandangan yang
sistematis dan komprehensif tentang alam semesta dan kedudukan manusia di
dalamnya. Berfilsafat berarti menangkap sinopsis peristiwa-peristiwa yang
simpang siur dalam pengalaman manusia. Suatu cabang ilmu pengetahuan
mengkaji satu bidang pengetahuan manusia, daerah cakupannya terbatas.
Filsafat mencakup keseluruhan pengetahuan manusia, berusaha melihat segala
yang ada ini sebagai satu kesatuan yang menyeluruh dan mencoba mengetahui
kedudukan manusia di dalamnya. Sering dikatakan bahwa filsafat merupakan
ibu dari segala ilmu.80
Filsafat membahas segala permasalahan yang dihadapi oleh manusia
termasuk masalah-masalah pendidikan ini yang disebut filsafat pendidikan.
Walaupun dilihat sepintas, filsafat pendidikan ini hanya merupakan aplikasi
dari pemikiran-pemikiran filosofis untuk memecahkan masalah-masalah
pendidikan, tetapi antara keduanya yaitu antara filsafat dan filsafat pendidikan
terdapat hub yang sangat erat. Menurut Donald Butler, filsafat memberikan
arah dan metodologi terhadap praktik pendidikan, sedangkan praktik
pendidikan memberikan bahan-bahan bagi pertimbangan-pertimbangan
filosofis. Keduanya sangat berkaitan erat.
Pendidikan menurut John Dewey, sebagaimana dikutip oleh Nana
Syaodih Sukmadinata, berarti perkembangan, perkembangan sejak lahir
hingga menjelang kematian. Jadi, pendidikan itu juga berarti sebagai
kehidupan. Bagi Dewey, Education is growth, development, life. Ini berarti
bahwa proses pendidikan itu tidak mempunyai tujuan di luar dirinya, tetapi
terdapat dalam pendidikan itu sendiri. Proses pendidikan juga bersifat kontinu,
merupakan reorganisasi, rekonstruksi, dan pengubahan pengalaman hidup.
Jadi, pendidikan itu merupakan organisasi pengalaman hidup, pembentukan
kembali pengalaman hidup, dan juga perubahan pengalaman hidup sendiri.81
Sesuai dengan pandangan John Dewey, bahwa pendidikan itu adalah
pertumbuhan itu sendiri. Karena itu, pendidikan tersebut dimulai sejak lahir
80 Nana Syaodih Sukmadinata, Pengembangan Kurikulum Teori dan Praktek, (Bandung:
Remaja Rosdakarya, 2009), Cet. 11, hlm. 39-40.
81 Ibid., hlm. 41.
dan berakhir pada saat kematian. Demikian juga proses belajar tidak dapat
dilepaskan dari proses pendidikan. Pendidikan adalah pengalaman, yaitu suatu
proses yang berlangsung terus-menerus. Bagaimana hubungan antara proses
belajar, pengalaman dan berpikir?
Pengalaman itu bersifat aktif dan pasif. Pengalaman yang bersifat aktif
berarti berusaha, mencoba, dan mengubah, sedangkan pengalaman pasti
berarti menerima dan mengikuti saja. Kalau kita mengalami sesuatu maka kita
berbuat, sedangkan kalau mengikuti sesuatu kita memperoleh akibat atau
hasil. Belajar dari pengalaman berarti menghubungkan kemunduran dengan
kemajuan dalam perbuatan kita, yakni kita merasakan kesenangan atau
penderitaan sebagai suatu akibat atau hasil.
Belajar dari pengalaman adalah bagaimana menghubungkan
pengalaman kita dengan pengalaman masa lalu dan yang akan datang. Belajar
dari pengalaman berarti mempergunakan daya pikir reflektif (reflective
thinking), dalam pengalaman kita. Pengalaman yang efektif adalah
pengalaman reflektif. Ada lima langkah berpikir reflektif menurut John
Dewey, yaitu:
1. Merasakan adanya keraguan, kebingungan yang menimbulkan masalah,
2. Mengadakan interpretasi tentatif (merumuskan hipotesis),
3. Mengadakan penelitian atau pengumpulan data yang cermat,
4. Memperoleh hasil dari pengujian hipotesis tentatif;
5. Hasil pembuktian sebagai sesuatu yang dijadikan dasar untuk berbuat.
Langkah-langkah berpikir reflektif ini dipergunakan sebagai metode
belajar dalam pendekatan pendidikan proyek dari John Dewey, yang sampai
dengan tahun 50-an sangat populer. Belajar seperti halnya pendidikan adalah
proses pertumbuhan, belajar, dan berpikir adalah satu.
Dalam penyusunan bahan ajaran menurut Dewey hendaknya
memperhatikan syarat-syarat sebagai berikut: 1) Bahan ajaran hendaknya
konkret, dipilih yang betul-betul berguna dan dibutuhkan, dipersiapkan secara
sistematis dan mendetil, 2) Pengetahuan yang telah diperoleh sebagai hasil
belajar, hendaknya ditempatkan dalam kedudukan yang berarti, yang
memungkinkan dilaksanakannya kegiatan baru, dan kegiatan yang lebih
menyeluruh.
Bahan pelajaran bagi anak tidak bisa semata-mata diambil dari buku
pelajaran, yang diklasifikasikan dalam mata-mata pelajaran yang terpisah.
Bahan pelajaran harus berisikan kemungkinan-kemungkinan, harus
mendorong anak untuk bergiat dan berbuat. Bahan pelajaran harus
memberikan rangsangan pada anak-anak untuk bereksperimen. Demikianlah
dengan bahan pelajaran ini, kita mengharapkan anak-anak yang aktif, anakanak
yang bekerja, anak-anak yang bereksperimen. Bahan pelajaran tidak
diberikan dalam disiplin-disiplin ilmu yang ketat, tetapi merupakan kegiatan
yang berkenaan dengan sesuatu masalah (problem).82
M. Pendekatan Pengembangan Kurikulum
Pendekatan yang berorientasi pada tujuan ini, menempatkan rumusan
atau penerapan tujuan yang hendak dicapai dalam posisi sentral, sebab tujuan
adalah pemberi arah dalam pelaksanaan proses belajar-mengajar. Kelebihan
dari pendekatan pengembangan kurikulum yang berorientasi pada tujuan
adalah:
1. Tujuan yang ingin dicapai jelas bagi penyusun kurikulum.
2. Tujuan yang jelas akan memberikan arah yang jelas pula dalam
menetapkan materi pelajaran, metode, jenis kegiatan dan alat yang
diperlukan untuk mencapai tujuan.
3. Tujuan-tujuan yang jelas itu juga akan memberikan arah dalam
mengadakan penilaian terhadap hasil yang dicapai.
4. Hasil penilaian yang terarah tersebut akan membantu penyusunan
kurikulum dalam mengadakan perbaikan-perbaikan yang diperlukan.
Meskipun pendekatan ini memiliki banyak kelebihan jika
dibandingkan dengan pendekatan yang berorientasi pada bahan, pendekatan
ini juga memiliki kelemahan, yaitu kesulitan dalam merumuskan tujuan itu
sendiri (bagi guru). Apa lagi jika tujuan tersebut harus dirumuskan lebih
82 Ibid., hlm. 42-44.
khusus, jelas, operasional dan dapat diukur. Untuk merealisasikan maksud
tersebut, pihak guru dituntut memiliki keahlian, pengalaman dan keterampilan
dalam perumusan tujuan khusus pengajaran. Jika tidak demikian, maka akan
terwujud rumusan tujuan khusus yang bersifat dangkal dan mekanistik.83
Dalam hal ini berdasarkan filosofis pengembangan kurikulum, bahwa
tujuan yang ingin dicapai dalam pembahasan skripsi ini adalah pendidikan
yang merangsang kerja akal dan mendorong peserta didik untuk mengamalkan
apa yang mereka peroleh dari pendidikan. Bahan pelajaran hendaknya yang
menggiatkan kerja akal dan bereksperimen agar peserta didik benar-benar
paham dan bisa mengamalkannya. Sehingga ranah kognitif, afektif dan
psikomotorik dapat tercapai dengan baik.
Oleh karena itu sebagai acuan kurikulum PAI sekarang maka penulis
akan memaparkan tentang KTSP, yaitu antara lain sebagai berikut:
1. Landasan Penyusunan KTSP
KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan) disusun dalam
rangka memenuhi amanat yang tertuang dalam Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
dan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2005
tentang Standar Nasional Pendidikan.
Dalam penyusunannya, KTSP jenjang pendidikan dasar dan
menengah mengacu kepada Peraturan Menteri Pendidikan Nasional
Nomor 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi untuk Satuan Pendidikan
Dasar dan Menengah, Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 23
Tahun 2006 tentang Standar Kompetensi.
Lulusan untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah, Peraturan
Menteri Pendidikan Nasional Nomor 24 Tahun 2006 tentang Pelaksanaan
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22 Tahun 2006 dan
83 M. Ahmad, dkk., Pengembangan Kurikulum untuk Fakultas Tarbiyah Komponen
MKDK, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 1998), Cet. I, hlm. 74.
nomor 23 Tahun 2006, dan berpedoman pada panduan yang disusun oleh
Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP).84
2. Acuan Operasional Penyusunan KTSP
KTSP disusun dengan memperhatikan hal-hal sebagai berikut:
a. Peningkatan iman dan takwa serta akhlak mulia. Keimanan dan
ketakwaan serta akhlak mulia menjadi dasar pembentukan
kepribadian peserta didik secara utuh. Kurikulum disusun yang
memungkinkan semua mata pelajaran dapat menunjang peningkatan
iman dan takwa serta akhlak mulia.
b. Peningkatan potensi, kecerdasan, dan minat sesuai dengan tingkat
perkembangan dan kemampuan peserta didik. Pendidikan merupakan
proses sistematik untuk meningkatkan martabat manusia secara
holistik yang memungkinkan potensi diri (afektif, kognitif,
psikomotor) berkembang secara optimal. Sejalan dengan itu,
kurikulum disusun dengan memperhatikan potensi, tingkat
perkembangan, minat, kecerdasan intelektual, emosional dan sosial,
spiritual, dan kinestetik peserta didik.85
c. Keragaman potensi dan karakteristik daerah dan lingkungan
Daerah memiliki potensi, kebutuhan, tantangan, dan
keragaman karakteristik lingkungan. Masing-masing daerah
memerlukan pendidikan sesuai dengan karakteristik daerah dan
pengalaman hidup sehari-hari. Oleh karena itu, kurikulum harus
memuat keragaman tersebut untuk menghasilkan lulusan yang relevan
dengan kebutuhan pengembangan daerah.
d. Tuntutan pembangunan daerah dan nasional
Dalam era otonomi dan desentralisasi untuk mewujudkan
pendidikan yang otonom dan demokratis perlu memperhatikan
keragaman dan mendorong partisipasi masyarakat dengan tetap
84 Masnur Muslich, KTSP: Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan, (Jakarta: Bumi Aksara,
2008), Cet. Ke-4, hlm. 1.
85 Khaerudin, dkk. Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) Konsep dan
Implementasinya di Madrasah, Semarang: MDC Jateng, 2007, hlm. 82.
mengedepankan wawasan nasional. Untuk itu, keduanya harus
ditampung secara berimbang dan saling mengisi.
e. Tuntutan dunia kerja
Kegiatan pembelajaran harus dapat mendukung tumbuh
kembangnya pribadi peserta didik yang berjiwa kewirausahaan dan
mempunyai kecakapan hidup. Oleh sebab itu, kurikulum perlu
memuat kecakapan hidup untuk membekali peserta didik memasuki
dunia kerja. Hal ini sangat penting terutama bagi satuan pendidikan
kejuruan dan peserta didik yang tidak melanjutkan ke jenjang yang
lebih tinggi.
f. Perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni
Pendidikan perlu mengantisipasi dampak global yang
membawa masyarakat berbasis pengetahuan di mana IPTEKS sangat
berperan sebagai penggerak utama perubahan. Pendidikan harus
terus-menerus melakukan adaptasi dan penyesuaian perkembangan
IPTEKS sehingga tetap relevan dan kontekstual dengan perubahan.
Oleh karena itu, kurikulum harus dikembangkan secara berkala dan
berkesinambungan sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan,
teknologi, dan seni.
g. Agama
Kurikulum harus dikembangkan untuk mendukung
peningkatan iman dan taqwa serta akhlak mulia dengan tetap
memelihara toleransi dan kerukunan umat beragama. Oleh karena itu,
muatan kurikulum semua mata pelajaran harus ikut mendukung
peningkatan iman, taqwa dan akhlak mulia.
h. Dinamika perkembangan global
Pendidikan harus menciptakan kemandirian, baik pada
individu maupun bangsa, yang sangat penting ketika dunia
digerakkan oleh pasar bebas. Pergaulan antarbangsa yang semakin
dekat memerlukan individu yang mandiri dan mampu bersaing serta
mempunyai kemampuan untuk hidup berdampingan dengan suku dan
bangsa lain.
i. Persatuan nasional dan nilai-nilai kebangsaan
Pendidikan diarahkan untuk membangun karakter dan
wawasan kebangsaan peserta didik yang menjadi landasan penting
bagi upaya memelihara persatuan dan kesatuan bangsa dalam
kerangka NKRI. Oleh karena itu, kurikulum harus mendorong
berkembangnya wawasan dan sikap kebangsaan serta persatuan
nasional untuk memperkuat keutuhan bangsa dalam wilayah NKRI.86
j. Kondisi sosial budaya masyarakat setempat
Kurikulum harus dikembangkan dengan memperhatikan
karakteristik sosial budaya masyarakat setempat dan menunjang
kelestarian keragaman budaya. Penghayatan dan apresiasi pada
budaya setempat harus terlebih dahulu ditumbuhkan sebelum
mempelajari budaya dari daerah dan bangsa lain.
k. Kesetaraan jender. Kurikulum harus diarahkan kepada terciptanya
pendidikan yang berkeadilan dan memperhatikan kesetaraan jender.
l. Karakteristik satuan pendidikan. Kurikulum harus dikembangkan
sesuai dengan visi, misi, tujuan, kondisi, dan ciri khas satuan
pendidikan.87
N. Kurikulum Pendidikan Agama Islam
Pendidikan Agama Islam (PAI) merupakan usaha sadar dan terencana
untuk menyiapkan siswa dalam meyakini, memahami, menghayati dan
mengamalkan ajaran Islam melalui kegiatan bimbingan, pengajaran dan atau
latihan. PAI yang hakikatnya merupakan sebuah proses itu, dalam
perkembangannya juga dimaksudkan sebagai rumpun mata pelajaran yang
diajarkan di sekolah maupun di Perguruan Tinggi. Jadi berbicara tentang PAI
maka dapat dimaknai dalam dua pengertian; sebagai sebuah proses penanaman
86 BNSP, Panduan Penyusunan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan Jenjang
Pendidikan Dasar dan Menengah, Jakarta: BNSP, 2006, hlm. 8.
87 Khaerudin, dkk, op.cit., hlm. 84.
ajaran Islam, maupun sebagai bahan kajian yang menjadi materi proses itu
sendiri. Namun dalam uraian lebih lanjut tentang PAI dalam Pedoman ini,
pengertian kedua akan lebih dominan dibandingkan yang pertama.
Sebagai mata pelajaran, rumpun mata pelajaran atau bahan kajian PAI
memiliki ciri khas atau karakteristik tertentu yang membedakannya dengan
mata pelajaran lain. Adapun karakteristik mata pelajaran PAI itu dapat
dijelaskan sebagai berikut:
1. PAI merupakan rumpun mata pelajaran yang dikembangkan dari ajaranajaran
pokok (dasar) yang terdapat dalam agama Islam. Karena itulah PAI
merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari ajaran Islam. Ditinjau
dari segi isinya, PAI merupakan mata pelajaran pokok yang menjadi salah
satu komponen, dan tidak dapat dipisahkan dari rumpun mata pelajaran
yang bertujuan mengembangkan moral dan kepribadian peserta didik.
2. Tujuan PAI adalah terbentuknya peserta didik yang beriman dan bertakwa
kepada Allah SWT, berbudi pekerti luhur (berakhlak mulia), memiliki
pengetahuan tentang ajaran Pokok Agama Islam dan mengamalkannya
dalam kehidupan sehari-hari, serta memiliki pengetahuan yang luas dan
mendalam tentang Islam sehingga memadai baik untuk kehidupan
bermasyarakat maupun untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang
lebih tinggi.
3. Pendidikan Agama Islam, sebagai sebuah program pembelajaran,
diarahkan pada (a) menjaga aqidah dan ketakwaan peserta didik, (b)
menjadi landasan untuk lebih rajin mempelajari ilmu-ilmu lain yang
diajarkan di madrasah, (c) mendorong peserta didik untuk kritis, kreatif
dan inovatif, dan (d) menjadi landasan perilaku dalam kehidupan seharihari
di masyarakat, PAI bukan hanya mengajarkan pengetahuan tentang
Agama Islam, tetapi juga untuk diamalkan dalam kehidupan sehari-hari
(membangun etika sosial).
4. Pembelajaran PAI tidak hanya menekankan penguasaan kompetensi
kognitif saja, tetapi juga afektif dan psikomotoriknya.
5. Isi mata pelajaran PAI didasarkan dan dikembangkan dari ketentuanketentuan
yang ada dalam dua sumber pokok ajaran Islam, yaitu Al-
Qur'an dan sunnah Nabi Muhammad saw (dalil naqli). Di samping itu,
materi PAI juga diperkaya dengan hasil-hasil istimbath atau ijtihad (dalil
aqli) para ulama sehingga ajaran-ajaran pokok yang bersifat umum lebih
rinci dan mendetail.
6. Materi PAI dikembangkan dari tiga kerangka dasar ajaran Islam, yaitu
aqidah, syari’ah dan akhlak. Aqidah merupakan penjabaran dari konsep
iman, syariah merupakan penjabaran dari konsep Islam, dan akhlak
merupakan penjabaran konsep ihsan. Dari ketiga konsep dasar itulah
berkembang berbagai kajian keislaman, termasuk kajian-kajian yang
terkait dengan ilmu, teknologi, seni dan budaya.
7. Output program Pembelajaran PAI di sekolah adalah terbentuknya peserta
didik yang memiliki akhlak mulia (budi pekerti yang luhur) yang
merupakan misi utama dari diutusnya Nabi Muhammad.88
Berikut ini adalah Standar Kompetensi Kelulusan kurikulum
Pendidikan Agama Islam di tingkat Madrasah Tsanawiyah, Madrasah Aliyah,
dan Madrasah Aliyah Program Keagamaan:
a. Madrasah Tsanawiyah
1) Al-Qur’an dan Hadits
- Memahami dan mencintai Al-Qur’an dan hadits sebagai pedoman
hidup umat Islam.
- Meningkatkan pemahaman Al-Qur’an, Al Fatihah, dan surat
pendek melalui upaya penerapan cara membacanya, menangkap
maknanya, memahami kandungan isinya, dan mengaitkannya
dengan fenomena kehidupan.
- Menghafal dan memahami makna hadits-hadits yang terkait
dengan tema isi kandungan surat atau ayat sesuai dengan tingkat
perkembangan anak.
88 Depag, Pedoman Pendidikan Agama Islam untuk Sekolah Umum, (Jakarta: Ikhlas
Beramal, 2004), hlm. 1-3.
2) Aqidah-Akhlak
- Meningkatkan pemahaman dan keyakinan terhadap rukun iman
melalui pembuktian dengan dalil aqli dan naqli, serta pemahaman
dan penghayatan terhadap asma’ul khusna dengan menunjukkan
cirri-ciri / tanda-tanda perilaku seseorang dalam fenomena
kehidupan dan pengamalannya dalam kehidupan sehari-hari.
- Membiasakan akhlak terpuji seperti ikhlas, taat, khouf, taubat,
tawakkal, ikhtiar, sabar, syukur, qona’ah, tawadhu’, husnuzh-zhan,
tasamuh, ta’awun, berilmu, kreatif, produktif dan pergaulan
remaja, serta menghindari akhlak tercela, seperti riya’, nifak,
ananiyah, putus asa, marah, tamak, takabur, hasad, dendam, fitnah,
ghibah dan namimah.
3) Fiqih
Memahami ketentuan hokum Islam yang berkaitan dengan ibadah
mahdah dan mu’amalah serta dapat mempraktekkan dengan benar
dalam kehidupan sehari-hari.
4) Sejarah Kebudayaan Islam
- Meningkatkan pengenalan dan kemampuan mengambil ibrah
terhadap peristiwa penting sejarah kebudayaan Islam mulai
perkembangan masyarakat Islam pada masa Nabi Muhammad
SAW dan para Khulafaur Rasyidin, Bani Umayyah, Abbasiyah, Al
Ayyubiyah sampai dengan perkembangan Islam di Indonesia.
- Mengapresiasi fakta dan makna peristiwa-peristiwa bersejarah dan
mengaitkannya dengan fenomena kehidupan social, budaya,
politik, ekonomi, IPTEK dan seni.
- Meneladani nilai-nilai dan tokoh-tokoh yang berprestasi dalam
peristiwa bersejarah.
b. Madrasah Aliyah
1) Al-Qur’an dan Hadits
Memahami isi pokok Al-Qur’an, fungsi dan bukti-bukti kemurniannya,
istilah-istilah hadits, fungsi hadits terhadap Al-Qur’an, pembagian
hadits ditinjau dari segi kualitas dan kuantitasnya, serta memahami dan
mengamalkan ayat-ayat Al-Qur’an dan hadits tentang manusia dan
tanggungjawabnya di muka bumi, demokrasi serta pengembangan
IPTEK.
2) Aqidah Akhlak
- Memahami istilah-istilah aqidah, prinsip-prinsip, aliran-aliran dan
metode peningkatan kualitas Aqidah serta meningkatkan kualitas
keimanan melalui pemahaman dan penghayatan asma’ul khusna
serta penerapan perilaku bertauhid dalam kehidupan.
- Memahami istilah-istilah akhlak dan tasawuf, meningkatkan
metode peningkatan kualitas akhlak, serta membiasakan perilaku
terpuji dan menghindari perilaku tercela.
3) Fiqih
Memahami dan menerapkan sumber hukum Islam dan hokum taklifi,
prinsip-prinsip ibadah dan syari’at dalam Islam, fiqih ibadah,
mu’amalah, munakahat, mawaris, jinayah, siyasah serta dasar-dasar
Istinbath, dan kaidah ushul fiqih.
4) Sejarah Kebudayaan Islam
- Memahami dan mengambil ibrah sejarah dakwah Nabi
Muhammad pada periode Mekah dan Madinah, masalah
kepemimpinan umat setelah Rasulullah SAW wafat.
Perkembangan Islam pada abad klasik atau zaman keemasan (650
– 1250 M), abad pertengahan atau zaman kemunduran (1250 –
1800 M), masa modern atau zaman kebangkitan (1800 - sekarang),
serta perkembangan Islam di Indonesia dan di dunia.
- Mengapresiasi fakta dan makna peristiwa-peristiwa bersejarah dan
mengaitkannya dengan kehidupan sosial, budaya, politik, ekonomi,
IPTEK dan seni.
- Meneladani tokoh-tokoh Islam yang berprestasi dalam
perkembangan sejarah atau peradaban Islam.
c. Madrasah Aliyah Program Keagamaan
1) Akhlak
Memahami istilah-istilah akhlak dan tasawuf, menerapkan metode
peningkatan kualitas akhlak, dan membiasakan perilaku terpuji serta
menghindari perilaku tercela.
2) Sejarah Kebudayaan Islam
- Memahami dan mengambil ibrah sejarah dakwah Nabi
Muhammad pada periode Mekah dan Madinah, masalah
kepemimpinan umat setelah Rasulullah SAW wafat.
Perkembangan Islam pada abad klasik atau zaman keemasan (650
– 1250 M), abad pertengahan atau zaman kemunduran (1250 –
1800 M), masa modern atau zaman kebangkitan (1800 - sekarang),
serta perkembangan Islam di Indonesia dan di dunia.
- Mengapresiasi fakta dan makna peristiwa-peristiwa bersejarah dan
mengaitkannya dengan kehidupan sosial, budaya, politik, ekonomi,
IPTEK dan seni.
- Meneladani tokoh-tokoh Islam yang berprestasi dalam
perkembangan sejarah atau peradaban Islam.
3) Tafsir
- Mengenali pokok-pokok ilmu tafsir serta ilmu-ilmu yang dapat
membantu dan diperlukan dalam memahami dan menafsirkan Al-
Qur’an, sehingga dapat dijadikan bekal dasar dalam memahami
ayat-ayat Al-Qur’an, serta dijadikan pondasi untuk melanjutkan
pendidikan ke lanjutan yang lebih tinggi.
- Memahami ayat-ayat Al-Qur’an tentang:
- Makanan yang halal, sehat, dan bergizi, dan bahaya minuman keras
- Pendayagunaan akal pikiran, pentingnya pengembangan alam, dan
pemanfaatan alam semesta bagi kehidupan manusia
- Tata cara menyelesaikan perselisihan, musyawarah, dan ta’aruf
dalam kehidupan
- Kepemimpinan, syarat0syarat, tugas dan tanggungjawab pemimpin
- Pembinaan pribadi dan keluarga, serta pembinaan masyarakat
secara umum
4) Hadits
- Memahami ilmu hadits dan sejarahnya, sejarah penghimpunan dan
pembukuan hadits, cara menerima dan menyampaikan hadits,
pembagian hadits, ilmu jarh wa ta’dill, generasi perawi hadits dan
kitab-kitab hadits.
- Memahami Al Hadits tentang taat kepada Allah dan Rasul-Nya,
kebesaran dan kekuasaan Allah, nikmat Allah, kewajiban dan
tanggungjawab manusia, serta pengembangan IPTEK
5) Ushul Fiqih
- Memahami ilmu ushul fiqih, sumber hokum Islam yang muttafaq
maupun yang mukhtalaf dan kaidah-kaidah ushul fiqih serta
mampu mempraktekkannya.
- Memahami dan menerapkan sumber hukum Islam dan hokum
taklifi, prinsip-prinsip ibadah dan syari’at dalam Islam, fiqih
ibadah, mu’amalah, munakahat, mawaris, jinayah, siyasah, serta
dasar-dasar Istinbath dan kaidah ushul fiqih
6) Ilmu Kalam
- Memahami istilah-istilah aqidah, prinsip-prinsip, aliran-aliran dan
metode peningkatan kualitas aqidah serta meningkatkan kualitas
keimanan melalui pengamalan dan penghayatan al-asma’ al-husna
serta penerapan perilaku bertauhid dalam kehidupan.
- Memahami ilmu kalam, fungsi dan peranannya dalam kehidupan,
aliran-aliran dan tokok-tokoh yang berperan dalam
pengembangannya serta berbagai pandangan tentang ilmu kalam.89
89 Peraturan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2008 Tentang Standar
Kompetensi Lulusan dan Standar Isi Pendidikan Agama Islam dan Bahasa Arab di Madrasah, hlm.
3-10.
O. Dasar-dasar Pengembangan Kurikulum
1. Prinsip-prinsip Pengembangan Kurikulum
Sistem pendidikan akan melakukan perubahan bilamana kondisikondisi
pada supra-sistem, masyarakat, mengalami perubahan. Perubahan
kurikulum adalah hal yang normal, dan diharapkan, sebagai akibat
perubahan dalam lingkungannya. Para pekerja / spesialis kurikulum
bertanggung jawab untuk mencari cara untuk melakukan perbaikan
kurikulum secara berkesinambungan. Tugas para pekerja (tim
pengembang) kurikulum akan lebih mudah / lancar bilamana mengikuti
sejumlah prinsip yang telah diterima secara umum untuk pengembangan
kurikulum. Peter F. Oliva (1982) mengemukakan 10 prinsip umum atau
aksioma. Prinsip-prinsip itu tidak hanya bersumber dari luar disiplin ilmu
pendidikan profesional, tetapi juga dari tradisi / kebiasaan kurikulum,
observasi, data eksperimen dan common sense. Joseph J. Scwabb (1970)
membedakan bentuk disiplin ilmu teoritis yang praktis. Yang teoritis
menghasilkan pengetahuan yang bersifat umum atau universal yang
dipandang benar, dijamin dan dipercaya, tahan lama dan ekstensif. Dan
hasil akhir dari disiplin ilmu yang praktis adalah suatu keputusan, suatu
pilihan dan terarah pada tindakan yang mungkin diambil. Keputusan itu
belum tentu benar dan dinilai secara komparatif dengan alternatif yang
lain, misalnya, ….. ini lebih baik daripada yang lain. Dan berlakunya
relatif tidak lama dan kurang ekstensif.
Kesepuluh aksioma itu dirumuskan sebagai berikut:
Aksioma ke-1 sebagai titik awal dipostulatkan bahwa perubahan
adalah perlu dan diinginkan (mendesak) sebab melalui perubahanperubahan
bentuk kehidupan akan tumbuh dan berkembang. Lembagalembaga
pendidikan, sama halnya dengan manusia sendiri, tumbuh dan
berkembang sebanding dengan kemampuannya untuk merespon terhadap
perubahan dan untuk mengadaptasikan diri pada kondisi-kondisi yang
berubah. Masyarakat dan lembaga-lembaga terus menerus menghadapi
problema-problema yang harus dijawab atau hancur. Glen Hass
mengidentifikasi masalah-masalah umum masa kini yang dihadapi
masyarakat. Di antaranya yaitu: (1) pelestarian lingkungan, (2) krisis
energi, (3) perubahan nilai-nilai dan moralitas, (4) perubahan dalam
struktur dan kehidupan keluarga, (5) krisis perkotaan dan pedesaan, (6)
gerakan minoritas, wanita dan cacat yang menuntut persamaan hak, (7)
meningkatnya angka kejahatan, termasuk kekerasan dan kenakalan di
sekolah, timbulnya rasa terasing dan cemas yang dialami oleh banyak
orang.
Perubahan dalam bentuk jawaban-jawaban terhadap masalahmasalah
masa kini harus mendapat pertimbangan dari para pengembangan
kurikulum.
Aksioma ke-2. merupakan akibat logis dari aksioma 1, bahwa
kurikulum sekolah tidak hanya merupakan refleksi diri, tetapi juga
merupakan produk dari waktunya perubahan pendidikan, khususnya
perubahan kurikulum adalah bagian dan merupakan paket dari perubahan
sosial, serta berlangsung lebih kurang dengan kecepatan yang sama.
Aksioma ke-3. perubahan-perubahan kurikulum yang terjadi pada
masa lampau dapat tetap ada bersamaan waktunya dengan perubahan
kurikulum yang baru dilakukan. Revisi kurikulum jarang yang diawali dan
diakhiri secara tegas. Perubahan-perubahan lazimnya ada dalam waktu
yang sama dan yang terjadi tumpang tindih antara unsur kurikulum yang
lama dan yang baru. Biasanya dalam perkembangan kurikulum, masuknya
unsur-unsur baru dilakukan secara berangsur-angsur, demikian pula waktu
mengeluarkan unsur-unsur yang lama.
Aksioma ke-4, perubahan kurikulum adalah hasil dari perubahan
diri orang-orang (yang terlibat) dengan demikian pengembangan
kurikulum harus mulai dengan usaha mengubah orang-orang yang secara
langsung mempengaruhi perubahan kurikulum. Usaha ini mencakup upaya
melibatkan orang-orang dalam proses pengembangan kurikulum untuk
memperoleh komitmen pada perubahan itu. Pernah terjadi pengalaman
pahit yaitu perubahan-perubahan kurikulum yang dikomandokan dari atas
(top down) kepada bawahan-bawahannya tidak berjalan dengan baik.
Selama bawahan belum memahami dan menerima perubahan itu sebagai
program sendiri, perubahan-perubahan itu akan berhasil dan bertahan
lama.
Aksioma ke-5, perbaikan kurikulum akan berhasil bilamana
diciptakan kerjasama dari berbagai kelompok. Dahulu perubahan
kurikulum hanya melibatkan kelompok kecil saja, tetapi kini agar berhasil
dengan baik, harus mengikutsertakan banyak kelompok dan individuindividu
didorong untuk aktif berpartisipasi yang dilandasi semangat
kerjasama yang murni.
Aksioma ke-6, pengembangan kurikulum pada dasarnya adalah
suatu proses pemilihan antara alternatif-alternatif dan proses pengambilan
keputusan. Perencanaan kurikulum bekerjasama dengan mereka yang
terlibat harus melakukan berbagai pilihan, termasuk: 1) memilih di antara
disiplin-disiplin ilmu, 2) memilih di antara berbagai pandangan yang
bersaing, 3) memilih tentang hal-hal yang perlu mendapat tekanan /
perhatian, 4) memilih metodologi, 5) memilih organisasi dan sebagainya.
Aksioma ke-7, pengembangan kurikulum pada hakikatnya
merupakan suatu proses yang terus menerus tanpa akhir, perencanaan
kurikulum senantiasa mengupayakan yang ideal, namun yang ideal itu
tidak pernah ada akhirnya. Hal ini disebabkan karena kebutuhankebutuhan
pelajar selalu berubah, masyarakat berubah, ilmu pengetahuan
dan teknologi berkembang, sehingga kurikulumpun harus berubah dan
berkembang.
Aksioma ke-8, pengembangan kurikulum adalah suatu proses yang
komprehensif. Perencanaan kurikulum seringkali selalu bersifat
fragmentaris, lebih bersifat sektoral daripada komprehensif atau holistik.
Banyak perencana kurikulum hanya memfokuskan perhatian kepada
pohon-pohon, bukan hutan secara keseluruhan.
Aksioma ke-9 pengembangan kurikulum secara sistematis adalah
lebih efektif daripada tindakan trial and error. Pengembangan kurikulum
yang ideal adalah yang bersifat komprehensif dengan melihat keseluruhan
unsur dan masukan sebagai sistem serta secara sistematis mengikuti
seperangkat prosedur yang efektif dan efisien. Prosedur tersebut harus
disetujui dan diketahui oleh semua pihak yang terlihat dalam kegiatan
pengembangan kurikulum.
Aksioma ke-10. Perencanaan kurikulum harus mulai dari
kurikulum itu sendiri, sebagaimana seorang guru yang mulai dari mana
peserta didik berada. Pengembangan kurikulum tidak terjadi dalam
semalam. Tetapi usaha itu merupakan proses yang cukup lama dalam
mengkaji kurikulum. Bilamana perencana kurikulum mulai dari kurikulum
yang ada, akan lebih tepat apabila ia berbicara tentang reorganisasi
kurikulum daripada organisasi kurikulum. Keseluruhan investasi fikiran,
usaha, waktu, uang dan sebagainya, dari perencanaan yang lampau tidak
begitu saja dapat dibuang walaupun akan dilakukan pembaharuan yang
drastis sekalipun.90
2. Kerangka Pengembangan Kurikulum
Pengembangan kurikulum ini harus mengacu pada sebuah
kerangka umum, yang berisikan hal-hal yang diperlukan dalam pembuatan
keputusan.
a. Asumsi
Asumsi yang digunakan dalam pengembangan kurikulum ini
menekankan pada keharusan pengembangan kurikulum yang telah
terkonsep dan diinterpretasikan dengan cermat, sehingga upaya-upaya
yang terbatas dalam reformasi pendidikan, kurikulum yang tidak
berimbang, dan inovasi jangka pendek dapat dihindarkan.
Dalam konteks ini kurikulum didefinisikan sebagai suatu
rencana untuk mencapai hasil-hasil yang diharapkan, atau dengan kata
lain suatu rencana mengenai tujuan, hal yang dipelajari dan hasil
pembelajaran. Dengan demikian, kurikulum terdiri atas beberapa
90 Peter F. Oliva, op.cit., hlm. 12-15.
komponen, yaitu hasil belajar dan struktur (sekuens berbagai kegiatan
belajar).
Konsekuensi lebih jauh dari keharusan penggunaan dasar
teoritis untuk pengembangan kurikulum adalah pada pembelajaran
(instruction). Pembelajaran adalah proses mengajar yaitu menyiapkan
lingkungan mengajar agar siswa dapat berinteraksi dengan orang,
benda, tempat dan ide melalui penyampaian kurikulum merupakan
suatu proses perencanaan yang kompleks, mulai dari penilaian
kebutuhan, identifikasi hasil belajar yang diharapkan, serta persiapan
pembelajaran untuk mencapai tujuan dan pemenuhan kebutuhan
budaya, sosial dan personal.
Sesuai dengan definisi tersebut, kriteria evaluasi kurikulum
disiapkan jika hasil-hasil belajar yang diharapkan sudah teridentifikasi.
Pengembangan kurikulum melibatkan banyak keputusan pada
beberapa level yang berbeda, seperti anak-anak usia prasekolah, SD,
sekolah lanjutan (SLTP dan SMU), dan perguruan tinggi (termasuk
pendidikan kejuruan). Pengembangan kurikulum dapat difokuskan
pada unit yang sangat terbatas, misalnya pada satu guru dan satu siswa,
sampai pada scope yang luas dengan melibatkan kelompok besar,
misalnya kelompok guru di suatu daerah atau negara.
Dilihat dari aspek ruang lingkup pengembangan kurikulum,
tersirat adanya sejumlah pilihan untuk melakukan pengembangan
kurikulum. Akibatnya terjadi pertentangan antarkonsepsi kurikulum,
hal ini dapat memunculkan kontroversi di sekolah atau dalam
masyarakat. Oleh karena itu, administrator sekolah hendaknya
memahami secara mendalam perbedaan orientasi berbagai konsep
kurikulum tersebut.
Dalam pengembangan kurikulum kepemimpinan yang efektif
bergantung pada kemampuan menjelaskan dan menerapkan
pendekatan dalam tercapainya tujuan kurikulum, serta melibatkan
orang lain dalam proses perencanaan dan implementasinya.
b. Tujuan Pengembangan Kurikulum
Istilah yang digunakan untuk menyatakan tujuan
pengembangan kurikulum adalah goals dan objectives. Tujuan sebagai
goals dinyatakan dalam rumusan yang lebih abstrak dan bersifat
umum, dan pencapaiannya relatif dalam jangka pendek.
Aspek tujuan, baik yang dinyatakan dalam goals maupun
objectives, memainkan peran yang sangat penting dalam
pengembangan kurikulum. Tujuan berfungsi untuk menentukan arah
seluruh upaya kependidikan sekolah atau unit organisasi lainnya,
sekaligus menstimulasi kualitas yang diharapkan. Berbagai kegiatan
lain dalam pengembangan kurikulum seperti penentuan ruang lingkup,
sekuensi dan kriteria seleksi konten, tidak akan efektif jika tidak
berdasarkan tujuan yang signifikan. tujuan pendidikan pada umumnya
berdasarkan filsafat yang dianut atau yang mendasari pendidikan
tersebut.
Mengingat pentingnya tujuan ini, tidak heran jika perumusan
tujuan menjadi langkah pertama dalam pengembangan kurikulum.
Filosofi yang dianut pendidikan atau sekolah biasanya menjadi dasar
pengembangan tujuan. Oleh karena itu, tujuan hendaknya
merefleksikan kebijaksanaan, kondisi masa kini dan masa datang,
prioritas sumber-sumber yang sudah tersedia, serta kesadaran terhadap
unsur-unsur pokok dalam pengembangan kurikulum.
Secara lebih jauh, tujuan berfungsi sebagai pedoman bagi
pengembangan tujuan-tujuan spesifik (objective), kegiatan belajar,
implementasi kurikulum dan evaluasi untuk mendapatkan balikan
(feedback). Sebagai contoh, menurut Komite Pengembangan
Kurikulum Amerika Serikat, terdapat sepuluh tujuan umum (goals),
yaitu ketrampilan dasar (basic skills), konseptualisasi diri, pemahaman
terhadap orang lain penggunaan pengetahuan yang telah terkumpul
untuk menginterpretasi dunia (lingkungan kehidupan), belajar
berkelanjutan, kesehatan mental dan fisik, partisipasi dalam dunia
ekonomi, produksi dan konsumsi, warga masyarakat yang bertanggung
jawab, kreativitas dan kesiapan menghadapi perubahan (coping with
change).
Setiap tujuan yang bersifat umum di atas harus diuraikan lagi
menjadi beberapa sub tujuan (subgoals) yang lebih operasional.
Misalnya tujuan pengembangan ketrampilan dasar diuraikan menjadi:
- Mendapatkan informasi dan pengertian melalui kegiatan
mengamati, mendengar, dan membaca.
- Mengolah informasi dan pengertian yang diperoleh melalui
ketrampilan berpikir reflektif.
- Berbagi informasi dan mengekspresikan pengertian melalui
kegiatan percakapan, menulis dan alat-alat nonverbal.
- Memanipulasi lambang dan menggunakan pikiran matematis dan
sebagainya.
c. Penilaian Kebutuhan
Kebutuhan merupakan suatu hal yang pokok dalam
perencanaan (Unruh dan Unruh, 1984) dalam kaitannya dengan
pengembangan kurikulum dan pembelajaran, kebutuhan didefinisikan
sebagai perbedaan antara keadaan aktual (actual circumstance) dan
keadaan ideal yang dicita-citakan (envisioned ideal circumstance).
Dengan kata lain, suatu perbedaan antara keadaan riil dan ideal
kondisi, kualitas dan sikap.
Penilaian kebutuhan adalah prosedur, baik secara terstruktur
maupun informal untuk mengidentifikasi kesenjangan antara situasi
“di sini dan sekarang” (here and now situation) dan tujuan yang
diharapkan. Penilaian kebutuhan dapat mendahului maupun mengikuti
penentuan tujuan. Kebutuhan juga dapat dimanfaatkan oleh
pengembang kurikulum untuk melakukan revisi dan modifikasi
kurikulum.
d. Konten Kurikulum
Pada umumnya, konten kurikulum dipandang sebagai
informasi yang terkandung dalam bahan-bahan yang dicetak, rekaman
audio dan visual, komputer dan alat-alat elektronik lainnya, atau yang
ditransmisikan secara lisan. Konten kurikulum seperti ini sebenarnya
sangat potensial bagi siswa informasi menjadi konten bagi siswa jika
dapat memberi pengertian terhadap aktivitas yang berguna. Karena itu,
seleksi konten untuk kurikulum dan pembelajaran hanya merupakan
salah satu bagian dari tugas-tugas pengembangan kurikulum yang
berhubungan dengan konten tersebut. Konsekuensi yang lebih jauh,
penentuan konten kurikulum harus disertai dengan perencanaan
aktivitas yang bermakna.
e. Sumber Materi Kurikulum
Materi kurikulum yang diperlukan oleh para pengembang
kurikulum dapat diperoleh di buku-buku teks dan petunjuk bagi guru.
Materi tersebut juga dapat diperoleh di beberapa tempat seperti
perpustakaan kurikulum di berbagai universitas, khususnya pada
bagian pendidikan. Selain itu pusat-pusat sistem sekolah umum, pusat
pendidikan guru, kantor konsultan kurikulum, departemen pendidikan
dan agen-agen pelayanan regional lainnya, hg merupakan tempat untuk
memperoleh materi kurikulum.
Deskripsi dan analisis suatu pandangan komprehensif tentang
lapangan kurikulum tidak mungkin tersaji hanya dalam satu literatur.
Oleh karena itu, diperlukan sumber-sumber yang mendukung dalam
memperoleh informasi dan ide-ide lebih jauh tentang lapangan
kurikulum yang dikaji. Sumber-sumber yang dimaksud meliputi karyakarya
yang diterbitkan oleh asosiasi profesional, penerbitan berkala
dan buku-buku teks yang relevan.
f. Implementasi Kurikulum
Sebuah kurikulum yang telah dikembangkan tidak akan berarti
(menjadi kenyataan) jika tidak diimplementasikan, dalam artian
digunakan secara aktual di sekolah dan di kelas. Dalam implementasi
ini, tentu saja harus diupayakan penanganan terhadap pengaruh faktorfaktor
tertentu, misalnya kesiapan sumber daya, faktor budaya
masyarakat dan lain-lain.
Berbagai dimensi implementasi kurikulum yang penting untuk
dicermati adalah materi kurikulum, struktur organisasi kurikulum,
peranan atau perilaku, pengetahuan dan internalisasi nilai.
Keberhasilan implementasi terutama ditentukan oleh aspek
perencanaan dan strategi implementasinya. Pada prinsipnya,
implementasi ini mengintegrasikan aspek-aspek filosofis, tujuan,
subject matter, strategi mengajar dan kegiatan belajar, serta evaluasi
dan feedback.
g. Evaluasi Kurikulum
Evaluasi adalah suatu proses interaksi, deskripsi, dan
pertimbangan (judgment) untuk menemukan hakikat dan nilai dari
suatu hal yang dievaluasi, dalam hal ini kurikulum. Evaluasi
kurikulum sebenarnya dimaksudkan untuk memperbaiki substansi
kurikulum, prosedur implementasi, metode instruksional, serta
pengaruhnya pada belajar dan perilaku siswa.
Pertimbangan penting lainnya bagi evaluator kurikulum adalah
evaluasi formatif (Untuk perbaikan program), dan evaluasi sumatif,
untuk memutuskan melanjutkan program yang dievaluasi untuk
menghentikannya dengan program lain. Model-model evaluasi
kurikulum yang dapat dipilih dan diaplikasikan adalah model
pencapaian tujuan (goal attainment model), model pertimbangan
(judgment evaluation model), model pengambilan keputusan (decision
facilitative evaluation model), dan model deskriptif.
h. Keadaan di Masa Mendatang
Oleh karena manusia memiliki visi terhadap masa yang akan
datang, maka manusia selalu menghadapi tantangan yang semakin
berat. Dalam pengembangan kurikulum dan pembelajaran, pandangan
dan kecenderungan pada kehidupan masa datang sudah menjadi
kepentingan pokok.
Pesatnya perubahan dalam kehidupan sosial, ekonomi,
teknologi, serta berbagai peristiwa dunia, memaksa setiap warga
masyarakat berpikir dan merespon setiap perubahan yang dihadapi.
Oleh karenanya, harus dipikirkan solusi alternatif dalam menghadapi
situasi masa yang akan datang tersebut. Prediksi keadaan penduduk,
persediaan makanan, polusi, sumber-sumber yang tidak dapat
diperbaharui, ancaman nuklir, serta gejolak politik dan ekonomi, harus
direspons sejak sekarang, tidak terkecuali respon dari pengembangan
pendidikan. Dengan kata lain, setiap rencana pengembangan
kurikulum harus memasukkan pertimbangan kehidupan di masa depan,
serta implikasinya pada perencanaan kurikulum.91
Kurikulum PAI di Indonesia bersifat normatif dan kurang bisa
mengikuti perkembangan zaman. Penggunaan akal dalam kurikulum PAI ini
sedikit tidak ada. Kebanyakan kurikulum PAI di Indonesia hanya berupa
pemaparan terutama hukum fiqh tanpa adanya rancangan untuk berpikir dan
berbuat. Hal tersebut tidak sesuai dengan apa yang diterangkan dalam filosofis
pengembangan kurikulum, yaitu bahwa pendidikan harus merangsang fungsi
akal dan mendorong kita untuk berpikir dan berbuat. Sehingga ranah kognitif,
afektif dan psikomotorik dapat tercapai dengan baik. Kurikulum PAI harus
berkembang mengikuti zaman supaya dapat menjawab permasalahanpermasalahan
masa kini dan isi kurikulum PAI tidak boleh stagnan.
91 Oemar Hamalik, op.cit., hlm. 185-191.


BAB IV
IMPLEMENTASI KEDUDUKAN AKAL DALAM PENGEMBANGAN
KURIKULUM PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
A. Urgensi Kedudukan Akal dalam Pengembangan Kurikulum Pendidikan
Agama Islam
Pelajaran agama yang diberikan secara tradisional tidak
mementingkan pemakaian akal. Yang banyak dijalankan dalam cara ini ialah
memompakan pengetahuan keagamaan he dalam din anak didik. Institut Studi
Islam, baik di dunia Islam maupun di dunia Barat, dengan kurikulumnya yang
berbeda dengan yang ada di lembaga pendidikan agama tradisional,
sebaliknya, menonjolkan pemakaian akal dan pendidikan akhlak dalam Islam.
Dengan demikian, di Institut Studi Islam ketika mempelajari filsafat
Islam, soal akal, yang merupakan terjemahan dan kata nous dalam filsafat
Yunani, ternyata sangat ditekankan seperti diajarkan dalam Al-Quran dan
hadis. Berpikir dalam Al-Quran diungkapkan dalam berbagai kata.
Yang termasyhur, sebagaimana diketahui adalah kata ya’qilu
(memakai akal) yang terdapat pada 49 ayat dalam berbagai bentuk katanya.
Kata al-‘aql yang masuk ke dalam Bahasa Indonesia dan menjadi akal, berasal
dari kata ini. Kata lainnya adalah nazhara (melihat secara abstrak) yang
terdapat dalam 30 ayat. Dalam Bahasa Indonesia kata ini menjadi nalar,
penalaran dan sebagainya. Kata lainnya adalah tafakkara (berpikir) yang
terkandung dalam 19 ayat. Kata Indonesia berpikir jelas berasal dari kata ini.
Perbuatan berpikir juga diungkapkan dengan kata fahima, dan dalam bahasa
Indonesia ia menjadi “paham”. Kata faqiha dalam berbagai bentuknya
terdapat dalam 16 ayat juga menggambarkan perbuatan berpikir. Di dalam
Al-Quran juga dijumpai kata tadzakara (memperhatikan, mempelajari) dalam
40 ayat. Dalam bahasa Indonesia kata ini dikenal sebagai mudzakarah,
bertukar pikiran. Kata lainnya lagi adalah tadabbara yang juga mengandung
arti berfikir.
Se1ain dan kata-kata di atas terdapat pula di dalam A1-Quran kata ulul
albab (orang berpikir). Ulu al-ilm (orang berilmu, ulul al abshar (orang
berpandangan) dan ulu al nuha (orang bijaksana) semua itu adalah sebutan
yang memberi sifat berpikir yang terdapat pada manusia.
Kata “ayah” sendiri, yang dalam bahasa Indonesia menjadi ‘ayat,
mempunyai hubungan yang erat sekali dengan pekerjaan berpikir. Arti asli
dari kata “ayah” ialah ‘tanda. Ayah dalam anti ini kemudian dipakai untuk
fenomena alam, yang banyak disebut dalam ayat al-kauniyah, yaitu ayat
Quran yang membicarakan fenomena alam. Tanda yang ditangkap dengan
indera, mempunyai arti abstrak yang terletak di dalamnya. Tanda itu harus
diperhatikan, diteliti, dipikirkan dan direnungkan untuk memperoleh arti
abstrak yang terletak di belakangnya itu.
Demikian juga dengan ayat al-kauniyah, Al-Qur'an menyebut bahwa
alam ini penuh ayat, tanda-tanda yang harus diteliti, dipelajari dan dipikirkan
untuk mengetahui rahasia yang terletak di belakangnya. Penulisan dan
pemikiran mendalam tentang ayat al-kauniyah itu membawa kepada
terungkapnya hukum alam yang mengatur perjalanan alam dan akhirnya
kepada Tuhan, Maha Pencipta dan Maha Pengatur alam semesta.
Sebagaimana diketahui ayat-ayat yang pertama diturunkan kepada
Nabi mengandung kata-kata iqra’ (bacalah, ‘allama (mengajar), al-qalam
(pena), dan ya’lam (mengetahui). Jelas bahwa kata-kata baca, mengajar, pena,
dan mengetahui erat sekali hubungannya. dengan ilmu pengetahuan. Ayat-ayat
itu datang bukan dalam bentuk cerita. tetapi dalam bentuk perintah, maka
tersirat di dalamnya perintah bagi umat Islam untuk mencari ilmu
pengetahuan.
Perintah tersirat ini, ditegaskan hadis yang menuntut umat supaya
mencari ilmu dan masa ayun sampai ke masa akan masuk liang lahat, yaitu
apa yang disebut sekarang sebagai pendidikan seumur hidup. Kalau hadis ini
menyebut masa, hadis lain menyebut tempat. Hadits itu memerintahkan
supaya umat mencari ilmu kemana saja, walaupun sejauh cina.
Sebagaimana diketahui, di zaman Nabi, Cina adalah negeri yang paling
jauh. Dan Cina bukanlah negeri agama, tetapi negeri industri, seperti kain
sutera, porselin, dan lain-lain. Jadi, yang dimaksud hadis ini bukanlah mencari
ilmu agama, tetapi ilmu dunia.
Tegasnya, Al-Quran dan hadis sama-sama memberikan kedudukan
yang tinggi kepada akal dan sama-sama memerintahkan mencari ilmu; dan
mencari ilmu bukan ilmu keagamaan saja, tetapi juga ilmu keduniaan, dan
bukan untuk masa terbatas saja, tetapi untuk seumur hidup, dan bukan di
dekat saja tetapi juga di tempat jauh.
Pemakaian akal dalam sejarah Islam bukan terjadi dalam soal-soal
keduniaan saja, tetapi juga dalam soal-soal keagamaan sendiri. Karena ayatayat
Al-Quran yang mengandung masalah keimanan, ibadah dan hidup
kemasyarakatan manusia dikenal dengan muamalah, berjumlah kurang lebih
hanya 500 ayat, dan itu pun hanya pada umumnya datang dalam bentuk
prinsip-prinsip dan garis-garis besar tanpa penjelasan lebih lanjut mengenai
perincian maupun cara pelaksanaannya, maka akal banyak masalah iman,
ibadah, dan muamalah. Pemakaian akal yang dilakukan ulama terhadap teks
ayat Al-Quran dan hadis disebut ijtihad, dan ijtihad tegasnya pemikiran
merupakan sumber ketiga dalam Islam. Jelasnya, sumber ajaran Islam adalah
tiga: Al-Quran, hadis, dan akal.
B. Implementasi Kedudukan Akal dalam Pendidikan Agama Islam
Para ahli pendidikan muslim umumnya sependapat bahwa teori dan
praktek kependidikan Islam harus didasarkan pada konsepsi dasar tentang
akal. Pembicaraan di seputar persoalan ini adalah merupakan sesuatu yang
sangat vital dalam pendidikan. Tanpa kejelasan tentang konsep ini, pendidikan
akan meraba-raba. Bahkan menurut Ali Ashraf, pendidikan Islam tidak akan
dapat difahami secara jelas tanpa terlebih dahulu memahami penafsiran Islam
tentang pengembangan individu seutuhnya. Paling tidak ada 2 (dua) implikasi
terpenting dalam hubungannya dengan pendidikan Islam, yaitu:
1. Karena manusia adalah makhluk yang merupakan resultan dari dua
komponen (materi dan immateri), maka konsepsi itu menghendaki proses
pembinaan yang mengacu ke arah realisasi dan pengembangan komponenkomponen
tersebut. Hal ini berarti bahwa sistem pendidikan Islam harus
dibangun di atas konsep kesatuan integrasi antara pendidikan qalbiyah dan
aqliyah sehingga mampu menghasilkan manusia muslim yang pintar
secara intelektual dan terpuji secara moral. Jika kedua komponen itu
terpisah atau dipisahkan dalam proses pendidikan Islam, maka manusia
akan kehilangan keseimbangan dan tidak akan pernah menjadi pribadipribadi
yang sempurna (al-insan al-kamil)
2. Al-Qur'an menjelaskan bahwa fungsi penciptaan manusia di alam ini
adalah sebagai khalifah dan ‘abd. Untuk melaksanakan fungsi ini Allah
SWT membekali manusia dengan akal. Dalam konteks ini, maka
pendidikan Islam harus merupakan upaya yang ditujukan ke arah
pengembangan potensi yang dimiliki manusia secara maksimal sehingga
dapat diwujudkan dalam bentuk konkrit, dalam arti berkemampuan
menciptakan sesuatu yang bermanfaat bagi diri, masyarakat dan
lingkungannya sebagai realisasi dan tujuan penciptaannya, baik sebagai
khalifah maupun ‘abd.
Kedua hal di atas menjadi acuan dasar dalam menciptakan dan
mengembangkan kurikulum pendidikan agama Islam masa kini dan masa
depan. Fungsionalisasi pendidikan Islam dalam mencapai tujuannya sangat
bergantung pada sejauh mana kemampuan umat Islam menterjemahkan dan
merealisasikan konsep kedudukan akal dalam Al-Qur'an da fungsi penciptaan
manusia dalam alam semesta ini. Untuk menjawab hal itu, maka pendidikan
Islam dijadikan sebagai sarana yang kondusif bagi proses transformasi ilmu
pengetahuan dan budaya Islami dari satu generasi kepada generasi berikutnya.
Dalam konteks ini difahami bahwa posisi manusia sebagai khalifah dan ‘abd
menghendaki program pendidikan yang menawarkan sepenuhnya penguasaan
ilmu pengetahuan secara totalitas, agar manusia tegas sebagai khalifah dan
taqwa sebagai substansi dan aspek ‘abd. Sementara itu, keberadaan manusia
sebagai resultan dari dua komponen (materi dan immateri) menghendaki pula
program pendidikan yang sepenuhnya mengacu pada konsep equilibrium,
yaitu integrasi yang utuh antara pendidikan aqliyah dan qalbiyah.
Agar pendidikan umat berhasil dalam prosesnya, maka konsep
kedudukan akal dalam Al-Qur'an harus sepenuhnya diakomodasikan dalam
perumusan teori-teori pendidikan Islam melalui pendekatan kewahyuan,
empirik keilmuan dan rasional filosofis. Dalam hal ini harus difahami pula
bahwa pendekatan keilmuan dan filosofis hanya merupakan media untuk
menalar pesan-pesan Tuhan yang absolut, baik melalui ayat-ayat-Nya yang
bersifat tekstual (qur’aniyah) maupun ayat-ayat-Nya yang bersifat kontekstual
(kauniyah) yang telah dijabarkan-Nya melalui sunatullah.92
Pemikiran keislaman dalam pengembangan kurikulum membutuhkan
pendekatan Bayani, Irfani dan Burhani, sesuai dengan obyek kajiannya --
apakah teks, ilham atau realitas-- berikut seluruh masalah yang menyangkut
aspek tranhistoris, transkultural dan transreligius. Berikut implementasi
pemikiran Islam terhadap pengembangan kurikulum Pendidikan Agama Islam.
Pertama, pendekatan bayani adalah pendekatan yang beranggapan
bahwa sumber ilmu pengetahuan adalah wahyu [teks] atau penalaran dari teks.
Ilmu-ilmu keislaman seperti hadis, fikih, ushul fikih, dan lainnya,
menggunakan pendekatan ini. pendekatan bayani merupakan suatu cara untuk
mendapatkan pengetahuan dengan berpijak pada teks, baik secara langsung
maupun tidal langsung. Secara langsung dalam arti langsung menganggap teks
sebagai pengetahuan jadi, dan secara tidak langsung yaitu dengan melakukan
penalaran yang berpijak pada teks ini. Dengan kata lain sumber pengetahuan
menurut pendekatan ini adalah teks, atau penalaran yang berpijak pada teks.
Kedua, pendekatan irfani adalah pendekatan yang beranggapan bahwa
ilmu pengetahuan adalah kehendak [irodah]. Pendekatan ini memiliki metode
yang khas dalam mendapatkan pengetahuan, yaitu kasyf. Metode ini sangat
unique karena tidak bisa dirasionalkan dan diperdebatkan. Pendekatan ini
92 Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam Pendekatan Historis, Teoritis dan Praktis,
(Jakarta Selatan: PT. Intermasa 2002), cet. I, hlm. 21-23
benar-benar sulit dipahami, karena sifatnya yang tidak bisa diverifikasi dan
didemonstrasikan. pendekatan ini lebih mengandalkan pada rasa individual,
daripada penggambaran dan penjelasan, bahkan ia menolak penalaran.
Penganut pendekatan ini adalah para sufi, oleh karenanya teori-teori yang
dikomunikasikan menggunakan metafora dan tamsil, bukan dengan
mekanisme bahasa yang definite.
Ketiga, pendekatan burhani adalah pendekatan yang berpandangan
bahwa sumber ilmu pengetahuan adalah akal. Akal menurut pendekatan ini
mempunyai kemampuan untuk menemukan berbagai pengetahuan, bahkan
dalam bidang agama sekalipun akal mampu untuk mengetahuinya, seperti
masalah baik dan buruk [tansin dan tahbih]. Pendekatan burhani ini dalam
bidang keagamaan banyak dipakai oleh aliran berpaham rasionalis seperti
Mu’tazilah. Ibnu Kholdun menyebut pendekatan ini dengan ulum al-aqliyyah
[knowledge by intellect]. Tokoh pendiri pendekatan ini adalah Aristoteles.
Karena pendekatan ini lebih berpijak pada tradisi berpikir yunani, maka ciri
utamanya adalah penggunaan akal secara maksimal.
Ketiga, kecenderungan pendekatan Islam di atas, secara teologis
mendapatkan justifikasi dari al-Qur’an. Dalam al-Qur’an banyak ditemukan
ayat-ayat yang berbicara tentang pengetahuan yang bersumber pada
rasionalitas. Perintah untuk menggunakan akal dengan berbagai macam
bentuk kalimat dan ungkapan merupakan suatu indikasi yang jelas untuk hal
ini. Akan tetapi meski demikian tidak sedikit pula paparan ayat-ayat yang
mengungkap tentang pengetahuan yang bersumber pada intuisi [hati atau
perasaan] terdalam.
Namun, jika dalam perkembangannya, kajian pendekatan s dalam
literatur Barat dapat membuka perspektif baru dalam kajian ilmu pengetahuan
yang multidimensional, kecenderungan pendekatan dalam pemikiran Islam
beringsut lebih tajam ke wilayah bayani dan irfani dengan mengabaikan
penggunaan rasio [burhan] secara maksimal, sebagaimana pernah
dipraktekkan pada masa golden age of science in Islam antara tahun 650 M
sampai 1100 M. Hal inilah kemudian yang diperkirakan menjadi faktor utama
yang mengakibatkan keterpurukan umat Islam dalam hal Iptek.
Berangkat dari Hellenisme Yunani yang spekulatif-kontemplatif, para
sarjana muslim pada masa kejayaannya leluasa menyerap, kemudian
memodifikasi menjadi tradisi Filsafat sains yang berangkat dari postulatpostulat
al Qur’an dengan mengetengahkan tradisi berpikir empirikaleksperimental.
Usaha tersebut dilakukan dengan mendayagunakan perangkatperangkat
intelektual sebagai jalan mencari jawab tentang hakekat realitas,
baik yang nyata [fisis] maupun yang gaib [metafisis]. Dari revolusi filsafat di
tangan kaum muslimin itu, lahirlah konsep ilmu atau sains yang tegak di atas
postulat-postulat Qur’an.
Metode eksperimen dikembangkan oleh sarjana-sarjana Muslim pada
abad keemasan Islam, ketika ilmu dan pengetahuan lainnya mencapai
kulminasi antara abad IX dan XII. Semangat mencari kebenaran yang dimulai
oleh pemikir-pemikir Yunani dan hampir padam dengan jatuhnya kekaisaran
Romawi dihidupkan kembali dalam kebudayaan Islam. “Jika orang Yunani
adalah bapak metode ilmiah“, simpul H.G. Wells, “maka orang Muslim adalah
bapak angkatnya.” Dalam perjalanan sejarah lewat orang Muslimlah, dan
bukan lewat kebudayaan Latin, dunia modern sekarang ini mendapatkan
kekuatan dan cahayanya.
Hanya saja, setelah memasuki abad XII M, pergumulan pemikiran
kaum muslimin sedikit mulai meninggalkan tradisi pelacakan dalam filsafat,
khususnya Filsafat Sains, dan lebih mengembangkan kesadaran mistis dan
asketisme, lari dari dunia materi atau kesadaran kosmis menuju pada dunia
sufisme. Pentakwilan secara rasional terhadap nash-nash Qur’an menjadi
haram. Pintu ijtihad ditutup rapat-rapat. Kegiatan berfilsafat mulai dihujat, dan
para filosof mulai dicap kafir. Islam kemudian direduksi sebatas persoalanpersoalan
ritual semata, atau sekedar ajaran-ajaran moral yang melangit. Pada
fase inilah umat Islam menuju pintu gerbang awal kemunduran dan redupnya
mercusuar peradabannya.
Pada prinsipnya, Islam telah memiliki pendekatan yang komprehensif
sebagai kunci untuk mendapatkan ilmu pengetahuan. Hanya saja dari tiga
kecenderungan pendekatan s yang ada [bayani, irfani atau kasyf dan burhani],
dalam perkembangannya lebih didominasi oleh corak berpikir bayani yang
sangat tekstual dan corak berpikir irfani [kasyf] yang sangat sufistik. Kedua
kecenderungan ini kurang begitu memperhatikan pada penggunaan rasio
[burhani] secara optimal.
Dalam pendekatan bayani sebenarnya ada penggunaan rasio [akal],
tapi relatif sedikit dan sangat tergantung pada teks yang ada. Penggunaan yang
terlalu dominan atas pendekatan ini, telah menimbulkan stagnasi dalam
kehidupan beragama, karena ketidakmampuannya merespon perkembangan
zaman. Hal ini dikarenakan pendekatan bayani selalu menempatkan akal
menjadi sumber sekunder, sehingga peran akal menjadi terpasung di bawah
bayang-bayang teks, dan tidak menempatkannya secara sejajar, saling mengisi
dan melengkapi dengan teks.
Metode kasyf dalam kritik pendekatan , bukanlah suatu pola yang
berada di atas akal, seperti yang diklaim irfaniyyun. Bahkan ia tidak lebih dari
sekedar pemikiran yang paling rendah dan bentuk pemahaman yang tidak
terkendali. Irfaniyyun masuk ke alam mistis yang telah ada dalam pemikiran
agama-agama Persi kuno, yang dikembangkan pemikir-pemikir Hermeticism.
Apa yang mereka alami “ mungkin benar “ atau barangkali “kebenaran karena
kebetulan “, akan tetapi tidak akan dapat menyelesaikan masalah.
Pendekatannya yang supra-rasional, menafikan kritik atas nalar, serta
pijakannya pada logika paradoksal yang segalanya bisa diciptakan tanpa harus
berkaitan dengan sebab-sebab yang mendahuluinya, mengakibatkan
pendekatan ini kehilangan dimensi kritis dan terjebak pada nuansa magis
yang berandil besar pada kemunduran pola pikir manusia.
Dalam menyikapi kemunduran pada Iptek yang dialami oleh umat
Islam dewasa ini, maka seyogyanya umat Islam lebih mengedepankan
pendekatan yang bercorak burhani dengan dipandu oleh kebersihan hati
sebagai manifestasi dari pendekatan irfani. Penggunaan akal yang maksimal
bukan berarti pengabaian terhadap teks [nash]. Teks tetap dipakai sebagai
pedoman universal dalam kehidupan manusia.
Manusia dan akalnya adalah penentu dalam perkembangan kehidupan
setelah adanya patokan-patokan nash. Tetapi patokan ini, terutama yang
diberikan al-Qur’an masih bersifat global. Hal ini bertujuan agar memberikan
kekuasaan bagi manusia menyesuaikan dengan realitas keadaan dan zaman
yang terus berubah.
Pendekatan burhani berusaha memaksimalkan akal dan
menempatkannya sejajar dengan teks suci dalam mendapatkan ilmu
pengetahuan. Dalam pendekatan burhani ini, penggunaan rasionalitas tidak
terhenti hanya sebatas rasio belaka, tetapi melibatkan pendekatan empiris
sebagai kunci utama untuk mendapatkan ilmu pengetahuan, sebagaimana
banyak dipraktekkan oleh para ilmuwan Barat.
Perpaduan antara pikiran yang brilian yang dipadu dengan hati yang
jernih, akan menjadikan Iptek yang dimunculkan kelak tetap terarah tanpa
menimbulkan dehumanisasi yang menyebabkan manusia teralienasi [terasing]
dari lingkungannya. Kegersangan yang dirasakan oleh manusia modern saat
ini, karena Iptek yang mereka munculkan hanya berdasarkan atas rasionalitas
belaka, dan menafikan hati atau perasaan yang mereka miliki. Mereka
menuhankan Iptek atas segalanya, sedang potensi rasa [jiwa] mereka abaikan,
sehingga mereka merasa ada sesuatu yang hilang dalam diri mereka.
Keseimbangan antara pikiran [fikr] dan rasa [dzikr] ini menjadi penting
karena secanggih apapun manusia tidak dapat menciptakan sesuatu. Keduanya
adalah pilar peradaban yang tahan banting sejarah. Keduanya adalah
perwujudan iman seorang muslim. Umat yang berpegang kepada kedua pilar
ini disebut al Qur’an sebagai ulul albab. Mereka, disamping mampu
mengintegrasikan kekuatan fikr dan dzikr, juga mampu pula mengembangkan
kearifan yang menurut al Qur’an dinilai sebagai khairan katsiran. Perpaduan
antara pikiran dan rasa ini merupakan prasyarat mutlak dalam membangun
pendidikan Islam melalui pengembangan kurikulum PAI. Dalam ungkapan
Iqbal bahwa fikr dan dzikr atau ‘aqal dan ‘isyq harus diintegrasikan secara
mantap bila mau membangun peradaban modern yang segar. Sesuatu yang
tentunya sangat diidamkan oleh umat manusia, dan disinilah semestinya peran
yang harus dimainkan umat Islam untuk memerikan kontribusinya bagi
pendidikan Islam melalui pengembangan kurikulum PAI.93
93 Hujair AH. Sanaky, “Dinamika Pemikiran dalam Islam”,
http:sanaky.staff.uii.ac.id/category/modul/


BAB V

PENUTUP
A. KESIMPULAN
Dari uraian dan penjelasan di muka, kiranya dapat diambil butir-butir
kesimpulan sebagai berikut:
1. Kedudukan akal dalam Al-Qur'an dijelaskan pada Bab II halaman 18,
antara lain akal dan kata-kata yang berhubungan dengan kedudukan akal
misalnya, tadzakkarun, tafakkaru, dan ulil albab, sangat erat hubungannya
dengan masalah teologi (keimanan, kehidupan akhirat, kitab suci dan
sholat), kosmologis (dinamika manusia, tanda kebesaran Tuhan dan
semesta) dan moralitas yang mencakup etika pribadi atau hubungan sosial.
Dengan potensi yang dimiliki manusia, dengan akal-akalnya manusia
dituntut selalu berpikir dan menggali semua yang ada di bumi. Manusia
sebagai khalifah di bumi dengan akalnya harus bisa menjembatani amanah
dengan berpikir yang jernih seperti yang diajarkan dalam Al-Qur'an.
Dalam hal ini manusia dengan akalnya dituntut untuk bisa taat dan
mengikat hawa nafsunya.
Dalam Al-Qur'an, akal memiliki posisi yang sangat mulia. Meski
demikian bukan berarti akal diberi kebebasan tanpa batas dalam
memahami agama. Al-Qur'an memiliki aturan untuk menempatkan akal
sebagaimana kedudukannya. Bagaimanapun, akal yang sehat akan selalu
cocok dengan syariat Islam dalam permasalahan apapun.
Akal adalah nikmat yang besar yang Allah titipkan dalam jasmani
manusia. Hikmat yang bisa disebut hadiah ini menunjukkan kekuasaan
Allah yang sangat menakjubkan. Oleh karena itu dalam banyak ayat, Allah
memberi semangat untuk berakal (yakni menggunakan akalnya).
Sebaliknya, Allah mencela orang yang tidak berakal.
Kita pun dapat melihat agama Islam dalam ajarannya memberikan
bentuk kemuliaan terhadap akal, seperti Allah menjadikan akal sebagai
tempat bergantungnya hukum sehingga yang tidak berakal tidak dibebani
hukum. Walaupun akal dimuliakan tapi kita menyadari bahwa akal sesuatu
yang berada dalam jasmani makhluk. Maka ia sebagaimana makhluk yang
lain memiliki kelemahan dan keterbatasan.
Dari uraian di atas Al-Qur'an meletakkan akal sesuai dengan
kedudukannya tidak seperti yang dilakukan oleh kalangan Barat yang
menempatkan akal sebagai “Tuhan” dengan segala-galanya di dalam
kehidupan mereka. Allah menciptakan akal dalam keadaan terbatas
sehingga akal memerlukan perangkat lain berupa hati untuk dapat
memahami fenomena alam yang tidak mampu dijangkaunya. Sehingga
dengan keserasian antara akal dan hati, manusia dapat menjadi manusia
seutuhnya dan sesuai dengan apa yang digambarkan dalam kedudukan
akal oleh Al-Qur'an.
Selanjutnya pada halaman 31 bahwa Al-Qur'an meletakkan akal
sesuai dengan kedudukannya tidak seperti yang dilakukan oleh kalangan
Barat yang menempatkan akal sebagai “Tuhan” dengan segala-galanya di
dalam kehidupan mereka. Allah menciptakan akal dalam keadaan terbatas
sehingga akal memerlukan perangkat lain berupa hati untuk dapat
memahami fenomena alam yang tidak mampu dijangkaunya. Sehingga
dengan keserasian antara akal dan hati, manusia dapat menjadi manusia
seutuhnya dan sesuai dengan apa yang digambarkan dalam kedudukan
akal oleh Al-Qur'an.
2. Implementasi kedudukan akal dalam Al-Qur'an dalam pengembangan
kurikulum pendidikan agama Islam bahwa Al-Qur'an menjunjung tinggi
kedudukan akal. Ayat pertama yang diturunkan kepada Nabi adalah iqra’
(bacalah) seperti tercantum pada halaman 65. Itu menunjukkan bahwa akal
sangat erat hubungannya dengan pendidikan, dan akal selalu dituntut
untuk berpikir dan mencari tahu tentang segala hal. Untuk bisa menggali
segala sesuatu yang ada di dunia ini, diperlukan sistem pendidikan yang
baik. Dalam pendidikan harus ada kurikulum yang baik dan selalu
berkembang mengikuti zaman.
Perpaduan antara pikiran yang brilian yang dipadu dengan hati yang
jernih, akan menjadikan Iptek yang dimunculkan kelak tetap terarah tanpa
menimbulkan dehumanisasi yang menyebabkan manusia teralienasi [terasing]
dari lingkungannya. Kegersangan yang dirasakan oleh manusia modern saat
ini, karena Iptek yang mereka munculkan hanya berdasarkan atas rasionalitas
belaka, dan menafikan hati atau perasaan yang mereka miliki. Mereka
menuhankan Iptek atas segalanya, sedang potensi rasa [jiwa] mereka abaikan,
sehingga mereka merasa ada sesuatu yang hilang dalam diri mereka.
Keseimbangan antara pikiran [fikr] dan rasa [dzikr] ini menjadi penting
karena secanggih apapun manusia tidak dapat menciptakan sesuatu. Keduanya
adalah pilar peradaban yang tahan banting sejarah. Keduanya adalah
perwujudan iman seorang muslim. Umat yang berpegang kepada kedua pilar
ini disebut al Qur’an sebagai ulul albab. Mereka, disamping mampu
mengintegrasikan kekuatan fikr dan dzikr, juga mampu pula mengembangkan
kearifan yang menurut al Qur’an dinilai sebagai khairan katsiran. Perpaduan
antara pikiran dan rasa ini merupakan prasyarat mutlak dalam membangun
pendidikan Islam melalui pengembangan kurikulum PAI. Dalam ungkapan
Iqbal bahwa fikr dan dzikr atau ‘aqal dan ‘isyq harus diintegrasikan secara
mantap bila mau membangun peradaban modern yang segar. Sesuatu yang
tentunya sangat diidamkan oleh umat manusia, dan disinilah semestinya peran
yang harus dimainkan umat Islam untuk memerikan kontribusinya bagi
pendidikan Islam melalui pengembangan kurikulum PAI.
B. SARAN
Dari uraian beberapa sebelumnya dapat diketahui bahwa Al-Qur'an
menjunjung tinggi kedudukan akal. Oleh karena itu manusia harus selalu
berpikir dan berdzikir agar menjadi manusia seutuhnya. Bagi guru hendaknya
semaksimal mungkin menggunakan akal untuk mengembangkan kurikulum.
Seorang guru dalam mengajar tidak hanya mengedepankan hafalan saja, tetapi
harus mengajarkan sikap yang kritis dan penalaran, sehingga akal dari peserta
didik terolah dan mereka bisa memahami sekaligus mengamalkan apa yang
mereka pelajari. Bagi siswa hendaknya mereka selalu kritis tidak hanya diam
dan taklid. Mereka harus bersemangat dan selalu ingin lebih tahu terhadap
ilmu yang mereka terima.
C. PENUTUP
Dengan mengucapkan syukur alhamdulillah, penulis dapat
menyelesaikan skripsi ini, dengan disertai doa semoga skripsi ini dapat
bermanfaat bagi penulis pada khususnya dan bagi para pembaca pada
umumnya.
Penulis menyadari, meskipun skripsi ini sudah diusahakan sepenuhnya
bahwa skripsi ini kurang dari sempurna, maka dari itu segala kritik, koreksi
dan saran yang membangun dari pembaca yang budiman sangat penulis
harapkan demi kesempurnaan skripsi ini.
Akhirnya penulis berdoa semoga Allah SWT senantiasa
menganugerahkan rahmat, hidayah dan inayah-Nya kepada kita semua dan
semoga skripsi ini bermanfaat bagi kita semua. Amin.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad, M., dkk., Pengembangan Kurikulum untuk Fakultas Tarbiyah Komponen
MKDK, Bandung: CV. Pustaka Setia, 1998, Cet. I.
Al-Farisi, Dahlan M. Zakia, Asbabun Nuzul, Latar Belakang Historis Turunnya
ayat-ayat Al-Qur'an, Bandung: CV. Penerbit Diponegoro 2000, Ed. II.
Ali, Abdullah Yusuf, The Holy Qur’an Text, Translation and Commentary,
(Penerjemah: Ali Audah) Qur’an dan Terjemah Tafsirnya Juz 1 s/d XV,
Jakarta: Pustaka Firdaus, 1993, Cet. I.
Ali, Atabik, dan A. Zuhdi Mudlor, Kamus Al-Ashri Arab Indonesia, Yogyakarta:
Multi Karya Grafika, 2003.
Ali, Muhammad Daud, Pendidikan Agama Islam, Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 1998, Cet. V.
Al-Maraghi, Ahmad Musthafa, Terjemah Tafsir Al-Maraghi Juz 3, (Penerjemah:
Drs. M. Thalib), Bandung: CV. Rosda, 1987 Cet. II.
_______, Terjemah Tafsir Al-Maraghi Juz 22, (Penerjemah: Bahrun Abu Bakar
Lc.), Semarang: CV. Toha Putra, 1989, Cet. I.
Aly, Hery Noer, dan Munzier, Watak Pendidikan Islam, Jakarta: Friska Agung
Insani, 2003, Cet. II.
Ash-Shiddieqy, Teungku Muhammad Hasbi, Al-Bayan Tafsir Penjelas Al-Qur'an
Karim, Jilid 2, Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 2002, Cet. I.
_______, Tafsir Al-Qur'an Majid An-Nur Jilid 4, Semarang: Pustaka Rizki Putra,
2000, Cet. II, Ed. II.
Baidan, Nashruddin, Metodologi Penafsiran Al-Qur'an, Yogyakarta: Pustaka
Pelajar Offset, 2005, Cet. III.
BNSP, Panduan Penyusunan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan Jenjang
Pendidikan Dasar dan Menengah, Jakarta: BNSP, 2006.
Depag RI, Al-Qur'an dan Tafsirnya, Jilid I, Juz 1-2-3, Semarang: PT. Citra Effhar,
1993.
_______, Al-Qur'an dan Tafsirnya, Jilid VIII (UII), Yogyakarta: PT. Dana Bhakti
Wakaf, 1990.
_______, Al-Qur'an dan Terjemahan, Juz 1-30, Semarang: PT. Karya Toha Putra,
1995.
_______, Pedoman Pendidikan Agama Islam untuk Sekolah Umum, Jakarta:
Ikhlas Beramal, 2004.
Depdiknas, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 2005, Cet. 3,
Ed. 3.
Fachruddin, Ensiklopedia Al-Qur'an, Jilid I, Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1998, Cet.
II.
Furqon, Achmad, “Kajian Surat Ar-Rahman Ayat 1-4 Perspektif Pendidikan
Islam”, Skripsi, Semarang: Perpustakaan Fakultas Tarbiyah IAIN
Walisongo, 2009, t.d.
Hadi, Sutrisno, Metodologi Research I, Yogyakarta: Andi Offset, 1995.
Hamalik, Oemar, Dasar-Dasar Pengembangan Kurikulum, Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya, 2008, Cet. II.
_______, Manajemen Pengembangan Kurikulum, Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya, 2008, Cet. III.
_______, Proses belajar Mengajar, Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2007, Cet. VI.
Hasan, Ahmad Ibnu, Fathu al-Rohman Li Tolib al-Ayat al-Qur’an, Jakarta: Dar
al-Hikmah, t.t.
Hilal, Mohammad, “Manusia dalam Semantik Al-Qur'an dan Implikasinya
terhadap Tujuan Pendidikan Islam”, Skripsi, Semarang: Perpustakaan
Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo, 2006, t.d.
Inayah, Shofi, “Makna Qalam dalam Al-Qur'an dan Implementasinya dalam
Pendidikan Islam”, Skripsi, Semarang: Perpustakaan Fakultas Tarbiyah
IAIN Walisongo, 2006, t.d.
Khaerudin, dkk. Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) Konsep dan
Implementasinya di Madrasah, Semarang: MDC Jateng, 2007.
Ma’luf, Luwis, Al-Munjid fi Al-Lughat wa Al-A’lam, (Beirut: Dar al-Masyriqi,
2007), hlm. 520. Lihat juga, Ahmad Warson Munawir, Al-Munawwir
Kamus Arab Indonesia, Yogyakarta: Al-Munawir, 1984.
Muchlas, Imam, Al-Qur'an Berbicara (Kajian Kontekstual Beragam Persoalan),
Surabaya: Pustaka Progressif, 1996, Cet. I.
Musa, M. Yusuf, Al-Qur'an dan Filsafat, terj. M. Thalib, Yogyakarta: PT Tiara
Wacana, 1991, Cet. I.
Nashori, H. Fuad, Potensi-Potensi Manusia Seri Psikologi Islam, Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2005, Cet. 2.
Nasution, Harun, Islam Rasional: Gagasan dan Pemikiran, Bandung: Mizan,
1998, Cet. 5.
Nasution, S., Asas-Asas Pengembangan Kurikulum, Jakarta: PT. Bumi Aksara,
2001.
Nasution, S., Kurikulum dan Pengajaran, Jakarta: PT. Bumi Aksara, 1999), Cet.
III.
Nizar, Samsul, Filsafat Pendidikan Islam Pendekatan Historis, Teoritis dan
Praktis, Jakarta Selatan: PT. Intermasa 2002, Cet. I.
Nurdin, Syafruddin, Guru Profesional dan Implementasi Kurikulum, Jakarta:
Ciputat Press, 2002, Cet. 7.
Oliva, Peter F., Developing the Curriculum, (Terjemahan), Canada: Little, Brown
and Company Boston Toronto, 1982.
Pasiak, Taufik, Revolusi IQ/EQ/SQ: Menyingkap Rahasia Kecerdasan
Berdasarkan Al-Qur'an dan Neurosains Mutakhir, Bandung: PT. Mizan
2008, Cet. I.
Qardhawi, Yusuf, Al-Aqlu wal Ilmu Fil Qur’anil Karim, terj. Abdul Hayyie al-
Kattani, Irfan Salim dan Sochimien, Al-Qur'an Berbicara tentang Akal
dan Ilmu Pengetahuan, Jakarta: Gema Insani Press, 2004, Cet. VI.
_______, Al-Qur'an Berbicara tentang Akal dan Ilmu Pengetahuan, Jakarta:
Gema Insani, 1998.
Quthb, Sayyid, Fizhilalil Qur’an, (Penerjemah: As’ad Yasin, dkk), Tafsir Fi
Zhilahil Qur’an di Bawah Naungan Al-Qur'an, Jilid 9, Jakarta: Gema
Insani Press 2004, Cet. I.
_______, Fizhilalil Qur’an, (Penerjemah: As’ad Yasin, dkk), Tafsir fi Zhilalil
Qur’an di Bawah Naungan Al-Qur'an Jilid 10, Jakarta: Gema Insani Press
2004, Cet. I.
Rahman, Afzalur, Qur’anic Science, terj. M. Arifin, Al-Qur'an Sumber Ilmu
Pengetahuan, Jakarta: PT Rineka Cipta, 2000, Cet. III.
Sanaky, Hujair AH., “Dinamika Pemikiran dalam Islam”,
http:sanaky.staff.uii.ac.id/category/modul/
Sanjaya, Wina, “Kajian Kurikulum dan Pembelajaran”, Tesis Pascasarjana
Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung: Perpustakaan UPI Bandung,
2005, t.d.
Shehab, Magdy, dkk, Al-I’jaz Al-Ilmi fi Al-Qur'an wa al Sunah, (terj. Penerjemah:
Syarif Made Masyah, dkk), Ensiklopedia Mu’jizat Al-Qur'an dan Hadits,
Bekasi: PT. Sapta Santosa, 2008, Cet. I, Jilid 2.
Shihab, M. Quraish, Tafsir Al-Mishbah, Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur'an,
vol. 12, Jakarta: Lentera Hati, 2005, Cet. III.
_______, Membumikan Al-Qur'an Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan
Masyarakat, Bandung: PT Mizan Pustaka, 2004, Cet. XXVIII.
_______, Tafsir Al-Misbah, Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur'an, Vol. II,
Jakarta: Lentera Hati, 2005, Cet. IX.
_______, Tafsir al-Mishbah Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-Qur'an, Vol. 2,
Jakarta: Lentera Hati, 2005, Cet. III.
_______, Tafsir Al-Mishbah, Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur'an, Vol 10,
Jakarta: Lentera Hati, 2000, Cet. IX.
Sukmadinata, Nana Syaodih, Pengembangan Kurikulum Teori dan Praktek,
Bandung: Remaja Rosdakarya, 2009, Cet. 11.
Uhbiyati, Nur, Ilmu Pendidikan Islam II, Bandung: Pustaka Setia, 1997, Cet. I.
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Nama : Asep Awaludin
Alamat : Jl. Duku Rt 02 Rw 01 Kel. Wiyoro Wetan
Kec. Ulujami Kab. Pemalang 52371
Tempat, Tanggal Lahir : Pemalang, 3 Desember 1985
Nomor Panggil : 08562740467
Nama Orangtua : Ayah : Mudzakir
Ibu : Khodiroh
Anak ke- : 1 dari 3 bersaudara
Riwayat Pendidikan Formal :
- TK Muslimat NU Rowosari lulus 1992
- SD Negeri 01 Wiyoro Wetan Ulujami lulus 1999
- SMP Negeri 1 Ulujami lulus 2002
- MA Futuhiyah 01 Mranggen Demak lulus 2005
- Program Studi PAI Fakultas Tarbiyah
IAIN Walisongo Semarang angkatan 2005
Riwayat Pendidikan Non-Formal :
- Madrasah Diniyah Awaliyah Nurul Islam Wiyoro Wetan
- Madrasah Diniyah Wustha Nurul Islam Wiyoro Wetan
- Pondok Pesantren Darul Ma’wa (KH. Ahmad Muthohar) Mranggen
Demak
- Pondok Pesantren Al-Ishlah Mangkang Kulon Semarang
Pengalaman Organisasi :
- Pengurus UKM PSHT IAIN Walisongo Semarang 2005-2009
- Pengurus UKM BITA Fakultas Tarbiyah 2005
- IMPP (Ikatan Mahasiswa Pelajar Pemalang) 2005
Motto : Gerak lahir luluh dengan gerak batin.
Gerak batin tercermin oleh gerak lahir.


No comments:

Post a Comment