KHITTAH NU[1]
Upaya Nahdlatul Ulama berjuang lewat politik memang tidak sia-sia, karena ia berhasil menduduki peringkat ketiga dalam perolehannya pada Pemilu 1955. Tapi, keberhasilan ini berkonsekuensi pada tersedotnya seluruh tenaga dan pikiran dicurahkan ke bidang yang satu ini.
Timbul penilaian dari beberapa aktivis dan para ulama NU bahwa NU semakin jauh meninggalkan bidang-bidang garapan hakikinya yang tidak kalah potensial. Pendidikan yang menjadi garapan utama NU, misalnya, seolah ditinggalkan. Kekecewaan yang muncul di kalangan para ulama NU makin membesar, karena di samping banyak garapan yang terbengkalai, juga karena para aktivis politik NU seolah kurang menjiwai kultur NU.
Dalam ungkapan seorang ulama NU: “NU secara tiba-tiba dipenuhi oleh orang-orang yang tidak mengerti hakikat dan jati diri NU”. Saat itu para ulama NU kecewa melihat begitu banyaknya orang mengaku NU tetapi perilakunya tidak mencerminkan budaya NU.[2]
Para ulama melihat bahwa di saat NU menjadi partai politik, kondisi sosial keagamaan masyarakat Islam Indonesia mengalami perkembangan yang cukup pesat dan menggembirakan. Pemerintah mendirikan ratusan masjid, menyelenggarakan peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW, dan lainnya. Tetapi, realitas tersebut tidak diimbangi dengan membaiknya kualitas keagamaan masyarakat Islam Indonesia. Banyak anggota masyarakat Islam yang tidak mempunyai komitmen keagamaan yang tinggi. Korupsi uang negara merajalela, kejahatan terjadi di mana-mana, penebangan hutan liar tanpa tindakan hukum dan moralitas masyarakat makin menurun.[3]
Di masa Orde Baru berkuasa, hal itu telah diperparah oleh tidak sehatnya kondisi politik yang ada, karena pemerintah telah melakukan political engineering sebagai mekanisme menjaga kekuasaannya. Pada pemilu 1971, pemerintah berusaha untuk memenangkan Golkar, orpol yang dibentuknya, untuk melegitimasi kekuasaannya. Dengan dibantu kalangan birokrasi dan tentara, organisasi politik.[4] baru ini berhasil mengalahkan partai-partai lainnya. Upaya itu ditindaklanjuti dengan mengeluarkan policy “massa mengambang” (floating mass) yang berusaha membatasi dan menjauhkan masyarakat dari politik. Ini artinya, dukungan terhadap partai politik oleh masyarakat dipotong, karena masyarakat dibolehkan terlibat dalam politik hanya 5 tahun sekali, yakni waktu pemilu. Apa yang tak kalah penting dari politik otoriter pemerintah adalah memaksa 4 partai Islam menjadi satu, yaitu menjadi Partai Persatuan Pembangunan (PPP), dan partai-partai yang berideologi nasionalis dan non Islam menjadi Partai Demokrasi Indonesia (PDI), sehingga selama Orde Baru berkuasa, hanya ada 3 organisasi politik, yakni dua partai tadi plus Golkar sebagai partai pemerintah. Situasi ini tidak sehat, bukan saja karena partisipasi politik masyarakat dibatasi, tetapi juga pemerintah ikut campur dalam mengatur masalah-masalah internal partai, terutama siapa yang boleh memimpin partai.
Situasi ini digambarkan oleh K.H. Muchit Muzadi: “Sistem kepartaian dan politik saat itu sudah tidak demokratis. Pemerintah hanya membatasi dua partai dan satu organisasi politik “Golkar” yang tidak mau disebut partai. Ini sistem kepartaian yang tidak sehat. Partai-partai yang berpaham nasionalis dan non muslim diringkas dan diringkus menjadi PDI. Partai-partai yang berpaham Islam diringkas dan diringkus menjadi PPP. Sedangkan UU kepartaian dan lainnya memberikan keleluasaan kepada pemerintah untuk mengatur, hingga mengatur pengurus partai sekalipun!”.[5]
Situasi ini dirasakan oleh NU sebagai tidak kondusif bagi pembangunan politik bangsa, terlebih NU sendiri telah dijadikan sasaran penggembosan oleh Orde Baru, karena NU mempunyai kekuatan massa yang sangat besar di antara kelompok dan ormas yang ada, dan cukup solid. Dengan situasi seperti ini memang berat untuk berjuang lewat kancah politik, karena dua partai yang ada, yakni PPP dan PDI menjadi tidak berdaya, mengingat Orde Baru terlalu kuat, bahkan juga ia bisa mengintervensi partai-partai tadi. Dihadapkan pada situasi ini, di kalangan ulama dan aktivis NU muncul pikiran-pikiran untuk kembali ke khittah NU, yakni NU sebagai organisasi sosial keagamaan. Gagasan ini sebenarnya bukanlah sesuatu yang baru. Sebab, sejak NU menjadi partai politik pada 1952, berbagai koreksi, kritik serta usulan telah muncul dalam upaya meluruskan NU agar sesuai dengan khittahnya. Pada Muktamar NU Ke-22 di Jakarta pada bulan Desember 1959, PC NU Mojokerto yang diwakili oleh K.H. Achmad Achyat Chalimi menggulirkan gagasan perlunya NU kembali menekuni bidang sosial keagamaan seperti terumuskan ketika NU didirikan pada 1926. Usulan itu muncul begitu saja tanpa ada penjelasan yang memadai, sehingga gagasan bagus ini diterjemahkan PBNU sebagai “warning”, sebatas mengembalikan NU kepada semangat ‘ubûdiyah pada 1926.[6]
Gagasan yang kemudian menjadi desakan agar NU kembali menjadi organisasi sosial keagamaan ini muncul kembali pada saat berlangsung Muktamar NU ke-26 di Semarang bulan Juni 1979. Tapi, desakan yang sempat membesar dan menguat ini ternyata tidak sampai menjadi agenda pembahasan, meskipun K.H. Ahmad Shiddiq berhasil menuangkan gagasannya “Risâlah Khiththâh Nahdliyyah” dan dibagikan kepada peserta Muktamar.[7]
Meskipun demikian, gagasan itu tetap hidup, terlebih setelah di awal 1980-an Nahdlatul Ulama mengalami goncangan hebat. Dengan alasan makin tidak signifikannya peran politik NU di PPP dan banyaknya bidang garapan sosial keagamaan yang terbengkalai akibat terlalu konsentrasi di bidang politik praktis, beberapa kalangan NU yang lebih muda melakukan gerakan-gerakan agar NU kembali ke khittahnya. Pelopor gerakan ini adalah Majelis 24 yang terdiri dari: Abdurrahman Wahid, Musthofa Bisri, Fahmi D. Saifuddin, Muhammad Thohir, Kiai Sahal Mahfudz, Kiai Muchit Muzadi, Slamet Effendi Yusuf, Said Budairi, M. Zamroni, Mahbub Junaidi, Abdullah Syarwani, Masdar F. Mas’udi, Asip F. Hadipranata, M. Tholhah Hasan, H.M. Munasir, Saiful Mudjab, Umar Basalim, Cholil Musaddad, Gaffar Rahman, Ichwan Sjam, Musa Abdillah, Musthofa Zuhad, Danial Tanjung, dan Ahmad Bagdja.
Mereka mengadakan pertemuan di Hotel Hasta dan membentuk Tim 7 untuk pemurnian Khittah yang diketuai oleh Abdurrahman Wahid (Gus Dur), dengan anggota Zamroni, Fahmi D. Saifuddin, Said Budairi, Ahmad Baghja, Mahbub Junaidi dan Danial Tandjung. Kemudian proses perumusan Khittah diteruskan dan mengalami penyempurnaan pada saat Munas Alim Ulama di Situbondo pada 1983. Apa yang dilakukan Tim 7 berhasil meyakinkan banyak orang, dan menggiring bagi disepakatinya apa yang disebut “kembali ke khittah”. Pada Munas Alim Ulama di Situbondo bulan Desember 1983, para ulama berhasil menyepakati untuk mempertegas pokok-pokok pikiran “Khittah NU”. Dalam pokok-pokok pikiran tersebut dinyatakan bahwa NU adalah organisasi sosial keagamaan yang tidak berafiliasi terhadap partai politik manapun. Ini adalah penegasan sikap mengundurkan diri (dissociation) dari PPP, mengingat saat itu NU adalah salah satu unsur penting dalam partai Islam itu. Meskipun demikian, NU memperbolehkan warganya untuk berpolitik dan berafiliasi dengan partai manapun selain PPP.
Meskipun pada awalnya hasil Munas Alim Ulama ini menimbulkan kontroversi di lingkungan internal NU, tetapi rumusan tersebut berhasil dibawa ke Muktamar NU ke-27 pada 1984 di tempat yang sama (baca: Situbondo) yang melahirkan rumusan naskah Khittah Nahdlatul Ulama.
[4] Sampai akhir hayat Orde Baru, Golkar tidak mau menyebut dirinya sebagai partai politik, melainkan organisasi para profesional.
[6] K.H. Muchit Muzadi dalam seminar “Meneguhkan Kembali Khittah Menuju NU Masa Depan”, Jakarta, 27-29 Juli 2002. Menurut Kiai Muchith, interpretasi ini disampaikan oleh K.H. Idham Chalid atas nama PBNU.
[7] Waktu itu yang ditugasi untuk menemui K.H. Ahmad Shiddiq adalah salah satu Ketua Panitia Muktamar, alm. Bapak K.H. Munasir (saat itu menjadi Sekjen PBNU). Ceramah K.H. Muchith Muzadi, 27-29 Juli 2002.
No comments:
Post a Comment