NAFAS
LEGA
Sek,
sek, sek… suara berisik sapu di pagi hari ini membuat Bahri merasa semakin
tenang. Bahri yang memiliki kebiasaan menonton teman menyapu di Komplek Pondok Pesantren
Salafiyah itu sedang duduk-duduk santai menunggu orang tuanya datang membawa
bekal untuknya. Bahri, remaja gagah, tegak, tinggi dan kurus, namun tetap
ganteng meski agak hitam dan kribo. Meskipun masih berumur 20 tahun baru
beranjak dewasa, namun sikap bahri sudah bisa menunjukkan kalau bahri adalah
remaja yang penuh tanggung jawab dan patut diberi amanah yang sekiranya membuat
ia dan keluarganya bangga. Sembari melamun dengan membawa batangan rokok Apache
yang sudah mati, ia berhayal tentang kira-kira bekal apa yang dibawakan orang
tuanya untuk putranya, bahri yang sedang menempuh pendidikan di pesantren
salafiyah. Tanpa terasa bahri menunggu, ia tersadar dari lamunannya karena
mendengar suara orang yang mencarinya
“Assalamu’alaikum,
Maaf mas mau Tanya. Kang Bahri dari Temanggung ada di pondok?”
Segera
santri yang ditanya berlari mencari bahri “Bahri! Bahri! Bahu Kiri!” teriak baharudin,
santri pencari bahri
Bahri
yang kaget segera menjawab teriakan udin, santri asal Jambi yang agak terkaguk-kaguk
berbicara dengan bahasa indonesia “Woei, gimana mas Udin?”
“Ada
orang yang mau bertemu kamu di belakang pondok!”
“Ya
aku segera datang!”
Bahri
yang pelamun, pengantuk, dan pelapar itu menghampiri orang yang memanggilnya.
“Ah, mas birin. Gimana mas? Ada yang bisa saya bantu? Kenapa memanggil saya?”
Tanya bahri ketika melihat dan menghampiri birin, penduduk dusun soropaten yang
kebetulan punya hajat dengan bahri.
“Gini
mas bahri, saya minta tolong nanti jam 9 ke rumah saya. Ada yang ingin saya
sampaikan pada mas! Pokoknya penting! Datang ya?!” tawaran birin diluar komplek
pesantren, pada bahri yang masih berada dalam komplek.
“Ya,
insya Allah saya datang ke rumah kang birin.”
Waktu
berjalan detik demi detik, 1… 2… 3… dst bahri dengan rela dan ikhlas tanpa
paksaan dari siapapun menghitung detikan jam dinding yang menempel di depan
komplek pesantren. Orang tua atau tetangga dari rumahnya yang senantiasa ia
tunggu tidak datang-datang sampai waktu menunjukkan pukul 09.00. “Ah… daripada
lama-lama aku menunggu bapak, ibu, kakak, adik, mbah kakung, mbah rayi, atau
mbah dukun sekalian gak datang-datang lebih baik aku ke rumah kang birin saja!”
hati bahri mulai memberontak menunggu kedatangan orang tuanya menjenguk ke
pesantren.
Segera
saja bahri berjalan menuju rumah birin yang berada di belakang komplek
pesantren, dan menjadi rumah paling pojok di dusun soropaten. Salam sapa bahri
sambil tersenyum menghiasi mimic bahri di depan pintu rumah birin.
“Assalamu’alaikum…”
“Wa’alaikumussalam…”
jawaban manis istri kang birin dari dalam rumah
“Tadi
kang birin mencari dan memanggil saya, jam 09 suruh ke sini. Ada apa ya?” Tanya
bahri menguatkan kedatangannya ke rumah birin
“Oh
ya saya panggilkan mas birin. Masuk dulu mas, duduk-duduk nyantai dulu!” Tutur
sari, istri birin yang keduanya masih diberi anugerah seorang putra laki-laki
berumur 5 tahun itu.
“Mas
Birin, ada anak santri yang ingin bertemu mas!” Teriakan sari memanggil suami
tercintanya yang sedang memotong kayu di belakang.
“ya,
aku segera datang!”
Tak
lama bahri menunggu, 5 menit kemudian tampak di depan bahri seorang berjalan
dengan ngos-ngosan, memakai pakaian compang-camping mendekat mendekati bahri.
“Eh, kamu kang. Sudah datang?”
“Iya
mas birin, katanya jam 09 tepat. Ya saya datang tepat jam 09!” jawab bahri
sembari minum the ahangat yang disuguhkan sari padanya.
Kemudian
birin menemani duduk bahri sembari meminta istrinya membuatkan teh hangat.
“Gini
kang, akang tahu kenapa kang bahri saya minta datang kesini?”
“Belum
tahu. Memang ada apa kang birin memanggil saya?” Tanya bahri penasaran
“Orang
tuaku sedang pulang kampung ke daerah pegunungan sana. Aku hanya bersama
istriku disini, sedang kerjaan orang tuaku masih tetap. Maksud aku memanggil
kang bahri supaya untuk sementara waktu ini. Selagi orang tuaku belum kembali
ke sini, kang bahri mau menemani menyelesaikan pekerjaan rumah saya. Gimana?
Kalau memang kang bahri keberatan, aku juga tidak memaksa, kalau memang tidak
keberatan itu malah dapar melegakan hati aku!” Jelas birin tentang maksudnya
memanggil bahri.
Bahri
kebingungan dengan tawaran birin yang begitu menggoda hasrat bahri untuk
berlatih bekerja. Tik tok tik tok tik tok… suasana hening membuat gerak jarum
jam dinding di rumah birin terdengar jelas, hingga dengan sorak bahri menjawab
tawaran birin sembari tertawa.
“Haha,
kang birin. Gini saja saya matur kyai rahman dulu. Nanti kalau abah mengijinkan
saya membantu kang birin, saya siap dipanggil on time, anytime, anywhere, saya
siap!”
“Ya,
terima kasih atas jawabannya. Kang bahri sowan saja dulu. Pokok’e aku tunggu
jawaban kang bahri!”
“OK
Yes, Saya pamit!”
Berjabat
tangan mebuat mereka tampak seperti kakak beradik, sama-sama hitam, sama-sama
kurus, sama-sama berambut kribo. Bahri segera keluar rumah, tiba-tiba dari luar
rumah bahri kembali memanggil birin yang hendak berjalan menuju belakang rumah.
“Eh,
kang ada yang kelupaan!”
“Apa?”
Tanya birin penasaran.
Sambil
berdiri di tengah pintu dan memegang gagang pintu yang terbuka setengah, birin
berkata “Assalamu’alaikum, hahaha”
“Wa’alaikumussalam”
jawab birin yang bergumam “Aneh-aneh saja kang bahri. Mau salam saja bikin
kaget setengah mati orang!”
Bahri
yang terkesan dan terkesima dengan tawaran birin segera melaju melesat berlari
kencang secepat pesawat terbang macet di tengah jalanan karena terhalang lampu
merah itu sowan pada kyai Rahman, Pengasuh Pondok Pesantren Salafiyah.
****
Di
depan pintu…
“Assalamu’alaikum.”
Salam bahri yang bergelantungan dalam hatinya perasaan was-was dan takut
“Wa’alaikumussalam.
Siapa ya di luar?” jawab kyai Rahman dari dalam
“Saya
bah, bahri Temanggung.”
“Oh,
bahri. Silakan masuk!”
Bahri
yang baru saja terdiam segera bergerak masuk ke dalam kediaman kyai rahman.
“Ada
apa bahri? Kelihatannya ada sesuatu yang penting?” Tanya kyai rahman mengawali
persowanan bahri
“Anu
bah, tadi pagi saya dipanggil kang birin penduduk sini. Katanya orang tua kang
birin sedang pulang kampung sedang pekerjaan orang tua masih banyak. Sehingga
kang birin baru saja memanggil saya hendak meminta pertolongan supaya saya
membantu pekerjaan kang birin!”
“Terus?”
Tanya kyai rahman di sela pematuran bahri
“Apakah
abah mengijinkan saya membantu kang birin selama orang tuanya belum kembali ke
sini?” Tanya bahri dengan pinta supaya diijinkan
“Aku
sih boleh-boleh saja kamu bantu kang birin, tapi inget ketika jam aktif
kegiatan pesantren: ngaji, mujahadah, tahlilan, dan jama’ah kamu harus ada di
pesantren.” Kyai mengijinkan bahri membantu birin dengan beberapa syarat.
“Kalau kamu memang merasa tidak mampu, urungkan niatmu membantu kang birin. Ya…
memang semua orang dititipkan di pesantren supaya dia menjadi orang yang
berguna dan bermanfaat baik bagi dirinya, keluarga, maupun masyarakat. Namun
jika ia tidak mampu semua itu, ya… lakukan semampu kamu saja.”
“Matus
suwun bah, insya Allah jika abah meridlai saya, akan saya usahakan untuk selalu
menjaga ketertiban kegiatan pesantren.” Jawab bahri dengan mantap meski
dibarengi rasa takut tidak bisa melakukan dan menjaga kedisiplinan kegiatan
pesantren
Persowanan
telah usai, bahri yang begitu bahagia hendak kembali ke rumah birin. Di tengah
jalan ia mendengar adzan dzuhur telah dikumandangkan. “Urungkan niatmu kalau
kam tidak bisa menjaga ketertiban kegiatan pesantren!” inti pesan kyai
rahman tertancap dan teringat jelas tiba-tiba di dada bahri seperti kyai rahman
sedang berada di depannya. Bahri yang berjalan ke rumah birin segera berbelok
berjalan menuju masjid yang letaknya tak jauh dari pesantren dan tak jauh pula
dari rumah birin.
Shalat
telah usai, bahri kembali melanjutkan langkahnya menuju rumah birin. Tak terasa
hanya beberapa langkah, bahri sudah tiba di depan rumah birin.
“Assalamu’alaikum…”
“Wa’alaikumussalam.”
Jawab seorang lelaki dari dalam rumah
Pintu
dibuka, mata saling menatap, wajah saling memandang, badan tegap saling berhadapan.
“Kang
birin dimana?” Tanya bahri pada laki-laki yang berada di dalam rumah
“Kang
birin sedang pergi ke warung sebentar. Tunggu saja mas!” jawabnya pada bahri
yang masih berdiri di depan pintu
“Silakan
masuk!” Pinta orang itu pada bahri
“Ya.”
Klinthing,
klinthing, klinthing… suara gelas berisi air teh diaduk dengan gula terdengar
keras di telinga bahri. “Ini mas, diminum dulu sambil menunggu kang birin
kembali!”
“Terus
mbak sari kemana?” Tanya bahri pada orang itu
“Mbak
sari lagi ke sawah.” Jawabnya singkat
“Oh,
terus mas ini siapa?”
“Saya,
orang ya….” Jawabannya terputus ketika terdengar suara dari luar rumah
“Assalamu’alaikum.” Salam birin yang baru saja kembali dari warung membeli
beras dan sayuran.
“Wa’alaikumussalam…”
jawab kedua orang dari dalam secara bersamaan.
“Eh,
kang bahri? Sudah lama di sini?” Tanya birin yang membawa bingkisan masuk ke
dalam rumah sembari meletakkan sandal yang dipakainya di rak tempat sandal
“Oh,
nggak kok mas. Baru saja saya masuk. Ini tehnya saja masih utuh, belum saya
apa-apakan, hehehe.” Jawabnya lembut
Birin
segera masuk, meletakkan beras dan sayuran di dapur, dan keluar ke ruang tamu
menemani bahri yang sendirian. Iseng-iseng telah diperbincangkan hingga mereka
tertuju pada perbindangan mengenai pematuran bahri pada kyai rahman.
“Kang
birin, tadi pagi setelah saya dari sini, saya langsung menghadap abah rahman.”
Kata bahri mengawali perbincangan tentang rencana kontrak kerjanya dengan
birin.
”Terus
hasilnya gimana? Diperbolehkan?”
“Alhamdulillah,
diperbolehkan tapi dengan beberapa syarat.”
“Syaratnya
apa saja?” Tanya birin penasaran.
“Meski
saya membantu kang birin bekerja di sini, Saya harus disiplin dalam kegiatan
pesantren. Ngaji tidak boleh telat, jama’ah tidak boleh bolong, kegiatan tidak
boleh terabaikan, tahlilan tidak boleh dilewatkan.” Bahri memberikan kabar
berita hasil persowanannya tadi pagi pada birin
Birin
hanya mengangguk-angguk. Bingung yang dirasakan birin saat itu memikirkan
pekerjaan orang tuanya yang begitu berat dirasakan birin.
“Berat
juga ya?” Tanya birin pada bahri yang langsung berubah kecut ketika mendengar
ucapan birin.
“Berat
gimana kang?” Tanya bahri penasaran
“Gini
kang bahri. Orang tua aku itu kerjanya gak di daerah sini, jadi mau tidak mau
yang membantu kerjaku itu harus berani menginap di tempat itu. kalau
syarat-syaratnya seperti tadi aku gak menjanjikan bisa disiplin atau tidak
kegiatan pesantren kamu.”
“Memang
kerjaannya apa to kang birin?”
“Kerja
orang tuaku ternak ayam, setiap malam harus menjaga ayamnya, pagi banget harus
memberi makan. Dan siangnya harus jaga ayam-ayam itu. aku sudah mencobanya tapi
aku tidak bisa melakukan kerjaan itu sendirian.”
Bahri
yang mendengar curhatan dari birin merasa sangat kasihan pada birin, dan
rasanya ingin membantu. Tapi mau bagaimana lagi, ia masih di lingkup pesantren
dan harus mau mentaati peraturan pesantren, terlebih kyai rahman pengasuh
pondok pesantrennya.
“Eh,
terus yang tadi itu siapa kang?” Tanya bahri mengalihkan perhatian dan
perbincangan yang membingungkan itu.
“Oh,
itu Sardi, utusan bapak dari kampung yang disuruh bantu aku nyelesaiin kerjaan
sampai bapak pulang.”
“Nah,
dia saja yang bantu kang birin!”
Usulan
bahri ditolak birin “Pengennya aku…
supaya yang ngejaga ayam-ayam itu ada yang santri. Masalahnya disana itu
mau shalat aja susah, kalau gak ada yang bisa nuntun penjaga ayam-ayam disana
aku khawatir mereka gak akan shalat selamanya.” Curhatan birin kembali muncul.
Sembari
meredamkan situasi, bahri yang lugu menjelaskan tentang perintah Allah dan
beberapa hokum Islam. “Gini kang birin, sardi kayaknya bisa jaga shalatnya.
Saya lihat dari tatapan matanya, dia bukan tipe orang yang gak karuan. Saya
punya jalan pintas masalah itu, ketika kang birin mau ke kandang ayam, kang
birin panggil saya dulu nanti keluhan apa saja yang ada di dada kang birin
lanturkan saja pada saya, kalau saya bisa menjawab atau member solusi pemecahan
masalah langsung saya sampaikan. Tapi kalau saya tidak bisa memberikan solusi,
insya Allah akan saya tanyakan pada abah rahman. Semua itu untuk bekal ketika
kang birin sampai di kandang ayam, kang birin bisa memberikan peringatan kepada
penjaga ayam di sana yang kurang giat melaksanakan ibadah. Gimana?”
“Bagus
juga usul kamu! Kamu diem-diem pinter juga ya?” Pujian birin pada bahri sambil
menepuk pundaknya yang kecil itu, dengan kata penutup dari birin “Ya udah, kamu
gak usah belajar kerja dengan bantu aku. Kamu konsentrasi ke ngaji dan kegiatan
pesantren dulu, suatu hari nanti pasti aku butuh bantuan kamu. Terima kasih
telah memberiku beribu pikiran!”
“Sama-sama
kang birin, kalau begitu saya pamit dulu. Nanti ketinggalan ngaji!”
Bahri
segera berpamitan dengan hati terpuruk karena sudah lama ia memendam perasaan
berkeinginan belajar bekerja, dan makan dengan hasil jerih payah keringat
sendiri. Waktu demi waktu, pena demi pena telah digerakkan bahri di dalam
masjid menghadap lembaran-lembaran kuning bertuliskan khot arab tanpa harokat,
ngantuk demi ngantukditahan bahri, tak terasa jam menunjukkan pukul 16.00 WIB,
saatnya bahri menyelesaikan pengajian dan melanjutkan salat ashar.
Shalat
telah usai dilaksanakan, dari kejauhan tampak sepeda motor mega pro warna hijau
terbitan tahun 2009 berjalan menuju kediaman kyai rahman. Rung…rung…rung… suara
keras motor terdengar di depan kediaman kyai rahman.
“Assalamu’alaikum”
“Wa’alaikumussalam”
Jawab kyai rahman dari dalam, dengan senyum kyai rahman menyambut kedatangan
sopir motor sembari bertanya “Apa kabar pak rudi?”
“Alhamdulillah
kyai sehat-sehat. Kyai sendiri bagaimana kabarnya?” jawab sopir motor yang
bernama pak rudi.
“Alhamdulillah
Allah masih meberikan rahmatNya kepada saya. Mari pak rudi silakan duduk!” kyai
rahman mempersilakan pak rudi duduk sembari memmerintahkan santri putri
membuatkan minuman “Nooook, buatkan minuman! Ada tamu.”
Tanpa
basa-basi pak rudi langsung bertanya pada kyai “Anu kyai, bagaimana
perkembangan anak saya?”
“Alhamdulillah
ada peningkatan. Baru saja tadi pagi ia kesini, minta ijin bantu birin,
penduduk sini yang kebetulan orang tuanya sedang pulang ke rumah. Saya sih
mengijinkan dengan beberapa syarat, tapi untuk selanjutnya saya tidak tahu dia
jadi bantu atau tidak?”
“ya,
ya, ya…” jawab pak rudi yang mengangguk-angguk.
Minuman
sudah jadi, tampak dari dalam seorang santri putri sedang berjalan membawakan
segelas air minum beralas sebuah nampan alumunium, menuju ruang tamu. “Monggo
pak rudi, diminum tehnya! Mumpung masih hangat!” pinta kyai rahman pada pak
rudi.
****
Tiba-tiba
dari depan pintu kediaman kyai…
“Assalamu’alaikum”
salam sapa sopan bahri menyejukkan suasana yang hening di senja itu
“Wa’alaikumussalam.”
Jawab kedua orang dari dalam secara serentak
Bahri
yang baru saja masuk ke dalam serentak terkaget dengan sesosok tamu yang berada
di depan kyai rahman. Sembari berjalan hendak sungkem pada kyai rahman, bahri
mendekati tamu itu dan berkata “Kapan ayah kesini?”
“Baru
saja sampai.” Jawab pak rudi yang ternyata adalah ayah kandung bahri sendiri
Di
sela-sela perbincangan anak dan bapak, kyai rahman bertanya pada bahri
“Bagaimana hasil sowan kamu ke rumah kang birin?”
“Alhamdulillah
bah, tadi saya sudah sowan kesana. Sudah saya haturkan segalanya termasuk
syarat-syarat yang diajukan abah. Hasil akhir dari sowan saya ke rumah kang
birin adalah saya tidak bisa membantu pekerjaannya, karena pekerjaan yang
diminta kang birin terlalu berat, dan mau tidak mau ketika saya menyetujui
untuk membantu kang birin, saya harus mengorbankan kegiatan pesantren.” Jawab
bahri panjang di depan kyai rahman
“Eh,
kamu berani matur mau kerja?” Tanya ayahanda bahri tercinta padanya
“Iya,
yah. Aku pengin makan hasil keringatku sendiri.” Belanya
“Kalau
kamu berani-berani sowan mau bekerja lagi ayah tidak akan menjenguk kamu tiga
tahun dan kamu tidak ayah perbolehkan pulang atau minta bekal pada ayah dan
ibu. Kan ayah udah bilang, masalah kerja itu urusan belakangan, yang penting
kamu disini ngaji dulu, sungguh-sungguh, insya Allah nanti masalah kerjaan
gampang. Toh, kalau kamu sekarang kerja, latihan kerja atau sebagainya yang
menghasilkan uang untuk biaya keseharian kamu, ayah tidak meridlai, ibu yang di
rumah juga tidak rela. Harta, usaha, dan hasil yang kamu peroleh tidak berkah,
tidak manfaat, dan tidak ada gunanya. Hanya sia-sia yang akan kamu dapatkan
jika kamu bekerja tanpa ijin orang tua, apalagi kyai rahman tidak mengijinkan!”
pak rudi yang baru saja tahu maksud persowanan bahri adalah untuk ijin kerja
segera marah-marah pada rudi dengan kasih sayang dan kata-kata halus.
“Iya
ayah, aku tahu dan aku tidak akan mengulangi kejadian yang sama sebelum ada
perintah dari ayah.” Jawab bahri
“Bagus,
anak pintar.” Puji pak rudi pada bahri, sembari memberikan sebuah amplop bekal
selama satu bulan ke depan beserta bungkusan tertutup untuk teman-teman bahri
di pesantren. Pak rudi dan kyai rahman melanjutkan perbincangan.
“Baik,
terima kasih ayah. Bah, Saya kembali ke pesantren dulu. Assalamu’alaikum…”
Bahri yang sedang dilanda perasaan tak menentu berpamitan dan segera kembali ke
pondok pesantren.
Dalam
perjalanannya menuju gedung pesantren, dalam hatinya ia berpikir “benar juga
kata ayah, apa gunanya kalau aku bekerja tanpa ijin orang tua dan guruku?
Bukankah akan sia-sia usahaku? Dan mungkin karena itu juga kenapa abah rahman
memberikan syarat yang begitu berat ketika aku benar-benar bekerja?” Gumam
bahri dalam hati sambil tersenyum lega.
“Alhamdulillah,
aku dapat 1 ilmu lagi. Ridla orang tua dan guru memang menjadi pintu utama
kesuksesan menjalani hidup!” nafas lega bahri tampak, wajah bahri mulai ceria
kembali setelah seharian murung orang tuanya tidak datang-datang menjenguk ke
pesantren. “Terima kasih ayah, ibu, abah rahman senantiasa memberiku nasehat!”
No comments:
Post a Comment