KAKAK,
AKU RINDU
Di malam yang
sunyi, gelap, mati lampu, hanya terdengar gemericik air mengalir di pinggir
rumah, beterbangan kunang-kunang sebagai penerang malam, berdesus angin
menyelimuti dinginnya malam menambah suram dan merindingnya gadis jelita yang
kesepian ditinggal oleh kedua orang tuanya. Yatim, sendiri, sepi, dan merasa
butuh teman, itulah yang dirasakan Nisa. Gadis desa sederhana, dengan hidup
seadanya dan hanya meminta belas kasih dari saudara ia menyambung hidup. Selain
itu, gadis kecil itu rela dan tak tanggung malu melakukan pekerjaan yang berat
untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Sudah 5 tahun yang lalu kedua orang
tuanya meninggal pada suatu kecelakaan pesawat ketika kedua orang tuanya hendak
melaksanakan ibadah haji ke tanah suci. Sedang harta tinggalan orang tuanya
telah dirampas habis oleh oknum-oknum tak bertanggung jawab, sedang sisa dari
harta telah digunakan nisa untuk membayar hutang kedua orang tuanya. Nisa yang
merana sering meratap karena selain hidup dalam kesendirian di samping sungai
Belitung Magelang, setiap hari nisa harus mengais rejeki untuk membiayai
adik-adiknya yang masih sekolah dan mencari ilmu di pesantren.
Khoirunnisa
itulah nama lengkap nisa. Nama itu diberikan orang tuanya dengan harapan semoga
putranya kelak menjadi wanita yang shalihah dan berguna bagi keluarga, bangsa,
dan Negara. Memiliki 2 adik, sofi adik pertama menempuh pembelajaran di
pesantren modern al ikhlas wonosobo, dan mila masih duduk di bangku SMA. Nisa
sebagai putri pertama harus mencarikan nafkah untuk kedua adiknya. Tak
ragu-ragu pernah suatu ketika nisa ditemui di pasar sedang menjunjung sebuah
kadut berisi beras 50 kg.
Hari
demi hari dilalui nisa dengan perih dan penuh kesengsaraan, namun hal itu
ditanggapi dengan ikhlas hanya untuk memperoleh ridla Allah SWT. “Semoga Allah
membalas apa yang telah aku lakukan, dan semoga saja adik-adikku dapat
menuntaskan pendidikan mereka, Amien.” Doa nisa setiap selesai melaksanakan
ibadah.
“Aduh, kakiku!”
jeritan kesakitan sofi yang tersandung besi di area pesantren modern al
ikhlas. Sembari berjalan menuju UKP
(Unit Kesehatan Pesantren) dengan pincang dan tangannya yang kaku memegang kaki
kiri yang tersandung dibarengi teman seangkatannya, niswa. “Kenapa kamu sampai
bisa tersandung seperti itu?” Tanya niswa mengawali perbincangannya dengan
sofi. Sofi yang meringis kesakitan karena kakinya yang tersandung itu bukan
hanya tersandung besi, namun juga tertancap kawat yang terangkai saat proses
pembuatan cakar ayam pembangunan lokasi pesantren yang baru. Darah yang terus
mengalir menjadikan sofi tak mampu menjawab pertanyaan niswa, hanya dengan
bilang tidak apa-apa, hanya kesandung biasa saja sofi menjawab pertanyaan
niswa. Sudah 4 tahun lamanya sofi tidak bertemu dengan kakaknya, rasa kangen
dan ingin bertemu terlihat di wajah sofi. Mungkin saja kejadian yang
menyakitkan itu terjadi karena sofi hanya terbayang wajah kakaknya di rumah
yang tidak diketahui kabarnya.
Tangisan sofi
di UKP membuat garuh keadaan ruang UKP yang sempit itu. “Sudah sofi, tenangkan
fikiran kamu, jangan shok! Biasa saja, ini juga obat kok!” teman sofi berusaha
menenangkan sofi yang kesakitan menahan reaksi obat yang sedang merasuk ke
tubuhnya. “Iya, tapi tetep perih, aaaaah!” hentak sofi yang masih menahan perih
di kakinya. Satu setengah jam sofi dirawat di UKP, saatnya sofi pulang ke kamar
tempat ia biasa merenung, melamun membayangkan wajah kakaknya yang sudah sekian
tahun membiayainya di pesantren, tempat dimana sofi selalu mendoakan kakaknya
supaya diberi umur panjang, sehat, wal afiat. Setiba di kamar, sofi langsung
membaringkan badan untuk beristirahat sejenak. Niswa teman seangkatan dan
menetap bersama di kamarnya kembali bertanya pada sofi tentang kejadian yang
sebenarnya kenapa sofi bisa sampai tersandung dan tertancap besi. “Suatu
kejadian yang aneh, aku rasa kamu tetap sedang memikirkan sesuatu karena tidak
mungkin ada orang yang tersandung besi yang besi itu terlentang di samping
jalan, sedang kawat yang menancap di kaki kamu itu tidak di tengah jalan, namun
disamping besi yang menyadung kamu. Sedang ada masalah apa sih kok sampai kamu
kehilangan konsentrasi begitu?” Tanya niswa yang duduk di samping sofi sebagai
teman penghantar istirahat sofi di siang yang terik itu. sofi yang terbaring
berselimutkan sarung hitam bergambar bunga merah menjawab “Aku kangen kakak,
setiap hari aku hanya kebayang wajahnya yang lugu, manis, namun keras dalam
bekerja. Aku gak tahu kabarnya sekarang gimana. Aku udah coba hubungi tapi
nomor hp yang dulu udah gak aktif lagi, dan aku gak tahu nomor hubungan kakak
yang baru. Jangan-jangan kakakku……” sofi memutus perkataannya dengan titisan
air mata mengalir mengiringi kesedihan dan kerinduannya pada sang kakak, Nisa.
“Udah, jangan nangis. Kan tinggal beberapa bulan lagi kamu susah diperbolehkan
menjenguk keluarga di rumah. Masih ingatkah kamu jika kamu mengulangi kejadian
seperti dulu?” tantang niswa pada sofi yang sedang dihukum untuk tidak pulang
menjenguk keluarga di rumah selama 2 tahun. Pelanggaran yang dilakukan sofi
pada 1 tahun lebih 8 bulan yang lalu yaitu berusaha kabur dari pesantren.
“hehehehe, bener juga kata kamu nis. Aku sabar-sabarkan dulu aja sampai 4 bulan
yang akan datang, pasti aku akan senang banget kalau aku bisa pulang dengan
ijin pengasuh.” Jawab sofi yang sudah menyadari akan kesalahannya 2 tahun yang
lalu.
Tak terasa
waktu sudah menunjukkan pukul 15.30, “Saatnya shalat sofi.” Ajak niswa pada
sofi untuk menjalankan shalat. Sofi yang masih terbaring menahan kantuk
menjawab “Ah, ogah. Males, aku lagi ada tamu, haha. Kamu shalat dulu saja, tapi
nanti kesini ya nemenin aku sebagai pengganti kakakku. Karena ketika aku kecil
dulu, setiap kali aku sakit pasti kakakku menunggu di samping aku dan menghibur
aku supaya aku gak sedih karena sakitku” pinta sofi pada niswa yang berjalan
keluar kamar menuju mushalla pesantren al ikhlas. Niswa telah tiada dalam
kamar, kini sofi sendirian menunggu shalat ashar selesai dilaksanakan. “Ya
Allah, hanya kepadaMu aku menyembah dan hanya kepadaMu aku meminta tolong.
Tolonglah kakakku di rumah dan jagalah dia dari seluruh mara bahaya yang
datang. Dan….dan… dan… Kakak…. Aku Rindu!” Air mata sofi kembali menghisai
wajahnya yang mungil, manis, dan biasa penuh canda itu. tak lama kemudian sofi
terlelap.
“Tolong,
siapapun Tolong sofi.” Permintaan tolong niswa kepada seluruh penghuni
pesantren, namun alangkah kecewa hati niswa karena tiada satupun orang yang mau
mendekati dan menolong sofi. Niswa meminta tolong karena melihat tubuh sofi
yang bercucuran darah dan terlihat di kakinya yang tersandung telah membusuk.
Niswa kebingungan dan hanya dengan siraman air 2 ember, niswa membasuh kaki dan
seluruh tubuh sofi yang berlumuran darah. Tiba-tiba “Astaghfirullah, apa yang
kamu lakukan niswa? Kenapa menyiramku dengan air? kenapa aku…aku…aku… basah?”
hentak sofi dengan mata sayup baru saja bangun dari tidurnya. Alangkah kaget
hati sofi ketika mendapati sesosok orang besar di depannya lengkap dengan jubah
dan serban putih mengalung di lehernya. “Masya Allah Kyai Syahid” kekejutan
sofi ketika melihat sosok yang mengguyurnya dengan air adalah kyai syahid,
pengasuh pondok pesantren modern al ikhlas. “Sudah jam 22.00 WIB, saatnya
mujahadah” Teriak kyai syahid sambil membawa ember berisi air yang baru saja
diguyurkan di tubuh sofi. Sofi hanya terpaku dengan gumamnya kecewa “Jadi….
Niswa mengguyurku itu hanya… hanya…. Mimpi? Hah, itu mimpi.” Sofi hanya ternganga dan tertawa dalam
hatinya karena tak disangka ia bisa mimpi sehebat itu. sofi bangun dari
tidurnya lantas berjalan menuju kamar mandi, membasuh muka, mengambil tasbih
dan lembar aurad yang biasa diamalkan pukul 22.00 WIB menjelang seluruh santri
pondok pesantren modern al ikhlas beristirahat.
Mujahadah telah
usai dilaksanakan, sofi kembali ke kamar dan di tengah perjalanan ia bertemu
dengan niswa. Dengan berjalan pincang sofi menghampiri niswa, “Nis, tahu gak
aku tadi mimpi aneh.” Sofi mengabarkan berita kepada niswa yang masih
mengenakan mukena putih dan membawa alquran di dadanya. “Mimpi apa?” Tanya
niswa penasaran. “Masa aku tadi mimpi seluruh tubuhku berlumuran darah, terus
kakiku membusuk. Kamu yang melihat aku tidak tega meminta tolong kepada seluruh
penduduk pesantren, namun tidak ada yang peduli pada permintaan tolong kamu,
dan pada akhirnya kamu bingung hingga kamu mengambil jalan terakhir. Kamu ambil
2 ember air, terus disiramkan ke tubuh aku, terus aku kaget…. Eeee. Ternyata
aku terbangun dan yang ngguyur aku pake air itu bukan kamu, tapi kyai syahid…
hahah” cerita panjang lebar sofi pada niswa. “Bener kaya gitu? Haha, aneh
banget!” Kagum niswa pada sofi yang mimpinya dirasakan aneh oleh niswa.
Tak
terasa perjalan telah usai, sofi yang masih dalam keadaan tidak suci langsung
kembali berbaring, sedang niswa berjalan menuju almari kitab meletakkan alquran
dan menaruh mukena di almari bajunya, lantas berlari menuju sofi untuk
beristirahat.
Kukuruyuuuuuk,
kukuruyuuuuk, kukuruyuuuk. Nyanyian ayam di pagi hari menjadikan Mila, adik
kedua Nisa yang tertidur di atas sofa tempat ia kost menjadikannya tidak bisa
terlelap kembali. Dengan mata sayup dan berjalan miring kiri miring kanan, mila
berjalan menuju kamar mandi untuk berwudlu. Meski berstatus sebagai siswa SMA
yang terkenal dengan kemalasan belajar dan selalu dapat nilai terendah di
kelasnya, mila tak henti-henti berdoa di malam hari supaya ia diberi anugerah
berupa akal fikiran yang dapat membantunya memperoleh nilai terbaik sehingga ia
dapat menjadikan kebanggan bagi kakaknya. Pagi itu pukul 03.00 dinihari mila
mengambil air wudlu, melaksanakan shalat tahajjud, shalat hajat, di akhiri
shalat witir 3 raka’at. Sembari membayangkan wajah kakaknya yang berada tak
jauh dari tempat dia kost, pagi itu menjadi saksi bisu doanya “Ya Allah,
Jagalah kakakku dan berikanlah kesehatan baginya dan berilah aku akal fikiran
yang sekiranya dapat membanggakan kakakku, amiin.”
Glodak, deng,
deng, deng “Bangun, bangun, bangun!” suara ibu kost membangunkan seluruh
anggota kost dengan memukul kaca dan menendang bak sampah yang ada di depan
masing-masing kamar kost-kost-an. “OK bu, siap laksanakan!” jawab salah satu
anak kost yang sudah terbangun dan siap melaksanakan kegiatan. “Masya Allah,
iya bu saya sudah bangun” kaget mila mendengar ibu kost yang teriak-teriak
mengiringi tidurnya yang lelap. Karena tak terasa mila tertidur sebahis
melaksanakan shalat malam dan masih terbaring di tempat shalat dekat tempat tidurnya.
Sudah menjadi kebiasaan jika ibu kost membangunkan anak kost yang ada di
tempatnya dan belum ada jawaban, si ibu kost akan terus berteriak sampai
mendengar jawaban dari anak kost yang menetap di tempat tinggalnya itu. sekitar
10 siswa SMA dan 5 Mahasiswa yang menetap di kost arena Maju yang terbangun
kokoh di depan kampus SMA N 1 Magelang tempat mila mencari ilmu.
Waktu
menunjukkan pukul 06.30 saatnya bagi anggota kost untuk mempersiapkan diri
berangkat menuju tempat pembelajaran. Mila berlari menuju Sekolah, karena pada
hari itu ia mendapat jadwal piket kelas dan menjadi petugas upacara bendera.
Sesampai di jalan depan SMA N 1 Magelang tiba-tiba ada sebuah mobil yang melaju
dengan kecepatan tinggi akan menabrak mila. Mila yang kaget hanya tercengang di
tempat sambil teriak “aaaaaaaaaa…”, hingga akhirnya mobil itu berhenti
mendadak. “Kalau jalan lihat-lihat, punya mata jangan buat hiasan saja!” bentak
pemilik mobil sambil mengacungkan tangan kearah mila. “Maaf, saya tergesa-gesa”
jawab mila dengan ringan hati sambil melanjutkan perjalanan menuju gerbang
sekolah. Baru saja memasuki lingkungan sekolah, tiba-tiba langit menjadi suram,
mendung menyelimuti langit, hingga pada pukul 06.50 “byuuuuuuuur”, hujan
menghiasi sekolah. Rasa jengkel tak bisa dipendam di dada mila dan teman-teman
sekelasnya karena upacara dibatalkan oleh pihak sekolah. “Ah, sia-sia latihan
kita selama seminggu ini.” Kata purwo, salah satu teman mila yang ditugaskan
sebagai komandan upacara. “Tidak apa-apa, kan masih ada kesempatan lain untuk
melakukan tugas mulia itu.” jawab mila menanggapi purwo yang marah besar karena
upacara dibatalkan gara-gara hujan yang turun di pagi itu.
Kira-kira waktu
upacara telah dilaksanakan, bel berbunyi pertanda mata pelajaran segera
dimulai. Hati mila terasa tidak enak, “Kenapa? Hatiku serasa gak tenang?” gumam
mila dalam hati yang belum tahu sebab hatinya terasa aneh dan tidak seperti
biasanya. Pelajaran telah dimulai namun mila masih melamunkan apa yang menjadi
sebab hatinya tidak tenang. Dalam keadaan yang genting itu, tiba-tiba guru IPS
Ekonomi yang telah di dalam ruangan selama 45 menit yang lalu mengisi pelajaran
berkata “Sekarang tutup buku kalian, kita ulangan!”. “Haaaaaa? Kita ulangan bu?
Apakah tidak salah?” Tanya salah satu siswa kelas XII A. guru IPS Ekonomi itu
tetap bersikeras melaksanakan Ulangan meski banyak dari siswa yang tidak setuju
karena materi masih disampaikan sekali itu saja, “Padahal biasanya jika ulangan
pasti hari kedua setelah penyampaian materi yang diujikan, Aneh?” gumam purwo
sebagai ketua kelas. Mila yang masih duduk termenung, perlahan menutup bukunya
tanpa sadar. Ulangan segera dilakukan.
Waktu demi
waktu telah terlalui, detik demi detik telah dijalani mila dan teman-temannya,
waktu sekolah telah habis dan saatnya mila untuk kembali ke kost. Di
perjalanan, mila masih termenung memikirkan apa yang menjadikan hatinya tidak
tenang, sehingga ia berfikir untuk menemui kakaknya di pesantren modern al
ikhlas Wonosobo.
“Assalamu’alaikum
aku pulang” salam mila di depan kost sambil mencopot sepatu dengan badan lemas
tak bergairah, “Wa’alaikumussalam” jawab ibu kost dari dalam yang sedang
mempersiapkan makan siang khusus untuk siswa yang tidak telat pulang dari
sekolah. “Mila, kenapa kamu kelihatan sedang gak enak badan? Kamu lagi sakit
ya? Makan dulu ya?” pinta ibu kost yang kasihan melihat keadaan mila yang
sangat lemas. “Tidak bu, terima kasih nanti saja aku makan. Aku gak sakit, gak
lapar. Gak tahu kenapa perasaanku gak tenang?” jawab mila sembari masuk ke
kamar. Perasaan itu terus menghantui mila hingga malam telah datang, dan lelap
menjemputnya dengan mimpi indahnya di malam itu.
“Saatnya
bangun!” terdengar suara ibu kost membangunkan seluruh anggota kost. Mila
terbangun, tapi entah apa yang dirasakan mila tiba-tiba ia berkata “Aku harus
menghubungi kak sofi.” Pagi berjalan seperti biasanya, sarapan, siap-siap
berangkat, sekolah, pelajaran, dan lain sebagainya. Namun dalam perjalanan
pulang, mila mampir ke warnet dekat sekolah dengan maksud mencari informasi
tentang kakaknya, sofi yang menetap di pesantren modern al ikhlas. Tanpa
berfikir panjang, mila mencari informasi tentang pesantren modern hingga
akhirnya ia mendapat informasi tentang Profil pesantren modern al ikhlas yang
berisikan Nama, Alamat, hingga Nomor telephone pondok pesantren tersebut.
Setiba di kost, nomor pondok pesantren modern segera dihubungi
“Assalamu’alaikum, Benarkah ini pondok pesantren modern al ikhlas wonosobo?”
Tanya mila mengawali perbincangan dengan salah satu pengurus pesantren yang
menerima telephone. “Wa’alaikumussalam, benar ini pondok pesantren modern al
ikhlas wonosobo. Ini dari siapa? Dan adakah sesuatu yang dapat kami bantu?”
jawab penerima telephone. Rasa girang dan senang kini berganti menyelimuti hati
mila, “Dapatkah saya berbicara dengan sofiana murtiningsih dari Magelang?”
Tanya mila kembali pada penerima telephone. Kemudian Penerima telephone
memanggilkan salah satu santri dari magelang untuk mencarikan nama yang
disebutkan oleh penelpon, tak lama kemudian sofi ditemukan. “Sofi, ada yang mau
bicara sama kamu.” Kata tim pencari yang kebetulan berpapasan dengan sofi di
depan mushala. “Dari siapa?” Tanya sofi setelah selesai dari wudlunya kepada
tim pencari. “Gak tahu, yang penting kamu temui saja dulu di ruang telephone!”
perintah tim pencari pada sofi.
Sofi
yang masih penasaran siapa yang menghubunginya itu, berjalan menuju ruang
telephone. Alangkah bahagia bercampur kaget ketika sofi tahu yang menelpon itu
adalah adiknya sendiri. Perbincangan berlaku selama satu jam. Tema demi tema
diperbincangkan mulai dari tidak tenangnya hati mila yang sama dengan perasaan
sofi beberapa hari yang lalu, hingga mereka membuat kesepakatan akan pulang
setelah kelulusan mila dari SMA. Telephone diletakkan dan diserahkan kembali
kepada penjaga, sedang mila yang berada di kost hanya bisa senyum-senyum
bahagia tak tertahankan, karena tinggal beberapa bulan lagi ia akan pulang
kampung dan bertemu dengan kakak pertama yang selama ini membiayai
pendidikannya.
Detik demi
detik telah dilalui, waktu demi waktu telah dijalani, tak terasa 8 bulan telah
berlalu. Waktu hukuman sofi telah usai, lulusan mila telah dilaksanakan. Sofi
dan mila berjanji akan bertemu di terminal Magelang untuk pulang bersama. Tepat
pukul 09.00 akhirnya penantian mila yang sudah menunggu di terminal itu
membuahkan hasil, tampak dari kejauhan seorang gadis berjilbab dengan membawa
koper besar dan menggendong tas kecil di pinggangnya. “Kak sofi!” mila
mengawali pertemuan. Dengan berlari menuju tempat mila berdiri “Mila!” Kata
sofi pada mila. Setengah jam mereka berdua berbincang mengenai kepulangan
mereka ke rumah.
Thin,
thin…suara klakson mobil besar tepat di depan sofi dan mila yang sedang
menunggu datangnya bus. “Mbak, mau kemana?” Tanya kernet bus. “Ke Kaliangkrik”
jawab sofi. “Masuk saja, nanti juga bus ini menuju ke sana!” kembali kernet bus
menawarkan busnya untuk ditumpangi. Satu setengah jam perjalanan menuju
kaliangkrik, tepat di depan pasar kaliangkrik bus itu menurunkan penumpang.
Sofi dan mila segera turun dan menuju kampung halaman. Dalam perjalanan, mereka
berbincang-bincang tentang pengalaman mereka di tempat masing-masing. Dan tak
lupa mereka mengobrolkan kakak tersayang mereka “Kakak pasti tambah cantik ya?”
mila mengawali perdebatan tentang kakak mereka yang kurus kering dimakan
kekurangan. “Eh, jangan kaya gitu. Kakak itu tidak cantik, tapi pasti sekarang
sudah super cantik dan manis! Haha” jawab sofi mengelak pada mila, “Ah, kakak
terlalu melebih-lebihkan kak nisa” “Tidak apa-apa, kak nisa juga gak akan bangga
jika dikatain cantik dan tidak akan marah jika dikatain tambah jelek.” Sanggah
sofi yang tahu sifat kakaknya yang selalu menerima apa adanya. “Ah, daripada
rebut-ribut mendingan kita buktikan saja nanti.” Tantang mila pada sofi, tak
terasa mereka telah masuk wilayah desa nganjuk, kecamatan belitung, kabupaten
magelang dimana sofi dan mila dibesarkan di sana.
“Assalamu’alaikum…
kak Nisa, kami pulang!” salam sofi dan mila terlintas ketika akan memasuki
rumah tua dari kayu yang dibangun beberapa puluh tahun yang lalu, tempat dimana
sofi dan mila dilahirkan dan dibesarkan, bermain dan menghabiskan waktu
kecilnya. “Wa’alaikumussalam… siapa ya di luar?” terdengar jawaban dari dalam
rumah. Namun betapa kagetnya sofi dan mila kalau yang menjawab itu suara laki-laki.
Dengan penasaran mereka menjawab “Kami, sofi dan mila.” “Oh, sebentar aku buka
pintunya dulu.” Jawab lelaki itu dari dalam.
Jeglek…ngeeeeeeeeeek,
suara pintu terbuka. “Alhamdulillah kalian pulang.” Sambutan lelaki penjaga
rumah dengan gembira. Rasa tak tahan dan gembira terlintas di wajah sofi dan
mila yang mengetahui yang menjaga rumahnya adalah pamannya sendiri, Paman Yudi.
“Paman, bagaimana kabar paman? Hahahah” Tanya mila. “Eh, kebalik, Bukan kalian
yang harus bertanya begitu, harusnya aku yang bertanya. Bagaimana kabar kalian?
Bagaimana studi kalian? Berhasil kan? Hehehe” Tanya paman yudi sembari mengajak
sofi dan mila masuk ke rumah. Namun rumah tampat sofi dan mila dilahirkan itu
Nampak sepi dan tidak ada suara perempuan, dengan rasa penasaran dan kangen
ingin bertemu kakaknya yang telah menggebu di hati sofi dan mila, mila bertanya
pada pamannya “Kak nisa, kak niiiisa, kami pulang kak. Dimana kakak? Eh, Paman,
dimana kak nisa? Dia baik-baik saja to paman?”. Paman yudi hanya dapat
tersenyum dan menjawab pertanyaan itu dengan senyuman yang menggembirakan
“Hmhm, Alhamdulillah. Kalian istirahat saja dulu, paman akan ceritakan sesuatu
yang perlu kalian ketahui, tapi besok kalau kalian sudah tidak kecapean, dan
tenaga kalian sudah pulih, dan badan kalian sudah segar kembali.” “Iya paman”
jawab mereka sembari membawa bekal dan beberapa barang mereka menuju kamar
dimana sofi dan mila bertengkar. “disinilah tempat kita bertengkar dan selalu
kak nisa yang memisahkan, hmhm” sofi mengawali perbincangan di kamar yang sepi
itu. “Hahah, kamu masih ingat to? Bikin malu aku saja! Tapi kak nisa dimana ya?
Memang paman akan cerita apa besok?” sofi yang masih penasaran pada keadaan
kakaknya bertanya pada mila dan dirinya sendiri. Pembicaraan berlanjut, namun
karena tubuh mereka yang masih lemas akhirnya tak sadar mereka tertidur pulas
hingga terdengar gema adzan subuh membangunkan mereka dari mimpi. “Assholatu
khoirun minan naum” adzan bergema membangunkan sofi. “Mila ayo bangun udah
subuh”. “nanti saja kak, aku masih lelah lagipula aku sedang ada halangan”
jawab mila sambil mengembil selimut di kakinya. “hah, kamu itu tetep gak
berubah, masih sama seperti dulu, sulit kalau disuruh bangun.” Jawab sofi yang
kemudian terbangun dan mengambil air wudlu untuk melaksanakan shalat subuh.
“Alhamdulillah
bisa melihat kembali cerahnya kampung halaman” Puji sofi kepada Allah yang
masih memberi kesempatan sofi melihat tanah kelahirannya. Tampak dari pintu
kayu yang terbuka itu, paman yudi dan istrinya berjalan menuju rumah sofi. Paman
dan sang istri tampak tegang dengan membawa dua buah kotak terbungkus kertas
kado berwarna hijau muda. Paman yudi dan isterinya segera masuk ke rumah, sofi
yang masih sendirian memanggil mila yang masih tertidur. Setelah mila terbangun
dari tidurnya dan membasuh muka, mereka berkumpul di ruang tamu bersama paman
dan isterinya. “Sebelum paman menceritakan sesuatu tentang kakak kalian, paman
ingin bertanya apakah kamu sudah lulus pembelajaran SMA mila? Dan apakah kamu
sudah usai pembelajaran di pesantren al ikhlas sofi?” “iya paman, kami sudah
menuntaskan pendidikan kami.” Jawab sofi dan mila. Setelah Paman yudi mendengar
jawaban sofi dan mila yang tampak begitu meyakinkan, dengan segera paman
menyerahkan masing-masing bungkusan yang sudah tertulis di luar bungkus itu
nama sofi dan mila pada mereka berdua. “Alhamdulillah kalau kalian sudah
menuntaskan pendidikan, dan ini bungkusan pesanan kakak kalian, dirawat ya!!
Jangan sampai rusak!” pesan paman kepada sofi dan mila. Rasa penasaran akan
keadaan kakak mereka terlintas di wajah mereka yang kembali murung dan tidak
sabar ingin tahu kabarnya. Sofi dan mila terus mendesak pamannya yang
berbelit-belit menceritakan keadaan kakaknya, sehingga pamannya menceritakan
keadaan sebenarnya tentang kakaknya, Nisa.
Paman yudi
mengawali ceritanya “Sebelum kalian mendengar cerita kakak kalian, tenangkan
dulu hati kalian, jangan grogi ataupun marah. Begini, setahun yang lalu
bungkusan itu dibuat saat kakak kalian menderita penyakit yang agak berat. Ia
tidak mau dibawa ke rumah sakit, hingga akhirnya penyakit itu menjadi penyakit
yang begitu berat. Dan terpaksa seluruh keluarga, teman dan tetangga yang
berada di sini sepakat untuk membawa nisa ke rumah sakit. Mau tidak mau ia
harus dirawat di rumah sakit. Seminggu lamanya ia menginap di rumah sakit, dan
saat itu sebelum ia berpamitan kepada kita, ia berpesan supaya memberikan kedua
bungkusan itu pada kalian dan jangan sampai mereka tahu keadaannya yang
sebenarnya sebelum mereka lulus dan tuntas dari pendidikannya. Selang beberapa hari,
ia dipanggil ke sisi Allah SWT.” Sofi
dan mila yang mendengar cerita itu, segera berlinanganlah air mata mereka
menderasi situasi rumah yang sepi itu. “Kenapa paman tidak mengabarkan kepada
kami?” Tanya mila membela. “Kakak kalian sudah berpesan, aku tidak berani
menyampaikan kabar itu pada kalian.” Jawab paman yudi pada sofi dan mila yang
masih berlinangan air mata.
Hening dan
hanya terdengar suara gemuruh air mengalir di samping rumah ditemani semilir
angin pagi menghias hati gundah sofi dan mila yang tak sampai menyampaikan rasa
terima kasih mereka pada kakak mereka yang telah ikhlas dan berjuang dengan
sepenuh jiwa membiayai pendidikan mereka sampai akhir. Paman yudi dan sang
isteri yang tak kuat menahan sedih kembali ke rumahnya. Sofi dan mila yang
termenung, tersungkur di ruang tamu hanya dapat meratap, dengan terbayang wajah
kakaknya yang kurus kering, perlahan mereka membuka bungkusan yang dititipkan
lewat paman yudi itu.
Dua bungkus
dengan tujuan yang berbeda, masing-masing sofi dan mila diberi bungkusan yang
berisikan benda berbeda, hanya selembar surat yang bentuknya sama. Pertama sofi
membuka bungkusan itu dan membaca surat bersama adiknya, meski cara membaca
mereka bersamaan dengan hiasan isak tangis, namun dalam hati mereka tampak jelas
kakaknya sedang berbicara pada mereka.
Sofi Adikku tercinta, maaf kakak merasa tidak bisa memenuhi
panggilan kalian untuk hidup bersama. Kakak merasa sudah tidak kuat menahan
raga serasa ingin keluar dari bumi. Sering kakak memimpikan kalian menjadi
manusia yang berguna. Kakak yakin kamu pasti sukses dalam penggalian ilmu kamu
di pesantren al ikhlas. Kakak hanya bisa mendoakan semoga bermanfaat dan sekali
lagi maaf tidak bisa mendampingi kamu bersama mila hidup bersama. Bersama
bungkusan ini kakak berikan hadiah yang paling kamu sukai sewaktu kecil:
Mangkuk kecil tempat makan kamu yang suka dibawa kemana-mana, Sebuah Alquran
yang biasa buat ngaji ayah, dan satu hal yang paling membahagiakan kamu, kakak
berikan resep masakan tempe clenuk. Kamu bisa baca menu itu di balik surat
pengantar kakak ini. Tetap semangat menjalani hidup, dan maaf tidak bisa
menjadi kakak yang dapat diandalkan dalam keluarga.
Kakak yang tak sempurna
Nisa
Sehabis membuka
bungkusan sofi, kini giliran mila membuka bungkusan yang ditujukan padanya.
Bungkusan itu berisikan sebuah jilbab yang biasa dipakai nisa ketika mengaji di
tempat Ust. Mukhyar bersama dengan teman-temannya dulu. Selain jilbab terdapat
sebuah Alquran, sebuah amplop dan selembar surat.
Adikku Mila, aku yakin adik pasti dapat lulus meski dengan nilai
yang kurang karena kakak tahu adik punya kelemahan masalah pengingatan. Kalau
adik pengin tahu sebabnya kenapa ingatan adik berkurang, sebab sewaktu adik
kecil dulu pernah kakak menggendong adik hingga adik terjatuh dan kepala adik
terbentur batu, kakak minta maaf hanya bisa menmberikan kabar lewat tulisan.
Dan maaf tidak dapat menjadi kakak yang sempurna bagi adikku tercinta. Semoga
dengan surat ini dapat memancing semangat adik untuk melanjutkan ke jenjang
pendidikan yang lebih tinggi. Kakak hanya dapat berdoa semoga suatu hari nanti
adik dapat memperoleh penghidupan yang layak dibanding dengan kehidupan yang
kakak alami. Jangan menyerah adikku, senyum adik sangat berharga untuk diri
adik, dan jangan sekali-kali putus asa untuk menggapai cita dan cinta adik. Tetap
senyum! hehehe
Kakak yang tak sempurna
Nisa
Senyuman kakak
tersayang mereka masih tergambar jelas dalam ingatan sofi dan mila. Setelah
sofi dan mila bersama-sama membuka bungkusan masing-masing, mereka bermaksud
ziarah ke makam kakak tersayangnya. Lantas mereka menemui paman yudi untuk
menunjukkan jalan menuju makam. Tak lama kemudian sampailah mereka di makam
kakak tersayangnya, beberapa bacaan dan dzikir dibaca mereka. Setelah selesai
membaca beberapa dzikir dan wirid, sofi sebagai orang tua memimpin doa di makam
itu. doa telah dibacakan, mereka kembali pulang ke rumah. Di tengah perjalanan
tiba-tiba sofi tersenyum dengan lega, mila yang kecil imut itupun ikut-ikutan
tersenyum.
Senyum mereka
kembali terpancar setelah menghayati isi surat kakak mereka. Mereka
menerjemahkan surat dari kakak mereka dengan inti agar mereka jangan bersedih
dengan kepergian sang kakak, dengan modal pantang menyerah kakak mereka
berpesan, dan dengan tersenyum kakak mereka memberi semangat. Meski rasa
bahagia telah muncul, namun senyum mereka masih bersama dengan linangan air
mata sembari bersama-sama dalam gumam mereka mengatakan “Kakak, Aku rindu….!”
No comments:
Post a Comment