Monday, 30 July 2012

CERPEN TERIMA KASIH AYAH IBU


TERIMA KASIH AYAH IBU


“Yang terakhir adalah salam. Selesai sudah penjelasan saya tentang rukun Shalat, jadi masih ada yang belum jelas?” Tanya ustad zaini pada seluruh santri yang datang di majlis ta’lim Pondok Pesantren Al Ittihad Prampelan Kemloko Tembarak Temanggung. Sebuah Pesantren salaf yang memiliki santri berjumlah 500. 200 santri putra, 200 santri putri dan 100 santri kalong. Terlihat di depan Ustad zain seorang santri yang tunjuk jari bermaksud mengajukan pertanyaan.
“Maaf mas ustad, intruksi. Alhamdulillah saya sudah tahu tentang rukun shalat, namun yang ingin saya tanyakan. Ustad mengatakan rukun shalat ada 13, namun setelah saya hitung ada 17? Pertanyaan saya, pendapat manakah yang benar?” farid mengajukan pertanyaan dengan sopan
“Oh, itu!!! begini kang farid, rukun shalat ada 13 itu dengan menjadikan tuma’ninah di satu tempat saja, satu rukun saja, tidak diperinci-perinci satu per satu. Dan rukun shalat ada 17 itu dengan menjadikan tuma’ninah di tempatnya masing-masing, yaitu: Tuma’ninah saat ruku, tuma’ninah saat sujud, dan tuma’ninah saat duduk diantara dua sujud.”
“Ya, terima kasih atas jawabannya, ustad.”
Jam madrasah telah usai, waktu menunjukkan pukul 15.30 WIB, saatnya bagi santri untuk beristirahat dan memasak untuk makan malam nanti. Suasana ramai di dapur dengan kicauan santri mendendangkan lagu-lagu shalawat, dan dengan rebut-ribut rebutan panci masak dan giliran antre. Waktu demi waktu berjalan, dapur yang dalam keadaan panas itu sering ditemui dalam keadaan panas dan hangat karena seringnya santri yang masak tiada henti, dan setiap waktu pasti ada santri yang memasak. Karena mau tidak mau pondok pesantren al ittihad harus menerapkan model masak antrean disebabkan banyaknya santri yang menetap dengan fasilitas dapur yang terbatas. Tak terasa waktu maghrib telah tiba, seluruh santri kembali disibukkan dengan jama’ah dan mujahadah.
Dan waktu yang ditunggu-tunggu telah tiba, yaitu ngaji ba’da isya. Kenapa? Karena pada waktu inilah santri putra dapat bertatapan dengan santri putri, meski hanya sebatas melihat dengan berbatas kaca berjarak 15 meter. Kisah menarik dari kegiatan ini adalah dijadikannya sebagai ajang pertemuan batin, yang dilahirkan dengan beberapa isyarat yang mungkin bisa diterima satu sama lain. Contoh santri putra memberi isyarat pada santri putri untuk bertemu di halaman belakang hari ahad pagi besok diisyaratkan dengan menunjukkan jari manis menunjuk arah belakang pesantren, tawaran santri putra dijawab dengan isyarat dari santri putri dengan anggukan jika setuju, atau gelengan jika tidak setuju.
Lukman, santri asal magelang berusaha membujuk hasanah dengan meunjukkan jari manis lukman pada hasanah, namun hasanah yang manis nan cerdas dan selalu duduk di barisan depan itu selalu menggelengkan kepala. Waktu demi waktu terlalui, rasa malu yang ditanggung lukman terus bergelantung menghantui lukman yang menghadap tafsir dan berhadapan langsung dengan hasanah yang terus tersenyum melihat wajah lukman yang lugu, polos, dan masih tampak seperti orang baru di pesantren al ittihad. Dalam perasaan lukman hanya bergumam “Semoga ngaji cepat selesai. Aku sudah malu besar ma dia.” Tak berapa lama terdengar kata-kata yang selalu dinanti lukman
“Shodaqollohul ‘Adzim, Wallahu A’lam…” Kyai Muhsin mengakhiri pertemuan pengajian malam selasa yang selalu mengkaji tafsir alquran. Lukman yang masih menanggung malu itu segera melaju melesat menghampiri kyai Muhsin dan sungkem padanya. “Tumben maman? Kamu duduk di barisan depan?” kyai Muhsin mengajukan pertanyaan yang begitu menusuk hati remaja yang biasa dipanggil maman itu.
“Tidak apa-apa romo. Pengen saja duduk di barisan depan.” Jawab maman sambil tersenyum sembari kembali pulang ke komplek pesantren.
****
Di dalam kamar setelah selesai pengkajian kitab tafsir malam itu
“Sial!!?” tutur lukman sambil mengetuk-ngetuk meja kamar
“Kenapa?” Tanya rozaq
“Masa, dari dulu aku belum pernah dapet jawaban memuaskan dari hasanah?”
“Hahaha, jangankan kamu. Sauqi yang sudah beberapa tahun di sini dan hamper menyandang gelar badal ustad saja belum tentu diterima hasanah. Apalagi kamu, santri baru tahu mubtada? Na’at saja belum sampai, mau ngejar-ngejar hasanah. Ngimpi!!” Ejek rozaq pada lukman yang setatusnya masih menjadi santri jurumiyah awal dan baru menetap di pesantren selama 3 tahun itu.
“Tidak apa-apa to, yang penting aku sudah berusaha untuk gapai mimpiku. Siapa tahu aja dia mau ma aku?” bela lukman, “Bukan itu saja, masa tadi romo Muhsin sempat-sempatnya nanya aku, tumben kamu duduk di barisan depan?, betapa tambah malunya diriku?” tambahnya
“Makanya, kamu itu kalo ngaji yang mbener, jangan sering bolong! Gini deh jadinya, kamu ngaji di barisan depan aja dicurigain.”
“Eeeeh, kamu bukannya bela teman yang sedang dilanda musibah malah nambah-nambah beban aku.”
“Bukan nambah beban, tapi aku ngasih support supaya kamu besok-besok gak nyepelein ngaji lagi. Supaya kamu besok lebih tertib ngajinya, istiqomah, dan yang pasti ngaji kamu dapet tertib!” tutur rozaq menasehati maman.
****
Maman, seorang remaja berumur 21 tahun, asal sidorejo bandongan kabupaten magelang yang sampai kini mengidolakan Uswatun Hasanah, gadis manis dan sederhana 17 tahun asal Purworejo yang sudah 6 tahun menjadi anggota pesantren al ittihad, pada pagi yang cerah itu sedang melamunkan bayang wajah hasanah yang sulit dihilangkan dari ingatannya.
“Ya Allah, kenapa aku sulit ngelupain wajah hasanah? Apakah ini yang disebut cinta? Tapi kenapa pada dia? Aku baru 3 tahun di sini, sedang dia sudah lama. Pantaskah aku memilikinya? Tapi jika aku mengutarakannya pada romo Muhsin apakah beliau memperbolehkan aku meminang hasanah untuk aku ajak menempuh hidup? Tapi aku takut, aku bimbang, aku gak berani matur kyai… Ya Allah…” Gumamnya dalam hati dan dalam ketidak sadarannya itu, tiba-tiba terdengar keras suara dari belakang dan menggeblak pundak maman “HE!!!!! Maman!! Ngalamun ya?” bentak Jahidin, teman sekamarnya.
“Masya Allah, copot jantungku! Kamu bikin kaget saja.” Tutur Maman sembari menepuk dada jahidin
“Ya, gak apa-apa, kamu sih pagi bolong-bolong… eh pagi-pagi bolong gini bagusnya buat belajar, malah ngelamun! Ngalamunin apa to?”
“Gak apa-apa.”
“Iiiiiii, kangen rumah ya? Haha. Masa sudah pernah nyantri di magelang 5 tahun, pindah ke sini kok masih kangen rumah?” ejek jahidin.
“Kamu aneh-aneh saja. Aku gak kangen rumah, cumaaa……. Gi ada masalah aja yang gak bisa aku utarakan ke siapapun.”
Pagi yang indah itu dihias perdebatan maman dan jahidin di sebuah ruangan yang di dalamnya masih banyak santri yang tertidur pulas menanti jam 08.00 tiba untuk melaksanakan shalat dhuha bersama. Di tengah perdebatan bel mulai shalat dhuha dideringkan, seluruh santri bergerumun berlarian kesana-kemari sibuk mencari sajadah, berwudlu, mencari tasbih, mencari alquran, bersiap-siap untuk shalat dhuha. Sedang pengurus sibuk untuk membangunkan santri yang masih terlelap.
Rohani, ketua pesantren tampak sedang berjalan dengan pelan tapi pasti menuju kamar perdebatan maman dan jahidin. “Maman, jahidin. Perdebatan diteruskan nanti habis shalat!” Tuturnya di depan kamar tempat maman dan jahidin berdebat ribut. “Iya kang.” Jawab mereka serentak. Dalam perjalanannya, maman dan jahidin tetap masih meributkan masalah yang baru saja diobrolkan di kamar. Langkah demi langkah dilalui, masjid al ittihad sudah tampak di depan mata maman dan jahidin.
“Allahu akbar…” Rohani memulai shalat. Masjid al ittihad yang lima belas menit yang lalu tampak ramai, kini sepi tanpa suara, hanya tampak dari luar 3 orang sedang berjaga di luar masjid. Ketiga orang itulah yang ditugaskan pengurus keamanan untuk menjaga keamanan masjid, baik sandal, kekhusyu’an, mujahadah, dan lainnya. 30 menit berlalu, shalat dhuha telah terlaksana, saatnya maman dan rekan-rekan kembali ke kamar masing-masing dan persiapan untuk mengkaji kitab yang akan dimulai pukul 09.00 WIB.
****
“Bismillahirrahmanirrahim, Fashlun utawi iki iku ono fashal suwiji, yunqosamu dibagi, opo fi’lun kalimah fi’il, ‘ala tsalatasati aqsaamin ingatase telu piro-piro bagian, jadi kalimah fi’il itu dibagi dalam 3 bagian yaitu, Madhi siji rupane fi’il madhi, watsani utawi bagian kang kaping pindho, iku fi’lul mudhori’I fi’il mudhori, watsalitsu utawi bagian kang kaping telu, iku fi’lul amri fiil amar, keterangannya adalah bahwa ketiga bagian kalimah fi’il itu adalah fiil madi, fiil mudhari, dan fiil amar. Sedang perincian keterangannya adalah bahwa fiil madhi adalah fiil yang menunjukkan…” terdengar suara ustad Muhammad Mudai sedang menjelaskan tentang pembagian kalimah fiil di dalam aula pondok pesantren putra al ittihad. Khusyu dan khudhur santri-santri membuat suasana aula menjadi mengerikan dan sunyi berkonsentrasi mendengarkan penjelasan ustad mudai. Maman yang ikut serta dalam pengkajian itu, biasa ia duduk di bangku tengah terlihat sedang khusyu mendengarkan penjelasan sang ustad. Maman terduduk tersungkur menunduk sedang khusyu dengan memejamkan mata dan tampak tenang sekali mendengarkan penjelasan.
“Eh, itu yang tertunduk siapa namanya?” Tanya ustad Mudai pada seluruh santri sambil menunjuk pada maman yang sedang tertunduk
“Ini Maman, ustad.” Jawab mereka serentak
“Itu sedang khusyu faham atau sedang apa?”
Salah satu santri melihat maman yang mengabaikan panggilan ustad, dengan segera memukul halus kaki maman yang duduk bersilah. Maman yang tertidur kaget dengan pukulan halus itu, tanpa paksaan dan tanpa perintah dari siapapun ia berdiri
“Iya siap, bagaimana romo kyai? Apakah romo benar-benar akan memerintah saya untuk menjemputnya di terminal.” Kata maman yang terdiri karena kaget. Aneh dan tragis nasib maman yang menjawab pertanyaan ustad dengan berdiri tegak lurus menunjuk jarinya ke arah ustad, sedangkan matanya masih terpejam dan pikirannya masih terbawa mimpi.
Hening, dan tanpa ada suara di dalam aula, Maman diam sebentar dan Tak lama kemudian ia yang lugu berkata “Kepada Pembina upacara hormaaaaaaat grak! Tegaaaaaaak grak!” maman kembali mengigau sambil menghormat pada ustad layaknya menghormat Pembina upacara hari senin di sekolah.
“hahaha, maman! bangun dulu kalo jawab pertanyaan ustad. Jangan buat kita-kita mati ketawa!” Tawa dan gertakan seluruh santri yang datang membuat maman tersadar dari mimpinya.
“Masya Allah, aku…aku… kenapa berdiri sendirian?” maman yang merasa aneh dengan dirinya, ia melihat di depannya tampak ustad mudai yang melongo menghadap dirinya, “Bagaimana ustad, hehe… hehe…?” Tanya maman yang baru saja tersadar dari mimpi indahnya dengan nada yang sangat halus, cengengesan!
Ustad yang melongo melihat tingkah maman “Kamu mimpi apa?” tanyanya penasaran
“Tidak apa-apa kok ustad, Hehe.” Maman hanya senyum-senyum tersipu malu terbayang tingkahnya. Dalam hati maman berharap semoga ngajinya cepat selesai, “aku gak tahan nahan malu kalau terus-terusan dipandang ustad mudai yang terduduk, sedang aku malah berdiri” harapan dalam hatinya yang masih berdiri dengan mata sayup memandang ke arah ustad mudai yang duduk di depan papan tulis.
Jam madrasah telah usai, maman yang pemberani keluar ruang madrasah dengan wajah penuh bawang dan cabai. Banyak teman yang menyorakinya karena tingkahnya yang baru saja dilakukan di depan ustad Mudai. Berebut sandal dan berlarian adalah hal biasa di pesantren al itiihad. Seluruh santri keluar ruang madrasah, tak lupa maman juga keluar ruang. Namun betapa naas nasib maman yang ketika keluar ruang ia sudah mendapati sandalnya sudah terbang sendiri menuju komplek peristirahatan. Berjalan kaki tanpa sandalpun dilakukannya, ditemani beberapa santri yang juga bernasib sama.
****
Sesampai di kamar…
“Grrrrrr, aku bertingkah aneh di depan ustad. Kenapa? Kenapa? Ya Allah berikanlah hambaMu ini jawaban.” Doa maman terlahir dengan keras memenuhi kamar. Rozi yang mendengarnya menyahut “Makanya kalo punya masalah, certain aja! Siapa tahu di antara teman-teman kamu bisa bantu!” Rozi, santri asal purwokerto mengawali perbincangan
“Tidak apa-apa zi, cuman saja ada beberapa yang membuatku sering ngalamun. Bahkan ngalamunku terlalu hingga tak sadar aku terbawa mimpi. Padahal dulu-dulu aku belum pernah kaya gini?”
“makanya kamu certain aja masalah kamu. Kalau memang kita-kita bisa bantu apa salahnya?”
“Sudah 3 tahun aku disini. Tahu kan?” maman mengawali cerita
“Iya, kalau itu aku sudah tahu. Kamu kan barengan masuknya ma aku?”
“Sebenernya… sebelum aku masuk ke pesantren al ittihad ini, orang tuaku punya hajat naik haji. Dan mereka berdua berpesan padaku kalau sepulang mereka dan punya rizki, mereka akan memberikan aku pasangan hidup. Aku takut, gelisah, dan bingung. Aku belum siap untuk itu, aku merasa masih kurang dalam segalanya. Di balik kebingungan dan kegundahanku, aku pergi saja sowan ke sini. Namun anehnya, setiap aku terpikir masalah itu, aku sering ngalamun, fikiranku terasa kosong, aku… aku… aku… merasa tak punya apa-apa!” Tutur maman dengan nada lirih dan terputus-putus menahan linangan
“Oh, gitu. Berarti orang tua kamu belum tahu kalau kamu nyantri di sini?” Tanya Rozi
“Belum. Uang yang aku gunakan untuk biaya di sini adalah uang tabunganku dari kecil yang ada di rekeningku.”
“Ohohoho, gini saja. Kalau kamu mau ngelakui usulku, coba dulu kamu sowan kyai, terus minta izin pulang dan minta restu orang tua kamu di rumah. Gak cukup dengan sms atau telephone. Karena izin dari orang tua kamu harus terikrar terdengar dari ucapan mereka langsung! Gimana?” rozi memberikan saran yang dirasa bagus bagi maman.
Maman yang mendengar saran dan dalam keadaan menahan linangan air mata hanya terdiam dan serasa tak bisa bicara. “Aku malu, masa gitu saran kamu?”
“Ya… kalau kamu mau ngelakuin. Kalau enggak ya aku gak maksa kok!”
“Mungkin kamu saja kalau ngalamin kejadian yang sama, kamu akan lebih bingung zi!”
“Ya… tapi aku akan terima saran teman-teman aku! Hehe, selamat berfikir dulu, aku tunggu jawaban kamu atas saran aku, nanti aku Tanya-tanya lagi masalah ini! OK?” Kata rozi sambil keluar kamar dengan wajah tersenyum sembari menutup pintu kamar, membiarkan maman merenung memikirkan saran yang diajukannya.
Setengah malam maman memikirkan masalah yang dideritanya, pukul 20.00 WIB rozi kembali menemui maman yang masih tersungkur dalam masjid menghadap ke barat, menundukkan kepala. Ia tertidur, “Hey, kalau sudah ngantuk kembali ke kamar saja!” bisik rozi membangunkan maman.
“Eh, kamu zi. Udah kelar ya shalat isya’nya?”
“Udah setengah jam yang lalu.” Jawab rozi sambil mengajak maman kembali ke kamar.
Mereka berdua berjalan bersama kembali ke kamar, di tengah perjalanan rozi menyinggung perbincangannya tadi siang. Seketika itu, maman teringat dan gagap bertanya pada rozi.
“Zi, abah yai ada acara keluar ga?”
“Kayake gak ada, gimana to?”
“Aku mau sowan.” Kata maman sambil berlari menuju kediaman pengasuh pesantren, KH. Muhsin. Di depan kediaman KH. Muhsin…
“Assalamu’alaikum…”
“Wa’alaikumussalam…” Jawaban dari dalam terdengar bersuara lirih dan merdu dari seorang gadis muda yang berada di ruang tamu.
“Maaf, mbak siapa ya? Terus abah yai muhsin ada di rumah?” Tanya maman pada gadis yang dihadapinya.
“Oh, mas santri sini ya?”
“Iya, terus mbak mau sowan abah yai juga?”
“Iya, saya mau sowan abah. Tapi sudah lama saya disini kok abah belum kelihatan? Hehe.” Kata gadis itu sambil tersenyum ngerjain maman yang belum tahu kalau gadis itu adalah putri KH. Muhsin. “Sebentar mas ya, saya panggilkan abah yai dulu ke dalam, siapa tahu beliau ada di dalam?” Jawab gadis itu sembari masuk ke dalam kediaman pengasuh pesantren.
 Tak lama setelah gadis itu masuk ke dalam, KH. Muhsin segera datang ke ruang tamu menemui Maman. Sesampai di ruang tamu, KH. Muhsin penasaran tidak biasanya ada santri yang berani sowan menghadapnya sendirian. Kini dihadapannya tampak sesosok santri yang dengan tegar sowan menghadap pengasuh sendirian, itupun tidak dengan wajar, dalam artian jika kebiasaan santri sowan menghadap kyai itu tidak sendirian, selain itu persowanan santri pasti membawa lembaran kertas atau buku. Tapi maman kini sowan sendirian tanpa membawa apapun, kertas tak membawa, buku tak membawa, ballpoint juga tidak membawa. Yang dibawa maman hanyalah segelintir permasalahan yang masih menancap di otaknya.
“Kamu siapa ya?” Tanya KH. Muhsin mengawali
“Saya Maman, Lukman Hakim romo.” Jawab maman memperkenalkan diri
“Asli dari mana?”
“Saya asli Bandongan, Magelang saja romo.”
“Oh, dekat to? Hemhem. Saya heran sama kamu, kamu belum pernah kesini sama siapapun sebelum ini ya?”
Maman tercengang, kenapa KH. Muhsin tahu kalau dirinya sama sekali belum pernah menghadap KH. Muhsin. “Iya, memang saya belum pernah menghadap romo sebelum ini. Tapi maaf, kenapa romo tahu hal itu?” Tanya ia penasaran
“Gini, biasanya santri yang datang kesini itu membawa buku atau lembaran dan datangnya tidak sendirian. Pasti didampingi teman sebagai saksi kedatangannya padaku.” Kyai Muhsin menjelaskan.
“Oh, begitu. Saya faham, lain kali saya akan mengajak teman ketika menghadap romo.”
“Ya, terus maksud kedatanganmu kesini mau bagaimana?”
Maman segera menceritakan permasalahan yang dihadapinya kepada KH. Muhsin tanpa terkecuali, dari permasalahan pribadinya sampai kedatangannya di pesantren. Hingga sebelum maman pamit dari hadapan KH. Muhsin, beliau kembali bertanya pada maman
“Eh, kamu sudah berapa tahun di sini?”
“Saya masih dua setengah tahun romo.”
“Oh, sudah agak lama juga? Tapi aku belum pernah faham sama kamu?” Tanya kyai muhsin penasaran.
“Iya, maaf romo, dulu waktu pendaftaran santri, romo sedang ada acara di luar. Terus saya daftar kepada pengurus dan belum sempat sowan menghadap romo. Sekali lagi maaf!”
“Tidak apa-apa, tentang masalah kamu, apakah kamu sudah cerita sama orang tua kamu kalau kamu nyantri di sini?”
“Belum romo. Saya kabur dari rumah, orang tua saya sampai kini belum tahu kalau saya di sini.”
“Kamu kok gitu sama orang tua? Harusnya orang tau kamu tahu posisi kamu!”
“Maaf romo saya terpaksa, saya tidak berani menolak perintah orang tua, sedangkan keinginan saya juga tidak mau dikalahkan. Selain itu, saya juga belum siap untuk menjalani hidup dengan pasangan, apalagi dengan pasangan yang belum saya ketahui, yang akan dijodohkan oleh orang tua saya!” Maman mempertegas maksud sowannya pada Kyai Muhsin.
“Begini saja, kamu pulang dulu dan…” Ucapan kyai muhsin diputus oleh maman
“Maaf romo, saya sudah bermaksud untuk tidak akan pulang dalam jangka 3 tahun ini.”
“Tapi untuk ini tidak apa-apa kamu pulang dulu. Tapi kalau kepepet kamu sudah bersikeras memegang maksud kamu, kamu jangan pulang ke rumah, pulang saja ke rumah saudara: Paman, Kakek, atau nenek kamu. Ketika kamu sampai di rumah mereka, kamu hubungi orang tua untuk menemui kamu, setelah itu barulah kamu ceritakan segalanya pada orang tua kamu!” kyai Muhsin kembali memberikan saran pada maman yang sudah mempunyai hajat dan maksud untuk tidak pulang selama 3 tahun.
“Injih romo, saya pamit ke pondok dulu nanti terusan saya ijin untuk pulang ke rumah.”
“Iya, mau berapa hari?”
“Secukupnya saja.”
“Ya… secukupnya itu berapa? Kalau lebih dari 3 hari romo tidak merelakan. Bagaimana?”
“Insya Allah besok saya ke sini.”
“Yah, sana pulang dulu saja, biar permasalahan kamu ada titik temu penyelesaiannya.”
“Terima kasih romo, Assalamu’aikum…” salam maman sembari kembali ke pesantren
“Wa’alaikumussalam…”
Persowanan maman telah usai, maman kembali ke komplek pesantren. Ia mempersiapkan segalanya yang akan ia ceritakan pada orang tuanya, tak urung ia mempersiapkan bekal dan beberapa pakaian yang dibungkusnya pada sebuah tas Tracker yang biasa ia gunakan sebelum ia masuk ke pesantren al ittihad. Dalam perjalanan pulang, maman khawatir dan takut akan tanggapan orang tuanya ketika ia mengutarakan seluruh beban dan permasalahan yang dihadapinya. Terfikir juga dalam benak pikirannya kalau pulang akan pulang ke rumah siapa? Detik demi detik dilalui, putusan terakhir ia akan pulang ke rumah kakaknya yang kebetulan rumah kakaknya tak jauh dari rumah orang tuanya. Tak lama, maman sampai di rumah kakaknya.
“Assalamu’alaikum Wr. Wb.” Salam sapa pertama maman di depan pintu
“Wa’alaikumussalam…” jawab Hakim, kakak maman dari dalam rumah
“Eh, kamu. Baru kelihatan? Dari mana saja kamu? Kok sudah lama gak kelihatan?” Tanya hakim menyambut maman dengan senyum berlinangan air mata.
“Maaf kang, memang aku yang salah, aku gak ngasih kabar rumah selama aku pergi du setengah tahun ini. Ihiks, ihiks, ihiks.”
“Tidak apa-apa, duduk saja dulu!” pinta hakim pada maman yang kelihatan kelalahan
Maman masuk dan duduk dalam rumah kecil dan mungil di dusun sebelah bandongan. Di saat itu, maman yang masih menahan tangis menghubungi orang tuanya dan meminta mereka untuk datang ke rumah kakaknya, Hakim. Kata demi kata maman dendangkan pada orang tuanya, tak lama setelah maman memberitahu keberadaannya di rumah hakim, orang tuanya terlihat di luar rumah.
“Assalamu’alaikum…” salam ayah maman
“Wa’alaikumussalam” jawab maman dari dalam rumah
Kedua orang tua maman masuk ke dalam rumah, berpelukan dan saling melapas rindu, dan tampak betapa berat perasaan yang mereka rasakan ketika diantara mererka tidak ada hubungan sama sekali. Maman menangis karena kebingungan mau bicara apa pada orang tuanya, sedangkan orang tuanya menangis karena bahagia melihat putranya kembali dari kekaburan dan berharap meu menerima keputusan mereka akan menjodohkan maman.
“Bagaimana kabar kamu? Lama tidak kelihatan atau kasih kabar? Terus kamu tinggal dimana?” Tanya orang tua maman padanya mengawali perbincangan
“Alhamdulillah, saya sehat. Selama dua setengah tahun ini saya menetap di pondok pesantren al ittihad Temanggung milik KH. Muhsin”
“Terus maksud kepulangan kamu mau apa? Setuju kan kamu sama keputusan ayah dan ibu tentang perjodohan kamu?”
“Maaf ayah ibu. Bukannya saya menolak tawaran ayah dan ibu, tapi saya belum siap untuk menjalani hidup dalam kesendirian bersama istri. Dan maksud kedatangan saya ke rumah karena perintah kyai muhsin tentang permasalahan yang saya hadapi. Tentang perjodohan itu yah.” Maman mengadukan persowanan pada ayah dan ibunya.
“Terus bagaimana anggapan kyai tentang masalah itu?”
“Kyai Muhsin memasrahkan seluruhnya pada saya dan memusyawarhkannya pada ayah dan ibu. Kalau memang ayah dan ibu bersikeras ingin menjodohkan saya, saya akan terima namun dengan syarat, jangan salahkan saya jika pada suatu hari nanti rumah tangga saya akan tidak karuan karena memperhatikan rumah tangga lain yang dibangun dengan perjodohan akan seperti itu. maka saya tidak mau jika keluarga saya nanti akan memiliki nasib yang sama.”
“Yah, ayah tahu, ibu juga mungkin dapat mengerti maksud kamu. Sekarang ayah dan ibu urungkan saja niat kami menjodohkan kamu. Kamu boleh mencari jodoh sesuka kamu, asalkan calon kamu itu berbakti pada orang tua dan tahu akan ilmu agama Insya Allah akan kami terima dengan sukarela.”
“Benar yang ayah katakan?” Tanya maman kegirangan
“Benar.”
“Terima kasih ayah. Sekalian maman minta restu dari ayah untuk kembali menuntut ilmu di pesantren al ittihad, karena selama dua setengah tahun ini maman mengaji tanpa restu dari ayah dan ibu. Sebab itulah maman ngaji tidak konsen ke pengajian terus!”
“iya, bapak dan ibu pasti meridloi kamu ngaji di sana. Tapi Sekarang kamu pulang ke rumah dulu!”
“Maaf ayah, saya sudah bermaksud dalam waktu 3 tahun ini saya tidak akan pulang ke rumah. Insya Allah jika sudah genap 3 tahun saya pulang.”
“Tapi man, kamu ngomong gini jangan-jangan kamu memang sudah punya jodoh di sana? Hayooo?” Tanya ayah maman sembari bercanda menghilangkan kejenuhan
“Belum ayah. Saya masih belum kepikiran sampai ke situ. Sudah yah, gitu saja saya kembali ke pesantren dulu.”
“Lho, kok cepat banget? Gak nginep di rumah kakak?”
“Saya diijinkan kembali sampai urusan saya selesai. Kini urusan saya dengan ayah dan ibu telah selesai, jadi sudah menjadi kewajiban saya untuk kembali ke pesantren. Sekali lagi terima kasih ayah, ibu telah mengijinkan saya mencari pasangan hidup tanpa paksaan.”
“Sama-sama man, telah memberiku pelajaran.” Jawab ibu maman
“Ya sudah, saya pamit dulu, Assalamu’alaikum…” maman pamit dari rumah hakim
 “Eh, maman ini minumnya sudah kakak buatkan.” Tampak hakim membawa minuman dan mengejar maman yang sudah beranjak pergi
“Terima kasih kak, kapan-kapan aku datang.” Jawab maman dari kejauhan yang sudah siap naik bus.
Dalam perjalanannya di dalam bus maman hanya tersenyum dan tersenyum teringat kebahagiaan orang tuanya. “Alhamdulillah aku bebas, dan rasanya lega dada ini!” gumam maman dalam hati karena kegirangan. Satu jam dalam bus membuat maman merasa kantuk, tertidur pulas dan tak terasa komplek pondok pesantren al ittihad sudah tampak di depan mata yang menyambutnya dengan senyuman. “Aku sudah sampai… pak kiri pak!” kata maman pada kernet bus. Bus berhenti, maman turun dan kembali ke pesantren. Tanpa piker panjang maman segera menghadap kyai muhsin.
Di depan pintu
“Assalamu’alaikum…”
“Wa’alaikumussalam…” Jawab KH. Muhsin dari dalam
Pintu dibuka, saling bertatapan, segera kyai muhsin mempersilakan maman masuk ke dalam. “Kamu man, sudah jadi pulang dan musyawarah pada orang tua kamu?”
“Alhamdulillah romo saya sudah pulang dan musyawarah tentang permasalahan yang saya hadapi.”
“terus hasilnya bagaimana?”
“Alhamdulillah saya diijinkan nyantri di sini, dan perjodohan saya dibatalkan. Terima kasih romo telah member saran yang manjur bagi saya.”
“Alhamdulillah… bukan saran aku yang manjur tapi doa dan restu orang tua kamu yang kamu harapkan dan mebuat segalanya terang benderang. Sekarang perasaan kamu sudah lega dan pikiran kamu enak kan?”
“Iya, romo.”
“Itulah, kasih sayang, rodlo, dan doa orang tua pasti akan merbuah segalanya. ketenangan pikiran dan cahaya hati adalah hal yang akan didapati.”
“Sudah cukup romo persowanan saya, saya kembali ke pesantren dulu. Semoga saya istiqomah di sini!”
“Amien”
“Assalamu’alaikum…” maman mengakhiri persowanannya
“Wa’alaikumussalam…”
Dengan bangga dan perasaan lega maman kembali ke pesantren. Dan barulah ia sadari memang benar ucapan rozi dan kyai muhsin, bahwa doa orang tua akan berpengaruh pada pikiran dan hati anaknya. Dalam hatinya, maman hanya dapat berkata “Terima kasih ayah, terima kasih ibu, telah memberiku restu yang tak dapat aku balas.”