TERIMA
KASIH AYAH IBU
“Yang
terakhir adalah salam. Selesai sudah penjelasan saya tentang rukun Shalat, jadi
masih ada yang belum jelas?” Tanya ustad zaini pada seluruh santri yang datang
di majlis ta’lim Pondok Pesantren Al Ittihad Prampelan Kemloko Tembarak
Temanggung. Sebuah Pesantren salaf yang memiliki santri berjumlah 500. 200
santri putra, 200 santri putri dan 100 santri kalong. Terlihat di depan Ustad
zain seorang santri yang tunjuk jari bermaksud mengajukan pertanyaan.
“Maaf
mas ustad, intruksi. Alhamdulillah saya sudah tahu tentang rukun shalat, namun
yang ingin saya tanyakan. Ustad mengatakan rukun shalat ada 13, namun setelah
saya hitung ada 17? Pertanyaan saya, pendapat manakah yang benar?” farid
mengajukan pertanyaan dengan sopan
“Oh,
itu!!! begini kang farid, rukun shalat ada 13 itu dengan menjadikan tuma’ninah
di satu tempat saja, satu rukun saja, tidak diperinci-perinci satu per satu.
Dan rukun shalat ada 17 itu dengan menjadikan tuma’ninah di tempatnya
masing-masing, yaitu: Tuma’ninah saat ruku, tuma’ninah saat sujud, dan
tuma’ninah saat duduk diantara dua sujud.”
“Ya,
terima kasih atas jawabannya, ustad.”
Jam
madrasah telah usai, waktu menunjukkan pukul 15.30 WIB, saatnya bagi santri
untuk beristirahat dan memasak untuk makan malam nanti. Suasana ramai di dapur
dengan kicauan santri mendendangkan lagu-lagu shalawat, dan dengan rebut-ribut
rebutan panci masak dan giliran antre. Waktu demi waktu berjalan, dapur yang
dalam keadaan panas itu sering ditemui dalam keadaan panas dan hangat karena
seringnya santri yang masak tiada henti, dan setiap waktu pasti ada santri yang
memasak. Karena mau tidak mau pondok pesantren al ittihad harus menerapkan
model masak antrean disebabkan banyaknya santri yang menetap dengan fasilitas
dapur yang terbatas. Tak terasa waktu maghrib telah tiba, seluruh santri
kembali disibukkan dengan jama’ah dan mujahadah.
Dan
waktu yang ditunggu-tunggu telah tiba, yaitu ngaji ba’da isya. Kenapa? Karena
pada waktu inilah santri putra dapat bertatapan dengan santri putri, meski
hanya sebatas melihat dengan berbatas kaca berjarak 15 meter. Kisah menarik
dari kegiatan ini adalah dijadikannya sebagai ajang pertemuan batin, yang
dilahirkan dengan beberapa isyarat yang mungkin bisa diterima satu sama lain.
Contoh santri putra memberi isyarat pada santri putri untuk bertemu di halaman
belakang hari ahad pagi besok diisyaratkan dengan menunjukkan jari manis
menunjuk arah belakang pesantren, tawaran santri putra dijawab dengan isyarat
dari santri putri dengan anggukan jika setuju, atau gelengan jika tidak setuju.
Lukman,
santri asal magelang berusaha membujuk hasanah dengan meunjukkan jari manis
lukman pada hasanah, namun hasanah yang manis nan cerdas dan selalu duduk di
barisan depan itu selalu menggelengkan kepala. Waktu demi waktu terlalui, rasa
malu yang ditanggung lukman terus bergelantung menghantui lukman yang menghadap
tafsir dan berhadapan langsung dengan hasanah yang terus tersenyum melihat
wajah lukman yang lugu, polos, dan masih tampak seperti orang baru di pesantren
al ittihad. Dalam perasaan lukman hanya bergumam “Semoga ngaji cepat
selesai. Aku sudah malu besar ma dia.” Tak berapa lama terdengar kata-kata
yang selalu dinanti lukman
“Shodaqollohul
‘Adzim, Wallahu A’lam…” Kyai Muhsin mengakhiri pertemuan pengajian malam selasa
yang selalu mengkaji tafsir alquran. Lukman yang masih menanggung malu itu
segera melaju melesat menghampiri kyai Muhsin dan sungkem padanya. “Tumben
maman? Kamu duduk di barisan depan?” kyai Muhsin mengajukan pertanyaan yang
begitu menusuk hati remaja yang biasa dipanggil maman itu.
“Tidak
apa-apa romo. Pengen saja duduk di barisan depan.” Jawab maman sambil tersenyum
sembari kembali pulang ke komplek pesantren.
****
Di
dalam kamar setelah selesai pengkajian kitab tafsir malam itu
“Sial!!?”
tutur lukman sambil mengetuk-ngetuk meja kamar
“Kenapa?”
Tanya rozaq
“Masa,
dari dulu aku belum pernah dapet jawaban memuaskan dari hasanah?”
“Hahaha,
jangankan kamu. Sauqi yang sudah beberapa tahun di sini dan hamper menyandang
gelar badal ustad saja belum tentu diterima hasanah. Apalagi kamu, santri baru
tahu mubtada? Na’at saja belum sampai, mau ngejar-ngejar hasanah. Ngimpi!!”
Ejek rozaq pada lukman yang setatusnya masih menjadi santri jurumiyah awal dan
baru menetap di pesantren selama 3 tahun itu.
“Tidak
apa-apa to, yang penting aku sudah berusaha untuk gapai mimpiku. Siapa tahu aja
dia mau ma aku?” bela lukman, “Bukan itu saja, masa tadi romo Muhsin
sempat-sempatnya nanya aku, tumben kamu duduk di barisan depan?, betapa tambah
malunya diriku?” tambahnya
“Makanya,
kamu itu kalo ngaji yang mbener, jangan sering bolong! Gini deh jadinya, kamu
ngaji di barisan depan aja dicurigain.”
“Eeeeh,
kamu bukannya bela teman yang sedang dilanda musibah malah nambah-nambah beban
aku.”
“Bukan
nambah beban, tapi aku ngasih support supaya kamu besok-besok gak nyepelein
ngaji lagi. Supaya kamu besok lebih tertib ngajinya, istiqomah, dan yang pasti
ngaji kamu dapet tertib!” tutur rozaq menasehati maman.
****
Maman,
seorang remaja berumur 21 tahun, asal sidorejo bandongan kabupaten magelang
yang sampai kini mengidolakan Uswatun Hasanah, gadis manis dan sederhana 17
tahun asal Purworejo yang sudah 6 tahun menjadi anggota pesantren al ittihad,
pada pagi yang cerah itu sedang melamunkan bayang wajah hasanah yang sulit
dihilangkan dari ingatannya.
“Ya
Allah, kenapa aku sulit ngelupain wajah hasanah? Apakah ini yang disebut cinta?
Tapi kenapa pada dia? Aku baru 3 tahun di sini, sedang dia sudah lama.
Pantaskah aku memilikinya? Tapi jika aku mengutarakannya pada romo Muhsin
apakah beliau memperbolehkan aku meminang hasanah untuk aku ajak menempuh
hidup? Tapi aku takut, aku bimbang, aku gak berani matur kyai… Ya Allah…” Gumamnya dalam hati dan dalam ketidak sadarannya itu, tiba-tiba terdengar
keras suara dari belakang dan menggeblak pundak maman “HE!!!!! Maman!! Ngalamun
ya?” bentak Jahidin, teman sekamarnya.
“Masya
Allah, copot jantungku! Kamu bikin kaget saja.” Tutur Maman sembari menepuk
dada jahidin
“Ya,
gak apa-apa, kamu sih pagi bolong-bolong… eh pagi-pagi bolong gini bagusnya
buat belajar, malah ngelamun! Ngalamunin apa to?”
“Gak
apa-apa.”
“Iiiiiii,
kangen rumah ya? Haha. Masa sudah pernah nyantri di magelang 5 tahun, pindah ke
sini kok masih kangen rumah?” ejek jahidin.
“Kamu
aneh-aneh saja. Aku gak kangen rumah, cumaaa……. Gi ada masalah aja yang gak
bisa aku utarakan ke siapapun.”
Pagi
yang indah itu dihias perdebatan maman dan jahidin di sebuah ruangan yang di
dalamnya masih banyak santri yang tertidur pulas menanti jam 08.00 tiba untuk
melaksanakan shalat dhuha bersama. Di tengah perdebatan bel mulai shalat dhuha
dideringkan, seluruh santri bergerumun berlarian kesana-kemari sibuk mencari
sajadah, berwudlu, mencari tasbih, mencari alquran, bersiap-siap untuk shalat
dhuha. Sedang pengurus sibuk untuk membangunkan santri yang masih terlelap.
Rohani,
ketua pesantren tampak sedang berjalan dengan pelan tapi pasti menuju kamar
perdebatan maman dan jahidin. “Maman, jahidin. Perdebatan diteruskan nanti
habis shalat!” Tuturnya di depan kamar tempat maman dan jahidin berdebat ribut.
“Iya kang.” Jawab mereka serentak. Dalam perjalanannya, maman dan jahidin tetap
masih meributkan masalah yang baru saja diobrolkan di kamar. Langkah demi
langkah dilalui, masjid al ittihad sudah tampak di depan mata maman dan
jahidin.
“Allahu
akbar…” Rohani memulai shalat. Masjid al ittihad yang lima belas menit yang
lalu tampak ramai, kini sepi tanpa suara, hanya tampak dari luar 3 orang sedang
berjaga di luar masjid. Ketiga orang itulah yang ditugaskan pengurus keamanan
untuk menjaga keamanan masjid, baik sandal, kekhusyu’an, mujahadah, dan
lainnya. 30 menit berlalu, shalat dhuha telah terlaksana, saatnya maman dan
rekan-rekan kembali ke kamar masing-masing dan persiapan untuk mengkaji kitab
yang akan dimulai pukul 09.00 WIB.
****
“Bismillahirrahmanirrahim,
Fashlun utawi iki iku ono fashal suwiji, yunqosamu dibagi, opo fi’lun kalimah
fi’il, ‘ala tsalatasati aqsaamin ingatase telu piro-piro bagian, jadi kalimah
fi’il itu dibagi dalam 3 bagian yaitu, Madhi siji rupane fi’il madhi, watsani
utawi bagian kang kaping pindho, iku fi’lul mudhori’I fi’il mudhori, watsalitsu
utawi bagian kang kaping telu, iku fi’lul amri fiil amar, keterangannya adalah
bahwa ketiga bagian kalimah fi’il itu adalah fiil madi, fiil mudhari, dan fiil
amar. Sedang perincian keterangannya adalah bahwa fiil madhi adalah fiil yang
menunjukkan…” terdengar suara ustad Muhammad Mudai sedang menjelaskan tentang
pembagian kalimah fiil di dalam aula pondok pesantren putra al ittihad. Khusyu
dan khudhur santri-santri membuat suasana aula menjadi mengerikan dan sunyi
berkonsentrasi mendengarkan penjelasan ustad mudai. Maman yang ikut serta dalam
pengkajian itu, biasa ia duduk di bangku tengah terlihat sedang khusyu
mendengarkan penjelasan sang ustad. Maman terduduk tersungkur menunduk sedang
khusyu dengan memejamkan mata dan tampak tenang sekali mendengarkan penjelasan.
“Eh,
itu yang tertunduk siapa namanya?” Tanya ustad Mudai pada seluruh santri sambil
menunjuk pada maman yang sedang tertunduk
“Ini
Maman, ustad.” Jawab mereka serentak
“Itu
sedang khusyu faham atau sedang apa?”
Salah
satu santri melihat maman yang mengabaikan panggilan ustad, dengan segera
memukul halus kaki maman yang duduk bersilah. Maman yang tertidur kaget dengan
pukulan halus itu, tanpa paksaan dan tanpa perintah dari siapapun ia berdiri
“Iya
siap, bagaimana romo kyai? Apakah romo benar-benar akan memerintah saya untuk
menjemputnya di terminal.” Kata maman yang terdiri karena kaget. Aneh dan
tragis nasib maman yang menjawab pertanyaan ustad dengan berdiri tegak lurus
menunjuk jarinya ke arah ustad, sedangkan matanya masih terpejam dan pikirannya
masih terbawa mimpi.
Hening,
dan tanpa ada suara di dalam aula, Maman diam sebentar dan Tak lama kemudian ia
yang lugu berkata “Kepada Pembina upacara hormaaaaaaat grak! Tegaaaaaaak grak!”
maman kembali mengigau sambil menghormat pada ustad layaknya menghormat Pembina
upacara hari senin di sekolah.
“hahaha,
maman! bangun dulu kalo jawab pertanyaan ustad. Jangan buat kita-kita mati
ketawa!” Tawa dan gertakan seluruh santri yang datang membuat maman tersadar
dari mimpinya.
“Masya
Allah, aku…aku… kenapa berdiri sendirian?” maman yang merasa aneh dengan
dirinya, ia melihat di depannya tampak ustad mudai yang melongo menghadap
dirinya, “Bagaimana ustad, hehe… hehe…?” Tanya maman yang baru saja tersadar dari
mimpi indahnya dengan nada yang sangat halus, cengengesan!
Ustad
yang melongo melihat tingkah maman “Kamu mimpi apa?” tanyanya penasaran
“Tidak
apa-apa kok ustad, Hehe.” Maman hanya senyum-senyum tersipu malu terbayang
tingkahnya. Dalam hati maman berharap semoga ngajinya cepat selesai, “aku
gak tahan nahan malu kalau terus-terusan dipandang ustad mudai yang terduduk,
sedang aku malah berdiri” harapan dalam hatinya yang masih berdiri dengan
mata sayup memandang ke arah ustad mudai yang duduk di depan papan tulis.
Jam
madrasah telah usai, maman yang pemberani keluar ruang madrasah dengan wajah
penuh bawang dan cabai. Banyak teman yang menyorakinya karena tingkahnya yang
baru saja dilakukan di depan ustad Mudai. Berebut sandal dan berlarian adalah
hal biasa di pesantren al itiihad. Seluruh santri keluar ruang madrasah, tak
lupa maman juga keluar ruang. Namun betapa naas nasib maman yang ketika keluar
ruang ia sudah mendapati sandalnya sudah terbang sendiri menuju komplek
peristirahatan. Berjalan kaki tanpa sandalpun dilakukannya, ditemani beberapa
santri yang juga bernasib sama.
****
Sesampai
di kamar…
“Grrrrrr,
aku bertingkah aneh di depan ustad. Kenapa? Kenapa? Ya Allah berikanlah hambaMu
ini jawaban.” Doa maman terlahir dengan keras memenuhi kamar. Rozi yang
mendengarnya menyahut “Makanya kalo punya masalah, certain aja! Siapa tahu di
antara teman-teman kamu bisa bantu!” Rozi, santri asal purwokerto mengawali
perbincangan
“Tidak
apa-apa zi, cuman saja ada beberapa yang membuatku sering ngalamun. Bahkan
ngalamunku terlalu hingga tak sadar aku terbawa mimpi. Padahal dulu-dulu aku
belum pernah kaya gini?”
“makanya
kamu certain aja masalah kamu. Kalau memang kita-kita bisa bantu apa salahnya?”
“Sudah
3 tahun aku disini. Tahu kan?” maman mengawali cerita
“Iya,
kalau itu aku sudah tahu. Kamu kan barengan masuknya ma aku?”
“Sebenernya…
sebelum aku masuk ke pesantren al ittihad ini, orang tuaku punya hajat naik
haji. Dan mereka berdua berpesan padaku kalau sepulang mereka dan punya rizki,
mereka akan memberikan aku pasangan hidup. Aku takut, gelisah, dan bingung. Aku
belum siap untuk itu, aku merasa masih kurang dalam segalanya. Di balik
kebingungan dan kegundahanku, aku pergi saja sowan ke sini. Namun anehnya,
setiap aku terpikir masalah itu, aku sering ngalamun, fikiranku terasa kosong,
aku… aku… aku… merasa tak punya apa-apa!” Tutur maman dengan nada lirih dan
terputus-putus menahan linangan
“Oh,
gitu. Berarti orang tua kamu belum tahu kalau kamu nyantri di sini?” Tanya Rozi
“Belum.
Uang yang aku gunakan untuk biaya di sini adalah uang tabunganku dari kecil
yang ada di rekeningku.”
“Ohohoho,
gini saja. Kalau kamu mau ngelakui usulku, coba dulu kamu sowan kyai, terus
minta izin pulang dan minta restu orang tua kamu di rumah. Gak cukup dengan sms
atau telephone. Karena izin dari orang tua kamu harus terikrar terdengar dari
ucapan mereka langsung! Gimana?” rozi memberikan saran yang dirasa bagus bagi
maman.
Maman
yang mendengar saran dan dalam keadaan menahan linangan air mata hanya terdiam
dan serasa tak bisa bicara. “Aku malu, masa gitu saran kamu?”
“Ya…
kalau kamu mau ngelakuin. Kalau enggak ya aku gak maksa kok!”
“Mungkin
kamu saja kalau ngalamin kejadian yang sama, kamu akan lebih bingung zi!”
“Ya…
tapi aku akan terima saran teman-teman aku! Hehe, selamat berfikir dulu, aku
tunggu jawaban kamu atas saran aku, nanti aku Tanya-tanya lagi masalah ini!
OK?” Kata rozi sambil keluar kamar dengan wajah tersenyum sembari menutup pintu
kamar, membiarkan maman merenung memikirkan saran yang diajukannya.
Setengah
malam maman memikirkan masalah yang dideritanya, pukul 20.00 WIB rozi kembali
menemui maman yang masih tersungkur dalam masjid menghadap ke barat,
menundukkan kepala. Ia tertidur, “Hey, kalau sudah ngantuk kembali ke kamar
saja!” bisik rozi membangunkan maman.
“Eh,
kamu zi. Udah kelar ya shalat isya’nya?”
“Udah
setengah jam yang lalu.” Jawab rozi sambil mengajak maman kembali ke kamar.
Mereka
berdua berjalan bersama kembali ke kamar, di tengah perjalanan rozi menyinggung
perbincangannya tadi siang. Seketika itu, maman teringat dan gagap bertanya
pada rozi.
“Zi,
abah yai ada acara keluar ga?”
“Kayake
gak ada, gimana to?”
“Aku
mau sowan.” Kata maman sambil berlari menuju kediaman pengasuh pesantren, KH.
Muhsin. Di depan kediaman KH. Muhsin…
“Assalamu’alaikum…”
“Wa’alaikumussalam…”
Jawaban dari dalam terdengar bersuara lirih dan merdu dari seorang gadis muda
yang berada di ruang tamu.
“Maaf,
mbak siapa ya? Terus abah yai muhsin ada di rumah?” Tanya maman pada gadis yang
dihadapinya.
“Oh,
mas santri sini ya?”
“Iya,
terus mbak mau sowan abah yai juga?”
“Iya,
saya mau sowan abah. Tapi sudah lama saya disini kok abah belum kelihatan?
Hehe.” Kata gadis itu sambil tersenyum ngerjain maman yang belum tahu kalau
gadis itu adalah putri KH. Muhsin. “Sebentar mas ya, saya panggilkan abah yai
dulu ke dalam, siapa tahu beliau ada di dalam?” Jawab gadis itu sembari masuk
ke dalam kediaman pengasuh pesantren.
Tak lama setelah gadis itu masuk ke dalam, KH.
Muhsin segera datang ke ruang tamu menemui Maman. Sesampai di ruang tamu, KH.
Muhsin penasaran tidak biasanya ada santri yang berani sowan menghadapnya
sendirian. Kini dihadapannya tampak sesosok santri yang dengan tegar sowan
menghadap pengasuh sendirian, itupun tidak dengan wajar, dalam artian jika
kebiasaan santri sowan menghadap kyai itu tidak sendirian, selain itu
persowanan santri pasti membawa lembaran kertas atau buku. Tapi maman kini
sowan sendirian tanpa membawa apapun, kertas tak membawa, buku tak membawa,
ballpoint juga tidak membawa. Yang dibawa maman hanyalah segelintir
permasalahan yang masih menancap di otaknya.
“Kamu
siapa ya?” Tanya KH. Muhsin mengawali
“Saya
Maman, Lukman Hakim romo.” Jawab maman memperkenalkan diri
“Asli
dari mana?”
“Saya
asli Bandongan, Magelang saja romo.”
“Oh,
dekat to? Hemhem. Saya heran sama kamu, kamu belum pernah kesini sama siapapun
sebelum ini ya?”
Maman
tercengang, kenapa KH. Muhsin tahu kalau dirinya sama sekali belum pernah
menghadap KH. Muhsin. “Iya, memang saya belum pernah menghadap romo sebelum
ini. Tapi maaf, kenapa romo tahu hal itu?” Tanya ia penasaran
“Gini,
biasanya santri yang datang kesini itu membawa buku atau lembaran dan datangnya
tidak sendirian. Pasti didampingi teman sebagai saksi kedatangannya padaku.”
Kyai Muhsin menjelaskan.
“Oh,
begitu. Saya faham, lain kali saya akan mengajak teman ketika menghadap romo.”
“Ya,
terus maksud kedatanganmu kesini mau bagaimana?”
Maman
segera menceritakan permasalahan yang dihadapinya kepada KH. Muhsin tanpa
terkecuali, dari permasalahan pribadinya sampai kedatangannya di pesantren.
Hingga sebelum maman pamit dari hadapan KH. Muhsin, beliau kembali bertanya
pada maman
“Eh,
kamu sudah berapa tahun di sini?”
“Saya
masih dua setengah tahun romo.”
“Oh,
sudah agak lama juga? Tapi aku belum pernah faham sama kamu?” Tanya kyai muhsin
penasaran.
“Iya,
maaf romo, dulu waktu pendaftaran santri, romo sedang ada acara di luar. Terus
saya daftar kepada pengurus dan belum sempat sowan menghadap romo. Sekali lagi
maaf!”
“Tidak
apa-apa, tentang masalah kamu, apakah kamu sudah cerita sama orang tua kamu
kalau kamu nyantri di sini?”
“Belum
romo. Saya kabur dari rumah, orang tua saya sampai kini belum tahu kalau saya
di sini.”
“Kamu
kok gitu sama orang tua? Harusnya orang tau kamu tahu posisi kamu!”
“Maaf
romo saya terpaksa, saya tidak berani menolak perintah orang tua, sedangkan
keinginan saya juga tidak mau dikalahkan. Selain itu, saya juga belum siap
untuk menjalani hidup dengan pasangan, apalagi dengan pasangan yang belum saya
ketahui, yang akan dijodohkan oleh orang tua saya!” Maman mempertegas maksud
sowannya pada Kyai Muhsin.
“Begini
saja, kamu pulang dulu dan…” Ucapan kyai muhsin diputus oleh maman
“Maaf
romo, saya sudah bermaksud untuk tidak akan pulang dalam jangka 3 tahun ini.”
“Tapi
untuk ini tidak apa-apa kamu pulang dulu. Tapi kalau kepepet kamu sudah
bersikeras memegang maksud kamu, kamu jangan pulang ke rumah, pulang saja ke
rumah saudara: Paman, Kakek, atau nenek kamu. Ketika kamu sampai di rumah
mereka, kamu hubungi orang tua untuk menemui kamu, setelah itu barulah kamu
ceritakan segalanya pada orang tua kamu!” kyai Muhsin kembali memberikan saran
pada maman yang sudah mempunyai hajat dan maksud untuk tidak pulang selama 3
tahun.
“Injih
romo, saya pamit ke pondok dulu nanti terusan saya ijin untuk pulang ke rumah.”
“Iya,
mau berapa hari?”
“Secukupnya
saja.”
“Ya…
secukupnya itu berapa? Kalau lebih dari 3 hari romo tidak merelakan. Bagaimana?”
“Insya
Allah besok saya ke sini.”
“Yah,
sana pulang dulu saja, biar permasalahan kamu ada titik temu penyelesaiannya.”
“Terima
kasih romo, Assalamu’aikum…” salam maman sembari kembali ke pesantren
“Wa’alaikumussalam…”
Persowanan
maman telah usai, maman kembali ke komplek pesantren. Ia mempersiapkan
segalanya yang akan ia ceritakan pada orang tuanya, tak urung ia mempersiapkan
bekal dan beberapa pakaian yang dibungkusnya pada sebuah tas Tracker yang biasa
ia gunakan sebelum ia masuk ke pesantren al ittihad. Dalam perjalanan pulang,
maman khawatir dan takut akan tanggapan orang tuanya ketika ia mengutarakan
seluruh beban dan permasalahan yang dihadapinya. Terfikir juga dalam benak
pikirannya kalau pulang akan pulang ke rumah siapa? Detik demi detik dilalui,
putusan terakhir ia akan pulang ke rumah kakaknya yang kebetulan rumah kakaknya
tak jauh dari rumah orang tuanya. Tak lama, maman sampai di rumah kakaknya.
“Assalamu’alaikum
Wr. Wb.” Salam sapa pertama maman di depan pintu
“Wa’alaikumussalam…”
jawab Hakim, kakak maman dari dalam rumah
“Eh,
kamu. Baru kelihatan? Dari mana saja kamu? Kok sudah lama gak kelihatan?” Tanya
hakim menyambut maman dengan senyum berlinangan air mata.
“Maaf
kang, memang aku yang salah, aku gak ngasih kabar rumah selama aku pergi du
setengah tahun ini. Ihiks, ihiks, ihiks.”
“Tidak
apa-apa, duduk saja dulu!” pinta hakim pada maman yang kelihatan kelalahan
Maman
masuk dan duduk dalam rumah kecil dan mungil di dusun sebelah bandongan. Di
saat itu, maman yang masih menahan tangis menghubungi orang tuanya dan meminta
mereka untuk datang ke rumah kakaknya, Hakim. Kata demi kata maman dendangkan
pada orang tuanya, tak lama setelah maman memberitahu keberadaannya di rumah
hakim, orang tuanya terlihat di luar rumah.
“Assalamu’alaikum…”
salam ayah maman
“Wa’alaikumussalam”
jawab maman dari dalam rumah
Kedua
orang tua maman masuk ke dalam rumah, berpelukan dan saling melapas rindu, dan
tampak betapa berat perasaan yang mereka rasakan ketika diantara mererka tidak
ada hubungan sama sekali. Maman menangis karena kebingungan mau bicara apa pada
orang tuanya, sedangkan orang tuanya menangis karena bahagia melihat putranya
kembali dari kekaburan dan berharap meu menerima keputusan mereka akan
menjodohkan maman.
“Bagaimana
kabar kamu? Lama tidak kelihatan atau kasih kabar? Terus kamu tinggal dimana?”
Tanya orang tua maman padanya mengawali perbincangan
“Alhamdulillah,
saya sehat. Selama dua setengah tahun ini saya menetap di pondok pesantren al
ittihad Temanggung milik KH. Muhsin”
“Terus
maksud kepulangan kamu mau apa? Setuju kan kamu sama keputusan ayah dan ibu
tentang perjodohan kamu?”
“Maaf
ayah ibu. Bukannya saya menolak tawaran ayah dan ibu, tapi saya belum siap
untuk menjalani hidup dalam kesendirian bersama istri. Dan maksud kedatangan
saya ke rumah karena perintah kyai muhsin tentang permasalahan yang saya
hadapi. Tentang perjodohan itu yah.” Maman mengadukan persowanan pada ayah dan
ibunya.
“Terus
bagaimana anggapan kyai tentang masalah itu?”
“Kyai
Muhsin memasrahkan seluruhnya pada saya dan memusyawarhkannya pada ayah dan
ibu. Kalau memang ayah dan ibu bersikeras ingin menjodohkan saya, saya akan
terima namun dengan syarat, jangan salahkan saya jika pada suatu hari nanti
rumah tangga saya akan tidak karuan karena memperhatikan rumah tangga lain yang
dibangun dengan perjodohan akan seperti itu. maka saya tidak mau jika keluarga
saya nanti akan memiliki nasib yang sama.”
“Yah,
ayah tahu, ibu juga mungkin dapat mengerti maksud kamu. Sekarang ayah dan ibu
urungkan saja niat kami menjodohkan kamu. Kamu boleh mencari jodoh sesuka kamu,
asalkan calon kamu itu berbakti pada orang tua dan tahu akan ilmu agama Insya
Allah akan kami terima dengan sukarela.”
“Benar
yang ayah katakan?” Tanya maman kegirangan
“Benar.”
“Terima
kasih ayah. Sekalian maman minta restu dari ayah untuk kembali menuntut ilmu di
pesantren al ittihad, karena selama dua setengah tahun ini maman mengaji tanpa
restu dari ayah dan ibu. Sebab itulah maman ngaji tidak konsen ke pengajian
terus!”
“iya,
bapak dan ibu pasti meridloi kamu ngaji di sana. Tapi Sekarang kamu pulang ke
rumah dulu!”
“Maaf
ayah, saya sudah bermaksud dalam waktu 3 tahun ini saya tidak akan pulang ke
rumah. Insya Allah jika sudah genap 3 tahun saya pulang.”
“Tapi
man, kamu ngomong gini jangan-jangan kamu memang sudah punya jodoh di sana?
Hayooo?” Tanya ayah maman sembari bercanda menghilangkan kejenuhan
“Belum
ayah. Saya masih belum kepikiran sampai ke situ. Sudah yah, gitu saja saya
kembali ke pesantren dulu.”
“Lho,
kok cepat banget? Gak nginep di rumah kakak?”
“Saya
diijinkan kembali sampai urusan saya selesai. Kini urusan saya dengan ayah dan
ibu telah selesai, jadi sudah menjadi kewajiban saya untuk kembali ke
pesantren. Sekali lagi terima kasih ayah, ibu telah mengijinkan saya mencari
pasangan hidup tanpa paksaan.”
“Sama-sama
man, telah memberiku pelajaran.” Jawab ibu maman
“Ya
sudah, saya pamit dulu, Assalamu’alaikum…” maman pamit dari rumah hakim
“Eh, maman ini minumnya sudah kakak buatkan.”
Tampak hakim membawa minuman dan mengejar maman yang sudah beranjak pergi
“Terima
kasih kak, kapan-kapan aku datang.” Jawab maman dari kejauhan yang sudah siap
naik bus.
Dalam
perjalanannya di dalam bus maman hanya tersenyum dan tersenyum teringat
kebahagiaan orang tuanya. “Alhamdulillah aku bebas, dan rasanya lega dada ini!”
gumam maman dalam hati karena kegirangan. Satu jam dalam bus membuat maman
merasa kantuk, tertidur pulas dan tak terasa komplek pondok pesantren al
ittihad sudah tampak di depan mata yang menyambutnya dengan senyuman. “Aku
sudah sampai… pak kiri pak!” kata maman pada kernet bus. Bus berhenti, maman
turun dan kembali ke pesantren. Tanpa piker panjang maman segera menghadap kyai
muhsin.
Di
depan pintu
“Assalamu’alaikum…”
“Wa’alaikumussalam…”
Jawab KH. Muhsin dari dalam
Pintu
dibuka, saling bertatapan, segera kyai muhsin mempersilakan maman masuk ke
dalam. “Kamu man, sudah jadi pulang dan musyawarah pada orang tua kamu?”
“Alhamdulillah
romo saya sudah pulang dan musyawarah tentang permasalahan yang saya hadapi.”
“terus
hasilnya bagaimana?”
“Alhamdulillah
saya diijinkan nyantri di sini, dan perjodohan saya dibatalkan. Terima kasih
romo telah member saran yang manjur bagi saya.”
“Alhamdulillah…
bukan saran aku yang manjur tapi doa dan restu orang tua kamu yang kamu
harapkan dan mebuat segalanya terang benderang. Sekarang perasaan kamu sudah
lega dan pikiran kamu enak kan?”
“Iya,
romo.”
“Itulah,
kasih sayang, rodlo, dan doa orang tua pasti akan merbuah segalanya. ketenangan
pikiran dan cahaya hati adalah hal yang akan didapati.”
“Sudah
cukup romo persowanan saya, saya kembali ke pesantren dulu. Semoga saya
istiqomah di sini!”
“Amien”
“Assalamu’alaikum…”
maman mengakhiri persowanannya
“Wa’alaikumussalam…”
Dengan
bangga dan perasaan lega maman kembali ke pesantren. Dan barulah ia sadari
memang benar ucapan rozi dan kyai muhsin, bahwa doa orang tua akan berpengaruh
pada pikiran dan hati anaknya. Dalam hatinya, maman hanya dapat berkata “Terima
kasih ayah, terima kasih ibu, telah memberiku restu yang tak dapat aku balas.”