KALENDER DAN JAM
Karya: Robitotus Syarifah
Siswi Kelas 6 SD IT Ma'arif Bandongan
Malam itu jam yang berada di dinding kamar kembali membuka
percakapan dengan kalender yang digantungkan tepat di bawahnya. Kamar itu
bercat kehijauan. Tiga kali empat meter. Ada sebuah jendela di dinding selatan dengan
korden dobel. Dinding utara di tempati rak buku. Tentu saja, isinya bukan hanya
buku, melainkan segala macam: kaset, minyak tawon, semprotan nyamuk, disket,
CD, pokkoknya segala macam. Dekat dengan jendela ada sebuah dipan yang merapat
ke dinding timur. Ketika percakapan itu dimulai, lelaki penghuni kamar yang
suka susah tidur itu sedang tidak ada di sana.
Kalender memang terkenal keras kepala, tetapi jam selalu berusaha
meyakinkan tentang hakikat waktu. “Waktu itu fana.” Kata Kalender. Diseobek dan
berkelebat begitu saja, tidak akan pernah bisa ditangkap lagi. “Orang
menyobekku dan memanfaatkanku sebagai bungkus kacang atau apapun.” Kata
Kalender. “Hanya untuk menghilangkan jejak yang perbah dilaluinya dengan sangat
tergesa telunjuk orang.” Katanya. “selalu bergeser dari tanggal ke tanggal yang
sangat rapat jaraknya. Kalau sudah menunjuk ke suatu tanggal, lalu sama sekali
tidak berniat memperhatikan yang sebelumnya.”
Tetapi jam berpendapat lain. “Waktu itu abadi.” Katanya “Kalu
jarum-jarumku bergetar, mereka bergerak dari angka ke angka lain, tetapi tetap
saja di porosnya. Karena abadi, ia tidak bisa ditunda atau dibatalkan. Apabila
dihentikan, tidak akan ada yang pernah bisa menangkap waktu dan memenjarakannya
untuk disisakan atau diadili atau dirayu atau diapakan saja.”
Kalender dan jam juga bertengkar tetnang Apakah waktu bisa
ditunggu? Soalnya orang selalu bicara mengenai menunggu waktu. “Kalau bisa
ditunggu, maka yang menunggu itu mempunyai jarak dengan waktu. Yakni berada di
luarnya, dan itu mustahil.” Kata kalender. Tetapi jam menyatakan bahwa “segala
yang dialami semesta ini sedang menunggu waktu dan sekaligus berada di
dalamnya.” Kaset, minyak tawon, semprotan nyamuk, disket, sama sekali tidak
pernah sepenuhnya mengerti manfaat pembicaraan itu. Semuanya memilih diam saja
daripada suasana tambah tidak menentu. Buku, apalagi sama sekali menutup semua
panca inderanya. Deretan aksara yang tersusun rapi memilih pura-pura tidak tahu
mumpung lelaki penghuni kamar itu sedang membacanya.
Lelaki itu, jika sedang di rumah, sambil tiduran atau sambil
pura-pura bercakap-cakap dengan aksara-aksara itu suka menguping pembicaraan
mereka. Ia dengar pembantahan itu ributnya bukan main. Tetapi ia tidak pernah
bisa memahaminya, menghayatinya, mungkin. Pada saat-saat tertentu ia memang
merasa terganggu oleh cekcok itu. Oleh karenanya ia sangat sering susah tidur.
Tetapi dokter hanya memberikan beberapa obat tidur setiap kali badannya yang
kurus itu merasa meriang. Dan bahkan Apoteker kenalannya yang menjadi sahabatnya
sejak sekolah rendah juga tidak berani memberikan obat tidur. “Nanti Apoteker
kami ditutup kalau ketahuan memberikan obat tidur tanpa resep dokter.” Katanya
selalu.
Malam itu juga, yakni ketika lelaki itu tidak berada di kamar.
Tepat di bawah jendela ada sekuntum bunga wijaya kusuma yang sedang mekar.
Sangat hati-hati, oleh waktu, ia memang hanya diberi jatah malam hari untuk
mekar. Jika kebetulan lelaki itu di kamar, ia suka menyingsingkan gorden atau
menyaksikan tontonan yang menakjubkan itu. “Kesabaran,” kataku sendiri hampir
tak ku dengarkan. “Bukan keindahan.” Katanya membantah dirinya sendiri.
“Permainan.” Bisik lelaki itu jauh dalam hatinya sambil sesekali menoleh ke
arah jarum detik jam yang tak pernah berhenti berputar. Bunga yang mekar sangat
hati-hati itu seperti merasakan hidupnya yang nyerinya hampir tak tertahankan,
yang hanya bisa dihayati dan dipahami oleh jam dan kalender.
Kalender dan jam memperdebatkan masalah itu. “Itu proses
kelahiran.” Kata Jam. “Bukan, itu upacara kematian.” Kate Kalender. Tiba-tiba
kamar jadi sangat gaduh lantaran semua barang yang berada di rak buku itu
berteriak-teriak meminta agar perdebatan yang tak menentu dan membuang-buang
waktu itu dihentikan saja. “Membuang-buang waktu?” malah tambah berhujung
pangkal pertengkaran mereka.
Sayang, kali ini lelaki yang suka nguping itu sedang tidak ada di
kamar. Ia tidak dapat menyaksikan bagaimana bunga yang di bawah jendela itu
hati-hati sekali mekar di awal malam dan menjelang pagi. Kuntum-kuntum dengan
hati-hati sekali mengatup lagi dan menjadi layu. Ia tidak mendengar bagaimana
jam dan kalender itu begitu sengit bertengkar sehingga letih dan akhirnya
memutuskan untuk meminta pertimbangan kepada si lelaki itu, tetapi tidak ada
yang tahu kapan ia kembali lagi ke kamarnya.
No comments:
Post a Comment