Monday, 31 October 2016

Cerpen KALENDER DAN JAM

KALENDER DAN JAM
Karya: Robitotus Syarifah
Siswi Kelas 6 SD IT Ma'arif Bandongan

Malam itu jam yang berada di dinding kamar kembali membuka percakapan dengan kalender yang digantungkan tepat di bawahnya. Kamar itu bercat kehijauan. Tiga kali empat meter. Ada sebuah jendela di dinding selatan dengan korden dobel. Dinding utara di tempati rak buku. Tentu saja, isinya bukan hanya buku, melainkan segala macam: kaset, minyak tawon, semprotan nyamuk, disket, CD, pokkoknya segala macam. Dekat dengan jendela ada sebuah dipan yang merapat ke dinding timur. Ketika percakapan itu dimulai, lelaki penghuni kamar yang suka susah tidur itu sedang tidak ada di sana.
Kalender memang terkenal keras kepala, tetapi jam selalu berusaha meyakinkan tentang hakikat waktu. “Waktu itu fana.” Kata Kalender. Diseobek dan berkelebat begitu saja, tidak akan pernah bisa ditangkap lagi. “Orang menyobekku dan memanfaatkanku sebagai bungkus kacang atau apapun.” Kata Kalender. “Hanya untuk menghilangkan jejak yang perbah dilaluinya dengan sangat tergesa telunjuk orang.” Katanya. “selalu bergeser dari tanggal ke tanggal yang sangat rapat jaraknya. Kalau sudah menunjuk ke suatu tanggal, lalu sama sekali tidak berniat memperhatikan yang sebelumnya.”
Tetapi jam berpendapat lain. “Waktu itu abadi.” Katanya “Kalu jarum-jarumku bergetar, mereka bergerak dari angka ke angka lain, tetapi tetap saja di porosnya. Karena abadi, ia tidak bisa ditunda atau dibatalkan. Apabila dihentikan, tidak akan ada yang pernah bisa menangkap waktu dan memenjarakannya untuk disisakan atau diadili atau dirayu atau diapakan saja.”
Kalender dan jam juga bertengkar tetnang Apakah waktu bisa ditunggu? Soalnya orang selalu bicara mengenai menunggu waktu. “Kalau bisa ditunggu, maka yang menunggu itu mempunyai jarak dengan waktu. Yakni berada di luarnya, dan itu mustahil.” Kata kalender. Tetapi jam menyatakan bahwa “segala yang dialami semesta ini sedang menunggu waktu dan sekaligus berada di dalamnya.” Kaset, minyak tawon, semprotan nyamuk, disket, sama sekali tidak pernah sepenuhnya mengerti manfaat pembicaraan itu. Semuanya memilih diam saja daripada suasana tambah tidak menentu. Buku, apalagi sama sekali menutup semua panca inderanya. Deretan aksara yang tersusun rapi memilih pura-pura tidak tahu mumpung lelaki penghuni kamar itu sedang membacanya.
Lelaki itu, jika sedang di rumah, sambil tiduran atau sambil pura-pura bercakap-cakap dengan aksara-aksara itu suka menguping pembicaraan mereka. Ia dengar pembantahan itu ributnya bukan main. Tetapi ia tidak pernah bisa memahaminya, menghayatinya, mungkin. Pada saat-saat tertentu ia memang merasa terganggu oleh cekcok itu. Oleh karenanya ia sangat sering susah tidur. Tetapi dokter hanya memberikan beberapa obat tidur setiap kali badannya yang kurus itu merasa meriang. Dan bahkan Apoteker kenalannya yang menjadi sahabatnya sejak sekolah rendah juga tidak berani memberikan obat tidur. “Nanti Apoteker kami ditutup kalau ketahuan memberikan obat tidur tanpa resep dokter.” Katanya selalu.
Malam itu juga, yakni ketika lelaki itu tidak berada di kamar. Tepat di bawah jendela ada sekuntum bunga wijaya kusuma yang sedang mekar. Sangat hati-hati, oleh waktu, ia memang hanya diberi jatah malam hari untuk mekar. Jika kebetulan lelaki itu di kamar, ia suka menyingsingkan gorden atau menyaksikan tontonan yang menakjubkan itu. “Kesabaran,” kataku sendiri hampir tak ku dengarkan. “Bukan keindahan.” Katanya membantah dirinya sendiri. “Permainan.” Bisik lelaki itu jauh dalam hatinya sambil sesekali menoleh ke arah jarum detik jam yang tak pernah berhenti berputar. Bunga yang mekar sangat hati-hati itu seperti merasakan hidupnya yang nyerinya hampir tak tertahankan, yang hanya bisa dihayati dan dipahami oleh jam dan kalender.
Kalender dan jam memperdebatkan masalah itu. “Itu proses kelahiran.” Kata Jam. “Bukan, itu upacara kematian.” Kate Kalender. Tiba-tiba kamar jadi sangat gaduh lantaran semua barang yang berada di rak buku itu berteriak-teriak meminta agar perdebatan yang tak menentu dan membuang-buang waktu itu dihentikan saja. “Membuang-buang waktu?” malah tambah berhujung pangkal pertengkaran mereka.
Sayang, kali ini lelaki yang suka nguping itu sedang tidak ada di kamar. Ia tidak dapat menyaksikan bagaimana bunga yang di bawah jendela itu hati-hati sekali mekar di awal malam dan menjelang pagi. Kuntum-kuntum dengan hati-hati sekali mengatup lagi dan menjadi layu. Ia tidak mendengar bagaimana jam dan kalender itu begitu sengit bertengkar sehingga letih dan akhirnya memutuskan untuk meminta pertimbangan kepada si lelaki itu, tetapi tidak ada yang tahu kapan ia kembali lagi ke kamarnya.



No comments:

Post a Comment