Wednesday, 2 November 2016

Cerpen - Hening di Ujung Senja

   
Cerpen - Hening di Ujung Senja 
Oleh Wilson Nadeak 

Ia tiba-tiba muncul di muka pintu. Tubuhnya kurus, di sampingnya berdiri anak remaja. 
Katanya itu anaknya yang bungsu. Kupersilakan duduk sambil bertanya-tanya dalam hati, 
siapa mereka berdua? 

”Kita teman bermain waktu kecil. Di bawah pohon bambu. Tidak jauh dari tepi Danau Toba,” 
katanya memperkenalkan diri. Wau, kataku dalam hati. Itu enam puluh tahun yang lalu. 
Ketika itu masih anak kecil, usia empat tahun barangkali. ”Ketika sekolah SD kau pernah 
pulang ke kampung dan kita bersama-sama satu kelas pula,” katanya melanjutkan. Aku 
tersenyum sambil mengangguk-angguk. Belum juga dapat kutebak siapa mereka. Ia seakan-
akan mengetahui siapa mereka sesungguhnya. ”Wajahmu masih seperti dulu,” katanya 
melanjutkan. ”Tidakkah engkau peduli kampung halaman?” tanyanya. ”Tidakkah engkau 
peduli kampung halamanmu?” tanyanya membuat aku agak risih. Dulu pernah keinginan 
timbul di hati untuk membangun kembali rumah di atas tanah adat yang tidak pernah dijual. 
Pelahan-lahan timbul ingatan di dalam benakku. 

”Rumah kita dahulu berhadap-hadapan, ya?” kataku. Ia mengangguk. ”Kalau begitu, kau si 
Tunggul?” 
”Ya,” jawabnya dengan wajah yang mulai cerah. 

Lalu ia mengatakan perlunya tanah leluhur dipertahankan. ”Jangan biarkan orang lain 
menduduki tanahmu. ”Suatu saat nanti, keturunanmu akan bertanya-tanya tentang negeri 
leluhur mereka,” katanya dengan penuh keyakinan. ”Kita sudah sama tua. Mungkin tidak lama 
lagi kita akan berlalu. Kalau kau perlu bantuan, aku akan menolongmu.” 

”Akan kupikirkan,” kataku. ”Nanti kubicarakan dengan adik dan kakak,” jawabku. 

Pertemuan singkat itu berlalu dalam tahun. Pembicaraan sesama kakak-beradik tidak tiba pada 
kesimpulan. Masing-masing sibuk dengan urusan sendiri. Dan ketika aku berkunjung ke 
kampung halaman, kutemukan dia dengan beberapa kerabat dekat lainnya. Kudapati ia 
terbaring di tempat tidur, di ruangan sempit dua kali dua meter. Beberapa slang oksigen di 
hidungnya. Ia bernapas dengan bantuan oksigen. Matanya berkaca-kaca sambil mulutnya 
berkata, ”Kudengar kau datang. Beginilah keadaanku. Sudah berbulan-bulan.” Agak sulit 
baginya berbicara. Dadanya tampak sesak bernapas. Aku tidak mungkin berbicara mengenai 
tanah itu. Kuserahkan persoalannya kepada keluarga dekat. 

Dalam kesibukan, waktu jua yang memberi kabar. Seorang kerabat dekat, waktu berjumpa di 
Jakarta, berbisik padaku, ”Tunggul sudah tiada, pada usia yang ke-67.” 

”Oh, Tuhan,” kataku kepada diriku sendiri. Kami lahir dalam tahun yang sama. Sebelum 
segala sesuatu rencana terwujud, usia telah ditelan waktu! Giliranku? bisikku pada diriku. 

Rendi selalu datang dalam mimpi. Diam-diam, lalu menghilang. Dahulu ia teman sekantor. 
Tetapi, karena mungkin ingin memperbaiki nasib, ia mengirim istrinya ke Amerika, justru 
ingin mengadu nasib. Ia menyusul kemudian, dengan meninggalkan pekerjaan tanpa 
pemberitahuan. Lewat Bali, Hawaii, ia sampai ke California. Di negeri penuh harapan ini ia 
memulai kariernya yang baru, bangun subuh dan mengidari bagian kota, melempar-lemparkan 
koran ke rumah-rumah. Entah apalagi yang dilakukannya, demi kehidupan yang tidak 
mengenal belas kasihan. 

Setahun berada di sana, ia kehilangan istrinya, derita yang membawa duka karena kanker 
payudara. Sepi merundung hidupnya, di tengah keramaian kota dan keheningan pagi dan 
senja, membuatnya resah. Barangkali hidup tidak mengenal kompromi. Kerja apa pun harus 
dilakukan dengan patuh. Tetapi usia yang di atas enam puluhan itu cukup melelahkan untuk 
bertahan hidup. Tiada kawan untuk membantu. Semua bertahan hidup harus berkejaran 
dengan waktu. Dari agen koran subuh, sampai rumah jompo dari siang sampai senja, lalu 
pulang ke apartemen, merebahkan diri seorang diri, sampai waktu mengantar subuh dan 
mengulangi ritual siklus kehidupan. 

Dari kesunyian hati itu, ia cuti ke tanah air, untuk mencari teman hidup pada usia senja. 
Tetapi, dalam kesunyian di tanah air, ia mengembara seorang diri, dengan bus dan kereta api. 
Seperti seorang turis, suatu senja, entah serangan apa yang mendera dadanya, barangkali 
asmanya kumat. Ia terkulai di ruang hajat. Di sebuah stasiun kereta, petugas mencoba 
membuka kamar toilet. Menemukan kawan itu dalam keadaan tidak bernyawa. Identitas 
diketahui dengan alamat di Los Angeles. Petugas stasiun menghubungi nama yang tertera di 
Los Angeles. Dari Los Angeles datang telepon ke alamat di Bandung. Dari Bandung berita 
disampaikan kepada anaknya, tetapi kebetulan sedang ke Paris. Jenazah dibawa ke rumah 
anaknya, dan dimakamkan kerabat dekat yang ada di kota ”Y”. 

Tragis, pada usia ke-64 itu, ia mengembara jauh merajut hidup, tapi ia berhenti dalam 
kesepian, jauh dari kenalan dan kerabat. Beberapa kenalan saja yang menghantarnya ke tempat 
istirah. 

Terlalu sering ia datang di dalam mimpi yang membuatku galau. 

Beberapa waktu kemudian, aku mendapat SMS. Aku berhenti di pinggir jalan ramai dan 
mencoba membaca berita yang masuk. 

Lusiana baru saja meninggal dunia. Tutup usia menjelang ulang tahun ke-61. 

Besok akan dimakamkan. Kalau sempat, hadirlah. 

Lusiana seorang sekretaris eksekutif yang hidup mati demi kariernya. Ia lupa kapan ia pernah 
disentuh rasa cinta, sampai cinta itu pun ditampiknya. Menjelang usia renta, ia menyaksikan 
ayah dan ibunya satu demi satu meninggalkan hidup yang fana. Juga abangnya, pergi 
mendadak entah menderita penyakit apa. Karier tidak meninggalkan bekas. Tidak ada ahli 
waris. Kawan-kawan meratapinya, dan melepasnya dalam kesunyian hati. 

Hening di atas nisannya. Burung pun enggan hinggap dekat pohon yang menaungi makamnya. 

Tidak biasa aku berlibur dengan keluarga. Kepergian ini hanyalah karena anak yang hidup di 
tengah keramaian Jakarta, yang berangkat subuh dan pulang menjelang tengah malam dari 
kantornya. Ada kejenuhan dalam tugasnya yang rutin, membuat ia mengambil keputusan libur 
ke Bali bersama orang tua. Aku yang terbiasa masuk kantor dan pulang kantor selama puluhan 
tahun, kerapkali lupa cuti karena tidak tahu apa yang harus dilakukan waktu cuti. Dan kini, 
aku duduk di tepi laut Hindia, menyaksikan ombak memukul-mukul pantai, dan sebelum senja 
turun ke tepi laut, matahari memerah dan bundar, cahaya keindahan Tuhan, sangat 
mengesankan ratusan orang dari pelbagai bangsa terpaku di atas batu-batu. 

Tiba-tiba ada dering di HP istriku, sebuah SMS dengan tulisan: 

Tan, Ibu Maria baru saja meninggal dunia. Kasihan dia. Di dalam Kitab Sucinya banyak mata 
uang asing. 

Ibu Maria menyusul suaminya yang sudah bertahun-tahun meninggal dunia, dalam usianya 
yang ke-72. Ia pekerja keras sepeninggal suaminya yang dipensiunkan sebelum waktunya. 
Suaminya meninggal dalam usia ke-67 saat anaknya berpergian ke luar negeri dan tidak hadir 
ketika penguburannya. 

Ibu Maria meninggal mendadak. 

Aku baru saja menerima telepon dari kakakku yang sulung, dalam usianya yang ke-78. 
Kudengar suaranya gembira, walaupun aku tahu sakitnya tidak kunjung sembuh. Kalimat 
terakhirnya dalam telepon itu berbunyi: Tetaplah tabah, Dik. Kamu dan anak-anakmu, semua 
anak cucuku dan buyut, supaya mereka tetap sehat.... 

Dan tadi pagi, aku teringat. Usia menjelang ke-70, walaupun sebenarnya belum sampai ke 
situ, aku bertanya-tanya kepada diriku, jejak mana yang sudah kutoreh dalam hidup ini, dan 
jejak-jejak apakah yang bermakna sebelum tiba giliranku? 

Aku tepekur. 
Hening di ujung senja. 
 tamat

No comments:

Post a Comment