Wednesday, 2 November 2016

Cerpen - Butir Hujan di Bukit Padas

Cerpen Kehidupan
Butir Hujan di Bukit Padas

Arah  angin belum menunjukan arah yang ramah, hanya terlihat daun daun kering Akasia yang beterbangan di tiup angin kemelut di padang bukit padas Rowosari. Sebuah desa yang dilingkungi bukit bukit padas gersang, berpagar hijaun yang meranggas. Mata para penambang batu padas saling membanting sorot mata mereka masing-masing, lantaran mereka menjadi tanpa peduli dengan nasib semua yang ada disekelilingnya.

Matahari siang ini kembali menelan mereka hidup hidup, tanpa mengenal kasihan pada kulit yang telah melegam gelap. Namun mereka semua harus mengakrabi dengan sinar matahari yang tajam menghunjam tubuh mereka. Meski sebagian mereka berkali kali menyeka keringat  yang membasahi kening dan kedua mata mereka. Bahkan  kayu jambu kusam pegangan cangkul mereka kinipun telah basah, entah telah beberapa kali cangkul mereka menunjam bukit cadas, dan berkejaran dengan jarum waktu agar mampu menelan semua bukit padas Rowosari, yang menghidupi mereka.

Bledeg dan kilat berkejaram  muncul hampir sepanjang tadi malam. Sudah saatnya minggu minggu ini, bukit padas menjadi basah.” Dari dalam gua padas yang digempurnya, Karmo berteriak nyaring dengan nafas tersengal. Suatau ungkapan yang terlontar dan menggema ke seluruh dinding gua padas. Namun mereka semua masih nampak terdiam, yang tinggal  hanyalah  mereka berusaha untuk mengatur nafas, agar hidup yang ditopang dengan nafas mereka yang panjang masih mampu direngkuhnya. Sebentur sebentur terdengar dengusan nafas panjang, lantaran cangkul dandang mereka kerap membentur batu padas yang keras.

“Hei, Karmo, bukan hujan yang menjadi perhatian kita, tapi jalan jalan di desa kita yang berubah menjadi “kubangan kerbau” bila hujan turun, itulah yang harus kita pecahkan bersama.  Jangan seperti di  musim hujan tahun kemarin ,  kita semua harus melangkah surut”. Kasno sengaja mencuri waktu untuk memunguti nafasnya kembali, yang telah dibuangnya sejak pagi tadi. Dandang yang menjadi saksi semangat hidupnya, kini dia letakan di sampingnya. Tidak berapa lama mengepulah asap tembakau racikan yang memenuhi mulut gua.

Kini semua penambang itu menjadi tergelitik hatinya untuk gabung. Awan hitam mulai berdatangan dari arah barat, asap tembakau yang terbakar mulai menusuk hidung mereka masing, isapan demi isapan tak terasa terus menjadi karib mereka dalam menguntai cocktale party antara mereka yang menyelipkan hidup di tengah tebing bukit padas yang curam.

“Kalau bisa tahun ini kita tidak usah melangkah surut lagi” Tegas Kasan ditengah kerumunan penambang padas, yang asik melakukan konferensi kecil kecilan, demi sehelai nafkah mereka yang tidak ditebas rusaknya jalan tanah yang melintang di tengah Desa Rowosari itu.

“Ah, tapi apa daya kita, San !, hanya sekumpulan ilalang yang tidak punya tulang untuk berdiri”. Memelas di raut wajah Rofi’i terlihat jelas di tengah guratan wajahnya yang sudah uzur, namun dia masih membiayai sekolah beberapa anaknya.

“Ya, gimana lagi Kang Rofi.i, upaya kita hanya bisa menyampaikan pada Pak Lurah. Pak Lurahpun hanya bisa menyampaikan pada Pak Bupati”. Mereka semua sekarang menjadi anggota konferensi yang hanya mampu saling pandang, setelah mendengar penuturan Kasan.

“Yang jelas aku sudah tidak mau lagi merantau ke Jakarta, disana nasibku juga tidak lebih baik dibanding di desa ini. Berapa sih penghasilan penambang pasir di kota yang kejam itu?”.   lenguh nafas panjang dari Kasmo mencabik semua jantung penambang padas yang hadir di tengah hari itu, lantaran mereka juga bernasib sama dengan Kasmo, yang berusaha menundukan kekejaman hidup mereka. Keluhan itu juga melenting menyergap beberapa penambang padas yang sedang menciut hatinya, menghadapi rusaknya jalan desa bila hujan kembali mencabik jalan desa itu.


 “SPP untuk anak kita serta kebutuhan lainnya, tidak mengenal hujan dan kemarau. Apa mereka semua mengerti nasib kita?. Apa bupati, pak lurah atau pimpinan partai mengerti nasib kita ?, yang bergantung dengan jalan desa ini?”. Hamzah berteriak dengan membanting banting dandangnya pada dinding gua padas.

“Sudahlah, Hamzah !. Percuma saja kamu mengutuk nasibmu sendiri. Yang penting bagaimana kita bisa menemukan cara untuk mengaspal jalan Rowosari ini. Sehingga dumptruck bisa masuk ke bukit ini, meskipun di tengah musih hujan “

“Lantas, bagaimana cara kita ?” sahut Kasno.

Mendung hitam tambah menyelimuti langit bukit padas Rowosari, tapi mereka semua tidak terpengaruh dengan datangnya mendung itu,Mereka kini mulai memeras otak demi sebuah langkah. Langkah mereka yang berusaha menimbun kerikil pada lobang kubangan kerbaupun sia-sia diterpa butir hujan tahun kemarin. Kubangan kerbau itupun semakin hari semakin luas, padahal hujan pada tahun kemarin tidak mau tahu nasib ilalang yang tumbuh di bukit padas. Butir butir hujan satu tahun penuh telah meluluhlantakan harapan.Merekapun hanya mampu melangkah surut, melihat jalan itu bagai ladang ditumbuhi belukar. Hingga akhirnya mereka hanya menggantungkan dandang dengan wajah pucat dan lidah kelu.

***
Jarum detik tanpa mau menoleh ke belakang terus memagut jam, hari dan minggu. Butir hujan masih malu untuk menelanjangi wajah bukit padas Rowosari, tiap hari masih banyak dumptruk yang mengantarkan sesuap nasi bagi ilalang bukit padas itu, meski dumptruk itu mulai terseok ditelan beberapa kubangan yang mulai menganga. Konferensi penambang padaspun sudah digelar tiap hari, saat mereka melepas lelah sembari menghabiskan bekal makan siang yang sederhana. Namun keluh hati merekapun belum bisa menembus gendang telinga pejabat daerah ataupun petinggi partai. Meski mereka kesal namun merekapun sadar, bahwa tidak selamanya hidup yang mereka usung  semata ditentukan oleh dandang mereka sendiri.

            Sekali sekali mereka harus menautkan bilah ilalang itu satu sama lainnya demi berputarnya cakrawala kehidupan mereka sendiri. Hingga akhirnya merekapun kini bisa menghadirkan pak lurah dengan staf  kecamatan untuk bersama membungkam kubangan kerbau.

            “Semua keluh kesah sudah bertahun aku dengar, maka sayapun berkali menanyakan pada Pak Bupati untuk segera mengalokasikan dana. Nampaknya hingga saat ini belum ada kepastian pengerasan jalan” tutur Pak Luah dengan suara berat tetapi datar, suatu tanda bahwa diapun sudah cukup lelah dalam memperjuangkan nasib warganya.

            Semua penembang pasir yang hadir hanya mampu melempar sorot mata kepada Pak Lurah, sebagian lagi hanya menggeserkan tempat duduk mereka karena menyimpan kegalauan hati yang mendalam.

            “Pak Lurah !, apa kami harus menganggur selama hujan terus mendera desa kita ?. Untuk kerja di Kota Semarang atau Jakarta kamipun tidak punya ketrampilan apapun?”
           
            ‘”Sabar, Kang Rofi’i !, kita masih punya cara lain asal saudara saudara setuju”
            “Maksud Pak Lurah bagaimana ?” Kasan menukas ucapan Pak Lurah
            “Kita harus mampu melakukan pengerasan jalan dengan swadana, bagaimana bapak bapak ? , setuju ????“. Wajah Pak Lurah mulai dihiasi dengan senyuman yang ramah.
            “Kami semua warga yang tidak mampu, tentunya program Pak Lurah memerlukan dana yang besar, terus terang saja kami tidak mampu” sahut Kasno.
            “Untuk makan saban hari saja kami kelimpungan” Kasmo meneruskan
            “Biaya program itu memang besar, tapi dana itu tidak kami ambilkan langsung dari kantong  bapak  bapak. Oleh karena itu  program ini memerlukan tempo yang lama. Bapak bapak harus sabar, tegar dan tetap bergotong royong, baik tenaga, waktu dan pikiran” Pak Lurah kembali lagi menyakinkan mereka semua.
            “Ah, Pak Lurah jadi nggak serius ?” Kasan mencoba untuk mengerti lebih jelas ucapan Pak Luah.
            “Lantas kami harus bagaimana, Pak Lurah ?” jawab Hamzah.
            “Terus terang saja, Pak !. Agar kami mengerti maksud Pak Lurah” sahut Kasmo.
            “Sebentar lagi musim hujan Pak !, kami sudah tidak main main lagi” potong Hamzah. !. Agar kami mengerti maksud Pak Lurah"us mengangkat tanganya agar semua [eserta konferensi ilalalng buki

Mereka saling celoteh seperti celoteh jalak, kutilang, derkuku di pasar burung. Sehingga Pak Lurahpun harus menghentikan pidatonya, sambil terus mengangkat tanganya agar semua peserta konferensi ilalang bukit padas mau menahan diri.

            “Kalau bapak bapak tidak bersedia sabar, gimana saya bisa menyelesaikan ini semua. Sabar dulu tho, pak !. Maksud swadana itu, bapak bapak bisa mendapatkan dana dengan cara menurunkan harga padas. Bila biasanya 1 drumtruk padas kita hargai seratus lima puluh ribu, cobalah diturunkan menjadi seratus empat puluh ribu, dengan catatan yang sepulur ribu dimasukan kas”

            “Wah..wah..wah..betul juga Pak Lurah “
            “Wow…mengapa tidak dari dulu Pak Lurah tidak mengusulkan demikian !”
            “Pak Karmo !, dulu kita kan dijanjikan Pak Bupati kala dia kampanye nyalon bupati, sekarang setelah jadi, mana janjinya !!!”.
            “Ya… sudahlah, kalau masalah janji bukan hanya pak bupati saja, banyak caleg yang kala itu juga berjanji membantu nasib kami. Tetapi setelah 2 tahun mereka duduk di dewan, mana janjinya ?. Yang penting segera saja Pak Lurah mulai menyiapkan ini semua. Kami semua orang tidak makan bangku sekolah, jadi kami tidak bisa banyak berbuat” seru Kasan.
            “Tapi program ini akan makan waktu lama, Pak Lurah !. Padahal minggu minggu depan  hujan  mulai deras. Terus bagaimana ini ?” Tanya Kang Rofi’I kepada semua anggota konferensi.
            “Kang Rofi’I, dana yang sudah masuk, langsung kita gunakan untuk menyemen jalan yang berlubang, secara bergantian  terus menerus akhirnya kita akan memiliki jalan desa permanen dengan semenisasi “
            “Kapan ini dimulai , Pak Luah ?”
            “Secepatnya, Pak Kasno !, kita kan harus mengedarkan surat pemberitahuan pada semua sopir dumptruk, proposal pada Pak Camat dan menyiapkan tenaga penarikan restribusi dari kelurahan. Pokoknya dalam minggu minggu ini, program kita bisa dimulai,  saya janji !”
           

Wajah beringas, lusuh dan bertatap mata dingin, kini telah berubah menjadi wajah yang sejuk setelah mereka semua menyepakati, berdiri di kaki sendiri untuk mencari secercah pengharapan di bukit padas Rowosari. Butir hujan yang selama ini meluluhlantkan jalan desa satu satunya , kini tidak lagi mereka takuti. (Penulis: Bambang Sukmadji-Semarang)

No comments:

Post a Comment