Cerpen Kehidupan
Butir
Hujan di Bukit Padas
Arah angin belum menunjukan arah yang ramah, hanya
terlihat daun daun kering Akasia yang beterbangan di tiup angin kemelut di
padang bukit padas Rowosari. Sebuah desa yang dilingkungi bukit bukit padas
gersang, berpagar hijaun yang meranggas. Mata para penambang batu padas saling
membanting sorot mata mereka masing-masing, lantaran mereka menjadi tanpa
peduli dengan nasib semua yang ada disekelilingnya.
Matahari siang ini kembali
menelan mereka hidup hidup, tanpa mengenal kasihan pada kulit yang telah
melegam gelap. Namun mereka semua harus mengakrabi dengan sinar matahari yang
tajam menghunjam tubuh mereka. Meski sebagian mereka berkali kali menyeka
keringat yang membasahi kening dan kedua
mata mereka. Bahkan kayu jambu kusam
pegangan cangkul mereka kinipun telah basah, entah telah beberapa kali cangkul
mereka menunjam bukit cadas, dan berkejaran dengan jarum waktu agar mampu
menelan semua bukit padas Rowosari, yang menghidupi mereka.
“Bledeg dan
kilat berkejaram muncul hampir sepanjang
tadi malam. Sudah saatnya minggu minggu ini, bukit padas menjadi basah.” Dari
dalam gua padas yang digempurnya, Karmo berteriak nyaring dengan nafas
tersengal. Suatau ungkapan yang terlontar dan menggema ke seluruh dinding gua padas.
Namun mereka semua masih nampak terdiam, yang tinggal hanyalah
mereka berusaha untuk mengatur nafas, agar hidup yang ditopang dengan
nafas mereka yang panjang masih mampu direngkuhnya. Sebentur sebentur terdengar
dengusan nafas panjang, lantaran cangkul dandang mereka kerap membentur
batu padas yang keras.
“Hei, Karmo, bukan
hujan yang menjadi perhatian kita, tapi jalan jalan di desa kita yang berubah
menjadi “kubangan kerbau” bila hujan turun, itulah yang harus kita pecahkan
bersama. Jangan seperti di musim hujan tahun kemarin , kita semua harus melangkah surut”. Kasno
sengaja mencuri waktu untuk memunguti nafasnya kembali, yang telah dibuangnya
sejak pagi tadi. Dandang yang menjadi saksi semangat hidupnya, kini dia
letakan di sampingnya. Tidak berapa lama mengepulah asap tembakau racikan
yang memenuhi mulut gua.
Kini semua penambang
itu menjadi tergelitik hatinya untuk gabung. Awan hitam mulai berdatangan dari
arah barat, asap tembakau yang terbakar mulai menusuk hidung mereka masing,
isapan demi isapan tak terasa terus menjadi karib mereka dalam menguntai cocktale
party antara mereka yang menyelipkan hidup di tengah tebing bukit padas
yang curam.
“Kalau bisa tahun ini
kita tidak usah melangkah surut lagi” Tegas Kasan ditengah kerumunan penambang
padas, yang asik melakukan konferensi kecil kecilan, demi sehelai nafkah mereka
yang tidak ditebas rusaknya jalan tanah yang melintang di tengah Desa Rowosari
itu.
“Ah, tapi apa daya kita,
San !, hanya sekumpulan ilalang yang tidak punya tulang untuk berdiri”. Memelas
di raut wajah Rofi’i terlihat jelas di tengah guratan wajahnya yang sudah uzur,
namun dia masih membiayai sekolah beberapa anaknya.
“Ya, gimana lagi Kang
Rofi.i, upaya kita hanya bisa menyampaikan pada Pak Lurah. Pak Lurahpun hanya
bisa menyampaikan pada Pak Bupati”. Mereka semua sekarang menjadi anggota
konferensi yang hanya mampu saling pandang, setelah mendengar penuturan Kasan.
“Yang jelas aku sudah
tidak mau lagi merantau ke Jakarta, disana nasibku juga tidak lebih baik
dibanding di desa ini. Berapa sih penghasilan penambang pasir di kota yang
kejam itu?”. lenguh nafas panjang dari Kasmo mencabik semua
jantung penambang padas yang hadir di tengah hari itu, lantaran mereka juga
bernasib sama dengan Kasmo, yang berusaha menundukan kekejaman hidup mereka.
Keluhan itu juga melenting menyergap beberapa penambang padas yang sedang
menciut hatinya, menghadapi rusaknya jalan desa bila hujan kembali mencabik
jalan desa itu.
“SPP untuk anak kita serta kebutuhan lainnya,
tidak mengenal hujan dan kemarau. Apa mereka semua mengerti nasib kita?. Apa
bupati, pak lurah atau pimpinan partai mengerti nasib kita ?, yang bergantung
dengan jalan desa ini?”. Hamzah berteriak dengan membanting banting dandangnya
pada dinding gua padas.
“Sudahlah, Hamzah !. Percuma
saja kamu mengutuk nasibmu sendiri. Yang penting bagaimana kita bisa menemukan
cara untuk mengaspal jalan Rowosari ini. Sehingga dumptruck bisa masuk
ke bukit ini, meskipun di tengah musih hujan “
“Lantas, bagaimana cara
kita ?” sahut Kasno.
Mendung hitam tambah
menyelimuti langit bukit padas Rowosari, tapi mereka semua tidak terpengaruh
dengan datangnya mendung itu,Mereka kini mulai memeras otak demi sebuah
langkah. Langkah mereka yang berusaha menimbun kerikil pada lobang kubangan
kerbaupun sia-sia diterpa butir hujan tahun kemarin. Kubangan kerbau itupun
semakin hari semakin luas, padahal hujan pada tahun kemarin tidak mau tahu
nasib ilalang yang tumbuh di bukit padas. Butir butir hujan satu tahun penuh
telah meluluhlantakan harapan.Merekapun hanya mampu melangkah surut, melihat
jalan itu bagai ladang ditumbuhi belukar. Hingga akhirnya mereka hanya menggantungkan
dandang dengan wajah pucat dan lidah kelu.
***
Jarum detik tanpa mau
menoleh ke belakang terus memagut jam, hari dan minggu. Butir hujan masih malu
untuk menelanjangi wajah bukit padas Rowosari, tiap hari masih banyak dumptruk
yang mengantarkan sesuap nasi bagi ilalang bukit padas itu, meski dumptruk itu
mulai terseok ditelan beberapa kubangan yang mulai menganga. Konferensi
penambang padaspun sudah digelar tiap hari, saat mereka melepas lelah sembari
menghabiskan bekal makan siang yang sederhana. Namun keluh hati merekapun belum
bisa menembus gendang telinga pejabat daerah ataupun petinggi partai. Meski
mereka kesal namun merekapun sadar, bahwa tidak selamanya hidup yang mereka
usung semata ditentukan oleh dandang
mereka sendiri.
Sekali sekali mereka harus menautkan
bilah ilalang itu satu sama lainnya demi berputarnya cakrawala kehidupan mereka
sendiri. Hingga akhirnya merekapun kini bisa menghadirkan pak lurah dengan staf
kecamatan untuk bersama membungkam
kubangan kerbau.
“Semua keluh kesah sudah bertahun
aku dengar, maka sayapun berkali menanyakan pada Pak Bupati untuk segera
mengalokasikan dana. Nampaknya hingga saat ini belum ada kepastian pengerasan
jalan” tutur Pak Luah dengan suara berat tetapi datar, suatu tanda bahwa diapun
sudah cukup lelah dalam memperjuangkan nasib warganya.
Semua penembang pasir yang hadir
hanya mampu melempar sorot mata kepada Pak Lurah, sebagian lagi hanya
menggeserkan tempat duduk mereka karena menyimpan kegalauan hati yang mendalam.
“Pak Lurah !, apa kami harus
menganggur selama hujan terus mendera desa kita ?. Untuk kerja di Kota Semarang
atau Jakarta kamipun tidak punya ketrampilan apapun?”
‘”Sabar, Kang Rofi’i !, kita masih
punya cara lain asal saudara saudara setuju”
“Maksud Pak Lurah bagaimana ?” Kasan
menukas ucapan Pak Lurah
“Kita harus mampu melakukan
pengerasan jalan dengan swadana, bagaimana bapak bapak ? , setuju ????“. Wajah
Pak Lurah mulai dihiasi dengan senyuman yang ramah.
“Kami semua warga yang tidak mampu,
tentunya program Pak Lurah memerlukan dana yang besar, terus terang saja kami
tidak mampu” sahut Kasno.
“Untuk makan saban hari saja kami
kelimpungan” Kasmo meneruskan
“Biaya program itu memang besar,
tapi dana itu tidak kami ambilkan langsung dari kantong bapak bapak.
Oleh karena itu program ini memerlukan
tempo yang lama. Bapak bapak harus sabar, tegar dan tetap bergotong royong,
baik tenaga, waktu dan pikiran” Pak Lurah kembali lagi menyakinkan mereka semua.
“Ah, Pak Lurah jadi nggak serius ?”
Kasan mencoba untuk mengerti lebih jelas ucapan Pak Luah.
“Lantas kami harus bagaimana, Pak
Lurah ?” jawab Hamzah.
“Terus terang saja, Pak !. Agar kami
mengerti maksud Pak Lurah” sahut Kasmo.
“Sebentar lagi musim hujan Pak !,
kami sudah tidak main main lagi” potong Hamzah.
Mereka saling celoteh seperti
celoteh jalak, kutilang, derkuku di pasar burung. Sehingga Pak Lurahpun harus
menghentikan pidatonya, sambil terus mengangkat tanganya agar semua peserta
konferensi ilalang bukit padas mau menahan diri.
“Kalau bapak bapak tidak bersedia
sabar, gimana saya bisa menyelesaikan ini semua. Sabar dulu tho, pak !. Maksud
swadana itu, bapak bapak bisa mendapatkan dana dengan cara menurunkan harga
padas. Bila biasanya 1 drumtruk padas kita hargai seratus lima puluh ribu,
cobalah diturunkan menjadi seratus empat puluh ribu, dengan catatan yang
sepulur ribu dimasukan kas”
“Wah..wah..wah..betul
juga Pak Lurah “
“Wow…mengapa
tidak dari dulu Pak Lurah tidak mengusulkan demikian !”
“Pak
Karmo !, dulu kita kan dijanjikan Pak Bupati kala dia kampanye nyalon bupati,
sekarang setelah jadi, mana janjinya !!!”.
“Ya…
sudahlah, kalau masalah janji bukan hanya pak bupati saja, banyak caleg yang
kala itu juga berjanji membantu nasib kami. Tetapi setelah 2 tahun mereka duduk
di dewan, mana janjinya ?. Yang penting segera saja Pak Lurah mulai menyiapkan
ini semua. Kami semua orang tidak makan bangku sekolah, jadi kami tidak bisa
banyak berbuat” seru Kasan.
“Tapi
program ini akan makan waktu lama, Pak Lurah !. Padahal minggu minggu
depan hujan mulai deras. Terus bagaimana ini ?” Tanya
Kang Rofi’I kepada semua anggota konferensi.
“Kang
Rofi’I, dana yang sudah masuk, langsung kita gunakan untuk menyemen jalan yang
berlubang, secara bergantian terus
menerus akhirnya kita akan memiliki jalan desa permanen dengan semenisasi “
“Kapan
ini dimulai , Pak Luah ?”
“Secepatnya,
Pak Kasno !, kita kan harus mengedarkan surat pemberitahuan pada semua sopir
dumptruk, proposal pada Pak Camat dan menyiapkan tenaga penarikan restribusi
dari kelurahan. Pokoknya dalam minggu minggu ini, program kita bisa
dimulai, saya janji !”
Wajah beringas, lusuh dan bertatap
mata dingin, kini telah berubah menjadi wajah yang sejuk setelah mereka semua
menyepakati, berdiri di kaki sendiri untuk mencari secercah pengharapan di
bukit padas Rowosari. Butir hujan yang selama ini meluluhlantkan jalan desa
satu satunya , kini tidak lagi mereka takuti. (Penulis: Bambang
Sukmadji-Semarang)
No comments:
Post a Comment