DAINUN
Langit timur
masih memerah, surya belum juga menyapa. Hanya cericit riang burung-burung
kecil di antara daun-daun mahoni yang berjejer di sepangang jalan. Suara-suara
indah yang mulai member kehidupan pagi. Aku melangkah pelan, kaiku basah oleh
embun, rumput-rumput hijau itu tersenyum padaku.
“selamat pagi
anak manis” sapanya ramah.
Dingin, saat
angin pagi turut menyapa, kusimpan tanganku ke dalam saku jaket hijau pudarku.
Aku melompat pelan, berlari-alri kecil, melompat lagi dan berlari lagi, hingga
tubuhku mulai terasa hangat.
Teori
sederhana: “Mesin motor jika dihidupkan dan dibawa berlari, makin lama makin
panas. Begitu pula tubuh manusia, ketika bergerak, energy yang tersimpan diubah
menjadi tenaga untuk bergerak. Ketika beraktifitas manusia akan berkeringat dan
terasa panas”
Penjelasan
singkat kakak bantara saat kemah bakti, sebelum menyuruh kami melompat-lompat,
berlari, melompat dan berlari lagi di pagi hari yang buta.
“Gila!”
pikirku saat itu. Tapi rupanya ilmu kadang justru lahir dari kegilaan-kegilaan
yang tidak masuk akal. Seperti ilmuwan Phitagoras Aristoteles saat menemukan
rumus. Berawal sari saat ia mandi dan menceburkan diri ke dalam bak mandi yang
saat itu sedang penuh. Saat ia masuk sebagian air tumpah terdorong oleh berat
badannya. Seketika ia bangkit dan melompat kegirangan tanpa ingat berpakaian,
sambil berteriak “Eureka… eureka… eureka”. Dia sampai dianggap gila saat itu,
saat ia menemukan ilmu yang sangat bermanfaat hingga saat ini. Dan hari ini
harus ku ucapkan terima kasih pada mereka atas kegilaan-kegilaan mereka.
Kakiku masih
asyik melompat, berlari dan melompat lagi kemudian berlari, tiba-tiba mataku
menangkap seonggok bangkai ular di tengah jalan. Tak lagi berbentuk, terlindas
roda-roda kendaraan yang membawa beban berat, hingga bangkai ular yang cukup
besar itu kini menjadi gepeng.
Andai gepengan
panjang itu dipotong seukuran telapak tanganku, kemudian digoreng dengan dilapisi
campuran tepung beras dan tepung kanji, 2:1 ditambah dengan telur 4 butir,
pasti akan menjadi keripik yang gurih dan lezat. Sayangnya, tak ada yang
berfikir demikian selain aku “Ah, Gila!”
“Harom Ya
Syaikh!” teriak hatiku tiba-tiba teringat hardikan guru ngajiku saat kami
ketahuan mencuri ayam miliknya. Kami berlima dan aku perempuan satu-satunya
dalam kelompok badung itu. Bukannya Sayyidah atau sayyeda untuk panggilan
perempuan, namun guruku lebih memilih menggunakan kata Syaikh (sapaan untuk kaum
adam di daerah timur tengah). Hatiku begitu sakit saat itu, bukan karena guru
ngajiku melupakan keperempuananku tapi karena panggilan dalam bahasa arab itu
mengingatkanku pada Negeri Kelahiran Habibullah Muhammad SAW, sebagai Rahmatan
Lil Alamien.
Bagaimana
mungkin anak sebadung aku bisa bermimpi bertemu Rasulullah? Maka aku insaf dan
mulai memperbaiki diri berharap aku belum terlambat. “jika kalian dapat
mencapai kelas IX dan menjadi wisudawan/wisudawati terbaik, maka kalian akan
diberangkatkan ke Baitullah seperti halnya kakak-kakak yang lain” iming-iming
guru ngajiku. Sebuah impian yang telah lama aku simpan dan kupendam sendiri dan
kini mulai kulupakan, Mustahil!
Setengah mati
aku berjuang, belajar, belajar, dan terus belajar demi meraih nilai terbaik. Setengah
mati aku mencoba bertahan dalam ketidak berdayaanku demi mencapai ujung
perjalanan dan meraih mimpiku. Namun hari ini tinggal impian belaka. Aku telah
terlempar jauh dari impianku, dulu aku tidak pernah rela terlelap dan kini
selepas isya aku lelap damai dan bangun dengan keengganan, dan pagi-pagi buta
aku telah melompat sendiri seperti orang gila. Seperti pagi ini dan juga pagi
yang lain. Menempuh perjalanan jauh, perjalanan yang semu, demi… memalukan jika
aku sebutkan….Rupiah. dunia yang memaksaku menjadi pecundang, yang memaksaku
melupakan impian agungku, melupakan kewajiban tiap muslim mulai dari bualan
hingga lianglahat yaitu “Thalabul Ilmi”
“Ah, muak
rasanya membayangkan perjalanan panjangku yang semu ini. Tiada obsesi, tiada
spirit, hampa, pasti ini mimpi buruk dan aku pasti akan terbangun dengan
impianku”
Kutepuk kedua
pipiku, kucubit lenganku yang nyaris hanya tulang dan otot-otot membiru dibalut
kulit hitamku. Sakit, ini nyata. Bukan mimpi buruk karena aku tidur tanpa
berdoa. Aku tak lagi terbangun dengan penyesalan karena ketiduran terlalu lama.
Tapi kini aku terbangun dengan segenap penat dan keengganan “malas rasanya aku
terbangun dan mendapati semuanya hanya mimpi buruk, tragis!”
Aku terus
melangkah menyusuri jalan yang mulai ramai, hari telah mulai siang. Seluruh
tubuhku kejauhan tempatku mengais rupiah
telah tampak bangunan kecil dari kayu bercat hijau pudar. Di depannya bangku
bambu tempat nongkrong anak-anak sekolah SD, SMP, dan SMA. Sakit rasanya
mengenangkan kegagalanku meraih impian, andai aku boleh memilih, aku tak rela
hanya menjadi penonton atas keasyikan diskusi mereka tentang keberhasilan
mereka dalam ulangan harian, ulangan semester, ujian nasional, lomba mapel,
olah raga, dan yang paling membuatku iri adalah perpustakaan. “rasanya aku
ingin sekali ikut bicara, bercanda dan bertukar fikiran bersama mereka”.
Suatu
keuntungan bagi kami,letak warung yang strategis, tepat di tepi jalan utama
empat sekolah sekaligus,SD N 1 Bandongan,SMP N 1 Bandongan,SMK Muhammadiyah
Bandongan dan SMP Bandongan.di depan
warung kami di buka taman bacaan charisma dan di samping kiri kami ada warnet. Jadi
warung kami selalu ramai. Dan tak jarang pula beberapa orang guru sering mampir
ke warung kami untuk makan siang. Kami memang hanya menyediakan bakso,soto,es
buah,es teh dan es jus. Namun kami selalu berusaha mrmpertahankan mutu yang
menjadi kekhasan rasa dan penggemar
kami.
Salah satu guru
SMP N 1 Bandongan yang selalu setia mampir ke warung kami adalah Pak Toha.
Seperti siang ini,Pak Toha tengah asyik menikmati soto ayam kampong yang baru
saja kusediakan, sementara aku tengah mencuci piring.
“Nduk,berapa
usiamu sekarang ?”
“Dua puluh
pak”jawabku santai.
“Berapa tahun
kamu bekerja di sini ?”
“Hm……kira –
kira satu setengah tahun”
“Kalau seandainya
ada lowongan kerja di Malaysia gimana ?”
“Wah,tentu saja
saya mau sekali. Tapi saya tak pernah pergi jauh,takutnya bapak ga’ boleh”
“Nanti biar
bapak yang “matur” sama bapak kamu,gimana ?”
“Beneran nih
pak? Saya ga’ mimpi kan ?” tanyaku girang tak dapat kusembunyikan
kebahagiaanku. Sepeninggal Pak Toha aku menangis saking bahagianya. Hingga
teman sepekerjaanku yang baru saja belanja keheranan melihatku menangis hingga
tak mampu berkata lagi. Luar negeri, Malaysia, Naik bus besar,Naik
pesawat,Pergi ke Bandara,Bertemu turis.Oh Tuhan, benarkah ini? Ataukah Engkau
hanya menggodaku ?”
Aku tak pernah pergi jauh dari desa
kecilku,kecuali saat study tour ke jepara,kota kelahiranku pelopor emansipasi
wanita. Sang Pemerjuang hak dan keseteraan derajat R.A. Kartini. Yang terkenal
dengan bukunya”Habis Gelap Terbitlah Terang”yang berisi surat – suratnya kepada
teman – temannya di Belanda.
Pergi ke kota,
perjalanan jauh penuh kenangan yang tak akan pernah kulupakan. Dan sekarang
Malaysia. Betapa jauh dan melelahkannya.
Robby…..inikah jalanku…..
Ataukah Engkau hanya menggodaku
Sang pecinta dunia. Aku percaya ini takdir-Mu
Dan engkau ibarat sutradara
Sementara aku hanyalah pelaku scenario
Robby …..tunjukkan jalan terbaik untukku
Mengapa…..dunia semakin kukejar makin menjauh
Makin sulit,hingga harus ke negeri orang.
Wajahku
berseri,saat aku pulang dank u lihat Pak Toha tengah berbincang dengan Bapak di
ruang depan. Begitu melihatku, bapak segera menyuruhku bergabung bersama
mereka. Kulihat wajah Bapak sedikit pucat.”Ada apa Pak?”aku mulai khawatir dan
hanya bertanya dalam hati. “Maaf. Nduk,Bapak tahu kamu sangat menginginkannya
dan Bapak pun demikian. Tapi bapak tak tega. T adi kami telah meminta Pak Lek
dan Pak De - Pak De mu. Mereka keberatan. Mereka tak sanggup melepasmu
mengembara sendiri di negeri orang. Terlebih kamu perempuan.”
“Tapi Pak !”ujarku memohon sambil kupeluk
lengan Bapak yang hanya tulang.
“Maaf Nduk, bapak telah berusaha . tapi kita
punya keluarga yang dengan mereka kita harus bermusyawarah dalam memutuskan
suatu masalah. Mungkin ini bukan rezeki kita. Mungkin Allah hanya menguji kita.
Sabar ya Nduk !”kata Bapak sambil membelai kepalaku.
Aku
kecewa,sangat kecewa. Namun,aku tak mampu mengungkapkan. Hatiku terlalu sakit,
hingga meneteskan air matapun aku tak sanggup. Masih terbayang bagaimana aku
pulang dari pesantren dengan seluruh hidupku,dua kardus kitab – kitab dan buku
sekolahku, satu tas besar pakaian sehari – hari san seragam pesantren dan
sekolah. Saat itu pun aku tak mampu menangis dan berkata – kata. Saat teman –
teman mengantarkan hijrahku. Mereka menangis,tapi hatiku terlalu sakit untuk
sekedar meneteskan air mata.
“Maaf
Nduk,hanya itu yang Bapak ucapkan.
Terbayang wajah
– wajah adikku,senyum mereka,tawa mereka.
“Kakak,Titi
pengin menghafal Al-Q ur’an”
“Kakak,Dewi
pengin jadi dokter”
“Kakak,Lulu
pengin penulis terkenal”
“kakak pengin
jadi apa ? “Tanya titi, yang paling kecil, tiba – tiba hatiku merintik hujan
mendengar, polosnya.
“kakak pengin
jadi saudagar kaya – raya seperti istri rosululloh, sayidah khotijah .R.A.
Do’akan ya! Nanti kalau uang saku adik,bisa minta sama kakak .” kataku sambil
memaksakan senyum terindahku.
Menunggu…….. Oh ,rasanya………….
Waktu hanya berjalan ditempat saja
Tak beranjak……… tak merambat
Dan aku ……….
Hampir binasa dicekik asa
Harap
yang terus bergelora
Membakarku
hidup-hidup
Melemahkan
seluruh sendiku
Membuatku
seakan hampir meledak
Dii
dera putus asa
Dainun……..tanggungan………
Robby………tolong
aku
Apa
yang harus kulakukan …….
Aku
seperti hamper gila.
Kembali
kurangkai asa. Hari-hari seolah hanya dipenuhi kesia-siaan . Mengejar
dunia,dunia …..dunia……hanya dunia. Tidak ini jihat “Wahai dunia barang siapa mengejarmu, maka
tinggal kan lah dia dan barang siapa mengejar – KU, maka layanilah dia”
Samar, masih ku
ingat sebuah kata mutiara yang pernah ku baca saat masih di pesantren, saat aku
masih dalam buaian impian terindah ku.”Tholabul ‘Ilmi” Kata mutiara yang dulu
ku baca sambil lalu itu kini menancap tepat di ulu hati ku.
“Tabungan yang tak jua bertambah
“ Kebutuhan yang makin meningkat
Dan tanggungan justru kian menumpuk
“Oh,dunia
meninggalkanku karena aku mengejarnya.Dunia lari ketakutan melihatku.
Robby……aku hanya ingin memperjuangkan kematian kami. Kami tidak ingin saat
jatah rizki dan nafas kami habis, kami masih terjerat tanggungan. Dan tak ada
yang bersedia menshalatkan kami. Jika rosululloh tak bersedia menshalatkan
orang yang masih punya tanggungan, apalagi umatnya. Kecuali jika ada yang telah
bersedia menanggungnya. Dan kami tak yakin saat kami tak lagi bernafas ada
orang yang bersedia menanggung tanggungan kami. Mengingat siapa kami dan
banyaknya tanggungan kami. Dan jika ada tentu ia orang yang berhati mulia.
Namun, selama hayat masih di kandung badan kamki akan terus berjuang
berikhtiar. Dan engkaulah yang berhak menentukan akhir dari perjuangan kami.
Siang begitu
terik,keramaian dan kegaduhan anak-anak SD N Bandongan baru saja usai saat bel
tanda masuk setelah istirahat 2 berbunyi. Warung mulai sepi tinggal kebisingan
lalu-lalang kendaraan yang masih tiada jemu menyumbah polusi suara dan polusi
udara.
Aku duduk
menselonjorkan kaki,melepas lelah dan penat sambil menuggu Fizki menyapa. Hari
ini aku menjaga warung seorang diri wati tidak masuk karena sakit,sementara
sang pemilik warung pergi belanjabersama suaminya. Aku masih asyik dengan
lamunanku saat tiba-tiba saja Bapak muncul di depan pintu dengan rau kelelahan.
Namun,matanya tampak berbinar-binar. Sepertinya Bapak membawa kabar gembira
untukku.
“Assalamu’alaikum”
“Wa’aliakumsalam warohmatulloh
wabarokatuh”
Aku segera bangkit,kucium tangan
kurus Bapak dengan ta’zim.
Kulihat Bapak
membawa selembar kertas. Bapak menyerahkannya padaku.
“Nduk,Alloh itu
Maha Tahu,Maha Pemurah. Alloh tak akan membiarkan hambanya yang ikhlas menderita.
Alloh akan menunjukan jalan terbaik untuk kita. Bukalah,tadi Bapak bertemu Pak
Tono,beliau berniat mencari pegawai baru dan beliau menawarkannya pada Bapak.
Bapak sudah musyawaroh dengan keluarga. Dan
mereka tidak keberatan. Kamu hanya diharuskan membuat lamaran pekerjaan dan
akan langsung diterima. Kamu harus berebut peluang dengan pelamar lain. Allah
memudahkan kita karena niat kita lurus,hati kita tulus dan ikhlas berjuang di
jalan Alloh.” Aku tak mampu berkata-kata,aku terlalu bahagia. Kupeluk lengan
Bapak erat. Aku begitu terharu hingga berlinang air mata.
“Robby…..inikah jalan terbaik yang
engkau pilihkan untukku?
Betapa indah kencana-MU
Robby……betapa luas karunia-MU
Betapa manisnya rahasia-MU…..
Robby…terima kasih atas
keindahan-keindahan misteri-MU
No comments:
Post a Comment