Monday 31 October 2016

Puisi TEPI SEBUAH LAYAR

TEPI SEBUAH LAYAR

Ketika senja melabarkan sayapnya
Terpancar sinar kemerahan
Sungguh indah…
Dapat ku bayangkan jika engkau ada
Pasti suasana kan lebih berharga
            Namun kini keu telah di seberang
            Yang terlalu jauh untuk ku rengkuh
            Ku berusaha mengejar dengan layarku
            Hingga aku berlayar di tengah-tengah danau harapan
Meski aku berlayar di tengah danau harapan
Begitu luas danau yang kan ku tempuh
Hati ini terasa tak pasti
Akan aku tujukan kemanakah dayungku
Namun…
Yang Pasti ku kan berlayar hingga ke tepi
Walau kau pernah ucapkan sebuah janji
Yang tak ku sadari janjimu tidak setulus hati
            Kini ku nahkoda kapal tanpa penumpang
            Mendayung layar di atas kapal yang hampir punah
            Kapalku yang telah lama menunggu terhampas angin kebahagiaan
Dan telah banyak diterpa badai kesengsaraan dan kesepian
Terasa ingin tenggelam dalam-dalam
            Tapi Aku tetap bertahan berlayar hingga ke tepi
Hingga harapanku timbul dengan hayalan
Semoga suatu waktu layarku yang kosong aka nada penumpang
Namun dalam hayalku aku tersadar
Tak kan mungkin layar senista hamba tak berdaya ini akan tertumpang
Aku tersadar dari hayalku dan melanjutkan dayungku
Di tengah kesepian harapku
Harapanku muncul kembali
Layarku kan ku ke tepikan
Pada sebuah pantai yang tak aku tahu
Meski rasa ini penuh perasaan Tanya
Raga ini penuh kesah menggebu
Namun aku percaya dayungku kan menunjukkan jala pada
Rasa cinta pada seseorang….

Lantunan Shalawat Ny. Nur Faizah Aliyyul Munief, A.Ma

Lantunan Shalawat Ny. Nur Faizah Aliyyul Munief, A.Ma



One Piece Eps. 754

Kadang-kadang posting diluar jangkauan topik...wkwkwk
selamat menikmati hiburan ini....
One Piece Eps. 754




Puisi MAAF DAN SESALAN

MAAF DAN SESALAN

Pagi buta membuatku tak dapat melihat apapun
Hingga sang mentari menjemputku dengan keindahan dan kehangatan cahyanya
Dalam kelelapanku aku terbayang
Akan keindahan esok hari yang bergitu penuh dengan kekosongan
Kicauan burung menghias indahnya pagi
Sinaran surya mencakar bumi dengan kasihnya
            Aku yang baru tersadar dari lelapku
            Melihat sesosok jiwa yang kuat nan tabah
            Sedang berjalan berlalu melampui jalan yeng penuh dengan ketidakpastian
            Ia dengan tabah dan kuat menjaga martabat
            Tuk menghidupi buah hati yang ia dambakan
            Menjadi hamba yang begitu memiliki kemanfaatan
Dengan membawa sebuah keranjang berisikan minuman
Ia berlalu lalang berteriak memanjakan barang yang dibawa
Dengan berharap ada yang terkesima dengan teriakannya
            Aku yang sedang duduk di kamar
            Termenung dan terkesan
            Dengan yang diteriakkan
            Begitu tabah dan kuat jiwanya
Ia yang sudah bertahun-tahun hidup sendiri
Tanpa kekuatan sang suami
Sedang buah hati yang didambakannya menjadi yang berguna
Sedang berlalu di bangku pendidikan yang begitu jauh darinya
            Ketika aku melihatnya
            Sekilas aku berfikir
            Bahwa begitu nikmatnya menjadi aku
            Yang selalu mendapat kasih dari orang tuaku
            Tak jauh dari tatapan mata
            Tak lalu dari ratapan jiwa
Hingga aku berfikir
Kan ku mohon maaf dan berterima kasih teramat
Pada orang tuaku yang telah memberiku penghidupan
Namun kasar dan kerasnya hati ini
Hingga mata ini tak sanggup menitihkan air mata
            Maafkan aku ayah, ibu
            Telah banyak membuat kesalahan dan kesusahan
            Tak faham kan artinya kasih sayang orang tua
            Yang telah dilimpahkan pada diriku yang hina dina ini

Puisi SESALAN KEKOSONGAN

SESALAN KEKOSONGAN



Hitam pekatku semakin suram
Hatiku jurang harapan tak terukur dalamnya
Dalam…
Sungguh dalam dan gelap
Hingga mata hatipun tak dapat melihat
            Itulah yang aku rasakan
            Ketika aku sadari
            Tiada erti dalam hidupku
            Tiada tahu dalam lakuku
            Dan tiada adab dalam santunku
Sebagai upaya menggapai sang surya
Tangkaskan jurang yang kososng dan hampa
Dengan isi, erti, budi, dan adab
Niscaya kan tenteram dan benderanglah
Jurang yang dahulu kosong
Kini telah terisi
            Meski cahayaku tak Nampak
            Namun aku harap bisa menyinari diri
            Dengan erti ku dapat melihat
            Dengan tahu, ku mendapat sinar
            Dengan adab ku dapat merendah
Terima kasih ku ungkapkan
Meski dalam jiwa ini masih belum puas
Akan cahaya yang ku capai
Namun sesalku bangkit
Ketika ku sadari
Betapa tersiksa hidup dalam kegelapan jurang
Tanpa cahaya, sinar, dan surya

Puisi SAHABAT

Sahabat

Apakah makna kata sahabat itu?
Siapakah orang yang pantas ku panggil sahabat?
Pantaskah aku ini memiliki sahabat?
Hidupku sunyi, sepi tanpa hadirmu di sisihku
            Di saat aku tenggelam dalam lautan kesedihan
            Kau datang memecah kesunyian yang ku rasakan
            Tapi,di saat kau membutuhkan ku
            Aku malah menghindar tak tau arah yang di tuju
Berjuta – juta keranjang kegembiraan telah kau suguhkan pada ku
Tapi apa yang ku berikan?
Kesedihan dan hanya kesedihan yang aku persembakan pada mu
Maafkan aku sahabat........

Puisi FATAMORGANA HARAPAN

FATAMORGANA HARAPAN

Ku tatap bulan purnama
Terbayang-bayang seandainya ku dapat terbang kesana
Pasti kan ku peluk sinarnya
Kan ku gapai cahyanya
Dan kan ku rengkuh gelimang kilauannya
Semua itu hanyalah fatamorgana belaka…
Mungkin hanya kesilapan yang ku dapat
Memang benar sebuah kata
Jika burung terbang dengan sayap
Maka manusia terbang dengan angan
Di malam ini aku terbang
Menggapai bulan di langit
Namun hanya angan-angan yang ku dapati
Tak kan sampai selamanya aku menggapai bulan di atas sana
Dalam pekat malamku
Sayup-sayup mata ini melihat
Kemegahan sinar rembulan yang ku puja
Begitu indah sinarnya
            Seandainya sinar itu ada pada diriku
            Pasti kan kuterangi seluruh sisi-sisiku
            Sayangnya hanyalah fatamorgana jiwa yang aku punya
            Tak hayal dan tak mungkin seorang hamba nista
            Nan banyak bebatuan angkara dalam jiwa
            Mendapat sinaran cahya
Dengan melihat aku berharap
Apa yang sudah ku azam kan ku gapai dengan senyumku
Dan cahya yang menyinari seluruh alam

Puisi KAMPUNGKU

KAMPUNGKU
Karya: Ahmad Nasih Al Fatawa
Siswa Kelas 5 SD IT Ma'arif Bandongan

Oh... Kampungku
Sudah bagi semua untukku
Kampungku adalah kampung terindahku

Dengan kampungku Menjadi makmur sentosa

Di kampungku

Terima kasih
Kampungku



Puisi HEWAN KESAYANGANKU

HEWAN KESAYANGANKU
Karya: Khildatul ‘Ananiyah
Siswa Kelas 5 SD IT Ma'arif Bandongan

Kucingku
Kau adalah hewan kesayanganku
Jika aku pergi,
Kau selalu menemaniku
Aku sangat sayang padamu
Jika aku kesepian,
Kau selalu menemaniku

Oh... Kucingku
Kau selalu bermain bersamaku
Kau bagaikan teman sejatiku

Oh... Kucingku
Kau adalah teman sejatiku



Puisi GURUKU

GURUKU
Karya: Ahmad Ikhwanul Adib
Siswa Kelas 5 SD IT Ma'arif Bandongan

Guruku
Kaulah yang memberi ilmu
Tanpa guruku, aku tak kan dapat ilmu

Oh... Guruku
Tempat siswa mendapatkan ilmu
Dan aku tak kan melupakanmu

Oh... Guruku

Tempat aku mendapatkan ilmu

Cerpen KRING-KRING SEPEDA DONI

KRING-KRING SEPEDA DONI
Karya: Rifa Siptian Firgiani
Siswi Kelas 6 SD IT Ma'arif Bandongan

Sore itu seperti biasanya, Doni menggembala domba-domba kesayangannya. Sehabis pulang mengaji di TPA dan menjalankan shalat ashar Doni, Aris, Haikal langsung menggiring domba-domba mereka di padang rumput yang hijau. Sambil menunggu domba-domba menikmati rumput yang hijau dan segar, Doni dan teman-teman bermain-main air dan berenang di sungai dekat domba-domba makan rumput. Tak terasa hari sudah mulai menjelang maghrib, Doni pun mengajak kedua temannya pulang.
Sesampai di rumah, Doni mandi dan melaksanakan shalat maghrib kemudian makan malam bersama ayah dan ibunya. Setelah itu mengerjakan tugas sekolah.
Keesokan harinya, sehabis sarapan, Doni seperti biasanya yaitu menunggu kedua temannya karena Doni tidak memiliki sepeda seperti Aris dan Haikal. Doni sering membonceng Aris atau Haikal yang mempunyai sepeda.
Sepulang sekolah, Doni teringat kalau dirinya berulang tahun hari ini. Lalu dia menanyakan kepada ibunya tentang kado yang akan diberikan ibu kepada Doni. “Ibu, hari ini ulang tahunku. Ibu akan memberikan kado apa untuk Doni, Bu?” tanya Doni penuh penasaran. Ibu tersenyum dan berkata “Jika Doni bertambah rajin shalat, ngaji, dan sekolah, ibu dan ayah akan memberikan kado untuk Doni.” Dan akhirnya Doni memeluk ibunya dengan penuh rasa sayang.
Ketika Doni tertidur pulas, ternyata ibu dan ayahnya sedang menyiapkan kado ulang tahun untuk Doni yang ke-11. Karena Doni memang anak yang rajin mengaji dan sekolah, juga berbakti kepada Orang Tua.
Doni mulai membuka matanya karena fajar sudah muncul, dan alangkah kagetnya karena Doni melihat sebuah sepeda baru ada di dekat kamar tidurnya. Doni sangat bersyukur karena bisa memiliki sepeda bagus seperti milik Aris dan Haikal. Doni juga sangat berterima kasih kepada ayah dan ibunya. Doni memeluk ayah dan ibunya dengan penuh kasih sayang.
Seperti biasa, sehabis sarapan, Doni menunggu Aris dan Haikal. Kali ini bukan untuk membonceng sepeda Aris dan Haikal, karena Doni sudah mempunyai sepeda sendiri. “Wahhhh...sepeda baru nih?” sapa Aris. “Iya, ini hadiah ulang tahunku dari ayah dan ibu karena aku selalu patuh nasehat mereka.” Jawab Doni dengan bangga. “Hebat kamu, Don.” Tambah Haikal. Lalu mereka bertiga menggayuh sepeda menuju sekolah dengan penuh semangat.

Kring!!! Kring!!! Kring!!!

Cerpen KUPU-KUPU IBU

KUPU-KUPU IBU
Karya: Mahida Lubna
Siswi Kelas 6 SD IT Ma'arif Bandongan

Aku melihatnya, aku melihat perempuan yang pernah Kau ciptakan. Sepulang sekolah tadi, di dekat taman, aku melihat sepasang kupu-kupu berputar saling melingkar. Akan tetapi, mereka tak seperti dalam ceritamu, Ayah. Mereka lebih cantik, yang satu berwarna hitam dengan bintik biru bercahaya seperti mutiara, dan yang lain bersayap putih jernih sebening sepatu kaca Cinerella dengan serat tipis kehijauan melintang di tepi sayapnya.
Aku takjub, aku mengejarnya. Kupu-kupu itu masuk ke dalam taman dan aku terus saja mengikutinya. Dan ternyata kedua kupu-kupu itu menghampiri seorang perempuan yang duduk di bangku yang agak terpisah dari bangku-bangku taman lainnya. Kupu-kupu itu asyik berputar di atas kepada perempuan itu.
Aku tersadar, itu adalah perempuan yang Ayah ceritakan. Sebelum aku sempat membalikkan badan untuk meninggalkan taman itu, ia berbicara padaku. Aku tak menyangka. Tidak, Ayah. Ia tidak bisu seperti yang kau bilang. Dan katamu ia seorang yang menyeramkan hingga aku membayangkan perempuan itu sebagai nenek penyihir. Ayah, perempuan itu sangat cantik, sama cantiknya dengan kedua kupu-kupu itu. Oh, iya dia baik juga. Ia memintaku duduk di sisinya, menemaninya bermain dengan kupu-kupu itu. Dia mengajariku membelai sayap kupu-kupu. Kami bercerita tentang kesukaan kami masing-masing, dan ternyata selain menyenangi kupu-kupu, kami juga sama-sama menyukai es krim rasa vanila dengan taburan kacang almond, senang buah apel, dan tidur diantara banyak bantal dan boneka.
*****
Kau ingat ceritaku, Ning? Tentang dua ekor kupu-kupu dan seorang perempuan yang jatuh cinta pada mereka? Ah, kurasa sudah lupa. Ketika pertama kali kuceritakan ini, kamu masih kecil, belum juga TK. Bahkan aku masih ingat, kamu memakai terusan jingga dengan hiasan pita merah melingkar di pinggang, bergambar kelinci putih yang mengedipkan matanya di bagian depan. Baju kesukaanmu saat itu. Kamu berbaring di tempat tidur menatapku, menunggu dingeng pengantar tidur, ada segari senyum tipis di wajah kanakmu yang hening, sehingga namamu NING.
Aku rindu menceritakannya lagi padamu, sembari mengenang masa kecilmu yang pebuk cekiki geli atau rengekan manja yang sering membuatku gemas. Anggap saja masa kecilmu tak sanggup mengingat dongeng itu. Dan sekarang, aku akan mengingatnya kembali untukmu NING.
Setiap senja, Ning, di taman dekat sekolah, selalu ada seorang perempuan duduk di sudut taman. Ketika langit mulai berwarna jingga, ia hadir di taman itu dan selalu menunggu kedatangan dua ekor kupu-kupu cantik. Ya, keduanya cantik. Yang seekor bersayap hijau dengan serat-serat kecokelatan pada garis geratannya, kira-kira seperti daging buah avokad yang matang. Dan yang seekor lagi bersayap biru, dengan sedikit bintik-bintik putih. Ya, mirip dengan motif tas tangan ibu di potret keluarga yang ada di ruang tamu. Tak ada yang tahu tentang apa yang dilakukan bersama kedua kupu-kupu itu setiap senja. Lalu setelah langit kehilangan garis jingga terakhir, kedua kupu-kupu itupun meninggalkan taman, sebelum malam membuat mata mereka menjadi buta. Perempuan itupun pergi berjalan gontai, dengan tundukan kepada yang dalam, seolah ia ingin sekali melupakan seluruh hari yang pernah dijalaninya.
Orang-orang di sekitar sini tak ada yang mengenalnya, tak ada yang tahu namanya, tak ada yang mengerti ia berasal dari keluarga yang mana. Bahkan tak ada yang pernah berbicara dengannya, walau hanya sekedar basa-basi tanpa perkenalan. Orang-orang tak tahu dimana rumahnya. Kemudian setiap senja berakhir, ketika orang-orang mulai sibuk dengan menu makanan malam dengan keluarganya masing-masing, perempuan itu seakan-akan menghilang. Tak ada jejak yang bisa menunjukkan keberadaannya.
Bagimu mungkin tak ada yang mengherankan, seperti juga dirimu yang mencintai kupu-kupu. Semua berjalan seperti biasa tanpa ada kejadian yang berarti, sampai kemudian tersiar kabar bila perempuan itu bisu, karena sempat di suau penghujung senja, saat perempuan itu meninggalkan taman, seseorang tak sengaja melihatnya lalu menyapanya. Tapi perempuan nitu Cuma mengangguk tersenyum tanpa bicara apa-apa.
Lambat laun orang-orang mulai curiga dengan keberadaannya di taman. Orang-orang juga heran dengan keberadaan kedua kupu-kupu itu. Banyak yang menduga bila perempuan itu bisa bicara pada kupu-kupu hanya dengan kupu-kupu, Ning. Orang-orang pun mulai menyiarkan kabar bila perempuan itu memiliki ilmu hitam. Sejak itu pula orang-orang mulai menjauhinya, tak ada yang mau datang ke taman dekat sekolah setiap senja. Orang-orang takut akan bertemu dengan perempuan itu bila datang kesana. Itulah sebabnya taman dekat sekolah itu selalu sunyi sebelum senja datang, sebelum langit mengguratkan cahaya jingga di tubuhnya.
Ning, ini bukanlah dongeng seperti yang biasanya kuceritakan sebelum kau tidur. Bukan cerita serupa Puteri Rapunzel, Cinderella, Putri dan Biji Kapri, Tiga Babi Kecil, atau cerita Serigala yang jahat. Tapi ini benar-benar terjadi (ada). Perempuan itu betul-betul datang setiap senja ke taman dekat sekolah. Ayah sengaja menceritakan ini agar kamu tidak datang ke taman ketika kau pulang saat senja.
Ning, mengapa kamu kemari lagi? Segeralah pulang. Ayahmu akan curiga bila kamu selalu pulang terlambat dari sekolah. Kau pun pasti telah mendengar dari orang-orang tentangku. Aku memang kesepian, gunjingan orang-orang membuatku disingkirkan. Tapi janganlah kamu terlampau sering datang menemaniku atau sekadar ingin membawakan es krim dan buah apel. Kau bisa bermain dengan kupu-kupu lain mungkin lebih cantik dari kedua kupu-kupu yang ada di dalam taman ini. Kau juga bisa makan es krim dengan ayahmu. Sedangkan aku sudah terbiasa hidup dalam kesendirian, setidaknya aku masih bisa menemukan sedikit keributan di taman ini setiap senja, mendengar kepak sayap burung-burung yang pulang ke sarang, riuh pepohonan menyambut malam yang membawakan selimut tidurnya, bising binatang malam yang bersiap keluar sarang bila malam tiba, tenggoret, kodok, jangkrik. Jujur saja, aku lebih suka sendiri. Aku tak mau merepotkanmu karena suatu saat kau mungkin akan menemui kesulitan hanya karena keberadaanku.
Aku yakin, Ning. Suatu saat kamu akan menemukan kupu-kupu yang kai sukai yang akan selalu menemanimu, meski ia harus mengalami kelahiran berulang kali sebagai kupu-kupu untuk menemanimu. Ning, aku tak ingin orang-orang akan bergunjing tentangmu hanya karena kau menemuiku disini. Aku tak mau orang-orang menjauhimu bila mereka tahu kau pernah mengunjungiku, bahkan teman-teman sekolahmu mungkin tak mau lagi berbicara denganmu. Pulanglah, Ning! Aku juga harus bergegas pulang. Matahari sudah tampak uzur hari ini, sudah waktunya bagi kedua kupu-kupu ini untuk tidur.
*****
Ayah, senja tadi aku tak melihat kedua kupu-kupu itu di taman. Mungkin mereka sedang tidur. Mungkin tanpa sadar mereka sudah meninggalkan sayapnya, menginggalkan ruhnya, menjadi telur-telur cantik yang menetas jadi ulat-ulat cantik warna-warni dan gemuk, yang sebentar dalam kepompong putih yang rapuh lalu menjadi kupu-kupu baru yang lebih cantik.
Ayah, aku juga tak melihat perempuan itu. Tak ada seorang pun di taman senja tadi. Aku sudah berkeliling mencarinya, padahal aku sudah membeli sebatang cokelat putih untuk kami nikmati bersama-sama. Ayah, apa perempuan itu marah padaku? Apa perempuan itu kesal karena aku sering mengunjunginya? Apa kunjunganku membuat perempuan itu terganggu? Kalai ia memang marah, aku tak mengerti sebabnya. Dia tak pernah marah padaku, selalu tersenyum bila aku datang, mencium keningku setiap kami berpisah di pertigaan dekat taman ketika kami pulang bersama sehabis senja. Perempuan itu tak pernah bicara bila terganggu dengan keberadaanku.
Memang peremuan itu pernah melarangku datang menemuinya. Perempuan itu mengatakan bila ia lebih suka sendiri, tapi aku tak percaya padanya. Aku yakin bila ia tak mau menemuiku karena sebab lain. Karena biasanya wajah perempuan itu selalu tampak riang menyambut kedatanganku, bila aku berlari menghampirinya, tangan akan telentang lebar memelukku. Aku tahu ia selalu menunggu kedatanganku.
Ayah, aku rindu pada kedua kupu-kupu. Aku juga ingin bertemu dengan perempuan itu. Kuharap kau tidak marah bila aku sering menemuinya. Aku sangat senang bermain dengan mereka, jauh lebih menyenangkan dibandingkan bermain lompat tali dengan teman-teman. Ayah, apa kau betul-betul tak mengenal perempuan itu? Apa kau benar-benar tak tahu dimana ia tinggal? Kumohon antarkan aku kesana!
*****
Ning, lihatlah halaman rumah kita, penuh dengan kupu-kupu mungil warna-warni yang cantik. Sayap mereka berkilauan, tapi ada tiga kupu-kupu yang lebih besar, lihatlah. Yang dua ekor itu yang kau temui di taman, bukan? Dan yang paling besar adalah kupu-kupu tercantik dari seluruh kupu-kupu itu. Aku pun baru kali ini melihat kupu-kupu seindah itu. Ning, warna ungu dan hijau di sayapnya berpadu sangat serasi, caranya mengepakkan sayap dengan pelan dan lembut, sangat anggun seperti ibumu.
Lihat matamu sampai berkaca-kaca melihatnya. Kau senang kan? Sekarang kau memiliki banyak kupu-kupu yang indah, kau rindu pada kupu-kupu kan? Bermainlah bersama mereka, Ning, aku yakin mereka juga senang bermain denganmu.
*****
Tidak, aku tak ingin bermain bersama mereka. Lihatlah kupu-kupu yang paling besar itu, kupu-kupu itu memang yang paling cantik. Tapi warnanya, persis sama dengan gaun perempuan itu ketika aku terakhir kali menemuinya. Perempuan itu, Ayah. Aku tak mau ia berubah menjadi kupu-kupu hanya untuk menemaniku. Biar saja kupu-kupu lainnya meninggalkanku, asalkan perempuan itu tetap ada untukku. Aku tak ingin bermain dengan kupu-kupu, aku ingin perempuan itu, Ayah. Hanya perempuan itu. Aku hanya ingin Ibuku.



Cerpen KALENDER DAN JAM

KALENDER DAN JAM
Karya: Robitotus Syarifah
Siswi Kelas 6 SD IT Ma'arif Bandongan

Malam itu jam yang berada di dinding kamar kembali membuka percakapan dengan kalender yang digantungkan tepat di bawahnya. Kamar itu bercat kehijauan. Tiga kali empat meter. Ada sebuah jendela di dinding selatan dengan korden dobel. Dinding utara di tempati rak buku. Tentu saja, isinya bukan hanya buku, melainkan segala macam: kaset, minyak tawon, semprotan nyamuk, disket, CD, pokkoknya segala macam. Dekat dengan jendela ada sebuah dipan yang merapat ke dinding timur. Ketika percakapan itu dimulai, lelaki penghuni kamar yang suka susah tidur itu sedang tidak ada di sana.
Kalender memang terkenal keras kepala, tetapi jam selalu berusaha meyakinkan tentang hakikat waktu. “Waktu itu fana.” Kata Kalender. Diseobek dan berkelebat begitu saja, tidak akan pernah bisa ditangkap lagi. “Orang menyobekku dan memanfaatkanku sebagai bungkus kacang atau apapun.” Kata Kalender. “Hanya untuk menghilangkan jejak yang perbah dilaluinya dengan sangat tergesa telunjuk orang.” Katanya. “selalu bergeser dari tanggal ke tanggal yang sangat rapat jaraknya. Kalau sudah menunjuk ke suatu tanggal, lalu sama sekali tidak berniat memperhatikan yang sebelumnya.”
Tetapi jam berpendapat lain. “Waktu itu abadi.” Katanya “Kalu jarum-jarumku bergetar, mereka bergerak dari angka ke angka lain, tetapi tetap saja di porosnya. Karena abadi, ia tidak bisa ditunda atau dibatalkan. Apabila dihentikan, tidak akan ada yang pernah bisa menangkap waktu dan memenjarakannya untuk disisakan atau diadili atau dirayu atau diapakan saja.”
Kalender dan jam juga bertengkar tetnang Apakah waktu bisa ditunggu? Soalnya orang selalu bicara mengenai menunggu waktu. “Kalau bisa ditunggu, maka yang menunggu itu mempunyai jarak dengan waktu. Yakni berada di luarnya, dan itu mustahil.” Kata kalender. Tetapi jam menyatakan bahwa “segala yang dialami semesta ini sedang menunggu waktu dan sekaligus berada di dalamnya.” Kaset, minyak tawon, semprotan nyamuk, disket, sama sekali tidak pernah sepenuhnya mengerti manfaat pembicaraan itu. Semuanya memilih diam saja daripada suasana tambah tidak menentu. Buku, apalagi sama sekali menutup semua panca inderanya. Deretan aksara yang tersusun rapi memilih pura-pura tidak tahu mumpung lelaki penghuni kamar itu sedang membacanya.
Lelaki itu, jika sedang di rumah, sambil tiduran atau sambil pura-pura bercakap-cakap dengan aksara-aksara itu suka menguping pembicaraan mereka. Ia dengar pembantahan itu ributnya bukan main. Tetapi ia tidak pernah bisa memahaminya, menghayatinya, mungkin. Pada saat-saat tertentu ia memang merasa terganggu oleh cekcok itu. Oleh karenanya ia sangat sering susah tidur. Tetapi dokter hanya memberikan beberapa obat tidur setiap kali badannya yang kurus itu merasa meriang. Dan bahkan Apoteker kenalannya yang menjadi sahabatnya sejak sekolah rendah juga tidak berani memberikan obat tidur. “Nanti Apoteker kami ditutup kalau ketahuan memberikan obat tidur tanpa resep dokter.” Katanya selalu.
Malam itu juga, yakni ketika lelaki itu tidak berada di kamar. Tepat di bawah jendela ada sekuntum bunga wijaya kusuma yang sedang mekar. Sangat hati-hati, oleh waktu, ia memang hanya diberi jatah malam hari untuk mekar. Jika kebetulan lelaki itu di kamar, ia suka menyingsingkan gorden atau menyaksikan tontonan yang menakjubkan itu. “Kesabaran,” kataku sendiri hampir tak ku dengarkan. “Bukan keindahan.” Katanya membantah dirinya sendiri. “Permainan.” Bisik lelaki itu jauh dalam hatinya sambil sesekali menoleh ke arah jarum detik jam yang tak pernah berhenti berputar. Bunga yang mekar sangat hati-hati itu seperti merasakan hidupnya yang nyerinya hampir tak tertahankan, yang hanya bisa dihayati dan dipahami oleh jam dan kalender.
Kalender dan jam memperdebatkan masalah itu. “Itu proses kelahiran.” Kata Jam. “Bukan, itu upacara kematian.” Kate Kalender. Tiba-tiba kamar jadi sangat gaduh lantaran semua barang yang berada di rak buku itu berteriak-teriak meminta agar perdebatan yang tak menentu dan membuang-buang waktu itu dihentikan saja. “Membuang-buang waktu?” malah tambah berhujung pangkal pertengkaran mereka.
Sayang, kali ini lelaki yang suka nguping itu sedang tidak ada di kamar. Ia tidak dapat menyaksikan bagaimana bunga yang di bawah jendela itu hati-hati sekali mekar di awal malam dan menjelang pagi. Kuntum-kuntum dengan hati-hati sekali mengatup lagi dan menjadi layu. Ia tidak mendengar bagaimana jam dan kalender itu begitu sengit bertengkar sehingga letih dan akhirnya memutuskan untuk meminta pertimbangan kepada si lelaki itu, tetapi tidak ada yang tahu kapan ia kembali lagi ke kamarnya.