OLAH
RAGA MALAM MAIMUN
Thok,
thok, thok… “Sahur, Sahur, Sahur!!! Teriakannya terdengar keras memenuhi
ruangan dalam sebuah area Pesantren Lukman yang bertempat di salamrejo,
selopampang, Temanggung. Teriakan keras membuat seluruh santri terbangun dan
kaget tergetak suara keras. Maimun, santri asal magelang. Itulah yang biasa
meneriakkan suara kerasnya di depan setiap kamar guna membangunkan santri yang
masih tertidur lelap, tujuan dari teriakan itu supaya santri yang berkeinginan
puasa esok hari dapat memasak untuk santap sahur. Hari ini adalah hari senin,
Tanggal 5 januari 2009 M, bertepatan dengan tanggal 15 muharram 1429 H. “Ya,
ya, ya… aku bangun! Udahi teriakannya!” salah satu santri terbangun.
“Jam
berapa mas?” Tanya santri yang baru terbangun
“Udah
jam 03.00 WIB, mau sahur ya?” Tanya maimun
“Gak
tahu mau sahur ga, tapi aku laper mau masak!”
“Yah,
masak dulu aja! Jangan lupa nanti setelah matang, ajak aku! Aku juga gak nolak
kok!” kata maimun memberi tawaran mungil
“OK”
“Mau
masak apa?”
“Nasi,
tambah sayur kangkung. Mas maimun seneng sayur kayak gitu?”
“Ya,
kalau udah laper waidza diberi kangkung, Qooolu. Waidza diberi nasi Qooolu wa
Kullu Syaiin Qooolu alias kuntal (Masuk ke perut!).”
“Hahahaha,
mas maimun ada-ada saja.”
“Udah,
kamu masak dulu. Nanti kalau udah banyak yang masak, bisa telat masalahnya
harus antree dulu!”
“Sip!
Aku berangkat dulu mas!”
“OK.”
Santri
yang baru saja terbangun langsung menuju dapur, sedangkan maimun masih
terus-terusan meneriakkan nyanyiannya, Thok thok thok sahur, sahur, sahur…! Di
depan kamar 1, sebuah kamar yang sering disebut kamar mati. Kamar 1 disebut
kamar mati karena kamar ini sering sepi, jarang ada santri yang masuk karena
selain kamar itu kamar yang sering digunakan untuk mujahadah bersama, kamar
mati dihuni orang-orang tertentu. Orang tertentu adalah santri-santri yang
istimewa, selalu tertib dalam jama’ah, mujahadah, dan seluruh kegiatan
pesantren. Di tengah teriakan maimun, terdengar dari dalam “Yah Mas Maimun. Aku
bangun.” Alangkah kagetnya maimun mendapati santri yang baru saja terbangun
dengan keadaan yang tidak karuan, Baju sudah bersih, sarung dan peci sudah
terpakai rapi, lengkap dengan tasbih dan sajadah.
“Kang
Zen sudah bangun to?” Tanya maimun sembari bersalaman dengan zen, seorang
santri penghuni kamar mati dan termasuk salah satu santri tertua di pesantren
Lukman
“Aku
begadang mala mini.” Jawabnya singkat
“Begadang?
Memang ada apa kang?” Tanya maimun penasaran
“Tidak
ada apa-apa, pengen saja aku begadang. Ya udah mas maimun, terusin saja
bangunkan santri. Aku ke masjid dulu.” Zen yang sudah rapi pamitan dengan
maimun sembari berjalan menuju masjid. Dalam hati maimun hanya dapat terkagum
dengan zen yang tertib dan khusyu dalam seluruh kegiatan. “Wah, hebatnya kang
zen. Aku pengin tapi kenapa aku tetap merasa keberatan kalau ngelakuin kegiatan
kaya kang zen ya? Ah, hidup memang membingungkan?!” Gumam maimun dalam hati.
Tiba-tiba di tengah lamunannya, ia tersadar mendengar teriakan keras dari
bagian bawah “Mas Maimun, nasinya udah mateng. Sayurnya juga sudah. Kalau mau
makan bareng turun kesini!” Bentak Sukro, santri yang terbangun pertama kali
karena teriakan maimun yang begitu hebat. “Ya, aku datang.” Jawabnya sembari
berlari menuju dapur.
****
Di
dapur yang masih sepi…
“Sukro,
kang zen hebat ya?” kata maimun mengawali perbincangan di dapur
“Kenapa
to mas?” Sukro penasaran
“Dia,
udah pinter, tertib, ganteng, ibadahnya juga bagus. Wah, pokoknya banyak deh,
aku gak bisa ngatain seluruhnya.”
“Terus
gimana mas?”
“Yaaaaa…
aku pengen saja kaya dia. Ku akui meski aku sering bangun lebih dulu dibanding
santri yang lain, aku jarang ngelakuin tahajud, hajat, dan mujahadah lainnya.
Beda dengan kang zen… dia jarang banget tidur. Setiap aku bangunin pasti kang
zen udah bangun duluan, malah kayaknya dia gak tidur semalaman. Hebat benar
memang?” Maimun begitu besar memuji zen yang rajin dan tangkas dan cakap dalam
pekerjaan
“Oh,
gitu. Aku juga pengin, tapi aku lebih sering molor dari pada meleknya. Aku juga
udah usaha, tapi ketika aku perbanyak begadang, siangnya malah gak lihat dunia,
gak ngerasain terik matahari, gak bisa lihat kanan kiri kecuali pas waktu
shalat saja!” Sahut sukro yang diam-diam juga mengidolakan zen
“Ah,
lebih baik kita jadi diri sendiri saja. Sulit kalau mau meniru orang lain,
kenapa? Karena khittah kita dengan mereka itu sudah berbeda. Ya to kro?” Tanya
maimun membela diri
“Iya
bener juga kata mas maimun ini.”
Obrolan
demi obrolan dilakukan, tak terasa nasi tinggal sedikit, namun sayur masih agak
banyak. Kebingungan yang dirasakan keduanya, “Kalau aku simpan sayur ini,
nanti siang pasti hilang, tapi kalau tidak aku simpan aku gak bisa sarapan,
terus kalau sayur ini aku bawa ke kamar dan aku simpan di almari, nanti aku
puasa.” Guman Sukro. Berbeda dengan maimun “Nasi sedikit, sayur masih
banyak. Besok pagi bisa sarapan neh? Hahaha.”
Keduanya
saling bertatap mata, seakan mengutarakan isi hatinya.
“Mas
Maimun, baiknya nasi dan sayur sisa ini diapakan?” Tanya sukro mengawali
perbincangan. Sukro meminta perbandingan pada maimun karena maimun lebih tua
umurnya dibanding sukro, baik umur secara resmi hitungan dari lahir ataupun
umur dalam pondok pesantren.
“Terserah
kamu saja.” Gaya maimun menyerahkan putusan pada yang empunya nasi
“Saya
kasih ke teman saja ya?”
“Gini
saja. Aku simpan dulu saja nasi dan sisa sayur ini. Nanti siang kamu kan puasa,
terus pagi-pagi aku kasih ke temen yang kiranya butuh makanan.”
“Sip
mas. Ya udah, mas yang nyimpen saja nasi dan sisa sayur ini. Aku khawatir kalau
aku yang nyimpen sisa ini, nanti siang busuk dan gak kemakan. Kasihan kalau
sampai gak kemakan!”
“Yah,
aku yang nyimpen saja.”
Nasi
dan sisa sayur masakah malam itu akhirnya disimpan maimun. Belum lama maimun
menaruh sisa ke dalam wadah, terdengar dari masjid adzan subuh telah
dikumandangkan. Maimun segera bergegas berlari menuju masjid sambil membawa
sisa nasi yang hendak dibawa ke kamarnya yang kebetulan berdekatan dengan
masjid. “Sholatullah salamullah ‘ala toha rosulillah, shalatullah salamullah
‘ala yasin habibillah…” Dendang Maimun berjalan menuju masjid dan memberikan
semangat pada santri yang baru saja terbangun dari lelapnya malam.
Qodqomatisshalah…
qodqomatisshalaaaaah… muadzin telah
mengumandangkan iqamat shubuh, maimun yang berkeinginan menyaingi kerajinan
kang zen segera melesat menuju barisan pertama tepat di belakang imam. Namun
alangkah baik nasib maimun, ketika imam menakbirkan takbir I’tidal di raka’at
awal, maimun yang berbadan tinggi tegak 180 cm teringat kalau dirinya bangun
jam 01.30, membangunkan santri sampai jam 03.15 dan makan menemani sahur sukro
hingga subuh. Dan endingnya adalah Maimun Belum Wudlu. “Nasib, nasib, nasib.
Kenapa inget aku belum wudlu sudah masuk shalat?” gerutu maimun sembari keluar
barisan, berjalan ke belakang menerobos 5 barisan shalat untuk melakukan wudlu
di tempat wudlu masjid al ikhlas.
Shalat
subuh telah dilaksanakan, seperti biasa maimun kembali tertinggal 1 raka’at dan
berada di posisi barisan paling belakang. Dalam keterpurukannya berada di
barisan belakang, ia malu tertunduk di hadapan Yang Maha Esa di atas karpet
merah dengan memegang buah-buah tasbih putih yang ia bawa dari rumah, Maimun
tertidur. Tak terasa waktu menunjukkan pukul 08.30 WIB, maimun yang baru saja
tersadar langsung melihat jam yang berada persis terpampang jelas di tembok
depan langsung teringat kalau ia masih punya nasi dan sayur, sisa sahur sukro
tadi malam. “Ya Allah, nasi dan sayurku… jangan-jangan sudah membusuk?!” maimun
segera meluncur ke kamar. Tawa riang gembira, dan nafas lega menghias wajah
maimun yang sayup belum tersentuh air “Alhamdulillah belum busuk, makan dulu
ah! He, kawan-kawanku yang aku hormati dan aku sayangi sepanjang masa. Aku
punya sisa nasi dan sayur, bagi siapapun yang akan menemani aku makan maka
berhak baginya memilih hidup dengan iman atau mati memilih sirotol mustaqim!”
Tawaran dan canda maimun menghias kamar maimun dengan tawa teman-temannya yang
berjumlah 10 santri.
“Ya,
aku bareng makan sama kamu mun!” Ikhwan menyahut tawaran maimun dengan bangga
“OK,
ada yang mau menawar lebih?” tawaran maimun kembali melucut
“Aku
tambahkan gorengan tempe!” sahut maulana
“Sip,
ada yang tambah lagi?”
“Aku…
Ikut nambah dengan rasa laparku di pagi ini.” Fauzun menyahut tawaran
“3…
2… 1… waktu habis! Pemenangnya adalah Ikhwan, Maulana, dan Fauzun. Berarti yang
lain sedang puasa!”
Fauzun
nyelonong saja kea rah maimun untuk mengambil nasi dan sayur, namun “Eeeeeee,
belum saatnya kamu makan. Gorengannya belum dibeli?” maimun menghentikan
langkah fauzun. Tak lama maulana yang tadi menawar menambah gorengan segera
pergi ke warung dan membeli beberapa gorengan. Sepi menghadap nasi dan sayur
tanpa bisa melahap tanpa seorang teman dirasakan fauzun, ikhwan dan maimun.
Dalam keheningan itu, tampak maulana kembali dari warung dengan membawa
bungkusan hitam agak besar. Dengan kegirangan ketiga orang yang menunggu
maulana bersorak gembira menyambutnya.
“Alhamdulillah
kembali juga akhirnya.” Ikhwan mengawali obrolan
“Maaf
membuat kalian menunggu lama.” Permintaan maaf maulana pada ketiga temannya
“Kenapa
Cuma beli gorengan kok nyampe setengah jam? Pasti kamu jajan, makan-makan dulu
di sana to?” Ikhwan memarahi maulana yang kembali ke kamar setelah setengah jam
pergi ke warung
“Gak,
aku gak mungkin menghianati perjanjian dan tawaran yang telah aku ikrarkan.
Gini, waktu aku baru nyampe di warung ternyata bahan-bahan gorengan sedang
habis dan mendadak beli di indomaret dulu. Aku ditawarin mau nunggu atau
kembali dengan tangan hampa?, aku jawab aja mau nunggu! Akhirnya setengah jam
aku nunggu bahan gorengan dibeli, bukan Cuma itu disana aku malah bantu bu
miyah ngegoreng tempe sampai matang!”
“Oooo,
gitu? Atau jangan-jangan kamu ada main sama putri bu miyah? Hayo?” ejek Fauzun
yang sudah menahan lapar
“Enggak,
enggak, enggak. Aku Cuma pengen aja bantu bu miyah masak!” bela maulana
“Ya
udah, perdebatan dan pertengkaran dilanjutkan setelah makan. Sekarang makan
dulu saja!” Maimun member aba-aba penting pada ketiga orang yang sedang
memperdebatkan kedatangan maulana yang tidak wajar
Nyam,
nyam, nyam… keempat santri makan bersama. Lahap demi lahap, butir demi butir
nasi ditelan, daun demi daun sayur dirahab, nasi dan sayur sisa sahur sukro
telah habis ditelan masa.
“Ghoooooooik,
Alhamdulillah…!” Kata Maulana yang sudah kekenyangan
“Sudah
lapar semuanya?” Tanya maimun
“Alhamdulillah
kang, sudah kenyang kok.” Kata maulana menjawab pertanyaan maimun
“Terus,
ada yang merasa kurang?” Tanya maimun kembali
Ketiga
orang kebingungan, hanya melongo dan saling tatap diantara ketiga orang yang
tampak. Dalam ketegangan itu, maimun segera berkata “Udah, bingung itu boleh
tapi tidak boleh lama-lama. Setelah makan kenyang yang kurang di saat ini Rokok.
Siapa yang punya?”
“Oh,
itu. aku punya tembakau kang. Terus kang maimun punya apa?” Jawab maulana
“aku
punya cengkih meski tersisa sedikit. Ada yang punya apa lagi?”
“Aku
punya cengkih banyak, mungkin kang fauzun punya sigaret?” kata ikhwan menawarkan
cengkihnya yang ia bawa dari rumah. Kebetulan dusun tempat ikhwan tinggal
banyak pohon cengkih dan sedang panen. Fauzun mengangguk, dan tanpa berkata
apa-apa ia membuka almari mengambil sigaret.
Kini
terkumpul sudah bahan-bahan peledak ruangan, tembakau telah disediakan, cengkih
telah disiapkan, sigaret telah disodorkan. Sambil ngobrol-ngobrol, keempat
santri merakit sebuah peledak ruangan yang dapat melegakan hati dan fikiran.
Peledak telah dibuat, keempat orang kebingungan karena belum ada korek di kamar.
“Eh,
ngomong-ngomong siapa yang punya korek?” maimun mengawali perbincangan
“Aku
gak punya kang.” Fauzun menyahut
Ikhwan
dan maulana pun tak punya korek api. Istiqomah dan tenang dalam kamar itu
menunggu seseorang datang ke kamar membawa korek untuk diminta bantuannya. 5
menit berlalu, terdengar dari luar kamar dua santri sedang berlarian membawa
kegembiraan bagi maimun cs, dengan bawaan berupa batangan rokok. “Kang minta
apinya?” maimun yang keluar kamar menghadang kedua santri pembawa gembira.
Segera salah satu santri terhenti dan memberikan nyala api rokok pada maimun.
Peledak maimun kini telah dinyalakan, maimun kembali ke dalam kamar untuk
menularkan bibit-bibit bara api rokok pada teman-temannya.
“Ni,
apinya!” Tawar maimun
Peledak
maimun berjalan. Ikhwan, maulana dan fauzun bergilir menyalakan masing-masing
peledak ruangan. Setelah peladak dinyalakan kembali mereka mengobrol sambil
menunggu waktu ngaji pukul 10.30. dalam penantian mereka, datanglah seorang
wali santri yang hendak masuk ke kamarnya.
“Eh,
itu orang tua siapa?” maulana mengawali perbincangan
“Gak
tahu, Tanya saja. Kayaknya dia mau ngirim bekal santri.” Maimun menyahut
Ikhwan
dan fauzun adalah santri yang disuruh menemui tamu wali santri. Segera saja
ikhwan menanyakan maksud kedatangan wali santri itu. bla bla bla bla… obrolan
selesai, wali santri pamit, sedangkan ikhwan dan fauzun kembali ke kamar dengan
membawa bungkusan plastic hitam berisi sesuatu yang tak diketahui.
“Siapa to tadi itu? kok kalian lama banget di
sana nemuin tamu itu?” tutur maulana
“Itu
pamanku dari wonosobo, sudah lama aku gak ketemu beliau. Pangling aku! Hahah.”
Sahut ikhwan
“Itu
bungkusan apa?” Tanya maulana kembali
“Gak,
tahu. Kita buka aja!” ikhwan memperjelas kata
Bungkusan
yang dibawa ikhwan segera dibuka, “Alhamdulillah…” Puji mereka serentak kepada
Allah SWT yang mendapati isi bungkusan itu adalah rahapan makanan ringan dan
satu buah amplop surat. Mereka kembali merahab makanan itu. hanya maulana dan
ikhwan yang sudah merasa kekenyangan tidak ikut merahab makanan. Lahab dan rasa
tak puas tampak di wajah fauzun dan maimun, sepertinya mereka berdua sangat
kelaparan, padahal baru saja selesai makan sisa nasi dan sayur tadi malam?
Tak
berapa lama, makanan ringan telah habis dilanda badai keidakpuasan fauzun dan
maimun. Waktu menunjukkan pukul 10.30, waktu mengaji telah dimulai. Ikhwan dan
maulana segera meluncur ke tempat pengajian. Fauzun dan maimun masih tercengang
di kamar menahan beban perut yang semakin berat.
“Zun,
ngaji zun! Aku ijinkan sama ustad saiful, aku lelah!” perintah maimun
“Kang
maimun berangkat dulu! Nanti aku nyusul!” jawab fauzun dengan wajah memerah
kelelahan menahan perut
“Ya,
aku nanti saja!” maimun menyusul perkataan fauzun yang belum memberi jawaban
pasti akan keberangkatannya ke madrasah
Tak
terasa kedua orang itu tertidur pulas di kamarnya. Di tengah pulasnya tidur
mereka, terdengar suara yang membangunkan tidur siang mereka sembari memberikan
beberapa tetes air di mata mereka. “Masya Allah, kyai…! Zun bangun kyai operasi
ke pondok!” maimun yang terbangun segera membangunkan fauzun yang masih
terlelap.
Maimun
yang tahu kyai burhan datang ke pesantren segera melesat menuju masjid dan
mencari tahu jam berapakah sekarang? Betapa kagetnya hati maimun ketika melihat
jam dinding masjid sudah menunjukkan pukul 13.30. maimun segera berwudlu dan
menjalankan ibadah shalat dzuhur meski tidak berjama’ah.
Shalat
dzuhur telah selesai dijalankan, maimun akan kembali ke kamarnya. Namun di
tengah perjalanan menuju kamar, ada seorang santri yang berteriak “Kang Maimun,
ada yang mencari kang maimun!” suara itu terdengar dari komplek sebelah. Maimun
yang mendengar segera menjawab dengan teriakan yang sama “Siapa? Kalau tidak
tahu, suruh saja ke kamarku!”
Bingung
dan penasaran timbul di hati maimun, dalam setiap langkah perjalanannya hanya
terpikir siapa yang hendak menemuinya. Tak terasa maimun telah sampai kamar
“Assalamu’alaikum…”
salam sapa maimun mengawali pertemuan
“Wa’alaikumussalam…
benar anda kang maimun ya? Dari temanggung?” jawab orang yang mencari maimun
sembari bertanya tentang kebenaran info maimun
“Iya
benar saya maimun dari temanggung. Terus bapak ini siapa ya?” Tanya maimun
“Saya
pak bahudin dari lengkong, magelang. Saya hanya diberi amanah dari bapak usul
lengkong untuk memberikan bingkisan kepada mas maimun karena beberapa hari yang
lalu kang maimun telah menolong tetangganya menyelesaikan masalah waris. Ini
ada sebuah bingkisan darinya, semoga diterima dengan ikhlas, jangan pandang
isinya tapi pandanglah keikhlasan hati yang memberi bingkisan pada kang maimun
ini.”
“Memang
siapa ya? Saya kok lupa?”
“Bapak
Nasrun.” Jawabnya mempertegas
“Oooooh,
pak nasrun. Ya, ya, ya saya ingat kalau beliau.”
“Ya
sudah kang, berhubung persowanan saya sudah cukup, saya pamit dulu!
Assalam’alaikum.” Pak bahudin segera pamit meninggalkan pesantren
“Wa’alaikumussalam…”
jawabnya
Waktu
telah berlalu, pak bahudin sudah tidak kelihatan. Maimun yang penasaran segera
membuka bingkisan itu, dan ditemukan di dalamnya beberapa bungkus roti panggang
dan enam paket nasi kuning. Puji syukur kembali ditampilkan maimun, tanpa
berpikir lama maimun segera menyantap makanan yang telah diberikan padanya.
Namun masih habis 3 paket nasi, perut maimun sudah menolak kedatangan tamu.
Maimun segera memberhentikan peMAKANan. Ia merasa sudah tak kuat lagi menampung
tamu di perutnya.
****
Waktu
menunjukkan pukul 17.30, hampir maghrib. Sukro yang hari ini puasa sedang
menyelsaikan peperangannya di medan peperangan…
“Kang
maimun…!” teriak sukro dari dapur
“Apa
sukro?” Tanya maimun yang mendengar teriakan sukro
“Aku
mau buka, ikut gak?”
“Tunggu
bentar, aku datang!”
Tak
berapa lama maimun mendatangi sukro yang sedang menghadap panci dan wajan.
Sukro sedang masak dan hampir matang. Ketika itu, adzan maghrib dikumandangkan,
sayur setengah matang dan nasi yang empuk segera disajikan karena sukro yang
begitu lapar tak tahan menahannya. Lahapan dimulai, dan tak terasa nasi dan
sayur langsung habis bertamu ke perut maimun dan sukro. Setelah selesai melahap
makanan, dengan segera mereka menjalankan shalat maghrib, habis maghrib
langsung mujahadah.
Dan
alangkah baik nasib maimun, sehabis wirid shalat isya ada sesuatu yang
menggoyang perutnya. Mual dan mules segera dirasakan maimun, tak tahu apa saja
yang sudah masuk di hari itu, maimun yang naas hanya dapat pasrah menjalani
kegiatan di malam hari yang sunyi penuh dengan kejenuhan. Waktu demi waktu
dilalui, waktu menunjuk pukul 21.00 WIB, maimun hanya berlarian kesana kemari,
Kamar-WC, kamar-WC, kamar-WC hingga dinihari masih saja melakukan kegiatan yang
sama. Malam yang indah berhias bulan purnama itu dijalani maimun dengan
berlarian olah raga malam, dengan menahan kerucukan perut di WC dan menahan
perih mual di kamar.
Begitulah
nasib baik seorang maimun yang semalaman tidak bisa tidur gara-gara di siang
harinya begitu banyak tamu yang mendatangi perutnya. Wallahu A’lam.
No comments:
Post a Comment