THE
KILLER
Terbangun
dengan rasa tak menentu, resah, gamang, sedih dan marah. Semua rasa seakan
terkumupul menjadi satu, bersatu padu, bercokol dalam jiwa. Rasa-rasa ingin
menangis namun tak mampu. Jiwa merintih menangis pilu, namun raga enggan
membantu. Tambah derita luka lara dalam derita. Pikiran melayang entah kemana,
penat, pusing, berat menindih kepala. Tapi apa yang terfikir, apa yang dipikir
tak tau arah panah otak. Melesat tiada tentu arah, tiada pasti apa yang
terpikir, gamang, rasa timbul tenggelam tanpa kepastian.
Dengan
lemah Naylul Muna menyingkapkan selimutnya. Seketika lembab sang bayu menyapa
tubuh. Sekan member komando pada bulu roma untuk berdiri tegak. Menggigil
teriring malas tiada bertepi, perlahan dengan enggan dan dingin yang merayapi
seluruh inci kulit ia bangkit. Menampakan telapak kakinya pada lantai kamar
yang layaknya kepingan-kepingan es kutub utara. Ditatapnya rahmi, zizah, umi,
dan syifa, teman sekamarnya yang masih lelap dalam dunia mimpi.
“Baru
pukul 03.15 pantas masih sepi, tapi kenapa aku terbangun dengan perasaan gamang
tiada terperi?” batin nay resah.
Setapak
demi setapak kakinya melangkah menuju kamar mandi yang letaknya di belakang
komolek pondok putri dengan bangunan terpisah, bayu menyapanya kasar, ketika ia
berada di alam bebas. Lekas-lekas nay masuk kamar mandi, cuci muka, mandi dan
tentunya gosok gigi. Beberapa menit kemudian ia keluar dengan wajah yang lebih
segar dan sedap dipandang, meski kelopak matanya masih bengkan dan bola matanya
memerah karena beberapa malam terakhir ia tak dapat tidur nyenyak. Pikirannya
selalu tertuju pada The Killer dan Nadzam Umrithi yang harus ia hafal dalam
tempo 1 pekan.
Gila
gak sih, siapa yang gak benci sama khoirul muna atau the killer? Baru saja
ngajar, udah suruh ngafalin nadzam seluruhnya, Tanya ini-itu, ditambah kalau
gak bisa jawab suruh berdiri. Masih untung, teman-temannya gak begitu diketati,
baginya atau mungkin hanya ia yang terlalu perasa itu suatu pengecualian. Masa
hanya karena ia gak begitu suka dengan pelajaran umrithi, ia yang terus selalu
ditunjuk dan ditanya. Tapi mau apa lagi siapa yang bisa mengelak.
“hai
nay Pagi amat bangunnya?” sapa zizah dengan mata setengah terpejam, suara serak
zizah itu membuyarkan lamunan nay yang terbang bebas.
“Eh,
kamu zie, apa tadi?”
“Uh,
ditanya kok pagi amat bangunnya?”
“hehehe…
tau ni gamang, perasaanku kacau banget!”
“Ah,
udah deh nay. Gak usah dipikirin tu santri tua yang nyuruh kamu ngafalin 254
nadzam umrithi, lagian sama-sama santri, sok banget sih dia. Ba…..”
“sssssset
udah deh zie, kamu tau kan posisiku? Duluan yang aku nglancarin hafalan.”
Nay
segera meninggalkan zie yang masih mengucek-ucek matanya, terlintas dalam
benaknya, awal segala penderitaan dan kebenciannya, ya hanya karena waktu itu
nay nulis surat dan puisi pas pelajaran umrithi kepergok the killer dan
langsung dapat hukuman.
Badannya
terasa ringan, kantukpun sedikit terkurangi dengan wudlu apalagi mandi dan
wudlu sekalian. Ada yang bilang wudlu bisa ngilangin kantuk dan itu terbukti,
kantu kitu datangnya dari syetan dan syetan itu diciptakan Allah dari api. So,
yang paling cocok dan mujur buat madamin api ya air, masa bensi ya enggak lah!
Hehehe
Sampai
kamar nay segera mengambil mukena, qiamul lail lalu kembali melancarkan
hafalannya. Dilihatnya rahmi dan umi mulai terbangun dan keluar kamar. Sambil
menunggu adzan subuh nay terus melancarkan hafalannya, agar besok kalau waktunya
setoran sama the killer ia tidak salah dan dapat cercaan atau ejekan.
Dulunya
khoirul muna alias the killer santri tertua dan terlama nyantri yang terkenal
jarang melanggar peraturan pondok itu adalah sosok yang sangat nay kagumi. Nay
salut pada kekuatannya menaklukkan jiwa muda yang sangat liar. Terkesan dan
penasaran bagaimanakah metode hebat yang ia terapkan untuk membekukan darah
muda yang selalu mengalir brutal, fiya-foya, kasar, mendidih panas dan hewani
itu. tapi kini semua sirna ditelan rasa benci, terhempas dalam jurang kebencian
jiwa meletup-letup, mendesaj, menghentak, menyesakkan jiwa, berontak, menyeruak
ingin meremas tubuh kurus itu, memukul-mukul dengan seluruh kekuatan berambisi
memuaskan hasrat liar dan buas dengan mendaratkan jutaan pukulan pada tubuh
kurus the killer yang tampak ringkih dan tak berdaya.
Siangnya,
mentari bersinat terik, meski begitu pondok pesantren putri nurul Quran yang dibangun di dekat tegal jati tetap terasa
sejuk walau gerah masih tersisa. Suasana terasa indah dan damai didukung
semarak suara santri yang tengah menghafal nadzam, Jurumiyah, imrithi, alfiah,
aqidatul awam, syifaul jinan, dan masih banyak lagi bersahut-sahutan dibawa
angin.
Ah,
tak hanya itu. ada yang lebih membuat betah tinggal di situ yaitu beberapa
pohon mahoni yang tumbuh di kiri kanan, dan depan gedung pondok yang senantiasa
menyejukkan dan memancarkan keindahan. Pohon-pohon itu menciptakan nuansa musim
gugur di negeri sakura. Bergilir seperti musim dari kuncup, lalu bunga yang
kemudian gugur kelopak-kelopaknya, biji yang juga gugur yang bila terjatuh akan
tampak seperti kitiran, berputar-putar baru kemudian jatuh dan terakhir daunya
yang berguguran, terbang terbawa angin seperti musim gugur negeri sakura.
“Senam
jantung dimulai.” Bisik hati santri imrithi dalam hati ketika the killer
memasuki aula. Lain halnya dengan nay, dalam hati di bilang “Uh, Sok banget
sih!” saat melihat Khoirul Muna cepat-cepat menunduk ketika bertemu pandang
dengannya. Mendadak perut Nay terasa diaduk-aduk, mual, eneg lihat tampang the
killer. Tak hanya itu, jantungnya berdetak kencang, bergerak seperti suara
putaran roda kincir air kayu, berderap seperti hentakan kaki kuda pacuan. Belum
lagi keringat dingin yang keluar di seluruh tubuh membuatnya bau, burket akut,
basah kuyup seperti tikus kecemplung got, pokoknya jelek abiz deh!
Entah
kenapa the killer paling hobi nyuruh-nyuruh nay, mulai dari membaca ulang,
menghafal nadzam yang baru diterangkan sampai menghapus papan tulis. Dengan
malas kalau tak mau ditunjuk mendadak nay memperhatikan the killer menerangkan
tentang inna waakhowatuha. Tapi sepertiyna kata-kata the killer hanya laksana
air mengalir, masuk telinga kanan dan keluar telinga kiri tanpa ada yang
mengendap dalam otaknya. Karena tiba-tiba melintas dalam otaknya kata-kata the
killer 1 bulan lalu saat pertama kali ngajar.
“Awal
pertemuan kok sudah menyepelekan? Berdiri! Dan besok saya beri waktu 1 pekan
kamu hafalkan seluruh nadzamnya!” Katanya tegas waktu itu. uh, parahnya waktu 1
pekan tak membuatnya hafal, molor hingga 1 bulan, gimana gak malu coba. Rasanya
Nay pengen tuker kepala sama pantat.
“Dasar
The Killer” Kutuk Nay terbawa emosi, hingga tanpa sadar kata-kata itu keluar
begitu saja
“Ya,
Naylul ada yang kurang jelas?” Tanyanya mendengar kutukan Naylul
“Em…
anu…anu…” Nay gagap, arghgh sial banget “Tidak…kok sudah jelas”
“Lha
tadi apa?”
“Oh,
ini ada yang…”
“Baik,
kalau begitu jelaskan tentang na’at!” potongnya seperti tahu kelanjutan
kata-kata nay.”
“Glek”
apa tuh na’at, pernah terdengar tapi apa ya…?” Nay terus berpikir tentu saja
dengan hati dongkol. Diliriknya zizah untuk mencari bantuan tapi zizah Cuma
ngikik melihat kesialan nay. “Ayo, Jawab katanya sudah jelas?” Lanjutnya datar
tapi bagi nay itu seperti sebuah tantangan. Nay mendengus dan menatap the
killer dengan seluruh kebenciannya yang selama ini mengendap dalam hatinya.
Tapi sia-sia karena the killer malah sibuk menatap kitabnya yang sudah lusuh
dimakan usia, atau mungkin gak kuat menopang kepalanya yang penuh ilmu itu. gak
lah orang pinter biasanya juga gitu GHODLDLU BASHOR (Menjaga Pandangan Mata)
“Tapi,
tadi kan yang diterangkan bab Inna Wa Akhowatuha” Jawab nay setelah mendapatkan
bocoran dari fara
“Bagus,
ada kemajuan kamu mulai memperhatikan.” Balasnya dingin
“Waw,
sindiran pedas!” batin nay dongkol, marah dan tentunya benci setengah mati
“Uh,
ni orang bisa ramah dikit gak sih ma aku?” batin nay kembali bicara, rasa
bencinya kian berlipat-lipat, yah kalau sudah benci jadinya serba salah. Niat
baikpun diartikan jelek, dikira niat jahat, itulah yang kini menimpa nay.
Andai
bukan di pesantren, andai bukan ustad yang harus dihormati seperti telah
termaktub dalam kitab ta’lim al muta’alim sudah pasti nay yang juga terkenal
kasar dan tak pandang bulu itu merecoki dan mendamprat the killer. Apalagi bari
nay, the killer tetaplah seorang santri dan kedudukannya sama dengan dirinya.
Untuk menganggapnya ustad belum ya, kalau belum ada perjanjian damai, eh
maksutnya minta maaf gitu.
“Saya
kira pelajaran hari ini…” katanya menggantung sambil menimang-nimang kitabnya,
seketika hati yang tadi bersorak gembira karena senam jantung telah usai jadi
kecewa. “Ya, saya ingat… Naylul, hari ini kamu setoran kan? Mau ditunda berapa
bulan lagi? Saya sudah cukup baik hati, dari tempo 1 pekan jadi 1 bulan!”
Disengat
begitu, Nay jadi makin sebel, tanpa menunggu dipersilakan Nay segera berdiri,
tarik nafas dan mulai menghafal nadzam imrithi. Karena emosi ia jadi merasa
berani tidak nervous ataupun gagap.
“Bismillahirrahmanirrahim,
alhamdulillahilladzi qod waffaqa lil ilmi khoiro kholqihi qalittuqo….” Suara
Nay terdengar mantap dan agak lantang. Ia bisa menghafal dengan lancer, meski
sesekali terhenti karena lupa tapi ia segera bisa menguasai diri dan
melanjutkan hafalan. Sesekali matanya yang lebih banyak menatap langit-langit
aula, menatap the killer yang khusyu mengimak hafalannya.
“Al
Halu wasfun dzun tishabinna’ti mufassiron…” Nay terdiam, ia lupa, ia berfikir
keras, mencari-cari lanjutan di langit-langit aula. Perlahan the killer
menngangkat kepalanya menatap nay penuh Tanya, yang tentunya membuat hafalan
nay makin buyar.
“MUfassiron…lil
mubhamin…lilmubhamin…limubhamil haiati wainnama yu’ta bihi…”
“Syukurlah
ingat” sorak hati nay girang, ia kembali menghafal dengan lancer hingga akhir.
Begitu nadzam terakhir dibacanya, rasa lega segera merayapi seluruh buku
hatinya,ia tersenyum senang, tapi senyum itu seketika pudar ketika dilihatnya
mungkin The Killer tersenyum mengejek. Nay langsung manyun 17 cm.
dongkol,lagi-lagi dongkol yang yang dirasa tiap usai pelajaran imriti. Tanpa
menunggu dipersilahkan duduk nay langsung duduk manis dan membuang muka.
Meski
membuang muka,tapi telinganya ia pasang tajam-tajam menanti komentar pedas yang
biasa The Killer berikan padanya. Namun alangkah kagetnya nay,tanpa sepatah katapun
keluar dari mulut The Killer bahkan salam penutupun tidak,dia langsung ngeloyor
pergi.
“Ih
dasar jaelangkung”rutuk nay dalam hati.
Sama
halnya hari-hari yang telah lalu,rutinitas pondok sehabis jama’ah ashar yaitu
mengaji ndiba’ pada bu nyai Rahmatullah di ndalem. Tak terkecuali nay. Dia
sudah siap diurutkan pertama dengan rahmi, dia paling suka ngaji urutan awal
bisa balik lebih cepet,begitulah prinsipnya,ga’ suka lama-lama ngantri.
“Ehem….”suara
dehem bu nyai. Seketika,yang tadi pada bisik-bisik langsung diam.
“Alfatikhah”Bu
nyai memulai ngaji dengan bacaan ummul kitab. Setelah membaca ummul kitab
bersama-sama kini giliran nay dan rahmi ngaji ndiba’.
“Warifqu
yadumu lisohibihi wal kaorq yasiru alal haroj” suara Nay memenuhi ndalem,
suaranya yang lantang mengalahkan suara rahmi yang lemah lembut.
Kalau
didengar dari kejauhan suara nay seperti suara lantang di tengah dangungnan
lebah, sungguh khas suasana pesantren.
Usai
ngaji, rahmi dan nay kembali ke pondok putri, mereka terus melewati jalan
setapak sejauh 100 m. jalan itu begitu sejuk di bawah rindangnya pepohonan.
Sesekali angin sepoi-sepoi menyapa mereka dan di sebelah barat sana lukisan
alam tampak begitu agungnya. Wukir sumbing menjulang berdiri tegak, kokoh bak
pahlawan berhias langit sore, berpahat jingga senja yang memanja.
“udaranya
sejuk ya?” tutur nay seraya mendekap kitab Maulid Ad Dibai, mereka menyusuri
jalan setapak itu sambil ngobrol. Sesekali mereka tertawa kecil, sungguh tampak
riang.
“Nay,
bukannya itu the killer?” pekik rahmi tiba-tiba. Seketika langkah nay terhenti,
perutnya mual, mulas, sapaan mesra bayu terasa gerah baginya. Sempat terpikir
untuk mencari jalan lain agar tidak berpapasan dengan orang yang mampu
mengaduk-aduk perutnya hanya dengan sekali pandang, tapi image-nya selalu
tinggi untuk berbalik. Cepat-cepat sebelum ketahuan dia ragu untuk berpapasan,
nay segera melangkah. Dasar sial, semakin dekat mereka makin mual jadinya, tak
hanya mual, amarahpun kembali menyeruak membuat keringat dingin nay mengalir di
setiap inci tubuhnya membuatnya mandi keringat di sore yang sejuk.
Mereka
makin dekat dengan the killer, diam tapi perang deingin telah berkobar dalam
kesunyian. Ingin rasanya rahmi tertawa, dilihatnya the killer berjalan seperti
biasa, menunduk khusyu seperti menghitung bebatuan kecil yang ia lewati.
Sementara nay berjalan dengan angkuh bahkan berpaling muka dengan cepat ketika
mereka berpapasan.
“Kalian
lucu sekali seperti Tom and Jerry” Kata rahmi diiringi kikik kecil
“Sial,
dasar makhluk berdarah dingin, heh jangan ketawa, panas, emosi, tau ga?” Kutuk
nay. Ia segera mmungut daun jati kering di atas rerumputan dan
mengibas-ibaskannya membuat rahmi makin cekikikan melihat tingkah aneh nay.
Gimana gak aneh, udaranya sejuk banget masa kipasan?
“Nay,
jangan gila dong! Masa sore-sore gini pake kipasan?” sindir rahmi membuat wajah
nay makin ketekuk-tekuk, bibir manyun dan mata menyorot marah
“Aku
pengen muntah rasanya” Balas Nay lebai.
****
Perang
dingin Tom And Jerry tetap berlanjut, sepertinya semakin hari semakin panas. Ketegangan
bukannya berkurang tapi malah makin memuncak. Udah deh, mending lekas perang
aja kalau udah perang kan selesai. Entah itu hasilnya perjanjian damai atau
kekalahan di satu pihak dan menjadi daerah kekuasaan pihak yang menang kalau
gitu kan beres?
Tapi
bukan nay yang angkuh namanya kalau mebiarkan masakah itu selesai begitu saja.
Namanya saja masih muda, masih terbawa emosi. Sebenarnya nay itu baik hati,
hanya saja kalau udah tersinggung marahnya gak rampung-rampung, kalau belum ada
yang menyelesaikan alias minta maaf, hehehe….egois tinggi!
Rasanya
lain banget, sudah sejak subuh tadi Nay merasa dalam hatinya ada yang kosong,
ada yang hilang entah kemana, tak tahu kenapa yang jelas ia merasa sangat tidak
nyaman, ia terusik dengan kata-kata teman sekamarnya. “Nay, kamu sekarang
berubah ya? Udah gak badung lagi?” seperti itu kata-kata zizah selalu asal
nyolot. Dan sekarang gara-gara omongan zizah yang seperti itu, Nay jadi
mikir-mikir “Apa benar ya?” Tanya nay dalam hati. Tapi kalau dipikir-pikir ada benarnya,
akhir-akhir ini nay rajin mutholaah, rajin jamaah, dhuha, qiyamullail.
“Ah,
peduli amat, bukankan itu perubahan baik? Bukannya itu malah bagus?” batin nay
cuek dan ia segera duduk di aula bersama teman sekelasnya menanti pelajaran
imrithi dimulai. Kali ini nay lebih enjoy coz ia sudah tak perlu susah-susah
ngafalin, paling banter yang ditanya, itu sih bisa dapet bocoran kalau lagi
kebetulan. Gak mudeng karena melamun hehehe, masih suka ngalamun. Memang nay
sudah tercetak menjadi generasi yang seneng ngalamun.
Menit
berikutnya tanpa nay sadari, the killer telah memasuki aula, memulai pelajaran
dengan membacakan 5 nadzam lebih dulu baru diterangkan. Ia mulai menerangkan
panjang lebar sambil corat-coret papan tulis. Zizah yang tahu nay melamun
segera melemparnya dengan kertas “Pluk!” kertas mengenai tangan nay. Nay segera
menoleh menatap zizah yang tengah memberitahunya untuk memperhatikan dengan
isyarat. Tanggap dengan maksud zizah, nay segera memperhatikan uraian the
killer yang sama sekali tak dimengertinya.
“Baik,
saya kira itu uraiannya. Ada yang belum jelas?” Tanya the killer, semua diam
bukan berarti udah mudeng, tapi mubeng yang dirasakan mereka. Gak ada yang
mudeng sampai-sampai gak tahu mau Tanya apa.
“Baiklah
kalau begitu, Naylul Muna coba nadzamnya dihafalkan! Kamu kan sudah hafal
semua, saya kira yang 5 ini lebih mudah bagi kamu”
“Apa,
tapi kan?” protes nay gak terima. Sebenarnya nay mau aja disuruh ngafalin tapi
berhubung udah pada lupa dia protes. Jaim dikit, masa baru beberapa hari udah
lupa.
“Kenapa
gak mau atau kamu udah lupa?” katanya telak
“Ya,
memang saya lupa. Saya memang bodoh, ngafalin 1 bulan gak hafal-hafal, begitu
hafal langsung lupa, ya pak emang otak saya di atas normal Ups…” keceplosan
deh.
“Apa
di atas normal, gila dong?” katanya tanpa disangka-sangka yang disambut tawa
oleh teman-teman nay. “Sialan!” kutuk nay dalam hati. Ia cemberut, marah, benci
setengah mati.
“Diam,
jangan tertawa!” Bentaknya tiba-tiba. “Naylul, meurut kamu… saya ada salah sama
kamu? Saya rasa kamu sangat memusuhi saya. Tak sepantasnya begitu, bila gurunya
saja kamu benci gimana dengan pelajarannya. Bagi saya itu tak masalah toh saya
tidak rugi. Tapi saya kasihan sama kamu Naylul. Semua untuk kebaikanmu juga.
Kalau dengan saya gak masalah kamu boleh membenci saya tapi bagaimana dengan
ustadz yang lain. Baiklah, begini saja naylul. Untuk memperbaiki segalanya,
kiranya ada salah saya, saya mohon maaf. Saya tak punya niat apa-apa, saya Cuma
menerapkan metode yang baik dalam mengajar anak yang kurang minat, menurut yang
saya pelajari kalau ada anak yang kurang minat belajar harus diberi perhatian
lebih. Setelah saya renungi sepertinya saya perlu minta maaf pada kamu naylul”
Katanya datar.
Mendadak
aula menjadi hening, tak ada yang berani bicara. Bahkan nay yang tadi girang
sekarang manunduk dalam-dalam. Bahunya bergoncang, yang bener aja nay nangis?
“Hiks…hiks…hiks…”
Tangis bay pelan karena sekuat tenaga ia menahannya.
“Baik,
saya bisa memahami perasaan kamu…merenunglah sekali lagi naylul saya mohon maaf
atas kelakuan saya selama ini” Kata khoirul muna merendah
“hiks…sa…sa…saya….hiks…ya…yang…se…se…se…harusnya
minta maaf….. sa….saya… sa…ya…salah….pak” kata nay terbata dan serak
“Sama-sama,
saya harap setelah ini bisa lebih baik.” Pesan khoirul muna dengan suara lembut
lalu mengakhir pertemuan
Sejak
kejadian permintaan maaf itu, nay menjadi pendiam, kelihatannya ada sesal yang
begitu hebat dalam hatinya. Sesal karena mengapa ia begitu sombong, mengapa ia
merasa benar padahal ia salah besar dengan membenci ustadnya. Benar-benar
tindakan yang tak pantas disebut sebagai seorang santri.
Tak
jarang dalam malam-malamnya ia suka menangis memohon ampun pada Allah karena ia
belum berani minta maaf secara langsung pada khoirul muna, baginya kemarin
belum cukup mewakili rasa bersalahnya dan rasa sesalnya.
“Nay,
ayo ngaji Tafsir Jalalain” Teriak rahmi yang sudah lari membawa kitab ke
ndalem. Meski malas nay segera menyusul, ia berjalan bersama-sama santri lain
berbondong-bondong seperti rombongan semut membawa makanan.
Tak
lama setelah santri putri dan santri putra duduk rapi di aula ndalem, KH.
Rahmatullah segera rawuh. Beliau langsung memulai kajian tafsir jalalain
seperti biasanya, membacakan ayatnya, makna perkata kemudian baru diterangkan
panjang lebar.
“Seperti
yang tersebut dalam ayat tadi. Bahwa sesungguhnya segala sesuatu yang kita
miliki di dunia ini jangan sampai menjerumuskan kita ke jurang neraka
jahannam.” Kata-kata itu terekam jelas di telinga nay. Ia menyimak dan memaknai
kajian mala mini dengan khusyu. Sampai-sampai nay merasa baru saja kajian
dimulai dan waktu berjalan terlalu cepat, rasanya masih kurang uraian dari KH.
Rahmatullah tapi kenapa sudah selesai.
“Wallahu
A’lam, Wassalamu’alaikum Wr. Wb” Kyai mengakhiri kajian malam itu. segera saja
santri putra berebut untuk mencium tangan penuh berkah kyai. Santri putri tak
dapat melihat kegiatan itu kecuali hanya suara kasa-kusu. Ya mereka dipisahkan
oleh satir (Pembatas). Sementara santri putra mencium tangan ta’dzim kyai,
santri putri segera berbaris keluar satu per satu dengan menunduk, berjalan
lutut dengan runtut. Begitu pula nay, ia ikut berbaris, sebenarnya ia ingin
tahu santri putra diperbolehkan bersalaman dengan kyai. Tak apa-apalah bukannya
santri putri bisa bersalaman dengan ibu nyai, iya kan? Jadinya impas.
“Naylul,
kesini dulu!” panggil kyai membuyarkan angannya tentang rasa iri itu. serta
merta nay menghentikan langkah dan menyingkir dari urutan-urutan. Ia segera
duduk menunduk di hadapan kyai sedikit jauh. Seperti itulah adat di pondoknya,
ia tetap akan duduk menunduk bersimpuh tanpa bergerak, eh maksudnya pendah
posisi meski seluruh badan terasa pegal. Setelah para santri berlalu…
“Begini
Naylul…apa kau… punya masalah kok kelihatannya…sedang tidak bersemangat?” Tanya
kyai perhatian. “Aduh! Apa kyai tahu masalahku dengan irul?” Batin nay gemetar.
Takut kalau dirinya ketahuan belangnya. Seketika jantung nay berdetak begitu
cepat, kencang, keringat dingin membasahi seluruh tubuhnya, apalagi telapak
tangannya.
“Mboten”
lirih nay sambil menggelengkan kepala. Ia tak yakin kyai mendengar suaranya
“Ehem,
kalau begitu… kamu tahu khoirul muna?” Tanya beliau lagi. “DEG!” jantung nay
segera berhenti berdetak, ia makin takut, ia yakin kyai tahu apa yang telah ia
perbuat pada khoirul muna santri kepercayaan beliau.
“…dia
mau mengajak kamu membangun keluarga yang sakinah, mawadah, warahmah!
Bagaimana?” lanjut beliau tanpa nay duga-duga. “DUOR” bagai disambar petir di
siang bolong. Saat ini rasa-rasanya jantung nay telah berhenti berdetak.
“Nderek!”
sahut nay lirih setelah sekian menit terdiam dan didesak beberapa kali
“Alhamdulillahi
rabbil’alamien… istikhorohmu baik kan Rul?” Tanya kyai pada khoirul muna yang
ternyata ada di ruangan yang sama namun tidak tampak karena tertutup satir.
“Alhamdulillah
saya menemukan telaga yang sangat bening lagi melimpah airnya”
No comments:
Post a Comment