Tuesday 10 July 2012

CERPEN NAFAS LEGA


NAFAS LEGA

Sek, sek, sek… suara berisik sapu di pagi hari ini membuat Bahri merasa semakin tenang. Bahri yang memiliki kebiasaan menonton teman menyapu di Komplek Pondok Pesantren Salafiyah itu sedang duduk-duduk santai menunggu orang tuanya datang membawa bekal untuknya. Bahri, remaja gagah, tegak, tinggi dan kurus, namun tetap ganteng meski agak hitam dan kribo. Meskipun masih berumur 20 tahun baru beranjak dewasa, namun sikap bahri sudah bisa menunjukkan kalau bahri adalah remaja yang penuh tanggung jawab dan patut diberi amanah yang sekiranya membuat ia dan keluarganya bangga. Sembari melamun dengan membawa batangan rokok Apache yang sudah mati, ia berhayal tentang kira-kira bekal apa yang dibawakan orang tuanya untuk putranya, bahri yang sedang menempuh pendidikan di pesantren salafiyah. Tanpa terasa bahri menunggu, ia tersadar dari lamunannya karena mendengar suara orang yang mencarinya
“Assalamu’alaikum, Maaf mas mau Tanya. Kang Bahri dari Temanggung ada di pondok?”
Segera santri yang ditanya berlari mencari bahri “Bahri! Bahri! Bahu Kiri!” teriak baharudin, santri pencari bahri
Bahri yang kaget segera menjawab teriakan udin, santri asal Jambi yang agak terkaguk-kaguk berbicara dengan bahasa indonesia “Woei, gimana mas Udin?”
“Ada orang yang mau bertemu kamu di belakang pondok!”
“Ya aku segera datang!”
Bahri yang pelamun, pengantuk, dan pelapar itu menghampiri orang yang memanggilnya. “Ah, mas birin. Gimana mas? Ada yang bisa saya bantu? Kenapa memanggil saya?” Tanya bahri ketika melihat dan menghampiri birin, penduduk dusun soropaten yang kebetulan punya hajat dengan bahri.
“Gini mas bahri, saya minta tolong nanti jam 9 ke rumah saya. Ada yang ingin saya sampaikan pada mas! Pokoknya penting! Datang ya?!” tawaran birin diluar komplek pesantren, pada bahri yang masih berada dalam komplek.
“Ya, insya Allah saya datang ke rumah kang birin.”
Waktu berjalan detik demi detik, 1… 2… 3… dst bahri dengan rela dan ikhlas tanpa paksaan dari siapapun menghitung detikan jam dinding yang menempel di depan komplek pesantren. Orang tua atau tetangga dari rumahnya yang senantiasa ia tunggu tidak datang-datang sampai waktu menunjukkan pukul 09.00. “Ah… daripada lama-lama aku menunggu bapak, ibu, kakak, adik, mbah kakung, mbah rayi, atau mbah dukun sekalian gak datang-datang lebih baik aku ke rumah kang birin saja!” hati bahri mulai memberontak menunggu kedatangan orang tuanya menjenguk ke pesantren.
Segera saja bahri berjalan menuju rumah birin yang berada di belakang komplek pesantren, dan menjadi rumah paling pojok di dusun soropaten. Salam sapa bahri sambil tersenyum menghiasi mimic bahri di depan pintu rumah birin.
“Assalamu’alaikum…”
“Wa’alaikumussalam…” jawaban manis istri kang birin dari dalam rumah
“Tadi kang birin mencari dan memanggil saya, jam 09 suruh ke sini. Ada apa ya?” Tanya bahri menguatkan kedatangannya ke rumah birin
“Oh ya saya panggilkan mas birin. Masuk dulu mas, duduk-duduk nyantai dulu!” Tutur sari, istri birin yang keduanya masih diberi anugerah seorang putra laki-laki berumur 5 tahun itu.
“Mas Birin, ada anak santri yang ingin bertemu mas!” Teriakan sari memanggil suami tercintanya yang sedang memotong kayu di belakang.
“ya, aku segera datang!”
Tak lama bahri menunggu, 5 menit kemudian tampak di depan bahri seorang berjalan dengan ngos-ngosan, memakai pakaian compang-camping mendekat mendekati bahri. “Eh, kamu kang. Sudah datang?”
“Iya mas birin, katanya jam 09 tepat. Ya saya datang tepat jam 09!” jawab bahri sembari minum the ahangat yang disuguhkan sari padanya.
Kemudian birin menemani duduk bahri sembari meminta istrinya membuatkan teh hangat.
“Gini kang, akang tahu kenapa kang bahri saya minta datang kesini?”
“Belum tahu. Memang ada apa kang birin memanggil saya?” Tanya bahri penasaran
“Orang tuaku sedang pulang kampung ke daerah pegunungan sana. Aku hanya bersama istriku disini, sedang kerjaan orang tuaku masih tetap. Maksud aku memanggil kang bahri supaya untuk sementara waktu ini. Selagi orang tuaku belum kembali ke sini, kang bahri mau menemani menyelesaikan pekerjaan rumah saya. Gimana? Kalau memang kang bahri keberatan, aku juga tidak memaksa, kalau memang tidak keberatan itu malah dapar melegakan hati aku!” Jelas birin tentang maksudnya memanggil bahri.
Bahri kebingungan dengan tawaran birin yang begitu menggoda hasrat bahri untuk berlatih bekerja. Tik tok tik tok tik tok… suasana hening membuat gerak jarum jam dinding di rumah birin terdengar jelas, hingga dengan sorak bahri menjawab tawaran birin sembari tertawa.
“Haha, kang birin. Gini saja saya matur kyai rahman dulu. Nanti kalau abah mengijinkan saya membantu kang birin, saya siap dipanggil on time, anytime, anywhere, saya siap!”
“Ya, terima kasih atas jawabannya. Kang bahri sowan saja dulu. Pokok’e aku tunggu jawaban kang bahri!”
“OK Yes, Saya pamit!”
Berjabat tangan mebuat mereka tampak seperti kakak beradik, sama-sama hitam, sama-sama kurus, sama-sama berambut kribo. Bahri segera keluar rumah, tiba-tiba dari luar rumah bahri kembali memanggil birin yang hendak berjalan menuju belakang rumah.
“Eh, kang ada yang kelupaan!”
“Apa?” Tanya birin penasaran.
Sambil berdiri di tengah pintu dan memegang gagang pintu yang terbuka setengah, birin berkata “Assalamu’alaikum, hahaha”
“Wa’alaikumussalam” jawab birin yang bergumam “Aneh-aneh saja kang bahri. Mau salam saja bikin kaget setengah mati orang!”
Bahri yang terkesan dan terkesima dengan tawaran birin segera melaju melesat berlari kencang secepat pesawat terbang macet di tengah jalanan karena terhalang lampu merah itu sowan pada kyai Rahman, Pengasuh Pondok Pesantren Salafiyah.
****
Di depan pintu…
“Assalamu’alaikum.” Salam bahri yang bergelantungan dalam hatinya perasaan was-was dan takut
“Wa’alaikumussalam. Siapa ya di luar?” jawab kyai Rahman dari dalam
“Saya bah, bahri Temanggung.”
“Oh, bahri. Silakan masuk!”
Bahri yang baru saja terdiam segera bergerak masuk ke dalam kediaman kyai rahman.
“Ada apa bahri? Kelihatannya ada sesuatu yang penting?” Tanya kyai rahman mengawali persowanan bahri
“Anu bah, tadi pagi saya dipanggil kang birin penduduk sini. Katanya orang tua kang birin sedang pulang kampung sedang pekerjaan orang tua masih banyak. Sehingga kang birin baru saja memanggil saya hendak meminta pertolongan supaya saya membantu pekerjaan kang birin!”
“Terus?” Tanya kyai rahman di sela pematuran bahri
“Apakah abah mengijinkan saya membantu kang birin selama orang tuanya belum kembali ke sini?” Tanya bahri dengan pinta supaya diijinkan
“Aku sih boleh-boleh saja kamu bantu kang birin, tapi inget ketika jam aktif kegiatan pesantren: ngaji, mujahadah, tahlilan, dan jama’ah kamu harus ada di pesantren.” Kyai mengijinkan bahri membantu birin dengan beberapa syarat. “Kalau kamu memang merasa tidak mampu, urungkan niatmu membantu kang birin. Ya… memang semua orang dititipkan di pesantren supaya dia menjadi orang yang berguna dan bermanfaat baik bagi dirinya, keluarga, maupun masyarakat. Namun jika ia tidak mampu semua itu, ya… lakukan semampu kamu saja.”
“Matus suwun bah, insya Allah jika abah meridlai saya, akan saya usahakan untuk selalu menjaga ketertiban kegiatan pesantren.” Jawab bahri dengan mantap meski dibarengi rasa takut tidak bisa melakukan dan menjaga kedisiplinan kegiatan pesantren
Persowanan telah usai, bahri yang begitu bahagia hendak kembali ke rumah birin. Di tengah jalan ia mendengar adzan dzuhur telah dikumandangkan. “Urungkan niatmu kalau kam tidak bisa menjaga ketertiban kegiatan pesantren!” inti pesan kyai rahman tertancap dan teringat jelas tiba-tiba di dada bahri seperti kyai rahman sedang berada di depannya. Bahri yang berjalan ke rumah birin segera berbelok berjalan menuju masjid yang letaknya tak jauh dari pesantren dan tak jauh pula dari rumah birin.
Shalat telah usai, bahri kembali melanjutkan langkahnya menuju rumah birin. Tak terasa hanya beberapa langkah, bahri sudah tiba di depan rumah birin.
“Assalamu’alaikum…”
“Wa’alaikumussalam.” Jawab seorang lelaki dari dalam rumah
Pintu dibuka, mata saling menatap, wajah saling memandang, badan tegap saling berhadapan.
“Kang birin dimana?” Tanya bahri pada laki-laki yang berada di dalam rumah
“Kang birin sedang pergi ke warung sebentar. Tunggu saja mas!” jawabnya pada bahri yang masih berdiri di depan pintu
“Silakan masuk!” Pinta orang itu pada bahri
“Ya.”
Klinthing, klinthing, klinthing… suara gelas berisi air teh diaduk dengan gula terdengar keras di telinga bahri. “Ini mas, diminum dulu sambil menunggu kang birin kembali!”
“Terus mbak sari kemana?” Tanya bahri pada orang itu
“Mbak sari lagi ke sawah.” Jawabnya singkat
“Oh, terus mas ini siapa?”
“Saya, orang ya….” Jawabannya terputus ketika terdengar suara dari luar rumah “Assalamu’alaikum.” Salam birin yang baru saja kembali dari warung membeli beras dan sayuran.
“Wa’alaikumussalam…” jawab kedua orang dari dalam secara bersamaan.
“Eh, kang bahri? Sudah lama di sini?” Tanya birin yang membawa bingkisan masuk ke dalam rumah sembari meletakkan sandal yang dipakainya di rak tempat sandal
“Oh, nggak kok mas. Baru saja saya masuk. Ini tehnya saja masih utuh, belum saya apa-apakan, hehehe.” Jawabnya lembut
Birin segera masuk, meletakkan beras dan sayuran di dapur, dan keluar ke ruang tamu menemani bahri yang sendirian. Iseng-iseng telah diperbincangkan hingga mereka tertuju pada perbindangan mengenai pematuran bahri pada kyai rahman.
“Kang birin, tadi pagi setelah saya dari sini, saya langsung menghadap abah rahman.” Kata bahri mengawali perbincangan tentang rencana kontrak kerjanya dengan birin.
”Terus hasilnya gimana? Diperbolehkan?”
“Alhamdulillah, diperbolehkan tapi dengan beberapa syarat.”
“Syaratnya apa saja?” Tanya birin penasaran.
“Meski saya membantu kang birin bekerja di sini, Saya harus disiplin dalam kegiatan pesantren. Ngaji tidak boleh telat, jama’ah tidak boleh bolong, kegiatan tidak boleh terabaikan, tahlilan tidak boleh dilewatkan.” Bahri memberikan kabar berita hasil persowanannya tadi pagi pada birin
Birin hanya mengangguk-angguk. Bingung yang dirasakan birin saat itu memikirkan pekerjaan orang tuanya yang begitu berat dirasakan birin.
“Berat juga ya?” Tanya birin pada bahri yang langsung berubah kecut ketika mendengar ucapan birin.
“Berat gimana kang?” Tanya bahri penasaran
“Gini kang bahri. Orang tua aku itu kerjanya gak di daerah sini, jadi mau tidak mau yang membantu kerjaku itu harus berani menginap di tempat itu. kalau syarat-syaratnya seperti tadi aku gak menjanjikan bisa disiplin atau tidak kegiatan pesantren kamu.”
“Memang kerjaannya apa to kang birin?”
“Kerja orang tuaku ternak ayam, setiap malam harus menjaga ayamnya, pagi banget harus memberi makan. Dan siangnya harus jaga ayam-ayam itu. aku sudah mencobanya tapi aku tidak bisa melakukan kerjaan itu sendirian.”
Bahri yang mendengar curhatan dari birin merasa sangat kasihan pada birin, dan rasanya ingin membantu. Tapi mau bagaimana lagi, ia masih di lingkup pesantren dan harus mau mentaati peraturan pesantren, terlebih kyai rahman pengasuh pondok pesantrennya.
“Eh, terus yang tadi itu siapa kang?” Tanya bahri mengalihkan perhatian dan perbincangan yang membingungkan itu.
“Oh, itu Sardi, utusan bapak dari kampung yang disuruh bantu aku nyelesaiin kerjaan sampai bapak pulang.”
“Nah, dia saja yang bantu kang birin!”
Usulan bahri ditolak birin “Pengennya aku…  supaya yang ngejaga ayam-ayam itu ada yang santri. Masalahnya disana itu mau shalat aja susah, kalau gak ada yang bisa nuntun penjaga ayam-ayam disana aku khawatir mereka gak akan shalat selamanya.” Curhatan birin kembali muncul.
Sembari meredamkan situasi, bahri yang lugu menjelaskan tentang perintah Allah dan beberapa hokum Islam. “Gini kang birin, sardi kayaknya bisa jaga shalatnya. Saya lihat dari tatapan matanya, dia bukan tipe orang yang gak karuan. Saya punya jalan pintas masalah itu, ketika kang birin mau ke kandang ayam, kang birin panggil saya dulu nanti keluhan apa saja yang ada di dada kang birin lanturkan saja pada saya, kalau saya bisa menjawab atau member solusi pemecahan masalah langsung saya sampaikan. Tapi kalau saya tidak bisa memberikan solusi, insya Allah akan saya tanyakan pada abah rahman. Semua itu untuk bekal ketika kang birin sampai di kandang ayam, kang birin bisa memberikan peringatan kepada penjaga ayam di sana yang kurang giat melaksanakan ibadah. Gimana?”
“Bagus juga usul kamu! Kamu diem-diem pinter juga ya?” Pujian birin pada bahri sambil menepuk pundaknya yang kecil itu, dengan kata penutup dari birin “Ya udah, kamu gak usah belajar kerja dengan bantu aku. Kamu konsentrasi ke ngaji dan kegiatan pesantren dulu, suatu hari nanti pasti aku butuh bantuan kamu. Terima kasih telah memberiku beribu pikiran!”
“Sama-sama kang birin, kalau begitu saya pamit dulu. Nanti ketinggalan ngaji!”
Bahri segera berpamitan dengan hati terpuruk karena sudah lama ia memendam perasaan berkeinginan belajar bekerja, dan makan dengan hasil jerih payah keringat sendiri. Waktu demi waktu, pena demi pena telah digerakkan bahri di dalam masjid menghadap lembaran-lembaran kuning bertuliskan khot arab tanpa harokat, ngantuk demi ngantukditahan bahri, tak terasa jam menunjukkan pukul 16.00 WIB, saatnya bahri menyelesaikan pengajian dan melanjutkan salat ashar.
Shalat telah usai dilaksanakan, dari kejauhan tampak sepeda motor mega pro warna hijau terbitan tahun 2009 berjalan menuju kediaman kyai rahman. Rung…rung…rung… suara keras motor terdengar di depan kediaman kyai rahman.
“Assalamu’alaikum”
“Wa’alaikumussalam” Jawab kyai rahman dari dalam, dengan senyum kyai rahman menyambut kedatangan sopir motor sembari bertanya “Apa kabar pak rudi?”
“Alhamdulillah kyai sehat-sehat. Kyai sendiri bagaimana kabarnya?” jawab sopir motor yang bernama pak rudi.
“Alhamdulillah Allah masih meberikan rahmatNya kepada saya. Mari pak rudi silakan duduk!” kyai rahman mempersilakan pak rudi duduk sembari memmerintahkan santri putri membuatkan minuman “Nooook, buatkan minuman! Ada tamu.”
Tanpa basa-basi pak rudi langsung bertanya pada kyai “Anu kyai, bagaimana perkembangan anak saya?”
“Alhamdulillah ada peningkatan. Baru saja tadi pagi ia kesini, minta ijin bantu birin, penduduk sini yang kebetulan orang tuanya sedang pulang ke rumah. Saya sih mengijinkan dengan beberapa syarat, tapi untuk selanjutnya saya tidak tahu dia jadi bantu atau tidak?”
“ya, ya, ya…” jawab pak rudi yang mengangguk-angguk.
Minuman sudah jadi, tampak dari dalam seorang santri putri sedang berjalan membawakan segelas air minum beralas sebuah nampan alumunium, menuju ruang tamu. “Monggo pak rudi, diminum tehnya! Mumpung masih hangat!” pinta kyai rahman pada pak rudi.
****
Tiba-tiba dari depan pintu kediaman kyai…
“Assalamu’alaikum” salam sapa sopan bahri menyejukkan suasana yang hening di senja itu
“Wa’alaikumussalam.” Jawab kedua orang dari dalam secara serentak
Bahri yang baru saja masuk ke dalam serentak terkaget dengan sesosok tamu yang berada di depan kyai rahman. Sembari berjalan hendak sungkem pada kyai rahman, bahri mendekati tamu itu dan berkata “Kapan ayah kesini?”
“Baru saja sampai.” Jawab pak rudi yang ternyata adalah ayah kandung bahri sendiri
Di sela-sela perbincangan anak dan bapak, kyai rahman bertanya pada bahri “Bagaimana hasil sowan kamu ke rumah kang birin?”
“Alhamdulillah bah, tadi saya sudah sowan kesana. Sudah saya haturkan segalanya termasuk syarat-syarat yang diajukan abah. Hasil akhir dari sowan saya ke rumah kang birin adalah saya tidak bisa membantu pekerjaannya, karena pekerjaan yang diminta kang birin terlalu berat, dan mau tidak mau ketika saya menyetujui untuk membantu kang birin, saya harus mengorbankan kegiatan pesantren.” Jawab bahri panjang di depan kyai rahman
“Eh, kamu berani matur mau kerja?” Tanya ayahanda bahri tercinta padanya
“Iya, yah. Aku pengin makan hasil keringatku sendiri.” Belanya
“Kalau kamu berani-berani sowan mau bekerja lagi ayah tidak akan menjenguk kamu tiga tahun dan kamu tidak ayah perbolehkan pulang atau minta bekal pada ayah dan ibu. Kan ayah udah bilang, masalah kerja itu urusan belakangan, yang penting kamu disini ngaji dulu, sungguh-sungguh, insya Allah nanti masalah kerjaan gampang. Toh, kalau kamu sekarang kerja, latihan kerja atau sebagainya yang menghasilkan uang untuk biaya keseharian kamu, ayah tidak meridlai, ibu yang di rumah juga tidak rela. Harta, usaha, dan hasil yang kamu peroleh tidak berkah, tidak manfaat, dan tidak ada gunanya. Hanya sia-sia yang akan kamu dapatkan jika kamu bekerja tanpa ijin orang tua, apalagi kyai rahman tidak mengijinkan!” pak rudi yang baru saja tahu maksud persowanan bahri adalah untuk ijin kerja segera marah-marah pada rudi dengan kasih sayang dan kata-kata halus.
“Iya ayah, aku tahu dan aku tidak akan mengulangi kejadian yang sama sebelum ada perintah dari ayah.” Jawab bahri
“Bagus, anak pintar.” Puji pak rudi pada bahri, sembari memberikan sebuah amplop bekal selama satu bulan ke depan beserta bungkusan tertutup untuk teman-teman bahri di pesantren. Pak rudi dan kyai rahman melanjutkan perbincangan.
“Baik, terima kasih ayah. Bah, Saya kembali ke pesantren dulu. Assalamu’alaikum…” Bahri yang sedang dilanda perasaan tak menentu berpamitan dan segera kembali ke pondok pesantren.
Dalam perjalanannya menuju gedung pesantren, dalam hatinya ia berpikir “benar juga kata ayah, apa gunanya kalau aku bekerja tanpa ijin orang tua dan guruku? Bukankah akan sia-sia usahaku? Dan mungkin karena itu juga kenapa abah rahman memberikan syarat yang begitu berat ketika aku benar-benar bekerja?” Gumam bahri dalam hati sambil tersenyum lega.
“Alhamdulillah, aku dapat 1 ilmu lagi. Ridla orang tua dan guru memang menjadi pintu utama kesuksesan menjalani hidup!” nafas lega bahri tampak, wajah bahri mulai ceria kembali setelah seharian murung orang tuanya tidak datang-datang menjenguk ke pesantren. “Terima kasih ayah, ibu, abah rahman senantiasa memberiku nasehat!”

No comments:

Post a Comment