Tuesday 10 July 2012

CERPEN KAKAK AKU RINDU


KAKAK, AKU RINDU

Di malam yang sunyi, gelap, mati lampu, hanya terdengar gemericik air mengalir di pinggir rumah, beterbangan kunang-kunang sebagai penerang malam, berdesus angin menyelimuti dinginnya malam menambah suram dan merindingnya gadis jelita yang kesepian ditinggal oleh kedua orang tuanya. Yatim, sendiri, sepi, dan merasa butuh teman, itulah yang dirasakan Nisa. Gadis desa sederhana, dengan hidup seadanya dan hanya meminta belas kasih dari saudara ia menyambung hidup. Selain itu, gadis kecil itu rela dan tak tanggung malu melakukan pekerjaan yang berat untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Sudah 5 tahun yang lalu kedua orang tuanya meninggal pada suatu kecelakaan pesawat ketika kedua orang tuanya hendak melaksanakan ibadah haji ke tanah suci. Sedang harta tinggalan orang tuanya telah dirampas habis oleh oknum-oknum tak bertanggung jawab, sedang sisa dari harta telah digunakan nisa untuk membayar hutang kedua orang tuanya. Nisa yang merana sering meratap karena selain hidup dalam kesendirian di samping sungai Belitung Magelang, setiap hari nisa harus mengais rejeki untuk membiayai adik-adiknya yang masih sekolah dan mencari ilmu di pesantren.
Khoirunnisa itulah nama lengkap nisa. Nama itu diberikan orang tuanya dengan harapan semoga putranya kelak menjadi wanita yang shalihah dan berguna bagi keluarga, bangsa, dan Negara. Memiliki 2 adik, sofi adik pertama menempuh pembelajaran di pesantren modern al ikhlas wonosobo, dan mila masih duduk di bangku SMA. Nisa sebagai putri pertama harus mencarikan nafkah untuk kedua adiknya. Tak ragu-ragu pernah suatu ketika nisa ditemui di pasar sedang menjunjung sebuah kadut berisi beras 50 kg.
Hari demi hari dilalui nisa dengan perih dan penuh kesengsaraan, namun hal itu ditanggapi dengan ikhlas hanya untuk memperoleh ridla Allah SWT. “Semoga Allah membalas apa yang telah aku lakukan, dan semoga saja adik-adikku dapat menuntaskan pendidikan mereka, Amien.” Doa nisa setiap selesai melaksanakan ibadah.

“Aduh, kakiku!” jeritan kesakitan sofi yang tersandung besi di area pesantren modern al ikhlas.  Sembari berjalan menuju UKP (Unit Kesehatan Pesantren) dengan pincang dan tangannya yang kaku memegang kaki kiri yang tersandung dibarengi teman seangkatannya, niswa. “Kenapa kamu sampai bisa tersandung seperti itu?” Tanya niswa mengawali perbincangannya dengan sofi. Sofi yang meringis kesakitan karena kakinya yang tersandung itu bukan hanya tersandung besi, namun juga tertancap kawat yang terangkai saat proses pembuatan cakar ayam pembangunan lokasi pesantren yang baru. Darah yang terus mengalir menjadikan sofi tak mampu menjawab pertanyaan niswa, hanya dengan bilang tidak apa-apa, hanya kesandung biasa saja sofi menjawab pertanyaan niswa. Sudah 4 tahun lamanya sofi tidak bertemu dengan kakaknya, rasa kangen dan ingin bertemu terlihat di wajah sofi. Mungkin saja kejadian yang menyakitkan itu terjadi karena sofi hanya terbayang wajah kakaknya di rumah yang tidak diketahui kabarnya.
Tangisan sofi di UKP membuat garuh keadaan ruang UKP yang sempit itu. “Sudah sofi, tenangkan fikiran kamu, jangan shok! Biasa saja, ini juga obat kok!” teman sofi berusaha menenangkan sofi yang kesakitan menahan reaksi obat yang sedang merasuk ke tubuhnya. “Iya, tapi tetep perih, aaaaah!” hentak sofi yang masih menahan perih di kakinya. Satu setengah jam sofi dirawat di UKP, saatnya sofi pulang ke kamar tempat ia biasa merenung, melamun membayangkan wajah kakaknya yang sudah sekian tahun membiayainya di pesantren, tempat dimana sofi selalu mendoakan kakaknya supaya diberi umur panjang, sehat, wal afiat. Setiba di kamar, sofi langsung membaringkan badan untuk beristirahat sejenak. Niswa teman seangkatan dan menetap bersama di kamarnya kembali bertanya pada sofi tentang kejadian yang sebenarnya kenapa sofi bisa sampai tersandung dan tertancap besi. “Suatu kejadian yang aneh, aku rasa kamu tetap sedang memikirkan sesuatu karena tidak mungkin ada orang yang tersandung besi yang besi itu terlentang di samping jalan, sedang kawat yang menancap di kaki kamu itu tidak di tengah jalan, namun disamping besi yang menyadung kamu. Sedang ada masalah apa sih kok sampai kamu kehilangan konsentrasi begitu?” Tanya niswa yang duduk di samping sofi sebagai teman penghantar istirahat sofi di siang yang terik itu. sofi yang terbaring berselimutkan sarung hitam bergambar bunga merah menjawab “Aku kangen kakak, setiap hari aku hanya kebayang wajahnya yang lugu, manis, namun keras dalam bekerja. Aku gak tahu kabarnya sekarang gimana. Aku udah coba hubungi tapi nomor hp yang dulu udah gak aktif lagi, dan aku gak tahu nomor hubungan kakak yang baru. Jangan-jangan kakakku……” sofi memutus perkataannya dengan titisan air mata mengalir mengiringi kesedihan dan kerinduannya pada sang kakak, Nisa. “Udah, jangan nangis. Kan tinggal beberapa bulan lagi kamu susah diperbolehkan menjenguk keluarga di rumah. Masih ingatkah kamu jika kamu mengulangi kejadian seperti dulu?” tantang niswa pada sofi yang sedang dihukum untuk tidak pulang menjenguk keluarga di rumah selama 2 tahun. Pelanggaran yang dilakukan sofi pada 1 tahun lebih 8 bulan yang lalu yaitu berusaha kabur dari pesantren. “hehehehe, bener juga kata kamu nis. Aku sabar-sabarkan dulu aja sampai 4 bulan yang akan datang, pasti aku akan senang banget kalau aku bisa pulang dengan ijin pengasuh.” Jawab sofi yang sudah menyadari akan kesalahannya 2 tahun yang lalu.
Tak terasa waktu sudah menunjukkan pukul 15.30, “Saatnya shalat sofi.” Ajak niswa pada sofi untuk menjalankan shalat. Sofi yang masih terbaring menahan kantuk menjawab “Ah, ogah. Males, aku lagi ada tamu, haha. Kamu shalat dulu saja, tapi nanti kesini ya nemenin aku sebagai pengganti kakakku. Karena ketika aku kecil dulu, setiap kali aku sakit pasti kakakku menunggu di samping aku dan menghibur aku supaya aku gak sedih karena sakitku” pinta sofi pada niswa yang berjalan keluar kamar menuju mushalla pesantren al ikhlas. Niswa telah tiada dalam kamar, kini sofi sendirian menunggu shalat ashar selesai dilaksanakan. “Ya Allah, hanya kepadaMu aku menyembah dan hanya kepadaMu aku meminta tolong. Tolonglah kakakku di rumah dan jagalah dia dari seluruh mara bahaya yang datang. Dan….dan… dan… Kakak…. Aku Rindu!” Air mata sofi kembali menghisai wajahnya yang mungil, manis, dan biasa penuh canda itu. tak lama kemudian sofi terlelap.
“Tolong, siapapun Tolong sofi.” Permintaan tolong niswa kepada seluruh penghuni pesantren, namun alangkah kecewa hati niswa karena tiada satupun orang yang mau mendekati dan menolong sofi. Niswa meminta tolong karena melihat tubuh sofi yang bercucuran darah dan terlihat di kakinya yang tersandung telah membusuk. Niswa kebingungan dan hanya dengan siraman air 2 ember, niswa membasuh kaki dan seluruh tubuh sofi yang berlumuran darah. Tiba-tiba “Astaghfirullah, apa yang kamu lakukan niswa? Kenapa menyiramku dengan air? kenapa aku…aku…aku… basah?” hentak sofi dengan mata sayup baru saja bangun dari tidurnya. Alangkah kaget hati sofi ketika mendapati sesosok orang besar di depannya lengkap dengan jubah dan serban putih mengalung di lehernya. “Masya Allah Kyai Syahid” kekejutan sofi ketika melihat sosok yang mengguyurnya dengan air adalah kyai syahid, pengasuh pondok pesantren modern al ikhlas. “Sudah jam 22.00 WIB, saatnya mujahadah” Teriak kyai syahid sambil membawa ember berisi air yang baru saja diguyurkan di tubuh sofi. Sofi hanya terpaku dengan gumamnya kecewa “Jadi…. Niswa mengguyurku itu hanya… hanya…. Mimpi? Hah, itu mimpi.”  Sofi hanya ternganga dan tertawa dalam hatinya karena tak disangka ia bisa mimpi sehebat itu. sofi bangun dari tidurnya lantas berjalan menuju kamar mandi, membasuh muka, mengambil tasbih dan lembar aurad yang biasa diamalkan pukul 22.00 WIB menjelang seluruh santri pondok pesantren modern al ikhlas beristirahat.
Mujahadah telah usai dilaksanakan, sofi kembali ke kamar dan di tengah perjalanan ia bertemu dengan niswa. Dengan berjalan pincang sofi menghampiri niswa, “Nis, tahu gak aku tadi mimpi aneh.” Sofi mengabarkan berita kepada niswa yang masih mengenakan mukena putih dan membawa alquran di dadanya. “Mimpi apa?” Tanya niswa penasaran. “Masa aku tadi mimpi seluruh tubuhku berlumuran darah, terus kakiku membusuk. Kamu yang melihat aku tidak tega meminta tolong kepada seluruh penduduk pesantren, namun tidak ada yang peduli pada permintaan tolong kamu, dan pada akhirnya kamu bingung hingga kamu mengambil jalan terakhir. Kamu ambil 2 ember air, terus disiramkan ke tubuh aku, terus aku kaget…. Eeee. Ternyata aku terbangun dan yang ngguyur aku pake air itu bukan kamu, tapi kyai syahid… hahah” cerita panjang lebar sofi pada niswa. “Bener kaya gitu? Haha, aneh banget!” Kagum niswa pada sofi yang mimpinya dirasakan aneh oleh niswa.
Tak terasa perjalan telah usai, sofi yang masih dalam keadaan tidak suci langsung kembali berbaring, sedang niswa berjalan menuju almari kitab meletakkan alquran dan menaruh mukena di almari bajunya, lantas berlari menuju sofi untuk beristirahat.

Kukuruyuuuuuk, kukuruyuuuuk, kukuruyuuuk. Nyanyian ayam di pagi hari menjadikan Mila, adik kedua Nisa yang tertidur di atas sofa tempat ia kost menjadikannya tidak bisa terlelap kembali. Dengan mata sayup dan berjalan miring kiri miring kanan, mila berjalan menuju kamar mandi untuk berwudlu. Meski berstatus sebagai siswa SMA yang terkenal dengan kemalasan belajar dan selalu dapat nilai terendah di kelasnya, mila tak henti-henti berdoa di malam hari supaya ia diberi anugerah berupa akal fikiran yang dapat membantunya memperoleh nilai terbaik sehingga ia dapat menjadikan kebanggan bagi kakaknya. Pagi itu pukul 03.00 dinihari mila mengambil air wudlu, melaksanakan shalat tahajjud, shalat hajat, di akhiri shalat witir 3 raka’at. Sembari membayangkan wajah kakaknya yang berada tak jauh dari tempat dia kost, pagi itu menjadi saksi bisu doanya “Ya Allah, Jagalah kakakku dan berikanlah kesehatan baginya dan berilah aku akal fikiran yang sekiranya dapat membanggakan kakakku, amiin.”
Glodak, deng, deng, deng “Bangun, bangun, bangun!” suara ibu kost membangunkan seluruh anggota kost dengan memukul kaca dan menendang bak sampah yang ada di depan masing-masing kamar kost-kost-an. “OK bu, siap laksanakan!” jawab salah satu anak kost yang sudah terbangun dan siap melaksanakan kegiatan. “Masya Allah, iya bu saya sudah bangun” kaget mila mendengar ibu kost yang teriak-teriak mengiringi tidurnya yang lelap. Karena tak terasa mila tertidur sebahis melaksanakan shalat malam dan masih terbaring di tempat shalat dekat tempat tidurnya. Sudah menjadi kebiasaan jika ibu kost membangunkan anak kost yang ada di tempatnya dan belum ada jawaban, si ibu kost akan terus berteriak sampai mendengar jawaban dari anak kost yang menetap di tempat tinggalnya itu. sekitar 10 siswa SMA dan 5 Mahasiswa yang menetap di kost arena Maju yang terbangun kokoh di depan kampus SMA N 1 Magelang tempat mila mencari ilmu.
Waktu menunjukkan pukul 06.30 saatnya bagi anggota kost untuk mempersiapkan diri berangkat menuju tempat pembelajaran. Mila berlari menuju Sekolah, karena pada hari itu ia mendapat jadwal piket kelas dan menjadi petugas upacara bendera. Sesampai di jalan depan SMA N 1 Magelang tiba-tiba ada sebuah mobil yang melaju dengan kecepatan tinggi akan menabrak mila. Mila yang kaget hanya tercengang di tempat sambil teriak “aaaaaaaaaa…”, hingga akhirnya mobil itu berhenti mendadak. “Kalau jalan lihat-lihat, punya mata jangan buat hiasan saja!” bentak pemilik mobil sambil mengacungkan tangan kearah mila. “Maaf, saya tergesa-gesa” jawab mila dengan ringan hati sambil melanjutkan perjalanan menuju gerbang sekolah. Baru saja memasuki lingkungan sekolah, tiba-tiba langit menjadi suram, mendung menyelimuti langit, hingga pada pukul 06.50 “byuuuuuuuur”, hujan menghiasi sekolah. Rasa jengkel tak bisa dipendam di dada mila dan teman-teman sekelasnya karena upacara dibatalkan oleh pihak sekolah. “Ah, sia-sia latihan kita selama seminggu ini.” Kata purwo, salah satu teman mila yang ditugaskan sebagai komandan upacara. “Tidak apa-apa, kan masih ada kesempatan lain untuk melakukan tugas mulia itu.” jawab mila menanggapi purwo yang marah besar karena upacara dibatalkan gara-gara hujan yang turun di pagi itu.
Kira-kira waktu upacara telah dilaksanakan, bel berbunyi pertanda mata pelajaran segera dimulai. Hati mila terasa tidak enak, “Kenapa? Hatiku serasa gak tenang?” gumam mila dalam hati yang belum tahu sebab hatinya terasa aneh dan tidak seperti biasanya. Pelajaran telah dimulai namun mila masih melamunkan apa yang menjadi sebab hatinya tidak tenang. Dalam keadaan yang genting itu, tiba-tiba guru IPS Ekonomi yang telah di dalam ruangan selama 45 menit yang lalu mengisi pelajaran berkata “Sekarang tutup buku kalian, kita ulangan!”. “Haaaaaa? Kita ulangan bu? Apakah tidak salah?” Tanya salah satu siswa kelas XII A. guru IPS Ekonomi itu tetap bersikeras melaksanakan Ulangan meski banyak dari siswa yang tidak setuju karena materi masih disampaikan sekali itu saja, “Padahal biasanya jika ulangan pasti hari kedua setelah penyampaian materi yang diujikan, Aneh?” gumam purwo sebagai ketua kelas. Mila yang masih duduk termenung, perlahan menutup bukunya tanpa sadar. Ulangan segera dilakukan.
Waktu demi waktu telah terlalui, detik demi detik telah dijalani mila dan teman-temannya, waktu sekolah telah habis dan saatnya mila untuk kembali ke kost. Di perjalanan, mila masih termenung memikirkan apa yang menjadikan hatinya tidak tenang, sehingga ia berfikir untuk menemui kakaknya di pesantren modern al ikhlas Wonosobo.
“Assalamu’alaikum aku pulang” salam mila di depan kost sambil mencopot sepatu dengan badan lemas tak bergairah, “Wa’alaikumussalam” jawab ibu kost dari dalam yang sedang mempersiapkan makan siang khusus untuk siswa yang tidak telat pulang dari sekolah. “Mila, kenapa kamu kelihatan sedang gak enak badan? Kamu lagi sakit ya? Makan dulu ya?” pinta ibu kost yang kasihan melihat keadaan mila yang sangat lemas. “Tidak bu, terima kasih nanti saja aku makan. Aku gak sakit, gak lapar. Gak tahu kenapa perasaanku gak tenang?” jawab mila sembari masuk ke kamar. Perasaan itu terus menghantui mila hingga malam telah datang, dan lelap menjemputnya dengan mimpi indahnya di malam itu.
“Saatnya bangun!” terdengar suara ibu kost membangunkan seluruh anggota kost. Mila terbangun, tapi entah apa yang dirasakan mila tiba-tiba ia berkata “Aku harus menghubungi kak sofi.” Pagi berjalan seperti biasanya, sarapan, siap-siap berangkat, sekolah, pelajaran, dan lain sebagainya. Namun dalam perjalanan pulang, mila mampir ke warnet dekat sekolah dengan maksud mencari informasi tentang kakaknya, sofi yang menetap di pesantren modern al ikhlas. Tanpa berfikir panjang, mila mencari informasi tentang pesantren modern hingga akhirnya ia mendapat informasi tentang Profil pesantren modern al ikhlas yang berisikan Nama, Alamat, hingga Nomor telephone pondok pesantren tersebut. Setiba di kost, nomor pondok pesantren modern segera dihubungi “Assalamu’alaikum, Benarkah ini pondok pesantren modern al ikhlas wonosobo?” Tanya mila mengawali perbincangan dengan salah satu pengurus pesantren yang menerima telephone. “Wa’alaikumussalam, benar ini pondok pesantren modern al ikhlas wonosobo. Ini dari siapa? Dan adakah sesuatu yang dapat kami bantu?” jawab penerima telephone. Rasa girang dan senang kini berganti menyelimuti hati mila, “Dapatkah saya berbicara dengan sofiana murtiningsih dari Magelang?” Tanya mila kembali pada penerima telephone. Kemudian Penerima telephone memanggilkan salah satu santri dari magelang untuk mencarikan nama yang disebutkan oleh penelpon, tak lama kemudian sofi ditemukan. “Sofi, ada yang mau bicara sama kamu.” Kata tim pencari yang kebetulan berpapasan dengan sofi di depan mushala. “Dari siapa?” Tanya sofi setelah selesai dari wudlunya kepada tim pencari. “Gak tahu, yang penting kamu temui saja dulu di ruang telephone!” perintah tim pencari pada sofi.
Sofi yang masih penasaran siapa yang menghubunginya itu, berjalan menuju ruang telephone. Alangkah bahagia bercampur kaget ketika sofi tahu yang menelpon itu adalah adiknya sendiri. Perbincangan berlaku selama satu jam. Tema demi tema diperbincangkan mulai dari tidak tenangnya hati mila yang sama dengan perasaan sofi beberapa hari yang lalu, hingga mereka membuat kesepakatan akan pulang setelah kelulusan mila dari SMA. Telephone diletakkan dan diserahkan kembali kepada penjaga, sedang mila yang berada di kost hanya bisa senyum-senyum bahagia tak tertahankan, karena tinggal beberapa bulan lagi ia akan pulang kampung dan bertemu dengan kakak pertama yang selama ini membiayai pendidikannya.

Detik demi detik telah dilalui, waktu demi waktu telah dijalani, tak terasa 8 bulan telah berlalu. Waktu hukuman sofi telah usai, lulusan mila telah dilaksanakan. Sofi dan mila berjanji akan bertemu di terminal Magelang untuk pulang bersama. Tepat pukul 09.00 akhirnya penantian mila yang sudah menunggu di terminal itu membuahkan hasil, tampak dari kejauhan seorang gadis berjilbab dengan membawa koper besar dan menggendong tas kecil di pinggangnya. “Kak sofi!” mila mengawali pertemuan. Dengan berlari menuju tempat mila berdiri “Mila!” Kata sofi pada mila. Setengah jam mereka berdua berbincang mengenai kepulangan mereka ke rumah.
Thin, thin…suara klakson mobil besar tepat di depan sofi dan mila yang sedang menunggu datangnya bus. “Mbak, mau kemana?” Tanya kernet bus. “Ke Kaliangkrik” jawab sofi. “Masuk saja, nanti juga bus ini menuju ke sana!” kembali kernet bus menawarkan busnya untuk ditumpangi. Satu setengah jam perjalanan menuju kaliangkrik, tepat di depan pasar kaliangkrik bus itu menurunkan penumpang. Sofi dan mila segera turun dan menuju kampung halaman. Dalam perjalanan, mereka berbincang-bincang tentang pengalaman mereka di tempat masing-masing. Dan tak lupa mereka mengobrolkan kakak tersayang mereka “Kakak pasti tambah cantik ya?” mila mengawali perdebatan tentang kakak mereka yang kurus kering dimakan kekurangan. “Eh, jangan kaya gitu. Kakak itu tidak cantik, tapi pasti sekarang sudah super cantik dan manis! Haha” jawab sofi mengelak pada mila, “Ah, kakak terlalu melebih-lebihkan kak nisa” “Tidak apa-apa, kak nisa juga gak akan bangga jika dikatain cantik dan tidak akan marah jika dikatain tambah jelek.” Sanggah sofi yang tahu sifat kakaknya yang selalu menerima apa adanya. “Ah, daripada rebut-ribut mendingan kita buktikan saja nanti.” Tantang mila pada sofi, tak terasa mereka telah masuk wilayah desa nganjuk, kecamatan belitung, kabupaten magelang dimana sofi dan mila dibesarkan di sana.
“Assalamu’alaikum… kak Nisa, kami pulang!” salam sofi dan mila terlintas ketika akan memasuki rumah tua dari kayu yang dibangun beberapa puluh tahun yang lalu, tempat dimana sofi dan mila dilahirkan dan dibesarkan, bermain dan menghabiskan waktu kecilnya. “Wa’alaikumussalam… siapa ya di luar?” terdengar jawaban dari dalam rumah. Namun betapa kagetnya sofi dan mila kalau yang menjawab itu suara laki-laki. Dengan penasaran mereka menjawab “Kami, sofi dan mila.” “Oh, sebentar aku buka pintunya dulu.” Jawab lelaki itu dari dalam.

Jeglek…ngeeeeeeeeeek, suara pintu terbuka. “Alhamdulillah kalian pulang.” Sambutan lelaki penjaga rumah dengan gembira. Rasa tak tahan dan gembira terlintas di wajah sofi dan mila yang mengetahui yang menjaga rumahnya adalah pamannya sendiri, Paman Yudi. “Paman, bagaimana kabar paman? Hahahah” Tanya mila. “Eh, kebalik, Bukan kalian yang harus bertanya begitu, harusnya aku yang bertanya. Bagaimana kabar kalian? Bagaimana studi kalian? Berhasil kan? Hehehe” Tanya paman yudi sembari mengajak sofi dan mila masuk ke rumah. Namun rumah tampat sofi dan mila dilahirkan itu Nampak sepi dan tidak ada suara perempuan, dengan rasa penasaran dan kangen ingin bertemu kakaknya yang telah menggebu di hati sofi dan mila, mila bertanya pada pamannya “Kak nisa, kak niiiisa, kami pulang kak. Dimana kakak? Eh, Paman, dimana kak nisa? Dia baik-baik saja to paman?”. Paman yudi hanya dapat tersenyum dan menjawab pertanyaan itu dengan senyuman yang menggembirakan “Hmhm, Alhamdulillah. Kalian istirahat saja dulu, paman akan ceritakan sesuatu yang perlu kalian ketahui, tapi besok kalau kalian sudah tidak kecapean, dan tenaga kalian sudah pulih, dan badan kalian sudah segar kembali.” “Iya paman” jawab mereka sembari membawa bekal dan beberapa barang mereka menuju kamar dimana sofi dan mila bertengkar. “disinilah tempat kita bertengkar dan selalu kak nisa yang memisahkan, hmhm” sofi mengawali perbincangan di kamar yang sepi itu. “Hahah, kamu masih ingat to? Bikin malu aku saja! Tapi kak nisa dimana ya? Memang paman akan cerita apa besok?” sofi yang masih penasaran pada keadaan kakaknya bertanya pada mila dan dirinya sendiri. Pembicaraan berlanjut, namun karena tubuh mereka yang masih lemas akhirnya tak sadar mereka tertidur pulas hingga terdengar gema adzan subuh membangunkan mereka dari mimpi. “Assholatu khoirun minan naum” adzan bergema membangunkan sofi. “Mila ayo bangun udah subuh”. “nanti saja kak, aku masih lelah lagipula aku sedang ada halangan” jawab mila sambil mengembil selimut di kakinya. “hah, kamu itu tetep gak berubah, masih sama seperti dulu, sulit kalau disuruh bangun.” Jawab sofi yang kemudian terbangun dan mengambil air wudlu untuk melaksanakan shalat subuh.
“Alhamdulillah bisa melihat kembali cerahnya kampung halaman” Puji sofi kepada Allah yang masih memberi kesempatan sofi melihat tanah kelahirannya. Tampak dari pintu kayu yang terbuka itu, paman yudi dan istrinya berjalan menuju rumah sofi. Paman dan sang istri tampak tegang dengan membawa dua buah kotak terbungkus kertas kado berwarna hijau muda. Paman yudi dan isterinya segera masuk ke rumah, sofi yang masih sendirian memanggil mila yang masih tertidur. Setelah mila terbangun dari tidurnya dan membasuh muka, mereka berkumpul di ruang tamu bersama paman dan isterinya. “Sebelum paman menceritakan sesuatu tentang kakak kalian, paman ingin bertanya apakah kamu sudah lulus pembelajaran SMA mila? Dan apakah kamu sudah usai pembelajaran di pesantren al ikhlas sofi?” “iya paman, kami sudah menuntaskan pendidikan kami.” Jawab sofi dan mila. Setelah Paman yudi mendengar jawaban sofi dan mila yang tampak begitu meyakinkan, dengan segera paman menyerahkan masing-masing bungkusan yang sudah tertulis di luar bungkus itu nama sofi dan mila pada mereka berdua. “Alhamdulillah kalau kalian sudah menuntaskan pendidikan, dan ini bungkusan pesanan kakak kalian, dirawat ya!! Jangan sampai rusak!” pesan paman kepada sofi dan mila. Rasa penasaran akan keadaan kakak mereka terlintas di wajah mereka yang kembali murung dan tidak sabar ingin tahu kabarnya. Sofi dan mila terus mendesak pamannya yang berbelit-belit menceritakan keadaan kakaknya, sehingga pamannya menceritakan keadaan sebenarnya tentang kakaknya, Nisa.
Paman yudi mengawali ceritanya “Sebelum kalian mendengar cerita kakak kalian, tenangkan dulu hati kalian, jangan grogi ataupun marah. Begini, setahun yang lalu bungkusan itu dibuat saat kakak kalian menderita penyakit yang agak berat. Ia tidak mau dibawa ke rumah sakit, hingga akhirnya penyakit itu menjadi penyakit yang begitu berat. Dan terpaksa seluruh keluarga, teman dan tetangga yang berada di sini sepakat untuk membawa nisa ke rumah sakit. Mau tidak mau ia harus dirawat di rumah sakit. Seminggu lamanya ia menginap di rumah sakit, dan saat itu sebelum ia berpamitan kepada kita, ia berpesan supaya memberikan kedua bungkusan itu pada kalian dan jangan sampai mereka tahu keadaannya yang sebenarnya sebelum mereka lulus dan tuntas dari pendidikannya. Selang beberapa hari, ia dipanggil ke sisi Allah SWT.”  Sofi dan mila yang mendengar cerita itu, segera berlinanganlah air mata mereka menderasi situasi rumah yang sepi itu. “Kenapa paman tidak mengabarkan kepada kami?” Tanya mila membela. “Kakak kalian sudah berpesan, aku tidak berani menyampaikan kabar itu pada kalian.” Jawab paman yudi pada sofi dan mila yang masih berlinangan air mata.
Hening dan hanya terdengar suara gemuruh air mengalir di samping rumah ditemani semilir angin pagi menghias hati gundah sofi dan mila yang tak sampai menyampaikan rasa terima kasih mereka pada kakak mereka yang telah ikhlas dan berjuang dengan sepenuh jiwa membiayai pendidikan mereka sampai akhir. Paman yudi dan sang isteri yang tak kuat menahan sedih kembali ke rumahnya. Sofi dan mila yang termenung, tersungkur di ruang tamu hanya dapat meratap, dengan terbayang wajah kakaknya yang kurus kering, perlahan mereka membuka bungkusan yang dititipkan lewat paman yudi itu.
Dua bungkus dengan tujuan yang berbeda, masing-masing sofi dan mila diberi bungkusan yang berisikan benda berbeda, hanya selembar surat yang bentuknya sama. Pertama sofi membuka bungkusan itu dan membaca surat bersama adiknya, meski cara membaca mereka bersamaan dengan hiasan isak tangis, namun dalam hati mereka tampak jelas kakaknya sedang berbicara pada mereka.
Sofi Adikku tercinta, maaf kakak merasa tidak bisa memenuhi panggilan kalian untuk hidup bersama. Kakak merasa sudah tidak kuat menahan raga serasa ingin keluar dari bumi. Sering kakak memimpikan kalian menjadi manusia yang berguna. Kakak yakin kamu pasti sukses dalam penggalian ilmu kamu di pesantren al ikhlas. Kakak hanya bisa mendoakan semoga bermanfaat dan sekali lagi maaf tidak bisa mendampingi kamu bersama mila hidup bersama. Bersama bungkusan ini kakak berikan hadiah yang paling kamu sukai sewaktu kecil: Mangkuk kecil tempat makan kamu yang suka dibawa kemana-mana, Sebuah Alquran yang biasa buat ngaji ayah, dan satu hal yang paling membahagiakan kamu, kakak berikan resep masakan tempe clenuk. Kamu bisa baca menu itu di balik surat pengantar kakak ini. Tetap semangat menjalani hidup, dan maaf tidak bisa menjadi kakak yang dapat diandalkan dalam keluarga.
Kakak yang tak sempurna

Nisa
Sehabis membuka bungkusan sofi, kini giliran mila membuka bungkusan yang ditujukan padanya. Bungkusan itu berisikan sebuah jilbab yang biasa dipakai nisa ketika mengaji di tempat Ust. Mukhyar bersama dengan teman-temannya dulu. Selain jilbab terdapat sebuah Alquran, sebuah amplop dan selembar surat.
Adikku Mila, aku yakin adik pasti dapat lulus meski dengan nilai yang kurang karena kakak tahu adik punya kelemahan masalah pengingatan. Kalau adik pengin tahu sebabnya kenapa ingatan adik berkurang, sebab sewaktu adik kecil dulu pernah kakak menggendong adik hingga adik terjatuh dan kepala adik terbentur batu, kakak minta maaf hanya bisa menmberikan kabar lewat tulisan. Dan maaf tidak dapat menjadi kakak yang sempurna bagi adikku tercinta. Semoga dengan surat ini dapat memancing semangat adik untuk melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Kakak hanya dapat berdoa semoga suatu hari nanti adik dapat memperoleh penghidupan yang layak dibanding dengan kehidupan yang kakak alami. Jangan menyerah adikku, senyum adik sangat berharga untuk diri adik, dan jangan sekali-kali putus asa untuk menggapai cita dan cinta adik. Tetap senyum! hehehe
Kakak yang tak sempurna

Nisa
Senyuman kakak tersayang mereka masih tergambar jelas dalam ingatan sofi dan mila. Setelah sofi dan mila bersama-sama membuka bungkusan masing-masing, mereka bermaksud ziarah ke makam kakak tersayangnya. Lantas mereka menemui paman yudi untuk menunjukkan jalan menuju makam. Tak lama kemudian sampailah mereka di makam kakak tersayangnya, beberapa bacaan dan dzikir dibaca mereka. Setelah selesai membaca beberapa dzikir dan wirid, sofi sebagai orang tua memimpin doa di makam itu. doa telah dibacakan, mereka kembali pulang ke rumah. Di tengah perjalanan tiba-tiba sofi tersenyum dengan lega, mila yang kecil imut itupun ikut-ikutan tersenyum.
Senyum mereka kembali terpancar setelah menghayati isi surat kakak mereka. Mereka menerjemahkan surat dari kakak mereka dengan inti agar mereka jangan bersedih dengan kepergian sang kakak, dengan modal pantang menyerah kakak mereka berpesan, dan dengan tersenyum kakak mereka memberi semangat. Meski rasa bahagia telah muncul, namun senyum mereka masih bersama dengan linangan air mata sembari bersama-sama dalam gumam mereka mengatakan “Kakak, Aku rindu….!”

No comments:

Post a Comment