-PUSAKA PUSARA 18-
Kerlipan
bintang malam berhias bulan sabit ditemani dentingan jam dinding di ruangan remang-remang
di kamar asrama SMA Plus Al Ma’ruf Bandongan terkesan syahdu. Di pojok kamar kosong
itu tampak Lina sedang merenung, bersendu, dan terdengar dari bibirnya sedang
menyanyikan irama sendu kerinduan. Dengan duduk termenung, lutut di depan dada,
tangan mendekap kedua kaki, kepala tertunduk, ia menyirami pipinya yang hitam
manis dengan linangan air mata. Pada saat itulah, ia dikagetkan dengan ketukan
pintu tempat ia merenung.
Tok tok tok... “Siapa di dalam? Kok pintunya terkunci? Kalau ada yang tidur di
dalam, segera bangun. Udah jam 04.00!” tanya dan perintah pengurus asrama
“Iya mbak, Saya
bangun!” jawabnya dari dalam ruangan dengan nada terbata-bata.
Dengan wajah
pucat, mata kemerah-merahan akhirnya lina keluar dari ruangan. Langkahnya yang
lemas memaksa ia berjalan menuju mushalla untuk melaksanakan shalat shubuh.
Keadaan lina yang begitu pucat basi membuat teman sekelasnya penasaran. Hanya
beberapa teman yang berani bertanya kepada lina tentang keadaan lina yang
begitu memprihatinkan.
Meski Shalat
shubuh telah usai, namun kerudung merah terselubung mukena itu masih terbasahi
kucuran air mata. Suasana yang begitu tenang di dalam mushalla membuat lina tak
kuasa menahan badan yang makin tersungkur merunduk menuju tempat ia sujud.
tak berapa lama Kemudian...
“Mbak...
Bangun, sudah jam 06.45!” Suara merdu itu membangunkan lelap lina di dalam
mushalla Al Ma’ruf.
“Masya
Allah...! Aku bangun kesiangan, bisa-bisa aku terlambat masuk sekolah!” jawab
lina kaget sembari berdiri dan berlari menuju kamar tempat ia biasa mencurahkan
kelelahannya.
Tanpa basa-basi
ia mengambil peralatan yang dibutuhkan, dan berlari menuju kamar mandi. Dengan
tergesa-gesa ia menyanyikan irama gemercik air di kamar mandi dan tak terasa,
sudah terdengan keras dari komplek SMA Plus Al Ma’ruf...
Kriiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiing.......
Kriiiiiiiiiiiiiiiiiiiiing..... Kriiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiing......
Bel masuk kelas
berbunyi, lina yang baru saja selesai membasahi badan segera memakai seragam
putih abu-abu dan berlari menuju ke sekolah. Meskipun jarak dari asrama menuju
sekolah hanya 100 meter namun karena situasi yang begitu tidak memungkinkan
membuat jarak itu begitu jauh. Lina berlari layaknya kambing yang sedang
dikerumuni rombongan jama’ah singa kelaparan.
Sekitar 1 menit
lina berlari, sambil terengah-engah lina mengetuk pintu kelas XII IPS A1.
“Assalamu’alaikum...”
salam sapa ia lontarkan dari luar ruangan
“Wa’alaikumussalam...”
terdengar jawaban dari dalam ruangan
Sambil
terengah-engah kelelahan, lina membuka pintu dan alangkah terkejutnya lina
ketika ia hendak melangkah menuju ruangan, bukan sambutan hangat atau guru yang
marah karena ia terlambat, atau joko yang selalu menghina ketika ada siswa yang
telat. Namun lina hanya melihat seisi ruangan menatapnya dengan penuh
kekejutan. Tanpa suara, dan hanya terlihat Sastri, maya, joko, joni, sastro,
pak guru Fian, dan seluruh penghuni kelas ternganga melihat kedatangannya. Lina
pun terdiam serasa ada jurus patok bayang yang mengunci bayangannya sehingga ia
hanya berdiri di depan pintu sambil menatap mata seluruh siswa yang berada
dalam ruangan menatapnya penuh tanda tanya.
“Selamat Datang
Lina...! Silakan Duduk Ibu Lina!” sambil bergurau dan mempersilakan duduk, satu
suara suara keras itu keluar dari pak guru Fian yang sudah terlanjur mengawali
pembelajaran di kelas.
Lina yang
terdiri, terdiam di depan pintu dengan perlahan berjalan menuju tempat
duduknya. Maya, teman sebangkunya menunggu dengan wajah tertunduk sambil
memegang pena dan pura-pura tidak melihat kedatangan lina.
Lina segera
duduk, memasukkan tas ke dalam laci, dan membisikkan seuntaian kata pada maya.
“May, kenapa
ketika aku datang tidak seperti biasanya?”
“Gak apa-apa
kok!” Jawab maya cuek
“Apa ada yang
aneh denganku?” tanya lina semakin penasaran
“Gak apa-apa!
Dibilangin kok nggak percaya?!” jawab maya dengan suara agak
keras.
“yah udah, kalau
kamu nggak mau ngasih tau juga nggak apa-apa kok!” jawab
lina putus asa.
Tanpa ragu lina
mengawali pelajaran, ia mengambil buku, ballpoint dari dalam tas. Ketika
ia hendak mengambil penggaris yang ia letakkan di tas bagian dalam, alangkah
terkejutnya ia melihat sebuah garis-garis kecil bercorak dari bawah tas.
“Astaghfirullahal
‘adzim....! Kenapa aku jadi pikun?” dengan nada lirih agak jengkel ia
melontarkan kata itu, karena mendapati dirinya yang masih mengenakan sarung
kebanggaannya yang bercorak batikan bunga merah berhias garis-garis
kecil hitam masih dipakainya sampai ke sekolah.
“Pantas saja
ketika aku datang, seisi kelas memandangku dengan pandangan menantang!? Ini toh
sebabnya! Hehehe...” bisikan lina sambil tersenyum kecil yang tak kuasa ia
lontarkan.
Lina yang kecil
mungil dapat menguasai keadaan, meski dengan keadaan yang tidak karuan seperti
itu ia tetap konsen mengikuti pelajaran seperti biasanya.
*****
Kring Kring... bel istirahat berbunyi. Seluruh siswa berebut keluar kelas, kecuali
lina dan maya yang masih di dalam kelas. Karena penasaran, maya angkat bicara
terlebih dahulu.
“Lin, kenapa
kok sampai.......?” pertanyaan maya terputus dengan jawaban lina
“Ya... Aku juga
nggak tau kok bisa sampai sepikun ini? Perasaan tadi aku sudah pakai rok
abu-abu kok!” jawab lina memutus pertanyaan maya.
“Itu kan
perasaan kamu saja. Lain kali diteliti ah! Jangan sampai ke sekolah pakai
sarung, itu aja sarung tidur kamu kan? Aku sering melihat kamu tidur
pakai sarung itu!” jawab maya
“Heem...! Tapi
aku kan lupa, jadi aku nggak salah kan?” jawab lina dengan PD, tanpa
ragu dan tanpa rasa bersalah
“Ya udah, aku
mau ke kantin. Ikutan nggak?” tawar maya pada lina yang terlihat
kelaparan.
“Yeah,
kebetulan aku laper banget dan kebetulan tadi pagi aku belum sarapan.
Mau pusa sekalian, keburu udah lapar sekarang!” jawab lina dengan
semangat.
Sambil berjalan
menuju kantin, tawa lina dan maya tak kunjung henti menghias suasana depan
kelas yang ia lewati begitu gelap. Mati lampu dan mendung semakin menutup aura
sekolah yang megah itu.
“Mau makan
apa kamu?” maya menawar makanan
“Aku... satu
bungkus nasi kucing, dua lembar mendhoan (Gorengan setengah matang), secangkir
kecil teh panas, tiga buah cabai hijau!” lina menjawab tawaran maya
Makanan telah
dipesan, sambil menunggu dihidangkan, pembicaraan mereka yang terputus di dalam
kelas kembali berlangsung. Maya yang masih penasaran dengan kelakuan lina
merasa ada sesuatu yang mengganjal pada diri lina.
“Lin...?” maya
mengawali pembicaraan.
“Apa? Gimana?
Kenapa? Kapan? Haha” jawab lina sembari bergurau
“Aku serius!”
bantah maya membela diri. “Kenapa kamu kelihatan aneh? Tadi malam begadang?
Atau niatnnya mau puasa tapi nggak jadi? Atau putus cinta? Atau
kelaparan? Atau apa...??”
“Nggak tahu
may, aku ngerasa akhir-akhir ini pikiranku agak kacau. Aku juga nggak
tahu kenapa?” lina mengeluhkan kesahnya selama ini.
“O... gitu!
Bilang gitu aja repot?” jawab maya dengan nada lega meski masih
terlintas beberapa pertanyaan di dalam pikirannya. “Ya udah, makan dulu aja!
Nanti aku introgasi kamu di asrama!” tawar maya pada lina yang di depan
mereka telah terhidang seluruh makanan yang dipesan.
“Eh, lin... PR
Matematika kamu udah dikerjain?”
“Udah, kenapa?”
jawab lina sembari memasukkan suapan nasi kucing
“Aku minta
tolong boleh nggak?”
“gimana?”
tanya lina penasaran
“Kamu dapat
tugas Matrik kan, sedangkan aku dapat tugas Integral. Aku sama sekali nggak paham
sama integral. Aku minta kamu nanti ngajarin aku ya?” keluh maya dengan nada
merintih
“ya, tergantung
sikon. Kalau nanti suruh ngerjain di depan kelas aku nggak bisa
turun tangan. Tapi kalau nggak disuruh ngerjain di depan kelas,
nanti aku ajarin. Tapi aku nggak mau ngerjakan tugas kamu!
Itu kamu tugas kamu!” jawab lina menyetujui permintaan maya untuk mengajari
cara mengerjakan tugasnya.
“Sip!” jawab
lina kegirangan.
Perbincangan
mereka terus berlanjut tentang pekerjaan dan tugas sekolah, hingga tak terasa
15 menit mereka lalui. Makanan telah selesai disantap, rasa lapar tak lagi
menghantui lina yang semalaman perutnya belum terisi sama sekali. Bel masuk
kelas terdengar, mereka kembali ke kelas untuk mengikuti pelajaran sampai akhir
jam sekolah.
*****
“... Ingat!
Sekali lagi bapak pesan pada kalian. Sekarang
sudah tanggal 10 Maret 2011. Jangan lupa belajar, karena sebentar lagi kalian
akan melaksanakan Ujian Nasional, bapak tidak mau kalau dari SMA Plus ini ada
yang tidak lulus. Pesan bapak pokonya pusatkan pikiran kalian pada kelulusan.
Bapak tidak terlalu prihatin jika sekolah kita tidak mendapatkan peringkat
dalam kategori sekolah favorit, tapi jika ada salah satu dari kalian yang tidak
lulus, bapak lebih prihatin.” Pesan pak tomo mengakhiri pelajaran Bahasa
Inggris sebagai penutup jam sekolah.
“Iya pak.”
Jawab seluruh isi kelas serentak.
“Ya, mari kita
akhiri pelajaran ini dengan membaca doa kaffarotul majlis dan akhiri dengan
Hamdalah bersama-sama. Bismillahirrahmanirrahim subhanakallahumma wabihamdika
asyhadu an laailaha illa anta astaghfiruka wa atubu ilaik.
Alhamdulillahirabbil’alamin. Bapak akhiri wassalamu’alaikum warahmatullahi
wabarokatuh.” Pak tomo mengakhiri pertemuan
“Wa’alaikumussalam
warahmatullahi wabarakatuh.”
Seluruh siswa
bertebaran, berlarian menuju asrama Al Ma’ruf. 50 meter dari komplek sekolah
terdapat simpangan yang memisahkan putra dan putri, Siswa SMA menuju asrama
putra, dan siswi SMA menuju asrama putri.
“Alhamdulillah...
akhirnya sampai juga di kamar.” Sembari tiduran di dalam kamar asrama, Lina
mengawali perbincangan dengan maya. “May, sebenarnya aku agak malu tadi di
sekolah.”
“Kenapa toh?”
tanya penasaran maya yang terbaring di samping lina
“Bayangin
aja may, masa aku berangkat sekolah nggak pakai rok malah pakai
sarung? Coba yang kayak gitu kamu! Gimana perasaan kamu?” jawab
lina sambil tertawa dan memiringkan badan menghadap wajah maya yang tampak
lemas.
“Ya... pasti
aku malu banget! Lin... kamu pasti nyimpen sesuatu, tapi aku nggak mau
cari tahu dulu siang ini. Aku udah lelah, lemes, ngantuk. Nanti malam
saja aku introgasi kamu. Udah ya lin, aku mau pergi ke alam sana
dulu?! Jangan dipikir telalu dalam, nanti malah tambah parah kamu! hehe” jawab
maya sederhana sembari tersenyum melepaskan kantuk yang melanda dirinya.
Tanpa terasa maya
terlelap, namun lina yang terbaring masih terkedip-kedip melihat langit-langit
putih asrama yang tampak seperti film layar lebar. Meski langit-langit asrama
itu putih bersih, namun dapat membuat mata lina berbinar-binar hingga tak
terasa tetesan air kembali membasahi pipinya.
“Ya Allah,
kenapa perasaanku tidak enak seperti ini?”
bisik lina merintih. “Beri hambaMu ini pertolongan agar dapat menemukan jawaban
atas keresahan yang melanda diriku ini! Amin.” Panjatan doa lina yang terlintas
menghias nyanyian sendunya. Lina yang masih dihantui rasa penasaran akhirnya
melepaskan lelahnya hingga undangan shalat jama’ah ashar membangunkannya dari
tidurnya.
“May, udah ashar
bangun dulu!” lina membangunkan maya
“Iya lin, aku
bangun tapi ada polisi tidur di depanku (menstruasi). Aku libur dulu!”
jawab Maya nyantai. ”Kamu berangkat dulu, jangan lupa habis shalat nanti
doain aku supaya aku lulus dan dapat nerusin ke kursi perguruan tinggi.”
“Ya, aku
berangkat shalat dulu.”
Lina berjalan
menuju mushalla lantas melaksanakan shalat jama’ah bersama-sama siswi lain yang
berada di asrama. Kegiatan setelah shalat ashar masih seperti biasa, yaitu
mujahadah bersama sampai menjelang maghrib, shalat maghrib dilanjutkan ta’lim
alquran, hingga isya’, shalat isya’ dilanjutkan pengkajian kitab tentang
kewanitaan (Risalatul mahidz “kitab tentang haidl dan nifas” dan i’anatun nisa
“kitab tentang hak-hak wanita dan risalah tentang haid”). Pengkajian kitab
telah usai, di depan pintu kamar...
“Jam berapa
Lin?” tanya siti, teman lina yang menetap di kamar sebelah.
“Jam setengah
sepuluh mbak!” jawab lina tegas sambil menengok jam yang berada di dalam kamar
“Kamu mau
muhasabah nggak malam ini?” tanya siti
“Belum tahu
nanti, kalau aku bangun malam ya tetap muhasabah. Tapi sebaliknya...! hehe.”
Jawab lina sembari tersenyum. “gimana toh mbak?” tawar lina penasaran
“Ya... kalau
kamu nanti bangun, aku minta tolong bangunkan aku juga ya?!” jawab siti sembari
masuk ke kamar
“O... iya, sip!
Insya Allah nanti kalau aku bangun, mbak siti aku bangunkan!”
“Terima kasih
lina.” Jawab siti sembari menutup pintu
“Sama-sama
mbak.”
Lina masuk
kamar yang masih gelap gulita, sembari berjalan meraba ia mencari sakelar
utnuk menyalakan lampu. Lampu telah hidup, ia berjalan sambil menaruh jilbab di
atas almari, kitab yang ia bawa ditaruh di almari kitab, dan sarung
kebanggannya ia kenakan dan ketika ia hendak melepaskan lelahnya di atas karpet
hijau di dalam kamar asrama itu, tiba-tiba...
“Duarrrrrrrrrrrrr......!”
bentak maya mengagetkan lina dari belakang
“Masya Allah
Maya, apa-apaan sih kamu. Aneh-aneh saja! Jantungku mau keluar nih!”
jawab lina mengeluh.
“Iya, biar kamu
semangat aja! Kan udah malam, jadi kalau nggak ada yang bikin melek,
kamu pasti tidur!” jawab maya
“Terus..??”
tanya lina penasaran
“Masak Yuk...!”
ajak maya pada lina yang sudah meletakkan tubuhnya di atas karpet sambil
tersungkur layaknya udang dikeringkan berslimutkan sarung kebanggaannya.
“Mmmmmmmm....
boleh juga. Kebetulan aku juga lapar!” lina menyetujui permintaan maya.
“Tapi....”
“Tapi apa?”
tanya maya
“Aku nggak punya
beras. Berasku habis dua hari yang lalu. Kamu masih punya?”
“Nyantai aja
Lin. Aku masih punya peralatan lengkap, berasku masih banyak, bumbu-bumbu
juga masih punya, apa lagi?”
“Punya sayur?
Hehe” tanya lina cengengesan
“Hehe... kalau
itu, persediaan di gudang almariku sudah kosong. Gampang, itu urusan nanti.
Yang penting kita buat nasi dulu, OK?” tawar maya
“Yeah, go
for attack! (berangkat masak).” Jawab lina semangat dengan berdiri sembari
berjalan menuju medan peperangan yang masih mengenakan sarung kebanggaannya
terlilit di pundak kanan.
Saaltullaha
bariina yuballighuna amanina... na
na na na na na na......
sebuah nada shalawat mengiring lina dan maya yang berlarian menuju dapur
sembari membawa beras dan katel (alat menanak nasi). Meski dengan nafas
yang terengis-engis mereka berusaha menghidupkan api yang masih membara
menggunakan kayu bakar.
Setengah jam berlalu, nasi sudah matang namun Lina
yang duduk termenung di depan pintu dapur hampir tertidur dan tiba-tiba...
“Lin, nasinya udah matang. kamu tahu nggak dimana nampan
tempat nasinya?” tanya maya mengawali
“Aku nggak tahu may!” Jawab lina Kaget “Sambil berjalan menuju
dapur tempat maya menanak nasi”
“Woooeey... mbak-mbak di atas siapa yang tahu dimana nampannya?” Teriak
Maya dari dapur.
“Disini...! hahahaha” Suara keras jawaban terdengar dari asrama putra
“Aku nggak nanya kamu, aku nanya yang cewek-cewek! Cowok nggak
usah ikut campur! Tahu?” jawab lina keras
“Uh...! masa nggak ada yang tahu dimana nampannya?” keluh maya
jengkel yang kedapatan mendengar tawa liar dari asrama putra.
“udah lah may, aku cari dulu nampannya. Kamu tunggu disini OK?”
Tawar lina
“Ya,aku tunggu disini saja!”
Lina berjalan mengelilingi asrama putri untuk mencari nampan. Kamar demi
kamar, ruangan demi ruangan, langkah demi langkah dilalui lina, hingga akhirnya
15 menit berlalu dan nampan telah ditemukan.
“May, nih nampannya! Jangan nangis ya? Hehe” canda lina mengawali
penuangan nasi sambil menyodorkan nampan ke arah maya
Maya segera menuangkan nasi ke
dalam nampan. Setelah nasi dituang, mereka kembali ke kamar, dan suara nyaring
terdengar mengiring langkah mereka menuju kamar.
“Makan Makan, Makan Makan.....!” tawar lina kepada seluruh santri yang
berada di asrama. Meski tawaran itu tidak mendapat jawaban, namun telah gugur
sudah kewajiban lina untuk menawarkan makanan pada siapapun yang tahu kalau
dirinya telah usai memasak. Sesampai di kamar, nasi telah terhidang di depan
mata, mata maya dan lina saling memandang seakan penuh tanya dan penuh harap.
Dengan nada lirih, dan cengengesan maya mengawali perbincangan...
“Lauknya mana? Hehe”
“Kamu yang tanggung jawab!” jawab lina sembari menunjuk maya
“Yah udah, kamu tunggu disini dulu. Aku cari lauknya!” jawab maya
sambil berdiri dan keluar kamar mencari lauk untuk makan mereka.
Lina menunggu maya yang kesana kemari mencari lauk, hingga terdengar
suara maya yang membentak-bentak keras di luar dengan sedikit menggedor pintu
tetangga. “Whey... dimana sayurku?” Lina yang mendengar hanya tersenyum
kecil, dengan pengharapan mendapat lauk or sayur untuk makan malam ini. Hingga
tak terasa, 10 menit berlalu bagi penantian lina.
“Lin...!” kata maya sambil membuka pintu
“Apa?” tanya lina dari dalam. “Dapet nggak lauknya?”
“Alhamdulillah dapet, nyantai aja! Siapa dulu dong yang cari?
MAYA!” jawab maya membanggakan diri. “Ayo, makan dulu lin. Nasinya keburu
dingin!”
Tanpa menunggu lama sayur dituang dan mereka memulai makan, dan di
tengah situasi makan mereka.
“Eh, may... dapat dari mana kamu lauknya?” Tanya lina mengawali
“anu... aku minta sayur kol di kamar 2, aku ambil kangkung di
kamar 8, dan sopnya aku minta di kamar 21A.” jawab maya sambil mengunyah
makanan.
“Pinter juga ya kamu?” puji lina pada maya
“Tentu dong, siapa dulu? MAYA?” maya kembali membanggakan
dirinya.
Suapan demi suapan diterka mereka, detik demi detik terlalui, waktu tak
terasa sudah berjalan selama 15 menit. Nasi tak terasa sudah tinggal 1 suapan,
sayur tinggal kuahnya, dan lapar tinggal kenyangnya. Lina merasa sudah cukup
kenyang dan cukup tenaga untuk bekal tidur.
“Alhamdulillah, lin aku sudah kenyang. Tadi aku sudah cari sayur,
sekarang giliran kamu yang tugas nyuci nampan sama peralatan
dapurnya. Setuju kan?” maya menugaskan lina untuk mencuci seluruh peralatan
yang baru saja digunakan.
“Ya, aku setuju!” lina menyetujui penugasan yang ditimpakan padanya dan
dengan segera mengemas seluruh peralatan masak dan dibawa ke MCK untuk mencuci
peralatan tersebut. Sedangkan maya menunggu di kamar sambil mendendangkan
irama-irama rohani yang biasa dilantunkan di panggung-panggung. Shalawat
nariyah, shalawat thibbil qulub tak luput dari mulut maya yang sedang terbaring
di kamar. Sedangkan lina masih berbasah-basah di dalam kamar mandi sembari
mencuci peralatan masak.
Pencucian peralatan telah usai, lina berjalan kembali ke kamar yang
ternyata dari dalam kamar terdengar bsisikan merdu maya. Ya... lina mendapati
maya sudah terlentang mendekap sebuah nadzam Alfiah di dadanya dan memegang
sebuah pencil di tangan kanan, berselimut sarung merah, tertidur lelap, sambil
mendendangkan irama khas disertai dengan menunjukkan kebolehannya melukis
Atlas Dunia di atas bantal kesayangannya.
“Mbak maya nih aneh-aneh saja!” bisik lina yang baru saja masuk ke kamar
sambil tersenyum manis.
Lina berbaring di samping maya, meski dengan hati yang agak dongkol
karena mendengar suara maya yang semakin keras, namun lina tetap berusaha
menahan diri agar dapat tertidur. Satu jam lina hanya menjalani malam itu
dengan kedipan demi kedipan, bukan karena suara maya yang keras ketika tidur
yang membuat lina tidak bisa terlelap, tapi rasa resah yang dialami kemarin
malam masih membayangi dirinya.
“Ya Allah, berilah aku jawaban kenapa perasaanku tidak begitu
mengenakkan?” gusarnya dalam dada. “Ah, daripada aku bimbang lebih baik
aku berusaha untuk melelapkan mataku. Bersanding dengan maya yang begitu merdu
suaranya, bahkan ketika tidur!” gumam lina yang hampir terlahir dari mulut kecilnya.
Suara maya makin keras, lehernya makin kencang, desusan nafasnya kian
menggirang, ditambah gemercik air hujan di malam itu membuat suasana kamar
semakin ramai, lina berusaha memejamkan matanya dengan beberapa cara:
Menghafalkan juz amma yang akan disetorkan besok pagi, tidak berhasil.
Menghafal nadzam asmaul chusna, masih juga belum berhasil. Menghidupkan lampu
dan membaca beberapa kitab kuning yang sudah tersedia di kamar juga belum
berhasil membuat dirinya memejamkan mata, hingga akhirnya ia beranikan diri
untuk mengagetkan maya. Dengan berjalan layaknya seorang ninja, lina berjalan
menuju kamar mandi dan sedikit mengambil air setengah ember kecil yang biasa ia
digunakan untuk mengambil air wudlu.
Tak berapa lama lina tiba di kamar, cipratan demi cipratan ia teteskan
ke kulit maya yang putih, namun maya masih mendendangkan lagu kesukaannya.
Karena Lina yang kurang sabar tiba-tiba...
Byuuuurrrrrr... seluruh sisa air ia tumpahkan di sampiang
maya hingga cipratan yang air mengenai sebagian wajah maya.
“Banjir, banjir, banjir...‼!” teriak maya yang baru saja terbangun
Lina hanya cekikikan dalam hati ketika memperhatikan tingkah maya.
“Ada apa may?” Kata lina sambil mengucek mata
“O... ternyata hujan, mungkin bocor lin atapnya!” Jawab maya malas dan setengah
sadar sambil memperhatikan situasi sekitar. “Lihat lin, masa bisa basah
setengah badan? Aneh kan?” sambungnya sembari kembali memasukkan diri ke dalam
selimut dan hendak kembali mengulang mimpi-mimpinya.
“Eh, may... may... mayaaaaaaaa.....!? nggak mau bangun sekalian
shalat tahajjud?” kata lina sambil menyeret selimut maya.
“Aaaa....h, linaaaa... besok lagi bisa kan? Toh kalau aku shalat
.......” jawab maya setengah-setengah dan kembali tertidur.
“May...! Ayo bangun...!” Kembali lina membangunkan maya
“Ya...” Jawab maya malas.
Dengan rasa malas dan setengah sadar, akhirnya maya terbangun dan
berjalan menuju kamar mandi. Langkah demi langkah ia lalui hingga ke kamar
mandi, dan sesampai di kamar mandi...
“Eiiiiiiiit... dimana aku?” kata Maya heran. “Masya Allah... kenapa aku
disini?”
Haha, ternyata Maya yang lugu, manis, berkulit putih dan penakut itu
ternyata baru saja sadar ketika ia di kamar mandi. Dengan rasa takut yang
menggirang, maya segera baru saja sadar bahwa dirinya telah di kamar mandi, ia langsung
berlari secepat kilat menuju kamar.
“Lin... lin.... linaaaa..... aku dibawa jin ke kamar mandi!” katanya
gugup sambil berlari menuju kamar
Sesampai di depan kamar...
Gobrak.. (mendobrak pintu) suara pintu kamar digedor tanpa ijin oleh
maya
“Ada apa may?” Tanya lina yang baru akan terlelap
“A... a... anu .... lin.... a... a.... a.... ku di.....” Kata maya gagap
“Te... rus... a... a.... a.... pa....?” sahut lina sambil menirukan gaya
maya yang sedang gugup
“A.. ku.... di...”
“Aku apa?” lina kembali menyahut perkataan maya
“A.. ku.... di... bawa....” Kembali gagap maya ditanggap sambil menelan
air liur pahitnya
“Dibawa apa?” tanya lina semakin penasaran sambil memendam tawa
“Di.. bawa jin... lin..... ke kamar mandi! Bayangin lin...‼
seremmm... aku takut‼” jawab maya yang telah sedikit meneteskan air mata
ketakutan.
Lina yang baru saja terbangun dan melihat air mata maya, meski tidak
begitu jelas hanya terpantul oleh sinar lampu kecil 5 watt itu, sangat merasa
bersalah karena telah ngerjain maya yang lugu.
“udah May. Kamu nggak usah shalat dulu. Lanjutin Tidur
saja! Biar aku yang shalat, tadi aku udah merem kok!” lina menenangkan
Maya yang masih ketakutan, kembali membaringkan badan sambil menoleh
kanan dan kiri seperti ada yang sedang memperhatikannya menempelkan tubuh di
atas karpet.
Maya kembali tertidur, lina yang sudah sadar 100% berjalan ke mushalla
asrama dan mengerjakan beberapa raka’at shalat sunat. Tanpa terasa detik begitu
cepat berlalu, dari kejauhan terdengar gema yang keras dan meledakkan
telinga...
Ashalatau khairun minan nauuum...
Adzan shubuh telah dikumandangkan, lina masih tersungkur di atas
sajadah. Para pengurus asarama kesana-kemari membangunkan seluruh isi asrama.
Tak luput, maya juga dibangunkan mereka. Kini pagi telah kembali menyapa,
seluruh isi asrama hendak menjalankan ibadah shalat shubuh berjama’ah di
mushalla asrama.
*****
“Lina... bangun udah jam 06.00” kata salah satu pengurus asrama
membangunkan lina yang masih tersungkur di dalam mushalla
“Emmm...hm...hm....” Jawab lina sambil menggeliat “Mbak, sekarang hari
apa?”
“Hari Minggu” sahutnya
“Aaa.....h...tidur lagi ah.” Lina menyepelekan
“Eeee.iiii... jangan tidur lagi. Kamu dapat jadwal piket hari ini.”
“Piket apa mbak?” sahut lina masih malas.
“Bersihin komplek A dan B.” jawabnya tegas
“What’s...????” jawab lina melotot 100% sadar. “Yang bener mbak?”
“nggak, cuman bersihin kamar kamu sama sebelah kamu kok!”
“Lho... tadi kata mbak....”
“Ya... kalau kamu tidak digituin, kamu nggak mau bangun
sih...” katanya enteng “Udah cepetan Lina! Mbak pengen bersihin
mushalla ini dulu. Kalau kamu masih disini, mbak kan nggak bisa bersihin
mushalla ini. Ya kan?”
“Iya...hehehe” jawab lina cengengesan. “Siap mbak, aku berangkat.”
Lina berjalan menuju kamar dan masih mengenakan mukena yang ia gunakan
untuk berjama’ah, dan dengan bergegas ia mengambil sapu dan seluruh peralatan
kebersihan.
Pagi hari libur untuk pengkajian kitab Islami di asrama Al Ma’aruf itu
terasa ramai dengan terlihatnya seluruh penghuni asrama membersihkan kamar
masing-masing karena hari minggu, tak luput juga maya dan lina. Lina dan maya
terlihat ramai membersihkan kamar yang mereka huni mencurahkan kelelahan,
melepaskan lemas, dan membuat lukisan peta dunia.
“Lin, karpetnya mau dicuci nggak?” Maya mengawali perbincangan
“Terserah kamu aja May, aku ngikut!” Sahut Lina
“Yeah, kalau kamu ngikut aku, kita bersihkan seluruh kamar mulai
dari A sampai Z. setuju?” Maya mengawali perintah sambil membawa Ekrak dan
berjalan menuju pintu sembari menunjuk Almari. “Lin, kamu bersihkan almarinya,
pokoknya seluruh sampah yang ada di sana, hanguskan!” (sambil menggesekkan
tangan ke leher)
“Laksanakan, Komandan!” Sahut lina sambil menghormat seperti halnya
polisi yang akan melaksanakan tugas. “Tapi...” tiba-tiba rasa canggung tampak
dari diri lina
“Kenapa?”
“Aku tidak kuat kalau ngangkat karpetnya sendirian.” Jawab lina
“Nggak masalah, nanti karpetnya kita cuci bersama.” Sahut maya
“Siap.”
Lina dan Maya mulai membersihkan ruangan, mulai dari menata buku
sekolah, menata kitab Islami yang biasa dikaji, menghanguskan sampah yang agak
menumpuk di kamar, merapikan pakaian, mencuci karpet, menjemur bantal, mencuci
selimut, hingga membersihkan sarang laba-laba yang ada di kamar. Tak terasa
setengah hari berlalu, dan ketika shalat dzuhur telah usai dijalankan, kamar
sudah rapi, pakaian sudah bersih, karpet sudah kering, selimut sudah tertata di
dalam kamar. Lina dan Maya kembali ke dalam kamar, kembali perasaan Lina tidak
enak.
Dan di dalam kamar...
“May, aku ingin ketemu ayah.” Lina mengawali perbincangan
“Ya... telphone saja ayah kamu. Beres kan? Atau minta saja ayah kesini
karena sebentar lagi kan ujian, jadi biar ayah kamu tahu dan memberikan
semangat belajar buat kamu?! hihi” Jawab Maya sepele sambil memberikan cahaya
kebahagiaan pada lina yang tampak murung
“Tapi...”
“Tapi apa?” Tanya Maya
“Ayah sudah wafat 3 tahun yang lalu ketika aku lulus SMP.” Sahut lina
“Innalillah.. Kenapa kamu nggak pernah cerita-cerita ke aku kalau
ayah kamu sudah tiada?” Jawab lina menyayangkan watak Lina yang pendiam. “Kita
kan sudah 1 bulan berteman, masa aku baru tahu kalau teman sekamarku sudah
tidak punya ayah?”
“Emmmm... Aku juga nggak mau kamu tahu latar belakangku!” sahut
lina
“Kenapa?” Tanya Maya penasaran
“Karena... Aku.......”
“karena aku apa....?” Sahut Maya keheranan
“Nggak apa-apa kok!” jawab lina sepele
“Ah... kamu! Tapi kalau ibu kamu masih ada kan?”
“Alhamdulillah masih ada.” Jawab lina
“Gini aja, kamu telphone ibu saja. Minta beliau ke sini terus
kamu bilang kalau kamu kangen ayah kamu. Nanti kan di rumah, ibu pasti
membacakan dan menghadiahkan kalimah tayyibah pada almarhum ayah kamu yang
sudah berada di alam sana!? Setuju?” maya memberi semangat pada lina
“Ya... nanti sore aku telphone ibu saja.”
“Lho kok nanti sore? Sekarang aja lagi!” Kata Maya sambil
menyeret tangan Lina yang masih terbaring dan mengajak lina ke kantor pengurus
asrama untuk meminjam telephone.
*****
Di depan kantor pengurus asrama...
Thok thok thok... Assalamu’alaikum.
“Wa’alaikumussalam” terdengar suara dari dalam ruangan yang
dengan perlahan terdengar pula suara langkah kaki menuju pintu.
“Eh, mbak maya. Ada apa ya? Apakah ada yang perlu saya bantu?” Kata-kata
manis yang keluar dari mulut Siti Malihah, salah satu pengurus yang ditugaskan
untuk menjaga kantor asrama bagian perhubungan dengan pihak luar.
“Maaf mbak siti, ini... teman sekamar saya Lina Maulida bermaksud
meminjam telaphone untuk menghubungi keluarga di rumah.” Jawab Maya lembut dan
menunjukkan wajah manis merona
“Ooooh, mau minta bekal ya?” sahut siti
“Bukan mbak siti, tapi Cuma mau telphone ibu saja. Ada sesuatu yang
penting.” Jawab lina serentak
“Penting atau genting? Hem?” Siti kembali bertanya
“Penting mbak, perasaan saya akhir-akhir ini tidak enak.” Jawab Lina
“Oh gitu, ya silakan. Gunakan waktu telphone sebaik-baiknya.
Untung kalian berdua cepet-cepet datang kesini. Kalau tidak sudah antre nanti
jam 15.00 baru dapat giliran. Lihat tuh di belakang!” Jawab siti sembari
menunjuk arah belakang Maya dan Lina yang ternyata di belakangnya sudah tampak
berbaris penghuni asrama yang berkeinginan menghubungi keluarga di rumah. “Eh,
jangan lupa maksimal 5 Menit saja. OK?”
“Sip, beres... Mbak Siti Malihah yang cantik!” Jawab Lina dan Maya
serentak
Detik demi detik berlalu, lina menghubungi ibunya di rumah sedangkan
maya menunggu di luar area telephone. Yaa.. tidak begitu jauh, masih satu
ruangan namun suara lina tidak sampai ke telinga maya. Lima menit berlalu, dari
kejauhan maya melihat lina sudah tersenyum girang.
“Sudah Lin?” tanya Maya yang sudah tidah sabar mengetahui apa yang lina
bicarakan di telephone
“Alhamdulillah sudah.” Jawab lina
“Terus gimana hasilnya?” Tanya Maya penasaran
“Nanti saja.” Sahut lina sambil berjalan menuju pintu dan menyapa siti
yang duduk menunggu maya dan lina keluar
“Mbak lina, sudah telephone keluarga di rumah?” tanya siti sederhana
“Alhamdulillah sudah mbak. Terima kasih, kami kembali ke asrama dulu?!”
Sahut lina
“Ya, jangan lupa. Kalau ke kamar hati-hati, pakai helm dan bawa surat
kelengkapan berkendara, banyak polisi! hehe” Siti menyahut dengan gurauan
“Ya mbak, kami sudah membawa surat-surat lengkap kok. Helm juga
sudah membawa, ditambah kapalnya juga sudah ada. Kapal kaki! Hehehe” jawab maya
bergurau
“Ih, mbak siti aneh-aneh saja. Hehe. Ya sudah, kami kembali ke kamar.
Assalamu’alaikum.” Lina berpamitan dari kantor dan segera berjalan menuju kamat
“Wa’alaikumussalam warahmatullah.”
Lina dan Maya kembali ke kamar. Di dalam kamar, terbaring, nyantai, dan
cuaca agak panas obrolan kembali terjadi antara maya dan lina...
“Lin, hasilnya gimana tadi?” Tanya Maya penasaran
Lina hanya menjawab dengan senyuman.
“Eh, malah tersenyum? Hasilnya gimana kok malah senyum-senyum?
Jangan-jangan...” sahut maya sekan menebak apa yang akan terjadi
“Jangan-jangan apa?” Lina keheranan
“Kamu dijodohkan sama cowok idaman kamu ya?” Maya menebak
“Emmmm.... Boleh juga, tapi itu belum 100%.” Jawab lina
“Terus apa?”
“Ibu mau kesini besok.” Jawab lina kegirangan
“Oh, ibu mau kesini toh? Terus mau apa kamu?” tanya maya
penasaran
“Ya, aku mau curhat aja ma ibu. Aku kangen banget sama ayah.
Terus besok aku mau pulang ke rumah nemuin ayah di rumah! Hehe” Jawab Lina sederhana
Maya merasa ada yang aneh dengan Lina, namun perasaan itu dihiraukannya
dan... “Cari ayah baru saja gimana lin?” saran maya cengengesan
“Ah, nggak ah. Aku nggak mau punya ayah baru.” Jawab lina
tanpa pertimbangan
“Lin, jam berapa sekarang?” Maya bermaksud mengakhiri perbincangan
“Jam setengah dua.”
“Aku tidur dulu ya? Ngantuk banget nih!”
“Ya, kamu tidur saja may. Aku nggak mungkin ganggu kamu lagi kok!?”
“Maksud kamu nggak ganggu
lagi apa? Kok bisa gitu?” tanya Maya penasaran dengan jawaban
lina yang aneh sembari menyelimutkan diri ke dalam sarung
“nggak apa-apa kok May. Tidur aja! Nanti aku bangunkan deh
kalau sudah masuk waktu ashar.”
“Zeah.. terima kasih.”
Maya tertidur, namun lina malah kebingungan dengan menghadap secarik
kertas dengan menulis beberapa huruf, menghadap sebuah gunting dan sebuah
kardus sambil memotong-motong kertas yang tidak diketahui bentuknya. Beberapa
barang dibungkus dalam kardus, begitupun secarik kertas yang telah ditulis dan
beberapa potongan kertas yang telah dipotong-potong, dan kardus itu dibungkus
rapi dan diletakkan di dalam almari baju lina.
*****
Gema adzan ashar terdengar dari Masjid Jami’ Al Kautsar yang agak jauh
dari asrama, maya terbangun dan ketika sadar maya melihat lina tertunduk di
atas meja mengaji.
“Lina, gimana sih kamu? Katanya mau bangunin aku? Malah kamu
tidur sendiri?” Gertak maya yang baru saja terbangun. “Ayo bangun, sudah
waktunya shalat!” Maya mencoba membangunkan lina, namun lina tak juga
terbangun. Jangankan sadar, bergerak sedikit pun tidak.
“Lin, lin, lina... ehhhh, ayo cepetan bangun udah waktunya
shalat! Cepet bangun lin.. lina!” kembali maya mencoba membangunkan lina sambil
menggerak-gerakan badan lina. Namun alangkah kagetnya maya ketika membangunkan
lina yang tertidur itu, bukan lina yang biasanya. Lina ketika dibangunkan maya,
tidak bergegas berdiri namun malah ambruk tersungkur di atas karpet
hijaunya. Dan ketika maya membalikkan badan lina...
“Lin... lina... lina... bangun lin, sudah waktuny......” kata maya
terputus ketika melihat di bibir lina tampak mengalir air merah yang tidak
asing lagi bagi maya. Seketika itu, maya kebingungan. Hanya teriak minta tolong
yang ia lontarkan sehingga seluruh penghuni asrama komplek A mendengar jeritan
maya sehingga seluruh penghuni asrama berbondong-bondong datang ke kamar maya
hingga kamarnya tampak begitu penuh dengan manusia. Tak luput dari itu,
pengurus asrama juga mendatangi asal suara dari kamar maya.
“Ada apa? Tolong minggir‼” kata salah satu pengurus yang baru saja
datang dan menyela ke kamar maya.
“Lina mbak... lina... aku takut! Hik hik hik...” adu Maya yang masih
meneteskan air mata di samping lina yang terbaring pada pengurus ketika mereka
datang tentang keadaan lina yang begitu parah.
“Ada apa maya?” Tanya salah satu pengurus
“Saya juga tidak tahu mbak? Padahal tadi baru saja ngobrol bersama hik
hik hik... lina telephone keluarga di rumah, terus kembali ke kamar.... hik hik hik, saya tertidur,
ketika saya bangun... lina.... lina.... lin... a .... a.... hik hik.. mbak
tolong lina mbak. Dia .... dia... dia... hik hik hik” Jawab lina sambil
mengusapkan tangan di matanya.
“Langsung saja bawa lina ke Pos Kesehatan Asarama. Cepetan!”
Arahan salah satu pengurus kepada seluruh pengurus dan siswa yang ada di TKP.
*****
Dari jauh tampak berbondong-bondong orang sedang membawa sebuah jasad
tak bergerak di depan asrama Al Ma’ruf komplek A itu. ya, itu tubuh lina yang
sudah tak kuasa bergerak sama sekali. Maya yang ikut mengiring di samping lina
hanya dapat mendendangkan irama sendu tanpa nada...
“Lina, bangun lin.. hik hik hik.” Harapan maya sambil memegang erat
tangan lina yang semakin dingin dan wajahnya yang semakin memucat.
“Sudahlah mbak maya, jangan nangis terus. Berdoa saja semoga mbak lina
cepat siuman!” salah satu pengurus mencoba menenangkan.
Langkah demi langkah dilalui, tanpa terasa seluruh rombongan sudah
berada di depan pintu masuk Pos Kesehatan Asrama.
“Kalian tunggu di sini saja, biar kami yang masuk ke dalam.” Kata
pengurus sembari menutup pintu masuk Pos Kesehatan Asrama.
Maya dan seluruh teman komplek A menunggu di luar ruangan dengan harapan
dan doa semoga ada kabar baik tentang lina. Satu waktu maya memandang ke dalam
ruangan lewat kaca pintu selebar 10cm itu, ia melihat tubuh lina yang sedang di
utak-atik oleh doketr di Pos Kesehatan. Rasa kasihan maya semakin menggebu
ketika melihat tubuh lina yang tampak lemah lunglai. Di sela penantian, maya
shalat ashar di mushalla dekat Pos Kesehatan. Dan Tak berapa lama setelah maya
kembali ke tempat penantian, salah satu dokter keluar, dengan cepat maya
mendatangi dokter dan menanyakan keadaan lina.
“Bagaimana hasilnya dok?”
“Maaf, Teman kalian kami rujukkan ke Rumah Sakit, ia terkena serangan
jantung. Sekali lagi maaf, kami sudah berusaha namun memang salah satu jalannya
adalah dirawat dirumah sakit.” Jawab dokter Subandi
“Astaghfirullahal ‘Adzim... lina, kenapa kamu nggak cerita sama aku
kalau kamu terkena serangan jantung? Hik hik hik” guman maya dalam hati dan
tak terasa air matanya kembali menetes.
“Sudahlah mbak maya, dari pada mbak maya menangis terus lebih baik kita
rawat mbak lina supaya cepat mendapat perawatan yang layak.” Kata Astri
menenangkan hati maya
“Ya, astri... kita bawa lina ke rumah sakit saja. Tapi cepetan ya, aku..
aku ... tidak tahan melihat keadaan lina kayak gitu!” Jawab maya sambil
menunjuk tubuh lina.
Setelah dokter Subandi membuat rujukan ke rumah sakit, jasad lina yang
semakin memucat dimasukkan ke dalam mobil ambulance. Dan baru saja sopir mobil
menghidupkan mesin mobil, terdengar suara serentak dari dalam pintu mobil...
Innalillahi wainna ilaihi raji’uun...
“Jangan-jangan.....” gumam maya dalam hati ketika mendengar lantunan
Tarji’ dari dalam mobil. Maya yang baru akan menyusul ke dalam mobil hanya
tercengang, tak dapat menahan kesedihan yang dialami hari ini.
“Linaaaaaaaaaaa... Linaaaa..... Lina..... hik hik hik” Teiaknya sambil
membuka pintu mobil dan memeluk erat tubuh lina yang sudah tak bernyawa.
“Sudah mbak maya, mbak lina sudah berpisah dengan kita. Tidak usah
disesali, suatu waktu kita juga akan mengalami hal yang sama. Berdoa saja
untuknya semoga arwahnya diterima di sisi Allah SWT, dan digolongkan ke dalam
orang-orang yang mati dengan Husnul Khotimah.” Astri menenangkan maya.
“Tapi... tapi... ta... pi... Aku masih banyak salah sama lina. Kapan aku
bisa meminta maaf?” sahut maya cengeng
“Ya, kita semua juga sama kayak mbak maya. Merasa banyak salah sama mbak
lina, kita doakan saja semoga arwahnya diterima di sisiNya. Amin.” Muawanah
ikut angkat bicara menenangkan maya yang tampak begitu kisruh.
*****
Tiga jam telah usai, prosesi pemakaman jasad lina telah usai. Shalat
isya telah dilaksanakan, maya masih terbayang gurauan lina kemarin malam, maya
masih teringat tangisan maya kelaparan kemarin malam, maya masih teringat
curhatan lina kemarin malam. Kadang senyum, kadang nangis, kadang tercengang,
namun di balik itu semua terselubung kepedihan yang amat mendalam di hati maya.
Dan tak terasa, bantak yang biasa digunakan untuk melukis atlas dunia lewat
mulut maya, kini terlukis atlas dunia dari derasan air mata.
“Lina... aku kangen. Kenapa kamu nggak cerita-cerita sama aku kalau
kamu kena penyakit itu? kenapa kamu selalu menyembunyikan sesuatu dariku?
Kenapa kamu selalu nggak berterus terang tentang keadaan kamu? Kenapa kamu
nggak selalu terbuka sama aku padahal aku selalu meluangkan hatiku untuk kamu?
Apakah kamu curiga kalau aku membeberkan semua cerita kamu ke teman-teman? Atau
apakah kamu nggak ingin kalau temen-temen tahu kepribadian kamu? Linaaa...
kenapa kamu selalu menutupi diri di balik diam kamu? Hik hik hik.” Guman
maya dalam hati. “Ah, daripada aku sedih terus mendingan aku membaca Alquran
saja!” katanya sambil berdiri dan berjalan menuju almari hendak mengambil
mukena. Dan ketika membuka almari biru tempat yang biasa digunakan untuk
menaruh mukena itu, maya melihat bungkusan kardus cantik berukuran sekitar 25cm
x 35cm dan di atasnya tertulis sebuah lembaran kecil
Untuk Teman Baikku Maya Dwi Astutik.
Baca surat yang ada di dalam kardus, pahami
dan laksanakan. Baca suratnya sendiri di dalam kamar saja ya? Aku malu kalau
ada temen yang lihat suratku! OK?? :) :) :)
Dari Sahabatmu
Lina
Dengan perlahan, bungkusan kardus itu dibuka dan di dalamnya terdapat
selembar kertas yang tertulis agak banyak tulisannya. Meski dengan hati yang
sesak, maya kembali duduk di bawah cahaya lampu remang-remang kamar. Maya
terduduk sembari membaca surat yang ditulis lina.
Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh
Maya, aku tahu kamu kesal sama aku karena
aku nggak terbuka sama kamu. Kini aku akan ceritakan semuanya ke kamu supaya
kamu tahu tentang aku.
Maya, Namaku Lina Maulida, 18 Tahun, ayahku
dulu seorang guru, ibuku seorang guru juga. Dari kecil aku jarang dirawat oleh
orang tuaku, jadi aku kurang tahu banyak tentang kasih sayang orang tua yang
dilimpahkan padaku. Aku hanya menerima penghidupan dari kedua orang tuaku.
Waktu kecil aku dirawat dan diasuh oleh mendiang pamanku, namun ketika umurku
menginjak 8 tahun paman meninggal dan aku dirawat oleh kakek dan nenekku di
tempat yang agak jauh dari rumah asal kelahiranku.
Karena kakek dan nenek yang sudah berlalu
senja, mereka kurang memperhatikan kesehatanku sehingga ketika aku berumur 11
tahun, aku sudah terjangkit penyakit jantung ringan.
“hik hik hik...” kening mengkerut maya diiringi suara lirih tangisan
maya menemani cerita yang ditulis lina. Kembali maya menatap dan memperhatikan
surat yang sudah tersedia di hadapannya.
4 tahun berlalu, aku mengindap penyakit
jantung tanpa perawatan yang layak. Dan ketika itu, ayah dan ibu tahu kalau aku
terjangkit penyakit kemudian mereka meminta aku pulang dan dirawat oleh mereka.
Namun waktu aku berumur 15 tahun ayahku tiada. Tinggal ibu sendirian yang
merawatku, namun karena ibu sendirian di rumah mengurus diri dan juga mengemban
tugas sebagai guru akhirnya aku dititipkan ke asrama SMA Al Ma’ruf ini. 2 tahun
berjalan aku menetap di komplek C tidak ada yang tahu tentang diriku. Aku masih
bisa menyembunyikan identitasku terkena penyakit jantung.
Namun kemarin aku merasa, penyakitku
semakin parah. 3 hari yang lalu aku merenung di dalam kamar kosong menyendiri
karena muntah darahku kambuh dan ketika itu aku langsung teringat ayah, selain itu
aku juga merasa sudah waktunya aku menyusul ayah. Aku selalu teringat ayah 3
hari terakhir ini. Aku juga sudah tidak tahan menahan rasa sakit ini, tanganku
dingin banget may... hehehe
Rasa terima kasihku aku lantunkan buat kamu
maya, yang sudah selalu memberiku motivasi dan semangat.
Oh iya... bersama ini di dalam kardus itu,
aku beri kamu 2 bunga melati, 9 bintang dari kertas kuning, 4 buah buku, dan 1
pena. Jaga baik-baik ya duniaku yang subur selalu aku harapkan menjadi dunia
yang hijau nan subur, dan dapat dipersatukan dengan ikatan erat cahaya bintang.
Maya mencoba membuka isi kardus dan di
dalamnya ia lihat 4 buah buku, 1 pena, 9 bintang kertas yang ditaruh di
beberapa sudut, dan 2 bunga melati putih. Kembali tangisnya semakin menggebu
sambil melanjutkan tetesan tinta di atas kertas yang dibasahi air mata maya.
Maya sahabatku, jangan bersedih seperti aku
ketika ayah meninggalkanku. Ingat belalang akan datang di musim panen, namun
akan pergi setelah panen usai. Begitu pula kehidupan, ia akan datang ketika
panenan di dunia dan akan pergi setelah panenan usai.
Eh, Tolong besok kalau ibuku datang ke
asrama sampaikan salamku padanya. Maaf aku belum tentu bisa menemuinya besok.
Sekian dari aku maya sahabatku. Salah dan
khilafku maafkanlah, dannnn aku juga sudah memaafkan seluruh kesalahan
temen-temen semua. Eh, hampir kelupaan jangan lupa sampaikan juga permintaan
maafku pada temen-temen ya? Aku sudah tidak tahan menahan rasa sakit ini.
Sekali lagi aku pesan sama kamu dan
temen-temen di asrama jangan sesalkan perpisahan karena kita semua pasti
mengalaminya, tetap jaga duniaku yang hijau subur agar tetap kokoh dan kuat,
satukan pasukan cahaya dengan tali yang kuat agar menjadi negara yang hebat dan
maju. Dan lagi tetaplah berusaha untuk tersenyum dalam menghadapi halangan,
karena sebuah halangan bukanlah hambatan namun hambatan adalah sebuah
pelajaran.
Wassalamu’alaikum warahmatullahi
wabarakatuh.
Teman baikmu
Lina
Maya menutup lembaran surat, meski masih meneteskan air mata namun
tampak bibirnya mulai menampakkan senyum yang lega. “Memang benar kata
ulama, sekarang aku tahu seseorang yang akan ajal memperlihatkan beberapa
tanda. Hehehe, berarti rasa tidak karuan itu adalah tanda-tanda kamu akan
berpisah lin, dan kata menyusul ayah adalah sebuah ungkapan perpisahan buat
kita. Lina... Aku Sayang Kamu! Bukan karena kamu telah tiada, namun karena kamu
selalu tulus dalam menjalankan segalanya, kamu yang selalu ceria meski kena
ta’ziran, kamu yang selalu polos. Aku masih teringat ketika kamu berangkat
masuk kelas masih memakai sarung idaman kamu yang senantiasa kamu gunakan untuk
selimut. Yah, sarung ini, akan aku kenang selalu nama kamu, Lina. Teman
baikku.” Gumam Maya dalam hati sambil memeluk sarung yang biasa digunakan
lina untuk tidur, dan tanpa terasa maya tersungkur terlelap disamping bingkisan
dari lina.
No comments:
Post a Comment