Thursday 9 May 2013

Cerpen HANYA SEBUAH PERSINGGAHAN

Cerpen HANYA SEBUAH PERSINGGAHAN

“Tolong, tolong, tolong.... Ada ular mau gigit aku. Imam... tolong aku‼!” teriak Salman melihat ular sedang mendekati dirinya. Dan “A....... Auw..... adouwh.... Ularnya gigit aku. Tolong siapa saja tolong aku, ularnya gede banget!.” Kembali Salman teriak dengan kencang.
“Man, maman. Bangun, udah sore!” Ghozali membangunkan salman yang ternyata teriak kencang di samping lelaki yang akrab disapa Zali itu sedang membaca Alquran.
“Ularnya...” maman terbangun sembari membentak zali yang duduk di sampingnya
“Kenapa kamu man? Kayak orang yang lagi pesta? Girang banget?”
“Astaghfirullahal ‘adzim... Bukan girang kang, tapi aku ketakutan.”
“Ya, kenapa?.” Tanya zali penasaran
“Dimana aku?.”
“Di Kamar‼!.” Jawab zali sepele
“Apa...? jadi.... jadi.... jadi.... Aku ngimpi ya kang zali? Kelihatan nyata banget.” (sambil ngos-ngosan). Sahut salman ketika terbangun dari tidurnya.
“Memangnya kamu ngimpi apa?.” Kembali zali masih penasaran
“Anu kang, aku ngimpi ular besar gigit aku kang!. Pokoknya ngeri banget. Hiiiiiiiiii, aku masih kebayang, ularnya gede banget!.” Jawab maman dengan tegang.
“Ah, udah lah jangan dipikirin!. Itu cuman mimpi. Lupakan saja man. Sekarang udah sore, cepetan ambil air wudlu, mbah darmo sebentar lagi berteriak-teriak memanggil kita.” Pesan Zali kepada maman agar cepat bangun
“Ya, kang. Aku bangun! Eh, memangnya sekarang jam berapa kang?.”
“Sekarang jam setengah empat alias jam Limabelas lebih tiga puluh menit. Cepetan bangun!.”
Cancut taliwondo kang zali, aku bangun.”
Maman, nama panggilan akrab bagi seorang santri yang memiliki nama lengkap Abdus Salam Salman Muhammad Syahid Ali. Ya, santri Pondok Pesantren Al Ihsan Magelang. Maman berasal dari wonosobo dan ia menetap di pesantren sudah 1 tahun sejak tahun 2006. Meski umurnya yang sudah mendekati senja, namun ia tetap exist belajar mengkaji seluruh ilmu yang dikaji di pesantren. Di dalam kamarnya yang berukuran 6x5 meter ia menetap bersama 7 santri lain. Kang Zali alias Muhammad Alim Ghozali, Enthus alias Muhammad Arfan dari Magelang, Muntheng alias Ahmad Fathul Munir dari Magelang juga, Sukro alias Ahmad Aqil Fikri dari wonosobo, Bezita alias Nur Hamid dari Purworejo, Mbah Pah alias Abdurrahman Fahrurozi dari Purwokerto, dan Bagori alias Mahmud Salim Hamdan Bashori dari Magelang. Memang bukan menjadi peraturan, namun kebiasaan jelek santri saja yang membuat asma laqab (Panggilan) aneh-aneh bagi santri di pesantren Al Ihsan. Panggilan tersebut untuk membedakan antara 1 santri yang memiliki panggilan sama dengan santri lain, karena besar kemungkinan dari 560 santri yang menetap di pesantren memiliki nama yang sama.
Di sore yang indah itu, suara tua mbah darmo menggeru menjerit mendendangkan nada adzan dari speaker masjid pesantren. Maman dan kawan-kawan segera berlarian menuju tempat adzan kumandang. Meski di dalam masjid masih tampak beberapa kawan santri, namun ruangan itu terasa begitu menggema karena dentuman suara keras sekian banyak santri membuat masjid terasa bergetar. Dalam keramaian itu, maman iseng bertanya pada munir.
“Theng, nurut kamu kira-kira berapa santri yang ada di dalam masjid ini?”
“Ngapain tanya kayak gitu?” jawab munir sepele
“Ya, iseng-iseng aja tanya. Gitu aja nggak boleh?”
“Ya, boleh sih. Nurut aku yang kira-kira 80 anak. Kenapa tho?” Tanya munir penasaran
“Tanya aja, kok kayak rame banget! Hehe.” Sahut maman cengengesan.
Tak terasa mbah Darmo telah usai mengumandangkan iqamat. Santri segera berdesakan memenuhi barisan pertama, kedua, ketiga, dan seterusnya hingga berakhir pada barisan ke-20. Gozali yang waktu itu menjadi salah satu petugas operasi jama’ah berada di barisan paling belakang. Petugas operasi jama’ah adalah santri yang ditugaskan untuk menyuruh, membangunkan santri, serta menelusuri seluruh komplek pesantren untuk memenuhi panggilan untuk jama’ah. Yah, namanya santri pesantren meski sudah banyak yang berumur dewasa dan agak tua, setelah usai shalat mereka tetap bercanda. Ada sebagian santri yang asyik ngobrol bisik-bisik dengan teman sebelah, ada yang langsung pergi dari barisan dan duduk di belakang santai-santai sambil mendendangkan wiridan imam, ada lagi yang bermain dengan asyik memutar tasbih sambil komat-kamit membaca mantra yang tidak dapat diketahui, ada yang memutar mutar tangan menghitung jari tangan sambil mengeluarkan bisikan aneh, dan sebagian lagi ada yang iseng-iseng mengambil kertas dari dalam saku dan membaca tulisan yang tertulis di atas kertas fotokopian, dan ada yang tertunduk merintih merenungi kelelahan sambil memejamkan mata. Gozali hanya tersenyum ketika melihat keadaan yang amat unik itu, dalam benaknya ia berfikir “Mereka, tunas agama, generasi penerus bangsa, Ya Allah... berikan ilmu yang bermanfaat bagi mereka yang telah berusaha khusyu’ beribadah kepadaMu. Hamba yang hina ini hanya dapat meminta meski berlumuran dosa, namun hamba percaya rahmat dan maghfirohMu lebih luas dari apapun. Ya Allah...” dan tak terasa, gozali yang tegak besar tinggi itu kalah terlena dengan lenaan pandangan matanya yang terpaku pada santri yang sedang memuja Tuhan Yang Maha Esa yang selalu melindungi diri mereka dari segala mara bahaya. Air mata Gozali tak terasa menetes di sajadah tempat duduk dan sujudnya, sembari menengadahkan tangannya di depan dada.
Shalat ashar telah usai dilaksanakan, maman dan kawan-kawan segera kembali ke kamar. Namun sebelum mereka beranjak ke kamar, gozali mengingatkan pada teman sekamarnya untuk membaca ayat Alquran meskipun hanya satu ayat. Kata gozali sangat manjur, terbukti Maman, Enthus, Muntheng, Mbah Pah, Sukro, dan kawan-kawan membaca lantunan ayat suci Alquran di dalam aula di samping masjid.
Tidak lama kemudian, maman mengawali kembali ke kamar sembari mengajak seluruh temannya kembali ke kamar.
“Kro, sukro. Udah dulu tho, baca Alqurannya jangan banyak-banyak nanti bosan.” Iseng maman pada sukro yang terlihat khusyu membaca alquran, namun panggilan maman tidak mendapat tanggapan positif dari sukro. Sukro malah tambah keras membaca Alquran, maman memang pengganggu super ulet. Mengganggu sukro gagal, ia mencoba menggagalkan Mbah Pah.
“Mbah, ayo pulang ke kamar, aku punya gorengan 2, nanti aku kasih kamu 1 terus aku 1, gimana?” maman merayu mbah pah, lagi-lagi tanggapan mbah pah sangat negatif. Mbah pah tidak mengeraskan suara, namun berhenti sejenak melihat wajah maman yang memelas seperti orang yang sangat kelaparan sembari berkata.
“Kalau kamu udah lapar, makan saja gorengannya nggak apa-apa. Nanti aku beli sendiri.” jawab mbah pah sepele
“Tapi kamu kan nggak punya uang kan mbah?” Sahut maman
“BON di warung gampang kan? Udah ah, kalau kamu mau ke kamar, silakan saja nanti aku nyusul.” Jawab mbah pah sembari kembali membuka lembaran Alquran.
“Yah, akhirnya aku kembali ke kamar sendiri. di kamar sepi, eh... ganggu kang zali ah.” Tiba-tiba muncul dalam benak maman untuk mengganggu kang zali, master pesantren. “Tapi apakah aku bisa ganggu kang zali ya? Mungkin bisa, mungkin tidak! Nggak ada yang tahu sebelum dicoba.” Gumamnya dalam hati.
“Kang zali...” Maman mengawali gangguan
“Hmmmm....” zali menjawab dengan dentuman ghunnah
“Pulang ke kamar ya?”
“Mmmm boleh juga.” Jawab zali melegakan.
“Akhirnya aku bujuk kang zali kembali ke kamar.” Gumamnya bangga
Tak lama kemudian zali dan maman kembali ke kamar sambil mendendangkan lagu shalawat badar. Namun betapa kagetnya maman ketika ia membuka pintu kamar dan melihat sesuatu di dalam kamar. Ternyata seluruh teman-teman yang ia rayu, yang ia ganggu sudah berada di dalam kamar sembari berseru.
“Man, kamu telat. Kita udah disini dari tadi.” Kata mereka serentak
“Lho kok bisa?” maman penasaran.
“Kita hanya dijadwal membaca Alquran setelah shalat fardlu selama 5 menit. Paling lama membaca itu kang zali, 10 menit biasanya. Udah duduk saja, kita merakit bersama. Siapa yang punya tembakau?” enthus menegaskan peraturan yang sudah ada dan hampir terlupakan oleh kebanyakan santri.
“Aku punya, tapi aku nggak punya yang lain? Siapa yang punya cengkih dan sigaret?” Sukro menyahut
“Aku yang punya komplit. Ambil saja di almari, di bawah baju paling bawah.” Zali memberikan penerangan. “Tapi...” susulnya
“Tapi apa kang zali?” Sahut Mbah pah
“Aku nggak punya korek. Haha.”
“Santai aja kang, kalau urusan korek nanti kita bisa carikan.” Sahut muntheng
Beramai-ramai mereka merakit sebuah lintingan, merokok bersama sudah menjadi kebiasaan di pesantren salaf itu. sambil ngobrol santai dan menunggu waktu maghrib tiba, canda dan tawa mereka dendangkan memenuhi isi kamar.
“Kang zali nggak ikut buat rakitan?” tanya maman
“E... man, kang zali sedang puasa.” Sahut sukro
“Oh kang zali puasa ya? Eh kang, aku buatin rakitannya saja ya?” Tawar maman
“Eh man, jangan sok kamu. Bilang aja kalau kamu lapar terus kalau kang zali buka nanti kamu bisa makan bareng. Hahaha.” Susul Muntheng
“Iiiiii, nggak lah ya. Aku cuman pengin buatin rakitan buat kang zali aja kok. Masa nggak boleh, masa dikira thoma’ (mengharap)?” Kata maman membela diri
“Udah, udah hampir maghrib jangan ribut. Kalau kalian ribut aku jadi makin lapar.” Kang zali mengeluarkan suara.
“Hehehehe, bercanda aja kang. Eh kang cengkihnya banyak atau sedikit?” tawar maman yang sedang memegang lembaran sigaret dan di atasnya sudah tertata rapi rangkaian tembakau.
“Sedikit saja.” Jawab zali santai
“Ya, sekalian aku ambilkan air putih ya buat buka kang zali?” Tawar maman kembali muncul
“Ihuy... pedekate nih! Mentang-mentang adiknya kang zali cewek, kamu jadi pengen bantu kang zali terus?” ejek enthus
“Biarin, siapa tahu fitri adiknya kang zali mau jadi istriku? Hahaha.” bela maman
“Udah man, biarin enthus atau temen yang lain mau ngomong apa. Kalau kamu mau ngambilin air, ambil saja cepet keburu adzan.” Tegas zali pada maman
“Ya kang, aku berangkat mengambil air. Eh, kelupaan ini rakitannya kang udah jadi.” Maman memberikan lintingan kepada zali sembari keluar membawa gelas menuju kolam musholla mengambil air putih.
-(**)-
Sementara itu...
“Aku pengen pulang!” suara lirih menahan sakit yang amat sangat itu keluar dari bibir manis kebiruan seorang santri putri pesantren Al Ihsan, Fitri Nuryani, santri asal kebumen yang sudah beberapa hari ini mengidap tipus yang sudah parah.
“Sudah lah mbak Fit, nanti aku hubungkan mbak sama orang tua mbak di rumah!” sastri menenangkan Fitri yang masih terbaring di atas karpet biru berselimut kain putih bercorak hitam kebiruan itu.
“Tapi ini rasanya sudah sakit banget mbak Sastri. Pengen rasanya aku ketemu bapak ibu.” Kembali rintihan fitri diluakkan.
“Ya mbak, memang benar kangen mbak sudah begitu besar. Tapi apakah dengan ketemu bapak ibu mbak, mbak Fitri akan langsung sembuh? Tidak kan? Terus kalau mereka tahu keadaan mbak yang seperti sekarang ini, mereka akan bertambah susah.” Sastri kembali menenangkan fikiran Fitri
“Terus gimana jalannya?”
“Nanti habis maghrib aku menghadap abah kyai saja!” sastri memberikan sedikit jalan keluar
“Mau sowan abah tentang apa mbak?” tanya Fitri yang tampak memelas
“Kebetulan aku mau hubungi orang tuaku juga, jadi sekalian aku sowankan mbak fitri.” Sambil tersenyum ceria yang diharapkan dapat membuat perasaan fitri menjadi lega sembari memegang tangan fitri yang tampak putih membiru itu.
“Ya udah, sekarang mbak fitri istirahat dulu sambil menunggu aku sowan. Sudah hampir maghrib, mbak fitri shalat nggak?”
“Aku sedang ada tamu langganan mbak sas. Aku tiduran saja dulu!” Jawabnya memelas
“Yah, istirahat saja. Aku keluar sekalian aku beli makanan buat mbak fitri. Hihi.”
“Terima kasih mbak sas.”
“Nggak apa-apa seudah jadi sebuah kewajiban bagi seorang muslim yang mendapati saudara muslim lain yang sedang sakit untuk merawatnya, iya kan?” kembali sastri menenangkan fikiran fitri. “Ya mbak, aku keluar dulu. Assalamu’alaikum.”
Sastri keluar kamar sastri yang dipenuhi kesunyian, dalam benak hatinya hanya ada harap dan do’a semoga sahabatnya, Fitri, segera mendapatkan kesembuhan. Adzan maghrib dikumandangkan, tampak dari jendela komplek santri putri, seluruh santri putra terlihat berkeliaran menuju masjid, berdesakan berebut antrean wudlu, berebut masuk ke dalam masjid. Di waktu imam shalat membacakan surat Al Fatihah, sastri masih setia menunggu sampai shalat selesai untuk melaksanakan tugasnya menyowankan sahabatnya, Fitri. Sebenarnya sastri berkata pada fitri bahwa dirinya akan menghubungi keluarga di rumah hanya sebagai alasan agar dirinya dapat menghadap pengasuh. Sastri hanya ingin menyowankan keadaan Fitri yang sudah terlanjur parah.
Dua puluh lima menit berlalu, suara langkah tegap dan tegas terdengar di telinga sastri yang sudah duduk tertunduk menghadap sebuah lembaran kertas izin dan ballpoint hitam di depan sebuah Personal Computer (PC) milik pengasuh, terdiam menunggu kedatangan pengasuh dan memberikan sapaan halus dan sopan padanya. Rasa was-was menghiasi hati sastri yang sedang mencoret-coret beberapa rangkaian kata yang akan disampaikan pada pengasuh, dan tak lama kemudian terdengar dari luar ruang tunggu sastri sebuah ucapan salam berwibawa menyapa dirinya.
“Assalamu’alaikum.” Pengasuh Pesantren KH. Maimun mengucapkan salam sembari membuka pintu.
“Wa’alaikumussalam warahmatullah wabarakatuh.” Jawabnya lirih dari dalam ruangan. Suara langkah Kyai membuat hatinya semakin berdebar. Dalam benaknya perasaan campur bawur tampak hingga wajahnya terlihat memucat bak terendam di dalam kulkas. Reaksi wajahnya semakin memucat ketika ia mendengar sebuah sapaan kyai...
“Eh, Sastri. Sudah lama menunggu?”
“Ya, baru sebentar bah.” Jawabnya agak gemetar
“Ada apa? Tumben?”
“Gini bah, sebelumnya maaf bukan bermaksud lancang menghaturkan hal ini pada abah. Namun saya tetap harus menghaturkannya.”
“Ya, apa masalahnya?” tanya kyai pada sastri
“Tentang keadaan mbak Fitri yang kian lama kian parah bah. Sudah 2 hari ini tipusnya semakin parah, badannya kian kurus.” Sastri mencoba mengawali pematurannya tentang keadaan Fitri
“Oh, itu. kamu sudah menghubungi orang tua Fitri?”
“Sudah bah, saya mendapat tanggapan positif dari keluarga mbak fitri. Namun sudah 1 minggu setelah saya telephone keluarga mbak Fitri tidak ada yang datang kesini.”
“Setelah itu kamu sudah menghubungi keluarganya lagi?”
“Belum bah.” Sastri menegaskan
“Masya Allah, aku kira kamu sudah menghubungi lagi setelah kamu kesini seminggu yang lalu itu!”
“Belum bah, masalahnya 2 hari setelah saya telephone keadaan mbak fitri agak membaik. Namun selang sehari kambuh lagi dan semakin parah.”
“Ya, kita coba hubungi orang tua fitri saja bagaimana?” Tawar kyai pada sastri
“Saya setuju bah, namun saya hawatir jika tidak ada tanggapan lagi dari keluarga mbak fitri!” Fitri membela diri
“Lalu apa yang kamu rencanakan untuk fitri?”
“Kalau abah berkenan, saya akan membawa mbak fitri ke rumah sakit agar mendapat perawatan yang layak. Karena sepertinya mbak fitri tidak hanya terjangkit tipus, namun ada penyakit lain yang tidak saya ketahui. Dan untuk mengetahui penyakit apa saja yang menjangkit pada tubuh mbak fitri, seyogyanya kita membawa mbak fitri ke rumah sakit.” Sastri sedikit memberikan penjelasan tentang gagasan yang dimilikinya.
“Lalu jika fitri dibawa ke rumah sakit, siapa yang akan menanggung biaya perawatan di sana? Apakah akan menggunakan dana pesantren?”
“Untuk masalah pendanaan, akan saya coba hubungkan dengan keluarga di rumah. Selain itu akan saya coba menghubungi seluruh keluarga saya dan teman-teman di rumah, apabila ada yang berkenan memberikan bantuan atas perawatan mbak fitri di rumah sakit, dan dana pesantren hanya sebagai tambahan saja.”
“Ya, kalau memang itu jalan yang kamu anggap baik, laksanakan saja.”
“Asalkan abah meridloi gagasan saya, insya Allah akan menjadi lebih baik.”
“Ya, aku tetap meridloinya karena itu merupakan amal yang sangat sangat baik.”
“Alhamdulillah, lalu....”
“Lalu apa?” Tanya kyai penasaran
“Untuk menyelesaikan permasalahan ini, untuk membawa mbak fitri ke rumah sakit akan dilaksanakan kapan?”
“Oh, itu... m m m m m ... habis ngaji nanti sebelum isya nggak apa-apa, bawa mobilku saja. Biar aku suruh zali mengantar kalian.” Kyai memberikan penerangan.
“Terima kasih bah.”
“Sama-sama, sekarang kamu ngaji dulu biar aku hubungi santri putra dulu.”
“Ya bah, saya pamit Assalamu’alaikum.”
“Wa’alaikumussalam warahmatullah.”
Sastri keluar dari kediaman pengasuh dan kembali ke komplek pesantren yang terletak di belakang kediaman pengasuh. Dalam hatinya terlintas senang dan susah yang membara, susah karena fitri yang masih menderita, dan senang karena sebentar lagi fitri akan mendapatkan perawatan yang layak. Sesampai di kamar sastri langsung mengabarkan persowanannya kepada fitri. Fitri yang terbaring bukannya bahagia, namun berderaian air mata bercucuran membasahi wajahnya.
“Kenapa nangis mbak fitri?” tanya sastri penasaran
“Aku bingung. Harus dengan apa aku harus membalas jasa teman-teman?”
“Sudah masalah itu nggak usah difikirkan, yang penting sekarang mbak fitri mengurus diri dan mengembalikan keadaan mbak seperti semula! Sehat, ceria, dan .... ah aku nggak bisa nyampaikan lewat kata-kata. Pokoknya mbak fitri cepet sehat gitu aja! Hihi.” Senyum sastri yang dibarengi sentuhan lembut di tangan fitri, membuat fitri semakin terharu dan air matanya semakin menderas.
Sementara itu di komplek pesantren putra, di kamar Gozali...
-(**)-
“Eeeee.... aku yang menang!” Muntheng kegirangan
“Salah Nir, kalau kamu yang menang bukan betengnya yang maju. Tapi raja kamu jalankan ke sini!” mbah pah mengusulkan pendapat pada permainan catur yang sedang dimainkan di kamar seusai mujahadah.
“Iiiih nggak apa-apa lah, aku kan nggak bisa main catur, jadi kalau kaya gini aku merasa menang nggak apa-apa kan? Haha.” Muntheng membela diri
“Dasar Munir Muntheng, kege’eran banget! Nggak bisa main catur saja sok lagak kaya raja catur!” Enthus ikut mengusulkan suara.
“Dari pada main catur bosan kan? Masalahnya muntheng nggak bisa main. Gimana kalau sekarang permainannya kita ganti?” Zali ikut-ikutan terbawa permainan
“Main apa kang?” muntheng, mbah pah, dan enthus serentak bertanya penasaran
“Gini tata cara permainannya, siapa saja yang bisa menjawab pertanyaan akan mendapatkan hadiah, dan siapa saja yang tidak bisa menjawab akan mendapat sanksi!” zali memberikan pengarahan tata cara permainan.
“Apa permainannya dulu kang?” Mbah pah semakin penasaran
“Aku akan memberitahu permainannya kalau kalian menyetujui terlebih dahulu. Kalian setuju atau tidak sama peraturan yang aku tuturkan tadi?” zali memberikan penawaran
“Ya, kita setuju sama peraturan yang tadi!” serentak menjawab
“Permainannya, kalian harus menjawab pertanyaan yang aku lontarkan. Setiap satu dari kalian akan mendapatkan 3 pertanyaan. Bagi siapapun yang bisa menjawab ketiga-tiganya akan ku buatkan rakitan 9 buah, 3 buah rakitan untuk 1 pertanyaan. Dan bagi kalian yang tidak bisa menjawab 1 dari ketiga pertanyaan akan membuat api di dapur, bagi kalian yang tidak bisa menjawab 2 pertanyaan akan mencuci beras dan mempersiapkan perlengkapan, dan bagi yang tidak bisa menjawab semuanya akan memasak buat kita? Gimana?”
“Ya setuju kang...” Mbah pah semangat menyetujui permainan karena ia merasa akan biasa menjawab seluruh pertanyaan, namun di balik semua itu...
“Aku nggak ikut permainan.” Maman mengalah
“Kenapa?” tanya mbah pah
“Aku kan santri baru, pertanyaan yang mudah pun aku nggak bisa jawab.” Maman membela diri.
“Nggak apa-apa, lagipula kalau kamu masak, kita bantu kok. Hehe.” Enthus memberikan semangat.
“Beneran?”
“Benerrrrrrrrrrrrrrrrr Mas Maman Yang Terhormat.” Enthus menjawab sembari cengengesan.
“Tapi kang zali, pertanyaan buat aku yang mudah-mudah saja ya? Kalau sulit jelas aku nggak bisa jawab.” Maman membela diri.
“Yah siap man, buat kamu pertanyaannya yang mudah saja. OK kita mulai babak pertama pertanyaan pertama, siap duluan?” zali mengawali permainan
“Mbah pah, dia yang tadi semangat menjawab pertanyaan kang zali.” Sukro andilkan suara dalam permainan.
“Ya, siap. Pertanyaan untuk mbah pah. Ketika kalimah fi’il madli menjadi mudlari’ ditambah dengan 4 huruf mudlara’ah yaitu Hamzah, Nun, Ya, dan Ta. Pertanyaannya dlamir apa saja yang ada dalam huruf mudlara’ah itu? pertanyaan kedua...” Gozali mengawali pertanyaan.
“Eh... kang intruksi‼! bukannya pertanyaan itu sudah ada 4? Kenapa harus ada pertanyaan kedua?” mbah pah membela diri
“Ya, meskipun kamu harus menjawab 4 arti huruf, tapi itu jadi 1 pertanyaan titik.” Zali menegaskan
“Ahhhh, kang zali curang.”
“Aku nggak curang nanti yang lain juga mungkin aku kasih pertanyaan yang tidak jauh berbeda dengan kamu kok.” Zali menenangkan hati mbah pah yang agak terlihat putus asa. “Ya udah lanjut pertanyaan kedua apa sajakah tanda-tanda kalimah isim, dan pertanyaan ketiga apa sajakah tanda-tanda kalimah fiil?”
“Yah, aku jawab pertanyaan pertama arti keempat huruf mudlara’ah adalah Hamzam untuk mutakalim wahdah, Nun untuk mutakalim ma’al ghoir, ya untuk dlamir ghaib, dan ta untuk dlamir mukhotob. Jawaban pertanyaan kedua tanda kalimah isim adalah tanwin, alif lam, kasroh, dan huruf khafad. Jawaban pertanyaan ketiga tanda kalimah fi’il mmmmmm.... kenapa aku agak lupa ya?” Mbah pah mengutarakan jawabannya
“Jawaban untuk pertanyaan ketiga apa? Aku sampai hitung sampai tiga kamu tidak bisa jawab, maka pertanyaan ketiga aku anggap gugur! 1, 2, ...”
“Kang zali, aku nggak hafal artinya tapi aku ingat arabnya, kalau aku jawab pakai bahasa arab boleh nggak?” mbah pah mencoba mengemis memelas atas jawaban dari pertanyaan yang diuraikan.
“Mmmmmmmmmmmm.... boleh kalau kamu hafal arabnya.” Zali menegaskan
“OK, arabnya gini... wal fi’lu yu’.... rofu bi qod mmmmm..... wa.... wa...wassinni.... wa sa... u... fa.... wa... ta...itta’nitsi.... as...sa kinati! Benar kan?”
“Yes, 100 buat kamu. Meskipun hafalannya masih putus-putus! Hehe.”
“Jangan ngejek kang, memang aku agak lupa yang itu.” mbah pah membela diri
“Ya udah, sekarang pertanyaan kedua buat Enthus..kamu sudah siap enthus untuk menerima pertanyaan?”
“Everytime siap kang zali. Ayo cepetan apa pertanyaan buat aku?”
“Kamu nih, nggak sabaran banget. OK pertanyaan buat kamu pertama sebutkan huruf hijaiyah yang termasuk huruf isti’la? Kedua siapakah yang menjadi pelopor dalam pembuatan kalender hijriyah? Dan ketiga huruf yang terkumpul dalam kata fachatsahu syakhshun sakat memiliki sifat huruf yang sangat ringan, sifat huruf tersebut apa namanya? Jawab sekarang!”
“Mmmmmm pertanyaan pertama huruf-huruf isti’la itu Shad,Dlad, Tha, dan Dzha. Pertanyaan kedua pelopor pembuat kalender hijriyah itu sahabat utsman. Dan pertanyaan ketiga huruf yang terkumpul itu sifatnya Rikhwah! Bener kan kang?” enthus mengutarakan jawaban
“Pertanyaan pertama dan kedua benar, tapi jawaban untuk pertanyaan ketiga masih salah.” Zali menerangkan
“Lalu yang benar sifatnya apa kang?”
“Yang benar sifat dari huruf itu adalah Hamsiyah. 80 buat kamu, dan masih tertinggal dengan mbah pah.”
Gurauan dan pertanyaan demi pertanyaan gozali lontarkan pada seluruh isi kamar. Sebuah hiburan yang menyenangkan hati dan juga menambah perkembangan berfikir santri Al Ihsan. Hingga tak terasa waktu menunjukkan pukul 19.30 dan waktunya untuk adzan isya dikumandangkan. Dalam sela canda dan tawa mereka di kamar sembari menghadap sebuah paket rakitan lintingan dan sebuah asbak, tak lupa dengan batangan korek api mereka menghabiskan waktu sehabis mujahadah maghrib menunggu adzan isya dikumandangkan, mbah darmo kembali memanggil mereka dengan suara yang khas. Suara menggeliyur dan berhias dengan nafas tua itu terdengar dari kamar gozali dan kawan-kawan. Tak urung gozali dan kawan-kawan merasa terpanggil oleh sapaan manis mbah darmo dari dalam masjid menghadap microphone kecil yang dipegang dengan tangan kiri itu. namun ketika mereka hendak pergi ke masjid tiba-tiba...
Thuuuuut... thuuuuut... thuuuuuut....
HP di kamar gozali bergetar menari riang di atas meja tempat mereka meletakkan kitab yang dipelajari mereka. Seluruh penghuni kamar saling berebut mendekati suara asal HP berbunyi, mbah pah, enthus, maman, bezita, dan lainnya berdesakan mendekati HP. Dalam fikiran mereka berkata siapa tahu itu ada panggilan buat aku supaya aku pulang atau panggilan dari orang tua yang akan kesini dalam waktu dekat ini. Namun alangkah kagetnya kawan-kawan gozali ketika melihat HP yang bergetar di atas meja yang telah dikerumuni 7 santri itu tampak di LCD HP sebuah tulisan yang memanggil “Abah Kyai”. Serentak mereka menjauhi HP sembari berteriak “Kang zali ada telephone dari abah. Cepetan, kita nggak berani ngangkat kang, cepetan keburu ditutup!” dari kejauhan zali menjawab sembari berlari menuju tempat HP biasa diletakkan.
“Ya, aku datang.”
Rasa kecewa tampak di wajah kawan-kawan gozali. Mereka kembali menyebar menghadap almari masing-masing mengambil peralatan shalat. Gozali yang tampak serius menerima telephone dari Kyai Maimun terangguk-angguk sambil tersenyum dengan jawaban suara lirih yang tidak terdengar dari kejauhan. Selama kurang lebih lima menit, gozali menutup telephone dan ia tampak tergesa-gesa berlari sambil mengajak Enthus keluar dari kamar.
“Ada apa kang?” tanya enthus penasaran
“Dipanggil abah sowan sekarang!” zali menjawab dengan tegas
“Tapi aku mau shalat kang, terus habis shalat nanti aku kejatah masak.” Enthus membela diri sambil berlari diseret gozali
“Masaknya besok lain kali saja. Ini urusannya lebih penting.” Jawab gozali tegas
“Apa tho kang?” enthus penasaran
“Nanti kamu juga tahu di hadapan pengasuh.” Sahut gozali
Tidak lama mereka berdua berjalan menelusuri teras pesantren dan masjid yang di dalamnya masih terdengar suara gemuruh para santri mewiridkan pujian sebelum iqamat dikumandangkan, sampailah mereka di depan kediaman pengasuh pesantren. Salam sapa halus mereka ucapkan di depan pintu
“Assalamu’alaikum.”
“Wa’alaikumussalam. Masuk saja zali!” Terdengar jawaban dan perintah dari dalam kediaman pengasuh, yang tak lain adalah pengasuh pesantren KH. Maimun
Setelah mengucapkan salam, mereka masuk ke dalam ruang tamu kediaman pengasuh sambil menunggu kedatangan pengasuh yang akan memberikan beberapa pertanyaan kepada mereka. Meski dalam hati gozali berfikir akan pentingnya jama’ah isya namun apa boleh buat, ia sedang menghadap pengasuh, dan mau tidak mau ia harus merelakan jama’ah untuk menghadap pengasuh pesantren.
“Zali!” kyai mengawali perbincangan
“Dalem abah.” Jawaban halus gozali
“Kamu sudah paham kan apa yang aku sampaikan tadi di telephone. Ada santri putri yang sedang sakit parah, namanya Fitri. Aku minta kamu supaya nganter dia ke rumah sakit di Kota Magelang. Perikasakan dia, cari tahu apa penyakitnya dan obatnya, kalau memang dia butuh nginep langsung diinapkan saja tidak apa-apa. Masalah biaya nanti difikir belakang, kamu dan ketua santri putri Sastri Marwati coba musyawarah masalah pendanaan perawatan Fitri. Paham kan?” Kyai memberikan pengarahan kepada Gozali
“Sendiko dawuh abah.” Jawab gozali ringan
“Kontaknya ambil di atas meja komputer di belakang. Tapi shalat dulu sebelum, berangkat ke rumah sakit habis shalat nanti!” perintah kyai
“Ya abah.”
“Sekarang kita shalat jama’ah isya dulu.” Perintah kyai pada gozali
“Alhamdulillah akhirnya jama’ah juga. Hampir saja aku nggak jama’ah.” Gumam gozali dalam hati karena perasaannya lega dapat menjalankan jama’ah isya.
Setelah menerima dawuh dari kyai, gozali dan enthus berjalan di belakang kyai untuk melaksanakan shalat jama’ah isya yang kebetulan yang bertugas menjadi imam jama’ah isya sedang bepergian, jadi yang menjadi imam di waktu itu adalah Kyai Maimun sendiri. waktu demi waktu berjalan tak terasa, shalat isya telah dilaksanakan. Gozali masih duduk membaca wirid yang tak terdengar dari kejauhan, enthus tertunduk menahan kantuk, sedangkan kyai maimun sedang asyik memutar tasbih di tempat pengimaman. Kyai Maimun telah usai membaca wiridan yang biasa dibaca, sambil menunggu gozali yang masih membaca wiridnya kyai maimun menjalankan shalat Ba’diyah Isya sekalian witir 3 raka’at. Di sela itu, gozali telah usai pula membaca wirid, dalam gumamnya “Sekalian saja aku shalat ba’diyah sembari menunggu kyai usai menjalankan shalat.”
Enthus masih tertunduk menghadap sajadah merah bergambar masjid. Namun lamunannya terhenti ketika gozali menepuk pundak enthus sambil berkata “Thus, bangun! Udah ditunggu abah kyai di dalem. Cepetan bangun!”
“Ya, kang.” Jawabnya sambil menahan kantuk yang sangat
Tak lama kemudian, kedua santri menghadap kyai, dan langsung menerima perintah dari kyai Maimun untuk mengantar Fitri ke rumah sakit. Meski telah menerima perintah, namun zali masih penasaran sehingga timbul beberapa pertanyaan yang muncul dalam benak gozali.
“Maaf Abah, siapa yang akan menggotong mbak fitri masuk ke mobil?” Tanya gozali mengawali perbincangan
“Santai saja zali, fitri masih bisa berjalan kok. Kamu ini ada-ada saja zali, apa jangan-jangan kamu naksir fitri terus kamu yang mau gendong? Iya?”
“Hehehe, tidak bah.” Jawab gozali cengengesan
“Ya.... meskipun kamu naksir dia, aku nggak mungkin mengijinkan kamu gendong dia. Dia kan belum jadi muhrim kamu toh?”
“Hehehe. Terus rumah sakit mana bah yang akan kita masuki terlebih dahulu?”
“Mmmm... sebentar, aku hubungi dokter kecamatan yang selama ini merawat fitri.”
Setelah itu kyai maimun pergi ke dalam rumah, tampak beliau sedang berdiri menghadap telephone dan memencet beberapa nomor dan berkata yang tidak terlalu jelas dari kejauhan. Hanya terlintas kata-kata dok, santri saya, namanya fitri, dan beberapa patah kata yang hanya dapat terdengar dari kejauhan. Selama kurang lebih 5 menit kyai Maimun memegang telephone, beliau kembali ke ruang tamu menemui zali dan enthus yang masih duduk termenung menunggu perintah kyai.
“Zali.” Kata kyai maimun
“Dalem abah, maaf perkenankan saya bertanya bagaimanakah solusi dari dokter yang biasa merawat mbak fitri?”
“Gini, menurut dokter karena fitri telah agak lama menerima perawatan di puskesmas kecamatan. Beliau merujukkan fitri untuk dibawa ke Rumah Sakit dr. Sujanto di Payaman. Tahu kan tempatnya?” kata kyai maimun memberikan penjelasan
“Alhamdulillah bah, saya tahu tempat itu.”
“Sekarang saja, dari pada nanti keburu banyak antrean disana. Karena menurut dokter tadi, di rumah sakit itu banyak pengunjung kalau di malam hari sebab kebanyakan menganggap rumah sakit itu sebagai rumah sakit dadakan yang bisa dikunjungi setiap waktu.” Saran kyai maimun
“Ya bah.”
“Ambil kontaknya di tempat yang sudah aku beritahu tadi ya?”
“Sendiko dawuh bah.”
Gozali masuk ke dalam rumah kyai, lurus menuju ruang makan dan di belakang ruang makan itulah tampak sebuah PC yang sudah tua yang di sebelah monitor PC terlihat sebuah kardus kotak berisi beberapa lempengan kunci, dan di tempat itulah kyai maimun biasa meletakkan kunci mobil pribadinya. Tanpa ragu, maimun mengambil sebuah kunci tanpa melihat dan bertanya pada santri yang berada di sekitar PC perihal kunci apa yang dia ambil, ia langsung berjalan menuju ruang tamu dan menghadapkan kunci itu pada kyai.
“Maaf abah, ini kuncinya.”
“Ya, coba saja hidupkan sendiri!” perintah kyai
“Sendiko abah.”
Tanpa pikir panjang, gozali keluar dari kediaman pengasuh dan berjalan menuju garasi, membuka pintu mobil dan mencoba menghidupkan mesin mobil kyai. Namun... “Astaghfirullahal ‘adzim... kenapa ini kok nggak bisa masuk kuncinya?” gumamnya dalam hati yang penasaran karena kunci yang ia ambil tidak cocok dengan lobang kunci yang berada di bawah setir mobil. Serentak zali tertawa besar ketika melihat dengan jelas kunci yang baru saja ia ambil di depan PC milik kyai...
“Hahahaha, Masya Allah ini kan kunci vespa milik kyai dulu. Kenapa aku mengambil kunci ini?”
Zali keluar mobil masih menyimpan tawa dalam dada sambil berjalan menghadap kyai. Enthus masih tampak di dalam ruang tamu kediaman kyai yang sedang asyik ngobrol dengan tamu yang baru saja datang. Di depan pintu kediaman pengasuh...
“Assalamu’alaikum.”
“Wa’alaikumussalam warahmatullah wabarakatuh.” Serentak dari dalam ruangan
Langsung secara kontan, zali bersalaman dengan tamu yang baru saja datang. Di sela itu, kyai bertanya pada gozali...
“Gimana mobilnya sudah atau susah?”
“Hehehe, maaf abah. Kuncinya salah, bolehkah saya mengembalikan kunci yang salah ini dan menukar dengan kunci yang benar?” zali bermaksud mengembalikan kunci dan menukar dengan kunci yang benar
“Nggak usah, biar aku saja yang ambilkan nanti salah lagi malah urusannya jadi lama.” Kyai menjawab sembari masuk ke dalam rumah dan hendak memberikan kunci mobil yang benar.
“Hehehe.” Zali cengengesan
Di sela kyai Maimun mengambilkan kunci mobil di dalam kamar...
“Ada apa to mas?” Tanya sang tamu
“Anu pak, ada santri yang sedang sakit dan abah memerintah kami supaya membawa santri itu ke rumah sakit. Dan ketika saya mengambil kunci mobil milik abah ternyata salah. Hehe.” Jawab zali lugu
“Oh, terus yang sakit itu siapa mas?” tamu itu kembali bertanya
“Namanya Fitri Lestari, santri asli Kebumen pak.” Enthus ikut angkat bicara, “Daripada ngantuk kang, mendingan aku nyelonong saja to?” bisik enthus di telinga zali dari dekat
“Bener, bener, bener. Ternyata Pinter juga kamu Thus!? Bisa ngilangin ngantuk di hadapan kyai! Hahaha.” puji zali pada enthus yang di kamarnya terkenal sangat pendiam
“Eeeey, kalau pas di kamar itu kan yang kelihatan bukan asliku, cuma tampak palsu diriku saja, kalau aslinya ya...gini suka nyelonong perbincangan orang. Hihihihi.” Bisiknya kembali pada zali
Setelah beberapa menit zali dan enthus menungggu di ruang tamu, kyai Maimun datang dengan membawa kunci mobil yang dimaksud dan memberikannya pada zali yang masih asyik ngobrol dengan sang tamu. Kyai Maimun yang baru saja keluar langsung memberikan kunci pada zali, dan tanpa basa basi lagi zali langsung minta pamit untuk mengantar fitri ke Rumah Sakit.
Perjalanan pun dimulai, zali sebagai sopir, unthus duduk disamping zali dan dibelakang ada fitri, sastri yang duduk disamping kanan fitri, anisa yang termenung dan kasihan melihat keadaan fitri, dan salamah yang setia memeluk fitri. Fikiran masing-masing santri yang ada di dalam mobil begitu gusar, karena keadaan fitri yang semakin parah. Fitri tampak sangat pucat, bibirnya yang kemerahan menjadi keputihan, paras wajahnya menjadi hijau pucat basi, tiada yang tidak kasihan di dalam mobil, sampai seluruh penumpang di dalam mobil merasa kasihan dan khawatir terhadap keadaan fitri.
Tiga puluh menit perjalanan, sampailah rombongan di rumah sakat. Zali sebagai orang tertua segera melapor kepada perawat hingga perawatlah yang membawa fitri ke ruang pemeriksaan.
Detik demi detik berlalu, sastri, anisa, dan salamah menunggu sambil duduk termenung menghadap sebuah wirid yang mereka baca mendoakan kesembuhan fitri. Sedangkan zali dan enthus berjalan kesana kemari gelisah memikirkan keadaan fitri, sembari komat-kamit membaca sesuatu yang tak dapat di dengar kecuali dari jarak yang sangat dekat. Di sela penantian yang sangat sepi itu, tidak baik jika seluruh penunggunya malah gelisah. Enthus yang terkenal orang pendiam mengawali pembicaraan dengan basa-basinya.
“Mbak Pondok, yang sakit itu bener fitri kan?” Tanya enthus mengawali pembicaraan
“Iya, kenapa?” Jawab sastri yang masih tampak memegang sebuah buku kecil
“Ya,..... tanya saja. Barangkali orang yang berbeda.”
“Lho, kok mas bilang gitu kenapa?” Tanya sastri penasaran
“Fitri tampak berbeda, saya lihat di mobil tadi dia bukan fitri yang biasanya mbak.”
“Kok mas tahu tentang fitri?”
“Karena dulu saya pernah menaruh simpati pada dia. Jadi saya sedikit tahu fitri itu kaya apa.”
“Oh, gitu. Terus sekarang mas masih menaruh simpati sama fitri?”Kembali tanya sastri pada enthus
“Sekarang sudah tidak.” Jawabnya ringkas
“Kenapa?”
“Karena saya baru sadar, kalau memang senang dengan salah satu santri putri silakan diikat, tapi jangan menangis ketika ia diambil orang lain. Dan saya tidak mau sakit kalau sewaktu-waktu saya menaruh harapan kepada salah satu santri putri tapi ternyata ketika ia diambil orang lain, saya tidak dapat berbuat apa-apa.”
“Kenapa?” tanya sastri penasaran
“Karena hubungan mereka diridlai abah, sedangkan hubungan saya dengannya belum tentu diridlai.” Jawab enthus tegas
“Oh, gitu. Ya gini mas, kalau menaruh harapan si boleh-boleh saja, tapi jangan terlalu berharap, karena kita tidak tahu apakah orang yang kita taruh harapan itu adalah jodoh kita. Toh, seandainya orang yang kita taruh harapan itu adalah jodoh kita, Allah pasti akan menyatukan, ya kan?”
“Bener juga mbak. Eh mbak, boleh tanya sesuatu nggak?”
“Boleh, tanya apa mas?” sastri penasaran
“Fitri sakit apa toh? Sebabnya apa? Mulai kapan? Gejalanya apa? Kenapa bisa seperti itu? apakah orang tuanya sudah tahu? Lalu kapan mereka akan ke pondok? Apa yang ia rasakan ketika ia sakit? Dan kira-kira sudah parah atau belum sakit yang diderita fitri?” tanya enthus panjang lebar.
“Hahahah, mas ini. Tanya satu per satu saja, kaya wartawan saja. Mbak fitri sakit tipus sudah beberapa hari ini, orang tuanya sudah dikabari tapi belum sempat ke pondok. Kalau dibilang parah ya belum terlalu parah, tapi kalau dibilang nggak parah udah terlanjur agak parah, heheheh. Kira-kira disini berapa hari,,,,, aku tidak bisa menentukan. Itu hanya dari keputusan dokter. Apa lagi yang akan ditanyakan? Heheheh.” Jawab sastri ringkas
“Sudah mbak. Eh, nama lengkap mbak siapa kalau boleh tahu? Hihihi.”
“Ah, mas ini. Ini bukan saatnya kenalan, sudah banyak kok santri putra yang tahu namaku. Panggil aja sastri, gitu aja! Eh mas sepertinya dokter udah selesai memeriksa mbak fitri.”
“Mana?”
“Itu, sudah kelihatan. Kita samperin saja.”
Tampak dokter yang memeriksa fitri sudah keluar dari ruang pemeriksaan. Secara spontan, rombongan itu mendatangi dokter yang baru saja keluar ruangan.
“Bagaimana dokter hasil pemeriksaan teman saya?”
“Emmm, apakah kalian semua adalah anggota keluarga pasien?”
“Bukan, kami teman sepesantrennya.” Jawab salamah
“Oh, dia di pesantren?”
“Iya, pak dokter.” Jawab Anisa nyelonong
“Gini mas, mbak, pak, bu, saya kompliti saja panggilannya khawatir salah nanti, hehe. Pasien hanya menderita tipus yang sudah agak parah. Sementara ini biar dia istirahat total dulu. Selain itu, beban fikirannya terlalu berat, jangan sampai dia memikirkan sesuatu yang sangat, pasien adalah orang yang cenderung pemikir jangan buat dia memikirkan hal yang berat, apalagi yang aneh-aneh.” Dokter menjelaskan
“Lalu apakah teman saya harus menginap disini?” tanya zali
“Tidak usah, perawatan rumah saja cukup. Atau salah satu atau dua orang dari kalian ke ruangan saya, nanti akan saya jelaskan semuanya.” Perintah dokter pada rombongan.
“Iya pak.” Jawab mereka serentak.
“Tapi ruang mana pak?” tanya zali
“Di ruang C5 saja. Dari sini lurus terus, lalu belok kanan, nanti di pojokan ada komplek C. cari saja ruangan nomor 5, nah... saya di ruang itu.”
“Iya pak, terima kasih.” Sahut zali.
Dokter segera pergi menuju ruangannya, sementara mereka berembug siapa yang akan menemui dokter. Debat demi debat mereka rundingkan hingga mendapat sebuah keputusan yang akan masuk menemui dokter adalah sastri dan zali sebagai santri tua di pesantren putra dan santri tua di pesantren putri.
Setelah selesai berunding, zali dan sastri berjalan menuju ruang C5 diikuti enthus, salamah, dan anisa di belakang mereka. Sesampai di depam pintu...
Thok thok thok....
“Silakan masuk.” Kata dokter dari dalam
Langsung saja, zali dan sastri masuk tanpa lupa mengucapkan salam. Lalu mereka duduk di depan dokter yang siap memberikan pemaparan kepada mereka berdua.
“Mas, mbak. Pasien menderita penyakit seperti yang saya sebutkan, dia bisa pulang malam ini juga. Pastikan pasien tidak memikirkan hal yang berat, tidak melakukan kegiatan yang berat, dan jagalah kesehatannya dengan memberikan makanan yang sehat, hindarkan dia dari panas matahari langsung dengan waktu yang lama, jangan diperbolehkan makan sarimie dan jenis makanan yang mengandung zat kimia terlalu banyak, dan yang paling penting hindarkan dari asap rokok.” Dokter menjelaskan
“Iya, pak terima kasih. Lalu obatnya gimana dok?” tanya sastri
“Ini, saya tuliskan menu obat, nanti beli obatnya di apotek yang ada di depan rumah sakit ini.” Kata doter memberi penjelasan
“Ya, terima kasih dok. Kami pamit dulu, lalu untuk pembiayaan bagaimana dok?” tanya sastri
“Untuk pembiayaan, mohon diurus saja di kasir mas. Sudah saya tuliskan seluruhnya disana.”
“Ya.” Kata sastri
“Kami pamit dokter, assalamu’alaikum.” Zali mengakhiri percakapan.
“Wa’alaikumussalam.” Dokter menjawab dengan senyum
-(***)-
Segera mereka membeli obat dan mengurus administrasi rumah sakit, kemudian kembali ke pesantren sekitar pukul 21.30. selama kurang lebih setengah jam mereka dalam perjalanan berteman dengan lelah dan kantuk di penghujung sepertiga malam yang hening dan merintik hujan menghias di luar kaca jendela mobil. Tak lama kemudian sampailah mereka di halaman pesantren Al Ihsan. Ketika zali dan teman-teman yang mengantar fitri ke rumah sakit membuka pintu mobil, berbondong-bondong santri putri menyambut mereka dengan beribu pertanyaan, namun karena zali merasa belum saatnya bagi santri-santri untuk mengetahui keadaan maka zali segera membawa fitri menghadap pengasuh pesantren dahulu. Hal itu untuk mengantisipasi adanya hal yang perlu disembunyikan dari santri yang ingin mengetahui keadaan fitri supaya santri yang ingin menjenguk fitri tidak takut dan ragu akan penyakit yang diderita fitri.
Di depan pintu kediaman pengasuh...
“Assalamu’alaikum...” salam zali terlontar di depan pintu
“Wa’alaikumussalam warahmatullah...” Jawab kyai maimun dari dalam, “Masuk saja zali!” perintahnya pada zali yang masih berdiri di depan pintu dan di belakangnya tampak sastri dan salamah menggendong fitri yang tampak lemas
“Iya kyai, saya dan kawan-kawan masuk.”
Dengan lengkah mantab, mereka masuk ke ruang tamu dan bermaksud menghadap kyai Maimun. Kyai Maimun masih melanjutkan mengaji di ruang tengah bersama dengan putra-putranya yang sudah menginjak dewasa. Sembari menunggu kyai maimun selesai mengaji bersama dengan sang putra-putranya, zali dan kawan-kawannya mempersiapkan apa saja yang akan dihaturkan pada pengasuh pesantren tersebut.
Dan sekitar 15 menit mereka menunggu, akhirnya kyai maimun beranjak ke ruang tamu menemui zali dan rombongan dari rumah sakit.
“Kalian sudah pulang? Lalu bagaimana hasil pemeriksaan fitri?” kyai Maimun mengawali pembicaraan.
Zali dan sastri saling memperkuat jawaban, sama persis seperti yang diutarakan oleh dokter sewaktu di rumah sakit.
“Dan ini obatnya abah. Lalu apakah orang tua mbak fitri harus diberi tahu tentang perawatan ini?” tanya zali setelah sastri dan zali saling memperkuat argumen di hadapan pengasuh.
“Masalah pemberitahuan kepada orang tua fitri. Jika untuk administrasi dan perawatan fitri cukup dilakukan oleh santri-santri pesantren, orang tua fitri tidak usah diberi tahu. Namun sebaliknya jika perawatan dan administrasi tidak dapat ditanggung oleh dana pondok ya... salah satu diantara kalian yang memberi tahu orang tua fitri di rumah. Apakah dana administrasi dan perawatan sanggup kalian jalankan untuk merawat fitri selama sakit sampai kira-kira fitri sembuh dari penyakitnya?” tanya kyai Maimun.
“Insya Allah, kalau untuk dana administrasi rumah sakit sudah kami tanggung dan cukup, karena penyakit mbak fitri meurut dokter tidak terlalu parah. Dan untuk perawatan keseharian mbak fitri insya Allah akan diurus oleh santri pengurus. Maka, untuk saat ini orang tua mbak fitri tidak perlu diberi tahu terlebih dahulu.” Sanggah sastri tegas.
“Alhamdulillah kalau begitu. Eh sastri, kalau sewaktu-waktu kamu membutuhkan sesuatu untuk perawatan fitri, ambil saja di belakang. Tanya istriku saja kalau ada kekurangan dalam perawatan fitri.” Kata kyai meyakinkan perawatan fitri yang akan dilakukan di pesantren putri.
“Iya abah. Insya Allah kalau untuk urusan akomodasi selama mbak fitri sakit kami sanggup, dan jika ada kekurangan konsumsi akan kami sampaikan pada ibu. Terima kasih abah.” Jawab sastri.
“Ya sudah kalau begitu, terima kasih zali sudah mau mengantar fitri menjalani pemeriksaan. Dan tadi kamu ngajak siapa itu? kok aku belum kenal.” Tanya kyai pada zali yang sedang termenung menahan kantuk
“Namanya aliman bah.” Jawab zali
“Oh ‘Aliman. Kamu sama si aliman habis ini makan ya? Tadi belum sempat makan kan waktu nganter fitri ke rumah sakit?”
“Iya bah, terima kasih.”
“Ya sudah, kalian santri putri bawa fitri kembali ke pesantren. Dan kamu zali, aliman pergi ke belakang habis itu pulang ke pesantren.”
“Iya bah.” Jawab mereka serentak
Lima belas menit bertatap muka dengan kyai maimun dengan penjelasan yang diutarakan dari dokter, setelah itu sastri, fitri, salamah, dan anisah kembali ke pesantren putri. Sedangkan zali dan enthus pergi ke belakang mengambil bahan makanan untuk dimasak bersama teman sekamarnya esok pagi.
-(**)-

No comments:

Post a Comment