HUKUM WASILAH
Al-Wasilah secara etimologi (bahasa) adalah segala hal yang dapat menyampaikan serta dapat mendekatkan kepada sesuatu. Bentuk jamaknya adalah wasaa-il.
Wasilah secara terminologi (syar’i) adalah yang diperintahkan didalam Al-Qur’an adalah segala hal yang dapat mendekatkan diri kepada Allah I yaitu berupa amal ketaatan yang disyariatkan. Allah I berfirman:
“Hai orang-orang yang beriman bertaqwalah kepada Allah dan carilah jalan yang mendekatkan diri kepada-Nya, dan berjihadlah pada jalan-Nya, supaya kamu mendapat keberuntungan” (QS Al-Maa-idah: 35)
Ibnu Abbas ra berkata: “Makna Wasilah dalam ayat tersebut adalah peribadahan yang dapat mendekatkan diri kepada Allah (al-Qurbah).” Demikian pula yang diriwayatkan dari Mujahid, Abu Wa’il, al-Hasan, ‘Abdullah bin Katsir, as-Suddi, Ibnu Zaid dan yang lainnya. Qatadah berkata tentang makna ayat tersebut:
“Mendekatlah kepada Allah dengan mentaati-Nya dan mengerjakan amalan yang diridhai-Nya” Tafsir Ibnu Jarir ath-Thabari (IV/567), Cet. Daarul Kutub al-Ilmiyyah dan Tafsir Ibni KAtsir (II/6). Cet. Daarus Salaam.
Adapun tawassul (mendekatkan diri kepada Allah dengan cara tertentu) ada tiga macam:
Masyru’, Yaitu tawassul kepada Allah U dengan Asma’ dan Sifat-Nya dengan amal shalih yang dikerjakannya atau melalui do’a orang yang shalih yang masih hidup.
Bid’ah, yaitu mendekatkan diri kepada Allah U dengan cara yang tidak disebutkan dalam syariat, speperti tawassul dengan para Nabi dan orang-orang shalih, dengan kedudukan mereka, kehormatan mereka dan sebagainya.
Syirik, bila menjadikan orang-orang yang sudah meninggal sebagai perantara dalam ibadah, termasuk do’a kepada mereka, meminta hajat dan memohon pertolongan kepada mereka. (Mujmal Ushuul Ahlis-Sunnah wal Jamaa’ah fil ‘Aqidah hal 15-17)
Penjelasan dengan Tawassul yang Masyru’Tawassul yang masyru’ (yang disyariatkan) ada 3 Macam:
Tawassul dengan Nama-nama dan Sifat-sifat Allah.
Yaitu seseorang yang memulai do’a kepada Allah dengan meng-agungkan, membesarkan, memuji, mensucikan terhadap dzat-Nya yang Mahatinggi, Nama-Nama-Nya yang indah dan Sifat-Sifat-Nya yang tinggi kemudia berdo’a dengan apa yang Dia inginkan dengan menjadikan pujian, pengagungan dan pensucian ini hanya untuk Allah agar Dia mengabulkan do’a dan mengabulkan apa yang dia minta kepada Rabb-nya. Dalil dari al-Qur’an tentang tawassul yang masyru’ ini adalah firman Allah Ta’ala:
Hanya milik Allah asmaa-ul husna , maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut asmaa-ul husna itu dan tinggalkanlah orang-orang yang menyimpang dari kebenaran dalam (menyebut) nama-nama-Nya . Nanti mereka akan mendapat balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan.(QS Al-Araaf: 180) Berkata Abu yusuf dari Imam Abu Hanifah -rahimahumullah- : “Tidak sepantasnya bagi seseorang untuk berdo’a kepada Allah kecuali dengan Nama-Nama dan Sifat-Sifat-Nya. Dan tidak diragukan lagi apabila telah shahih dari Nama-Nama Allah, maka begitu juga dalam sifat-sifat-Nya. Karena sebagian Nama-Nama Allah berasal dari Sifat-sifat-Nya. Dan tidak masuk akal apabila sifat-sifat itu ada bagi sesuatu yang tidak memiliki dzat.“Dalil dari As-Sunnah tentang tawassul yang masyru’ ini adalah hadits yang diriwayatkan dari ‘Abdullah bin Buraidah, dari ayahnya ra , bahwa Rasullulah saw mendengar seseorang mengucapkan:
“Ya Allah, aku mohon kepada-Mu. Sesungguhnya bagi-Mu segala pujian, tidak ada ilah yang berhak diibadahi degan benar kecuali Engkau Yang Mahaesa, tidak ada sekutu bagi-Mu, Mahapemberi Nikmat, pencipta langit dan bumi tanpa contoh sebelumnya. Ya Rabb Yang memiliki keagungan dan kemuliaan, ya Rabb Yang Mahahidup, ya Rabb yang mengurusi segala sesuatu, sesungguhnya aku memohon kepada-Mu agar dimasukkan (ke Surga dan aku berlindung kepada-Mu dan siksa Neraka)“. Rasullulah saw bersabda:
“Sungguh engkau telah meminta kepada Allah dengan Nama-Nya Yang paling Agung yang apabila seseorang berdo’a akan dikabulkan, dan apabila ia meminta akan dipenuhi permintaanya.” (HR Abu Dawud no 1495, an-Nasa’i III/52, dan Ibnu Majah 3858, dari sahabat Anas bin Malik t . lihat shahih ibnu majah II/329)
Juga hadits lain yang diriwayatkan dari Anas bin Malik, Rasullulah saw
“Wahai Rabb Yang Mahahidup, wahai Rabb Yang Mahaberdirisendiri (tidak butuh segala sesuatu) dengan Rahmat-Mu aku meminta pertolongan, perbaikilah segala urusanku dan jangan diserahkan kepadaku meski sekejap mata sekali pun (tanpa mendapat pertolongan-Mu).” (HR. An-Nasa’i, al-Bazzar dan al-Hakim I/545. Hadits ini hasan, lihat shahiihut Targhib wat-Tarhiib I/417, no 661) berdo’a:
Seorang Muslim bertawassul dengan Amal shalihnya
Allah Ta’ala berfirman: (Yaitu) orang-orang yang berdo’a: Ya Tuhan kami, sesungguhnya kami telah beriman, maka ampunilah segala dosa kami dan peliharalah kami dari siksa neraka,” (QS Ali-Imran: 16)Dalil lainnya adalah tentang kisah tiga orang penghuni gue yang bertawassul kepada Allah dengan Amal-amal mereka yang shalih lagi ikhlas, yang mereka tujukan untuk mengharap wajah Allah yang Mahamulia, maka mereka diselamatkan dari batu yang menutupi mulut gua tersebut. (HR Bukhari no 2272, 3465 dan Muslim no 2743)
Tawassul kepada Allah dengan do’a orang shalih yang masih hidup.
Jika seorang Muslim menghadapi kesulitan atau tertimpa musibah besar, namun ia menyadari kekurangan-kekurangan dirinya dihadapan Allah, sedang ia ingin mendapatkan sebab yang kuat kepada Allah, lalu ia pergi kepada orang yang diyakini keshalihan dan ketakwaanya, atau memiliki keutamaan dan pengetahuan tentang al-Qur’an dan Sunnah, kemudian ia meminta kepada orang shalih itu agar berdo’a kepada Allah untuk dirinya, supaya ia dibebaskan dari kesedihan dan kesusahan, maka cara demikian ini termasuk tawassul yang dibolehkan seperti:
pertama, hadits yan gdiriwayatkan oleh Anas bin Malik ra, ia berkata: “Pernah terjadi musim kemarau pada masa Rasulullah saw , yaitu ketika Nabi saw berkhutbah dihari Jum’at. Tiba-tiba berdirilah seorang Arab Badui, ia berkata: ‘Ya Rasulullah telah musnah harta dan telah kelaparan keluarga‘ Lalu Rasulullah mengangkat kedua tanggannya seraya berdo’a: ‘Ya Allah turunkanlah hujan kepada kami. Ya Allah, turunkanlah hujan kepada kami‘. Tidak lama kemudian, hujanpun turun” (HR Bukhari no 932, 933, 1013 dan Abu Dawud no. 1174)kedua, hadits yang diriwayatkan oleh Anas bin Malik bahwa Umar bin al-Khaththab ra -ketika terjadi musim paceklik- ia meminta hujan melalui Abbas bin Abdil Muththalib saw , lalu berkata: “Ya Allah, dahulu kami bertawassul kepada-Mu melalui Nabi kami, lalu Engkau menurunkan hujan kepada kami. Sekarang kami memohon kepada-Mu melalui paman Nabi kami, maka berilah hujan.” Ia (Anas bin Malik) berkata: “Lalu merekapun diberi hujan” (HR Bukhari no 1010 dan Ibnu Sa’d dalam ath-thabaqaat IV/28-29 dan Mukhtashar al-Bukhari no 536)