di bawah ini jokosungsang sedikit sharingkan sebuah karya yang telah diseleksi menjadi juara 1 lomba cipta puisi yang diselenggarakan PP IPPNU Jakarta. karya cerpen Pesan Bunda dibuat oleh santri dengan data sebagai berikut:
Nama Asli : Naili Halimah
Tempat, Tanggal
Lahir : Magelang, 21 Juni 1990
Alamat :
Dusun Bugangan, Desa Trasan,Kecamatan Bandongan
Kabupaten Magelang, Propinsi Jawa Tengah
Kode Pos : 56151
Telephone : 081328122907 /
085743902738
Nama lembaga
Pendidikan : Pondok Pesantren
Ma’ahidul ‘Irfan
Alamat Lembaga : Dusun Soropaten, Desa
Gandusari,
Kecamatan Bandongan,
Kabupaten Magelang,
Propinsi Jawa Tengah
Kode Pos : 56151
dan di bawah ini adalah karyanya, silakan dibaca dan dipahami!hehehe
PESAN
BUNDA
Jam
bandul di masjid pondok berdentang tiga kali. Gema suaranya merambat ke segala
penjuru mata angin yang mampu dicapai dengan kakuatan dentangan itu sendiri.
Pada akhirnya gelombang ultrasonic itu menggelitik gendang telinga kang rahmat.
Mata beratnya mencoba menangkap cahaya agar bisa melihat di sekitarnya,
mengerjap-ngerjap, masih ngantuk, ia hampir terlelap kembali. Tapi ketika
matanya menangkap sosok kecil Haikal yang meringkuk dalam pelukannya, ia tak
jadi tidur kembali meski mata yang baru terlelap tadi jam 1, merengek minta
diistirahatkan.
Dengan
penuh kasih kang Rahmat memandang wajah Haikal, wajahnya masih meski jauh lebih baik dari saat pertama kali
datang. Bekas-bekas air wudhu belum kentara memancarkan cahaya wajahnya, itu
bisa dimaklum dia baru 2 pekan mukim di pondok. Hati kang Rahmat terasa sakit
melihat wajah pucat Haikal. Dengan mata membengkak karena sudah 3 hari ini dia
nangis terus, dia tampak lebih kurus dari biasanya.
“Ada
apa sebenarnya Kal?”Tanya kang Rahmat sambil mencium kening Haikal lembut. Kang
Rahmat sangat menyayangi Haikal, bocah berusia 12 tahun itu telah ia anggap
adik sendiri bahkan terkadang kang Rahmat merasa Haikal seperti anaknya. Ia tak
bisa membiarkan anak sekecil Haikal hidup sendiri meski harus dilatih mandiri.
“Sudah
bangun?”tanya kang Rahmat saat dilihatnya mata bengak Haikal mengerjap-ngerjap.
Dalam hati kang Rahmat berdoa semoga
Haikal tidak merengek minta pulang seperti 3 hari ini. Ia khawatir Haikal
benar-benar akan melarikan diri seperti katanya tadi malam.
“Jam
berapa kang?”Tanya Haikal serak, ia menarik sarung sampai keleher dan
merapatkannya ketubuh, meringkuk kembali dengan mata merem-melek.
“Tahajud
yuk”ajak kang Rahmat, Haikal mengangguk kecil tapi tetap dalam posisi semula.
Kang Rahmat bangkit dan menawarkan punggungnya untuk Haikal. Tapi bocah itu malah
diam sambil mengucek-ngucek matanya.
“Ayolah
…”bujuk kang Rahmat seraya memunggung Haikal, agar Haikal mudah naik ke punggungnya”Berat
lho kang”serak Haikal masih dengan mata menyipit.
“Apa,
berat? Mana mungkin kal, lihat tanganmu aja separuh tanganku, mana mungkin
bagiku kamu berat, cepet naik dari pada nanti kamu kejebur kolam” jawab kang
Rahmat seraya menarik Haikal kepunggungnya. Tanpa terasa rasa damai merasuki
jiwa Haikal ditengah rasa gundahnya Haikal menemukan muara kesejukan.
Dengan pasrah Haikal
meletakkan kepalanya dipunggung kang Rahmat, mencoba merengkuh
semua rasa damai dan hangat dari kang Rahmat. Tangan kecil Haikal terulur
melingkar dileher kang Rahmat.
“Kang
aku pengen pulang”rengek Haikal, suara seraknya menggema dalam hati kang
Rahmat, suara itu seakan transfer rasa sakit akan luka dihati Haikal. Matanya
mulai berkaca-kaca”kapan kang aku boleh pulang”serak Haikal kembali. Kini air
mata sudah tak kuasa ia bendung, hening itu mulai mengalir dan jatuh dipunggung
kang Rahmat. Kang Rahmat merasakan punggungnya menghangat, ikut merasakan sesak
yang dirasakan Haikal. Ia diam, habis kata-kata untuk menenangkan Haikal. Ia
tak tahu bagaimana cara menolong Haikal sedang ia sama sekali tak tahu apa yang
tengah menimpa Haikal.”Sabar Kal…..Allah pasti memberi jalan, dibalik segala
sesuatu itu pasti ada hikmahnya”akhirnya hanya kata-kata itu yang keluar dari
mulut kang Rahmat, setelah meraba-raba, kira-kira apa yang menyebabkan Haikal
jadi seperti itu.
Sampai
di depan masjid kang Rahmat menurunkan Haikal dianak tangga teratas. Mereka
duduk bersebelahan. Mata bengkak Haikal masih saja basah bahkan sesekali air
mata mengalir dipipi kurusnya. Dengan penuh kasih sayang kang Rahmat merangkul
bahu Haikal, mencoba memberi kekuatan pada hati Haikal melalui tangan kokohnya.
“Sudahlah
Kal, tar kamu malah kehabisan air mata, kamu mau nangis tapi gak keluar
matanya”hibur kang Rahmat mencoba melucu. Tapi bukannya diam atau tersenyum
kecil Haikal malah makin serenggukan.”Aduh malah jadi gini”batin kang Rahmat,
pikirnya melayang mencoba menelusuri jejak-jejak hidup di 3 hari yang lalu coba
mencari onak apa yang telah merebut senyum dan keceriaan Haikal. Yah kini kang
Rahmat ingat 3 hari yang lalu ada surat dari rumah dan sejak itulah Haikal
berubah jadi pendiam, suka menyendiri dan sering nangis.
“Sebenarnya
kamu ini kenapa? Kemarin-kemarin aja kamu ceria, kamu bilang juga kerasan, lha ini
kenapa kok kamu jadi nangis terus begini, apa ada yang jail atau….”
“Aku
ingin pulang kang,….”Haikal menghapus air matanya, menahan isak tangisnya. Kang
Rahmat mendesah, ia turut merasa tak menentu melihat keadaa Haikal.
Dengan
lembut kang Rahmat membelai kepala Haikal, menyandarkan kepala Haikal ke
pundaknya,sejenak suasana hening dan diam.”Haikal kamu ingat, kamu pernah
bilang mau jadi anak yang sholeh,menjadi orang yang pinter ngaji bisa ndongakke
marang wong tuwo loro seperti yang ibu kamu harapkan, kamu harus kerasan, harus
bertahan hingga 40 hari baru pulang, kamu kamu masih ingatkan pesan dan harapan
ayah ibu kamu sebelum kamu ke sini.”nasihat okkang Rahmat”masa baru 2 pekan
udah mau pulang, dapet apa kal, juz ‘amma aja belum hafal gimana bisa mendoakan
orang tua, ingat kal apapun yang terasa berat dihati kita itu cobaan untuk
orang yang sedang menuntut ilmu, di mana-mana orang menuntut ilmu pasti dicoba
oleh Allah. Dan kamu harus tahu kal, Allah itu mencoba kita menurut kadar
kemampuan kita”panjang lebar kang Rahmat menasihati. Bukannya diam tangis
Haikal kian menjadi, ia teringat semua nasihat ibunya saat ia berangkat, ingat
kata-kata serat makna yang mengalir dari jiwa ibunya ketika ia hendak berangkat
mondok, air mata orang tua itu tak berjeda, terus mengalir mengantar kepergian
Haikal, antara rela dan tak rela, antara berat dan harapan tinggi akan putea
semata wayangnya.”hiks…….ibu maafkan Haikal ibu….”
“Ada
apa kang?”Tanya Rusydi yang mimpi indahnya terganggu oleh tangis Haikal,
beberapa santri yang tidur di serambi masjid juga terbangun karena tangisan
Haikal.
“Ini
kang, Haikal masih minta pulang”sahut kang Rahmat tak enak hati.
“Oh…..”kang
Rusydi maklum segera berlalu. Sepeniggal kang Rusydi, kang Rahmat langsung memeluk
Haikal, membiarkan Haikal menangis didadanya.”Ayo katanya mau tahajud”bisik
kang Rahmat setelah Haikal tenang.”Jangan lupa berdoa sama gusti Allah semoga
kita diberi hati yang istiqomah, semoga kuat menghadapi cobaan, semoga diberi
ilmu yang bermanfaat dunia akhirat, semoga kita bisa bakti sama orang tua,
doakan bapak, emak di rumah, kita di sini disuruh ngaji dan berdoa mereka,
bukan buat nangisi mereka, dipundak kita ada beban, kita harus jadi orang
berilmu lagi mengamalkan ilmunya seperti harapan orang tua kita, agar kita bisa
manfaati buat akhirat mereka……yuk kita wudhu” usai berkata begitu kang Rahmat
membimbing Haikal ke kolam untuk mengambil air wudhu.
Musik
masih menggema, nyanyian ribuan jangkrik masih memenuhi jagat malam itu, di
langit bulan sabit merajai lukisan malam dan kerlip bintang-gemintang di lautan
pekat petaka angkasa. Di dalam masjid pondok, diantara santri-santri yang
tengah khusyu’ qiyamul lail, Haikal bersimpuh di atas sajadahnya, air mata yang
terus mengalir sejak ia takhbirotul ihrom tadi kini tumpah ruah di atas
sajadah. Hati yang senantiasa gundah berselimut prasangka pada Allah, ia
pasrahkan sepenuhnya pada yang menciptakan jagat raya. Ia mengadu segala duka
lara hati pada illahi, memasrahkan takdir pada yang berhak merubah takdir.
Dalam benaknya, berkelebat bayangan pucat ibunya, tersenyum memudakan kembali
segala nasihat yang pernah diberi, merobok kembali luka dihati.
“Illahi……hanya
pada-Mu kembalinya segala sesuatu, hanya ditangan-Mu segala apa yang ada, kau
Penguasa Yang Maha Perkasa namun begitu bijaksana….Robb….atas ridho dan
rahmat-Mu, atas taufiq dan hidayah-Mu, kuatkan hamba hadapi segala
cobaan…..beri hamba rizqi ilmu yang bermanfaat…..Robb…..beri hamba kekuatan,
kesehatan, kemudahan dalam menuntut ilmu-Mu jauh disana ya robb, semoga engkau
senantiasa melebarkan sayap rahanan rahim-Mu pada ayah ibu limpahkan beribu
kebaikan atas mereka ya robb…….”Haikal terus berdoa dengan linangan air mata,
terus memohon dengan kerendahan jiwa untuk kedua orang tuanya.
Di
pojok shaf pertama kang Rahmat menatap Haikal sedih. Diam-diam kang Rahmat
menyelinap keluar masjid, angin menyapanya di tengah keremangan cahaya lampu,
membuatnya menggigil kedinginan, bulu romanya meremang. Tapi kang Rahmat tak
peduli,ia tetap melangkahkan kaki, kembali menyusuri jalan menuju pondok,menuju
kamar 7, kamar yang terletak paling ujung dari 7 kamar yang ada.
Sesampainya
di kamar kang Rahmat segera menghampiri tempat baju Haikal, mencari-cari kertas
yang menurutnya membuat Haikal bermuram durja. Lama kang Rahmat membuka-buka
sela pakaian Haikal, nihil. Setelah merapikan kembali pakaian Haikal kang
Rahmat beralih ke tempat kitab Haikal yang isinya cuma beberapa buku tulis dan
kitab. Dengan mudah kang Rahmat menemukan amplop putih itu didalam kitab arbain
nawawi. Perlahan dengan hati berdebar kencang kang Rahmat membuka amplop itu
membuka lipatan kertas kecil itu, tampaklah secarik kertas dengan barisan rapi
rangkain kata tampak benar surat itu ditulis dalam keadaan tak menentu,
tulisannya sedikit tak karuan, tanpa pembuka maupun penutup,singkat padat dan
langsung pada inti permasalahan.
Ananda
tercinta……bolehkah bunda bermain kata….meski teramat singkat, Haikal sayang
maafkan bapak, bunda telah melanggar aturan pondok, dengan berkirim berita pada
waktu yang salah, tapi…..Haikal…..ibu hanya berpesan …..doakan ibu nak…..ibu
sedikit demam……doakan ya semoga lekas sembuh dan bisa bantu ayah di
rumah….kasihan ayah harus masak nyuci sendiri belum lagi ngurus ibu. Haikal
uangnya masihkan, dihemat dulu ya…..mungkin kirimannya agak telat…….maafkan
ayah ibu Haikal……jangan lupa ngaji yang benar, berdoa buat kebaikan semuanya.
Percaya Allah itu kuasa…..pesan ibu nak…..kerasan di pondok ya, ngaji yang
temen…..di barengi doa dan riadhoh……jangan lupa puasa ya nak, masani ilmumu
biar sedikit yang penting manfaat.
Tanpa
terasa air mata kang Rahmat menitik membaca surat yang begitu menyentuh dan
serat akan nasihat itu, tapi di sudut hatinya ada rasa yang mengusik ketenangan
batinnya. Entahlah , dosa apakahtidak jika ia sama sekali tak percaya akan isi
surat itu hati kecilnya berkata bahwa ibu Haikal tak hanya demam, ia merasa ada
yang lebih menghawatirkan dari sekedar demam, mungkin Haikal juga merasa
seperti itu,pantas dia begitu sedih dan ngotot minta pulang. Kang Rahamt tahu
dan paham perasaan Haikal, dia juga anak tunggal yang sangat disayang.
Suara
adzan subuh terdengar bersahut-sahutan, suara merdu kang Maimun terdengar
paling jelas bagi kang Rahmat. Cepat-cepat ia melipat surat Haikal kembali,
mengembalikannya ke tempat semula dan segera berlari ke masjid bersama para
santri yang baru saja terjaga dari mimpinya.
Usai
sholat shubuh, Haikal masih duduk di tempat semula, ia bermunajat dengan
teramat khusyuknya begitu Haikal meraupkan kedua tangannya kewajah. Kang Rahmat
mendekatinya, duduk di sampingnya.
“Ngaji
kang?”Tanya kang Rahmat begitu Haikal menatapnya. Anak itu mengangguk, lalu
mereka berdua segera bangkit berjalan beriringan keluar dari masjid. Mereka
tampak seperti bapak dan anak.
“Kang
Haikal duluan ya”pamit Haikal lalu berbelok ke aula tempat para santri ngaji
sama Abah atau pengasuh pondok pesantren.
“Ya….sudah
hafalkan?”
“Insyaallah
kang”sahut Haikal yang separuh tubuhnya telah menasuki aula. Begitu Haikal bergabung
dengan santri-santri yang tengah menunggu Abah rawuh. Kang Rahmat pergi ke
kantor pondok. Di sana ada kang Umam ketua pondok. Langsung saja kang Rahmat
mengutarakan maksud kedatangannya ke kantor untuk meminjam HP pondok dan
menceritakan sekilas tentang Haikal.
“Ini
kang”kang Umam menyerahkan HP Nokia itu pada kang Rahmat.”Makasih ya kang.”
“Semoga
tak separah yang kita bayangkan.”gumam kang Umam.
“Aku
harap juga gitu kang.”balas kang Rahmat sambil menghubungi nomor yang tadi ia catat
disecarik kertas saat ia mencari-cari surat dari ibu Haikal. Tak lama kemudian
terdengar nada sambung.
“Assalamu’alaikum……bapak
ini teman Haikal…”terang kang Rahmat sebelum ayah Haikal bertanya, alih-alih
mendapat jawaban kang Rahmat malah
mendengar helaan nafas panjang kemudian hening……”hiks……nak Rahmat.”Suara di
seberang serak dan berat. Seketika pikirannya melayang, ia teringat Haikal.
Hatinya bergemuruh seakan dirinya adalah Haikal. Jantungnya berdegup kencang
bersiap menerima kabar terburuk yang akan menghempaskannya dalam lautan air
mata.
“Ah……bila
aku sesakit ini bagaimana dengan Haikal yang benar-benar pemeran utama.”batin
kang Rahmat yang tak sadar air matanya telah meleleh.
“Gimana
keadaan ibu pak?”lirih kang Rahmat begitu ia mampu menguasai perasaan. Diam,
hanya isak kecil, tak ada jawaban dari seberang.
“II…..I busa sakit
nak…..gi…..gi…..ginjalnya…..ha…harus di ….operasi cangkok ginjal.”
“Innalilahi……”batin
kang Rahmat
“Doakan
ya nak….se semoga ada donor ginjal dan operasinya berhasil.”
“Tentu
pak kami akan berdoa untuk ibu.”sahut kang Rahmat dengan hati carut maut.
“Nak….jangan
sampai Haikal tahu, rahasiakan ini dari Haikal, bi…bilang saja ibu sudah
baikan……sudah dulu ya nak bapak masih banyak kerjaan.”
“Ya
assalamu’alaikum….wr…wb..”
Terdengar
suara serak ayah Haikal menjawab salam sebelum sambungan terputus. Kang Rahmat
menghela nafas berat, dikembalikannya HP kepada kang Rahmat.”Harus operasi
cangkok ginjal, parahnya sampai hari ini belum ada donor yang cocok.”kata kang
Rahmat lemah menjawab tanda tanyanya diwajah kang Umam”tolong jangan bilang
sama Haikal”gumam kang Rahmat lagi.
“Kasihan
baru 2 pekan mondok cobaannya sudah seberat ini”sahut kang Umam turut sedih
“Yah
anak sekecil itu sudah belajar mandiri”
“Ada
kang rahmat?” tiba-tiba kang syamsul nongol, “Tu, dicari haikal!” Tambahnya
ketika sudah melihat kang rahmat. Mendengar itu, kang rahmat segera bangkit,
pemitan pada kang umam kemudian berlalu dari kantor pondok untuk menemui
haikal.
Tak
terasa hari sudah beranjak siang, dikiranya suasana masih remang tapi pada
kenyataannya mentari sudah sedikit menampakkan sinarnya. Hari yang cerah
membuat suasana pagi terang lebih awal, tentu saja burung-burung menyambut
suasana cerah itu bersuka cita.
Tanpa
banyak kata kang rahmat bergegas menuju masjid, dia hafal betul haikal paling
suka tiduran di bawah beduk masjid samba menghafal juz amma atau hadits. Jam…
jam segini biasanya sepi, meski tak sesepi kuburan paling ada beberapa santri
yang sedang menghafal atau I’tikaf sambil menunggu waktu dhuha.
Benar
saja sampai di depan masjid kang rahmat melihat haikal sedang tiduran di bawah
beduk beralaskan sajadahj sambil menghafal juz amma. Tanpa mengganggu aktifitas
haikal, kang rahmat duduk di samping beduk, sebenarnya tiap kali kang rahmat
melihat haikal tidur di bawah beduk, ia ingin selalu tertawa. Gimana enggak,
orang haikal jadi kaya ulat digencet batu. Dengan ukuran beduk yang besarnya
10x lipat tubuh haikal, “Cari aku ya?” Tanya kang rahmat saat haikal
menghentikan menghafalnya. Haikal menutup juz amma yang dibawanya dan
meletakkan di atas penyangga beduk. “Sini, jangan di situ, aku kan gak bisa
masuk!” imbuh kang rahmat sambil menarik sajadah haikal tapi haikal berkelit
dengan tampang sedihnya, “Heh, kesini bocah nakal!” gerutu kang rahmat beralih
menangkap ujung sarung haikal lalu menariknya hingga sarung itu sedikit lepas
dari tubuh haikal. Begitu haikal dekat, kang rahmat segera menang kap kaki
haikal dan menariknya hingga tubuh haikal keluar dari bayang beduk.
“Aku
pengen pulang kang.” Gumam haikal tenpa merapikan sarungnya, matanya menerawang
jauh entah kemana. “Huh, pulang lagi, pulang lagi” batin kang rahmat mulai
pusing.
“Mau
pulang, mo apa? Wong kamu tuh disuruh ngaji yang bener, biar jadi anak sholeh
yang bisa mendoakan dan menolong orang tua di akhirat kok malah minta pulang?”
kang rahmat menrebahkan tubuhnya di samping haikal sambil melepas songkoknya,
dalam hati ia berniat I’tikaf, yah itung-itung sambil menyelam minum air. “Em…
niat I’tikafkan?” lanjut kang rahmat.
“Sudah
kang, tapi aku mau pulang.” Rengek haikal yang kini perasaannya benar-benar tak
nyaman, bayangan ibunya yang tengah terbaring tak berdaya mengiris-iris
hatinya.
“Sudahlah
kal, bukannya kamu lebih baik disini? Bukannya kamu kalau di rumah malah
merepotkan ayah ibu kamu, mau apa di rumah, tak ada yang bisa dikerjakan oleh
anak sekecil kamu!”
“Ibu…sa…
sakit kang.” Haikal mulai menangis lagi, menangis lepas, sepertinya ia
merasakan lega karena beban berton-ton yang selama ini ia pikul sendiri sudah
mampu ia lepaskan. “Aku tak percaya ibu Cuma demam, perasaanku tak enak kang,
seperti ada yang…”
“Ssssst, jangan berkata begitu!” kang rahmat
memiringkan badan lalu membelai rambut haikal dengan lembut. Ditariknya haikal
agar lebih dekat lalu membenamkan wajah haikal di dadanya.
“Jangan
berprasangka buruk dulu, siapa tau itu Cuma perasaanmu terlalu khawatir atau
terlalu kangen, bisa sajakan?” Tanya kang rahmat serak tak kuasa menahan
perasaannya, air matapun tak kuasa dibendung, nemun lekas-lekas kang rahmat
menghapusnya. Ia tak mau haikal tau ia menangis. “Ah, apa yang harus aku
lakukan Ya Allah?” batin kang rahmat merintih.
“Tapi
kang, aku…”
“Tidak
baik berprasangka pada Allah, berdoa saja semoga ibu kamu lekas sembuh.” hibur
kang rahmat. Haikal tampak berpikir, perlahan tangisnya mereda meski ia masih
serenggukan. Ia melepaskan diri dari pelukan kang rahmat, menghapus air matanya
dengan ujung kemejanya. Meski wajah itu masih tampak mendung, tapi haikal sudah
lebih tenang “Benar juga yang kang, selama in iaku terlalu dekat sama ibu, aku
tak pernah jauh dari ibu, aku seperti ekor ibu, kemana saja selalu ikut kecuali
di kamar sih takut sama ayah, dulupun kalau ibu sakit, aku suka ikut-ikutan
sakit.”
“Tuh
kan bener, kamunya aja yang terlalu percaya sama perasaan… tapi jangan lupa
doakan ibumu semoga lekas baikan dan yang pasti kamu harus sabar dan ikhlas
menerima cobaan.”
“Itu
pasti aku usahain kang, aku kan pengen jadi anak yang bakti sama orang tua. Ibu
bilang aku harus kerasan, harus jadi anak yang sholeh biar berguna bagi orang
tua gitu kang.” Kata haikal ceria. Dia tersenyum manis sambil mengusap
sisa-sisa ai mata dan ingusnya, melihat tingkah haikal, hati kang rahmat
merintih. Ingin rasanya ia menangis, matanya mulai memanas.
“Udah…udah
ngocehnya sekarang menghafal lagi, biar nanti ditambah. Malu kan kalau ngulang
seperti kemarin? Masa surat Az Zalzalah yang Cuma 8 ayat gak hafal? Bukan anak
cerdas namanya.” Kang rahmat memasang tampang lucu, mencoba menghilangkan
perasaannya untuk sekian waktu
“hehehe…namanya
juga lupa kang.” Sahut haikal sambil meraih songkok dan juz amaa
“Tapi
kang aku kepikir ibu terus perasa…”
“Ah…sudah…sudah
dhuha…” teriak kangrahmat mengalihkan perhatian haikal, ia segera bangkit lalu
menarik tangan haikal agar berdiri, ia tak mau melihat air mata haikal lagi.
Melihat haikal sedih ia jadi ikut-ikutan sedih, apalagi ia lebih tau dari
haikal.
“Kang…”
haikal masih saja berfikir tentang keadaan ibunya, kang rahmat mulai jengah
“Dhuha..
Ayo jangan malas! Dasar nakal!” gurau kang rahmat dengan tangkas kang rahmat
menarik haikal ke punggungnya dan detik itu pula kang rahmat telah menggendong
haikal sambil melangkah menuju kolam.
“Kok
bau gak mandi ya?” Tanya kang rahmat sambil memonyongkan bibirnya
“Bau
yo kang?” haikal balas Tanya sambil merentangkan tangannya
“Banget.”
“Hahaha…
kena deh. Emang aku gak mandi dari kemarin kang ma…” belum sampai haikal
berkata tubuhnya sudah oleh tanpa keseimbangan, kang rahmat memaksanya turun
sambil berteriak
“Hiah…
dasar anak nakal!” haikal jatuh terduduk sambil tertawa senang melihat tingkah
kang rahmat yang menurutnya begitu lucu
Usai
shalat dhuha, haikal kembali tiduran di bawah beduk sambil menghafal juz amma
lagi, jauh darinya kang rahmat duduk bersandar pada tiang masjid sambil membaca
kitab tanbihul ghofilin yang selalu ia tinggalkan di masjid. Mereka sibuk
dengan kegiatan masing-masing. Sebuk memasukkan partikel-partikel ilmu ke dalam
sanubari tidak hany ke dalam otak belaka. Dan tak jauh dari mereka,
santri-santri juga melakukan hal yang sama.
Udara
bertiup sepoi-sepoi, terasa sangat sejuk. Mentari bersinar tak terlalu
menyengat, terasa hangat disekujur tubuh, menyehatkan karena dapat merubah pro
vitamin D menjadi Vitamin D yang sangat baik untuk pertumbuhan tulang, sungguh
suasana yang sangat nyaman.
Di
tempatnya masing-masing haikal dan kang rahmat mulai liyer-liyer, merasakan
nikmat belaian alam sampai akhirnya kedua insane itu terlelap dengan posisi
yang sangat unik. Haikal tertidur di bawah beduk dengan songkok hitam menutupi
wajahnya dan juz amma terjatuh di dadanya, mulutnya melongo siap kejatuhan
kotoran cicak. Sementara kang rahmat tertidur dengan kepala menunduk
dalam-dalam, songkok terjatuh di sampingnya, rambut hitamnya berantakan,
kitabnya tergeletak begitu saja di pangkuannya, tidak ketinggalan mulutnya juga
melongo kayak goa salah tempat.
“Kang…
Kang rahmat… kang rahmat!” teriak kang umam sambil berlari-lati kea rah kang
rahmat, “Kang rahmat!” suara itu terdengar amat nyaring. Kang rahmat gelagapan
sampai-sampai kitabnya terjatuh, segera diraihnya kembali kitab itu berikut
songkoknya.
DUG…
“Adaw” suara kening haikal yang tertidur di bawah beduk kepentok beduk itu
sendiri ketika ia kaget mendengar suara kang umam. Haikal jatuh tertidur
kembali, ia meringis sambil mengelus-elus keningnya yang terasa sakit.
“Ada
apa kang?” Tanya kang rahmat sambul berusaha mengumpulkan kesadarannya. Umam
terdiam, ditatapnya haikal yang tengah berguling keluar dari tempat
persembunyiannya kemudian mendekatkan wajahnya ke telinga kang rahmat, berbisik
sebentar. Mendadak wajah kang rahmat menegang, dan ditatapnya haikal dengan
perasaan campur aduk.
“Suruh
ke kantor kang!” kata kang umam sedater mungkin
“Ya.”
Sahut kang rahmat tanpa ekspresi, tanpa menunggu kang umam, kang rahmat segera
bangkit dan berlari secepat kilat ke kantor. Disusul kang umam yang juga berlari
meninggalkan haikal sendiri dengan tanda Tanya besar di otaknya dan macam
prasangka yang tiba-tiba muncul tanpa ia pinta. Perasaan tak nyaman
bergumul-gumul dalam dadanya, sesak, enta hkenapa tiba-tiba tubuhnya terasa
lemas, matanya memerah, bayangan ibunya, segala tingkah lakunya dulu yang
menhyusahkan ibunya berkelebat, menimbulkan sesal dan rasa bersalah
bergunung-gunung, ingin ia berlari pulang, memeluk ibunya, mencium tangan
ibunya, bersimpuh memohon maaf akan segala dosanya yang telah diperbuat. “Ibu…”
rintih haikal pilu, air matanya mengalir menganak sungai, hatinya sakit teramat
sakit.
Entah
dorongan dari mana dengan langkah gontai dan mata terus basah, haikal
melangkahkan kaki menuju kantor, peduli apa dia ingin di sisi kang rahmat,
ingin tahu kenapa orang yang sangat disayanginya itu tampak begitu tegang dan
panic. Tak mungkin hanya musyawarah pengurus, haikal yakin ada yang lain, ada
yang tersembunyi.
Sementara
itu di dalam kantor kang rahmat menanti HP yang tergeletak di atas meja itu
bergetar, rasanya terlalu, lama benda itu tak kunjung menyala atau bergetar. Ia
mondar-mandir, gelisah, sebentar duduk, berdiri lalu duduk kembali.
“Zzzzzz…….”
Kahirnya benda itu bergetar, dengan tangkas kang rahmat menyambar benda itu dan
langsung menempelkan ke pipinya begitu menekan tombol OK
“Assalamu’alaikum…bapak
ini rahmat…!” sergah kang rahmat
“Kang
rahmat? Maaf kami mau bicara dengan kang dwi di koperasi!”
“Oh,
maaf ada apa? Nanti saya sampaikan…” sahut kang rahmat lemas campur kecewa
“Kitab
pesanannya sudah ada bisa diambil kapan saja pada jam kerja.”
“Ya,
nanti saya sampaikan.” Sahut kang rahmat kembali tanpa semangat, setelah
mengucapkan terima kasih dan salam suara di seberang hilang, sambungan terputus
Dengan
kecewa dan hati makin kalut kang rahmat meletakkan HP itu di atas meja. Di
seberangnya, kang umam juga tak kalah sedih “Lama sekali.” Gerutu kang rahmat
“Lagi
sibuk kali, tadi aja kayaknya keburu banget.”
“Huh…
kang … perasaanku…” desah kang rahmat tak selesai karena HP kembali bergetar,
kang rahmat langsung menyambarnya dan menempelkan ke pipinya
“Rahmat…”
terdengar suara serak dari seberang tanpa mengucap salam, disusul suara isak
tangis kecil yang berusaha ditahan-tahan.
“Apa
yang terjadi pak?” Tanya rahmat dengan jantung berdebar kencang seakan menanti
putusan hakim menanti vonis terbutuk yang akan diterimanya
“Ibu…
men… i…i… ibu … meninggal mat….hiks, gagal ginjal…!”
“Innalillahi
wainna ilaihi rajiun…” desis kang rahmat cukup keras untuk didengar sepasang
telinga yang sejak tadi mendengarkan dari balik pintu dengan tubuh gemetar
“Tolong
jaga haikal dulu, bapak titip haikal, jangan beritahu dia, dia masih terlalu
kecil.” Pesan ayah haikal dengan suara serak dan tersendat. Kang rahmat yang
perasaannya sudah kacau balau tak bisa menjawab, tubuhnya lemas, telapak
tangannya basah dan matanya berkaca-kaca, ia teringat haikal yang masih kecil.
Haikal yang akhir-akhir ini menangis terus.
“Si…si…siapa
yang m…m…meninggal kang?” suara serak dan tersendat haikal menyentakkan kang
rahmat dan kangumam yang sejak tadi diam dalam kesedihan. Tanpa terasa HP
terjatuh di karpet. Kang rahmat terpana menatap haikal sudah berdiri di ambang
pintu dengan air mata merebak, tubuhnya gemetar hebat. Detik itu waktu terasa
terhenti, tegang dengan rasa tiada tentu, rasa sakit tiada terukur.
BRUK,
haikal jatuh terduduk di lantai dengan tubuh lunglai, air mata terus keluar,
tapi suaranya tak ada, ia sesenggukan tanpa suara dan tanpa daya, antara sadar
dan tidak sadar.
Melihat
haikal roboh, kang rahmat tersadar dari kebekuan, ia segera berlari menyongsong
haikal, merengkuh tubuhnya yang lunglai di pelukan kang rahmat, wajah haikal
begitu pucat, tangannya dingin sedingin es, tubuhnya bak tak bertulang.
“Haikal…
tabah haikal… kamu harus kuat…” bisik kang rahmat seraya membenamlan wajah
haikal ke dadanya. Kang umam yang hanya bisa melihat turut menitihkan air mata,
hatinya turut terluka mengetahui apa yang menimpa haikal kecil.
“Haikal
… tabah!” bisik kang rahmat kembali. Diangkatnya tubuh haikal lalu membaringkannya
di atas karpet, kang umam meraih songkok haikal yang terjatuh dan ikut
mendekati haikal yang terbaring lemah dengan mata terpejam nemun mengalirkan
air mata, sesekali ia sesenggukan. “Haikal kamu sadarkan…tabah haikal…” bisik
kang rahmat sambil menepuk pipi haikal
“Ibu…
kang… ibu… haikal belum minta maaf sama ibu kang!” lirih haikal seperti tidak
sadar. “Ibu… haikal minta maaf bu… dosa haikal banyak.”
“Haikal
… bangun… bangun…” kang rahmat kembali menepuk pipi haikal, perlahan haikal
membuka mata, menatap kang rahmat memelas. “Haikal, percayalah… ibumu sudah
memaafkanmu, ayahmu bilang kamu… harus tetap di sini, jangan pulang…!” kang
rahmat membelai rambut haikal lembut “Aku banyak dosa kang!”
“Tenang
haikal… doakan saja semoga ibumu khusnul khotimah, percayalah ibumu sudah
memaafkanmu, kalau tak percaya nanti kang rahmat telfonkan ayahmu, kalau boleh
bicara asal kamu janji gak minta pulang. Kamu harus kuat haikal, kamu harus
jadi orang yang berguna bagi ibu dan ayahmu, yang bisa mendoakan mereka…”
“Ya,
kang aku gak akan pulang… tapi kang… ibu…”
“Percayalah
kalau kamu pulang dan gagal, ibumu di alam sana akan sedih dan kecewa.”
“huh
u huh u hu … ibu maafkan haikal, haikal janji tetap di sini ngirim doa buat
ibu…”
Haikal
kini menangis tersedu-sedu dalam pelukan kang rahmat
“Tabah
kal… tabah…” bisik kang rahmat sambil membelai kepala haikal penuh kasih
sayang.