Thursday 4 August 2016

Cerpen The Killer

 
THE KILLER
Terbangun dengan rasa tak menentu, resah, gamang, sedih dan marah. Semua rasa seakan terkumupul menjadi satu, bersatu padu, bercokol dalam jiwa. Rasa-rasa ingin menangis namun tak mampu. Jiwa merintih menangis pilu, namun raga enggan membantu. Tambah derita luka lara dalam derita. Pikiran melayang entah kemana, penat, pusing, berat menindih kepala. Tapi apa yang terfikir, apa yang dipikir tak tau arah panah otak. Melesat tiada tentu arah, tiada pasti apa yang terpikir, gamang, rasa timbul tenggelam tanpa kepastian.
Dengan lemah Naylul Muna menyingkapkan selimutnya. Seketika lembab sang bayu menyapa tubuh. Sekan member komando pada bulu roma untuk berdiri tegak. Menggigil teriring malas tiada bertepi, perlahan dengan enggan dan dingin yang merayapi seluruh inci kulit ia bangkit. Menampakan telapak kakinya pada lantai kamar yang layaknya kepingan-kepingan es kutub utara. Ditatapnya rahmi, zizah, umi, dan syifa, teman sekamarnya yang masih lelap dalam dunia mimpi.
“Baru pukul 03.15 pantas masih sepi, tapi kenapa aku terbangun dengan perasaan gamang tiada terperi?” batin nay resah.
Setapak demi setapak kakinya melangkah menuju kamar mandi yang letaknya di belakang komolek pondok putri dengan bangunan terpisah, bayu menyapanya kasar, ketika ia berada di alam bebas. Lekas-lekas nay masuk kamar mandi, cuci muka, mandi dan tentunya gosok gigi. Beberapa menit kemudian ia keluar dengan wajah yang lebih segar dan sedap dipandang, meski kelopak matanya masih bengkan dan bola matanya memerah karena beberapa malam terakhir ia tak dapat tidur nyenyak. Pikirannya selalu tertuju pada The Killer dan Nadzam Umrithi yang harus ia hafal dalam tempo 1 pekan.
Gila gak sih, siapa yang gak benci sama khoirul muna atau the killer? Baru saja ngajar, udah suruh ngafalin nadzam seluruhnya, Tanya ini-itu, ditambah kalau gak bisa jawab suruh berdiri. Masih untung, teman-temannya gak begitu diketati, baginya atau mungkin hanya ia yang terlalu perasa itu suatu pengecualian. Masa hanya karena ia gak begitu suka dengan pelajaran umrithi, ia yang terus selalu ditunjuk dan ditanya. Tapi mau apa lagi siapa yang bisa mengelak.
“hai nay Pagi amat bangunnya?” sapa zizah dengan mata setengah terpejam, suara serak zizah itu membuyarkan lamunan nay yang terbang bebas.
“Eh, kamu zie, apa tadi?”
“Uh, ditanya kok pagi amat bangunnya?”
“hehehe… tau ni gamang, perasaanku kacau banget!”
“Ah, udah deh nay. Gak usah dipikirin tu santri tua yang nyuruh kamu ngafalin 254 nadzam umrithi, lagian sama-sama santri, sok banget sih dia. Ba…..”
“sssssset udah deh zie, kamu tau kan posisiku? Duluan yang aku nglancarin hafalan.”
Nay segera meninggalkan zie yang masih mengucek-ucek matanya, terlintas dalam benaknya, awal segala penderitaan dan kebenciannya, ya hanya karena waktu itu nay nulis surat dan puisi pas pelajaran umrithi kepergok the killer dan langsung dapat hukuman.
Badannya terasa ringan, kantukpun sedikit terkurangi dengan wudlu apalagi mandi dan wudlu sekalian. Ada yang bilang wudlu bisa ngilangin kantuk dan itu terbukti, kantu kitu datangnya dari syetan dan syetan itu diciptakan Allah dari api. So, yang paling cocok dan mujur buat madamin api ya air, masa bensi ya enggak lah! Hehehe
Sampai kamar nay segera mengambil mukena, qiamul lail lalu kembali melancarkan hafalannya. Dilihatnya rahmi dan umi mulai terbangun dan keluar kamar. Sambil menunggu adzan subuh nay terus melancarkan hafalannya, agar besok kalau waktunya setoran sama the killer ia tidak salah dan dapat cercaan atau ejekan.
Dulunya khoirul muna alias the killer santri tertua dan terlama nyantri yang terkenal jarang melanggar peraturan pondok itu adalah sosok yang sangat nay kagumi. Nay salut pada kekuatannya menaklukkan jiwa muda yang sangat liar. Terkesan dan penasaran bagaimanakah metode hebat yang ia terapkan untuk membekukan darah muda yang selalu mengalir brutal, fiya-foya, kasar, mendidih panas dan hewani itu. tapi kini semua sirna ditelan rasa benci, terhempas dalam jurang kebencian jiwa meletup-letup, mendesaj, menghentak, menyesakkan jiwa, berontak, menyeruak ingin meremas tubuh kurus itu, memukul-mukul dengan seluruh kekuatan berambisi memuaskan hasrat liar dan buas dengan mendaratkan jutaan pukulan pada tubuh kurus the killer yang tampak ringkih dan tak berdaya.
Siangnya, mentari bersinat terik, meski begitu pondok pesantren putri nurul Quran  yang dibangun di dekat tegal jati tetap terasa sejuk walau gerah masih tersisa. Suasana terasa indah dan damai didukung semarak suara santri yang tengah menghafal nadzam, Jurumiyah, imrithi, alfiah, aqidatul awam, syifaul jinan, dan masih banyak lagi bersahut-sahutan dibawa angin.
Ah, tak hanya itu. ada yang lebih membuat betah tinggal di situ yaitu beberapa pohon mahoni yang tumbuh di kiri kanan, dan depan gedung pondok yang senantiasa menyejukkan dan memancarkan keindahan. Pohon-pohon itu menciptakan nuansa musim gugur di negeri sakura. Bergilir seperti musim dari kuncup, lalu bunga yang kemudian gugur kelopak-kelopaknya, biji yang juga gugur yang bila terjatuh akan tampak seperti kitiran, berputar-putar baru kemudian jatuh dan terakhir daunya yang berguguran, terbang terbawa angin seperti musim gugur negeri sakura.
“Senam jantung dimulai.” Bisik hati santri imrithi dalam hati ketika the killer memasuki aula. Lain halnya dengan nay, dalam hati di bilang “Uh, Sok banget sih!” saat melihat Khoirul Muna cepat-cepat menunduk ketika bertemu pandang dengannya. Mendadak perut Nay terasa diaduk-aduk, mual, eneg lihat tampang the killer. Tak hanya itu, jantungnya berdetak kencang, bergerak seperti suara putaran roda kincir air kayu, berderap seperti hentakan kaki kuda pacuan. Belum lagi keringat dingin yang keluar di seluruh tubuh membuatnya bau, burket akut, basah kuyup seperti tikus kecemplung got, pokoknya jelek abiz deh!
Entah kenapa the killer paling hobi nyuruh-nyuruh nay, mulai dari membaca ulang, menghafal nadzam yang baru diterangkan sampai menghapus papan tulis. Dengan malas kalau tak mau ditunjuk mendadak nay memperhatikan the killer menerangkan tentang inna waakhowatuha. Tapi sepertiyna kata-kata the killer hanya laksana air mengalir, masuk telinga kanan dan keluar telinga kiri tanpa ada yang mengendap dalam otaknya. Karena tiba-tiba melintas dalam otaknya kata-kata the killer 1 bulan lalu saat pertama kali ngajar.
“Awal pertemuan kok sudah menyepelekan? Berdiri! Dan besok saya beri waktu 1 pekan kamu hafalkan seluruh nadzamnya!” Katanya tegas waktu itu. uh, parahnya waktu 1 pekan tak membuatnya hafal, molor hingga 1 bulan, gimana gak malu coba. Rasanya Nay pengen tuker kepala sama pantat.
“Dasar The Killer” Kutuk Nay terbawa emosi, hingga tanpa sadar kata-kata itu keluar begitu saja
“Ya, Naylul ada yang kurang jelas?” Tanyanya mendengar kutukan Naylul
“Em… anu…anu…” Nay gagap, arghgh sial banget “Tidak…kok sudah jelas”
“Lha tadi apa?”
“Oh, ini ada yang…”
“Baik, kalau begitu jelaskan tentang na’at!” potongnya seperti tahu kelanjutan kata-kata nay.”
“Glek” apa tuh na’at, pernah terdengar tapi apa ya…?” Nay terus berpikir tentu saja dengan hati dongkol. Diliriknya zizah untuk mencari bantuan tapi zizah Cuma ngikik melihat kesialan nay. “Ayo, Jawab katanya sudah jelas?” Lanjutnya datar tapi bagi nay itu seperti sebuah tantangan. Nay mendengus dan menatap the killer dengan seluruh kebenciannya yang selama ini mengendap dalam hatinya. Tapi sia-sia karena the killer malah sibuk menatap kitabnya yang sudah lusuh dimakan usia, atau mungkin gak kuat menopang kepalanya yang penuh ilmu itu. gak lah orang pinter biasanya juga gitu GHODLDLU BASHOR (Menjaga Pandangan Mata)
“Tapi, tadi kan yang diterangkan bab Inna Wa Akhowatuha” Jawab nay setelah mendapatkan bocoran dari fara
“Bagus, ada kemajuan kamu mulai memperhatikan.” Balasnya dingin
“Waw, sindiran pedas!” batin nay dongkol, marah dan tentunya benci setengah mati
“Uh, ni orang bisa ramah dikit gak sih ma aku?” batin nay kembali bicara, rasa bencinya kian berlipat-lipat, yah kalau sudah benci jadinya serba salah. Niat baikpun diartikan jelek, dikira niat jahat, itulah yang kini menimpa nay.
Andai bukan di pesantren, andai bukan ustad yang harus dihormati seperti telah termaktub dalam kitab ta’lim al muta’alim sudah pasti nay yang juga terkenal kasar dan tak pandang bulu itu merecoki dan mendamprat the killer. Apalagi bari nay, the killer tetaplah seorang santri dan kedudukannya sama dengan dirinya. Untuk menganggapnya ustad belum ya, kalau belum ada perjanjian damai, eh maksutnya minta maaf gitu.
“Saya kira pelajaran hari ini…” katanya menggantung sambil menimang-nimang kitabnya, seketika hati yang tadi bersorak gembira karena senam jantung telah usai jadi kecewa. “Ya, saya ingat… Naylul, hari ini kamu setoran kan? Mau ditunda berapa bulan lagi? Saya sudah cukup baik hati, dari tempo 1 pekan jadi 1 bulan!”
Disengat begitu, Nay jadi makin sebel, tanpa menunggu dipersilakan Nay segera berdiri, tarik nafas dan mulai menghafal nadzam imrithi. Karena emosi ia jadi merasa berani tidak nervous ataupun gagap.
“Bismillahirrahmanirrahim, alhamdulillahilladzi qod waffaqa lil ilmi khoiro kholqihi qalittuqo….” Suara Nay terdengar mantap dan agak lantang. Ia bisa menghafal dengan lancer, meski sesekali terhenti karena lupa tapi ia segera bisa menguasai diri dan melanjutkan hafalan. Sesekali matanya yang lebih banyak menatap langit-langit aula, menatap the killer yang khusyu mengimak hafalannya.
“Al Halu wasfun dzun tishabinna’ti mufassiron…” Nay terdiam, ia lupa, ia berfikir keras, mencari-cari lanjutan di langit-langit aula. Perlahan the killer menngangkat kepalanya menatap nay penuh Tanya, yang tentunya membuat hafalan nay makin buyar.
“MUfassiron…lil mubhamin…lilmubhamin…limubhamil haiati wainnama yu’ta bihi…”
“Syukurlah ingat” sorak hati nay girang, ia kembali menghafal dengan lancer hingga akhir. Begitu nadzam terakhir dibacanya, rasa lega segera merayapi seluruh buku hatinya,ia tersenyum senang, tapi senyum itu seketika pudar ketika dilihatnya mungkin The Killer tersenyum mengejek. Nay langsung manyun 17 cm. dongkol,lagi-lagi dongkol yang yang dirasa tiap usai pelajaran imriti. Tanpa menunggu dipersilahkan duduk nay langsung duduk manis dan membuang muka.
Meski membuang muka,tapi telinganya ia pasang tajam-tajam menanti komentar pedas yang biasa The Killer berikan padanya. Namun alangkah kagetnya nay,tanpa sepatah katapun keluar dari mulut The Killer bahkan salam penutupun tidak,dia langsung ngeloyor pergi.
“Ih dasar jaelangkung”rutuk nay dalam hati.
Sama halnya hari-hari yang telah lalu,rutinitas pondok sehabis jama’ah ashar yaitu mengaji ndiba’ pada bu nyai Rahmatullah di ndalem. Tak terkecuali nay. Dia sudah siap diurutkan pertama dengan rahmi, dia paling suka ngaji urutan awal bisa balik lebih cepet,begitulah prinsipnya,ga’ suka lama-lama ngantri.
“Ehem….”suara dehem bu nyai. Seketika,yang tadi pada bisik-bisik langsung diam.
“Alfatikhah”Bu nyai memulai ngaji dengan bacaan ummul kitab. Setelah membaca ummul kitab bersama-sama kini giliran nay dan rahmi ngaji ndiba’.
“Warifqu yadumu lisohibihi wal kaorq yasiru alal haroj” suara Nay memenuhi ndalem, suaranya yang lantang mengalahkan suara rahmi yang lemah lembut.
Kalau didengar dari kejauhan suara nay seperti suara lantang di tengah dangungnan lebah, sungguh khas suasana pesantren.
Usai ngaji, rahmi dan nay kembali ke pondok putri, mereka terus melewati jalan setapak sejauh 100 m. jalan itu begitu sejuk di bawah rindangnya pepohonan. Sesekali angin sepoi-sepoi menyapa mereka dan di sebelah barat sana lukisan alam tampak begitu agungnya. Wukir sumbing menjulang berdiri tegak, kokoh bak pahlawan berhias langit sore, berpahat jingga senja yang memanja.
“udaranya sejuk ya?” tutur nay seraya mendekap kitab Maulid Ad Dibai, mereka menyusuri jalan setapak itu sambil ngobrol. Sesekali mereka tertawa kecil, sungguh tampak riang.
“Nay, bukannya itu the killer?” pekik rahmi tiba-tiba. Seketika langkah nay terhenti, perutnya mual, mulas, sapaan mesra bayu terasa gerah baginya. Sempat terpikir untuk mencari jalan lain agar tidak berpapasan dengan orang yang mampu mengaduk-aduk perutnya hanya dengan sekali pandang, tapi image-nya selalu tinggi untuk berbalik. Cepat-cepat sebelum ketahuan dia ragu untuk berpapasan, nay segera melangkah. Dasar sial, semakin dekat mereka makin mual jadinya, tak hanya mual, amarahpun kembali menyeruak membuat keringat dingin nay mengalir di setiap inci tubuhnya membuatnya mandi keringat di sore yang sejuk.
Mereka makin dekat dengan the killer, diam tapi perang deingin telah berkobar dalam kesunyian. Ingin rasanya rahmi tertawa, dilihatnya the killer berjalan seperti biasa, menunduk khusyu seperti menghitung bebatuan kecil yang ia lewati. Sementara nay berjalan dengan angkuh bahkan berpaling muka dengan cepat ketika mereka berpapasan.
“Kalian lucu sekali seperti Tom and Jerry” Kata rahmi diiringi kikik kecil
“Sial, dasar makhluk berdarah dingin, heh jangan ketawa, panas, emosi, tau ga?” Kutuk nay. Ia segera mmungut daun jati kering di atas rerumputan dan mengibas-ibaskannya membuat rahmi makin cekikikan melihat tingkah aneh nay. Gimana gak aneh, udaranya sejuk banget masa kipasan?
“Nay, jangan gila dong! Masa sore-sore gini pake kipasan?” sindir rahmi membuat wajah nay makin ketekuk-tekuk, bibir manyun dan mata menyorot marah
“Aku pengen muntah rasanya” Balas Nay lebai.
****
Perang dingin Tom And Jerry tetap berlanjut, sepertinya semakin hari semakin panas. Ketegangan bukannya berkurang tapi malah makin memuncak. Udah deh, mending lekas perang aja kalau udah perang kan selesai. Entah itu hasilnya perjanjian damai atau kekalahan di satu pihak dan menjadi daerah kekuasaan pihak yang menang kalau gitu kan beres?
Tapi bukan nay yang angkuh namanya kalau mebiarkan masakah itu selesai begitu saja. Namanya saja masih muda, masih terbawa emosi. Sebenarnya nay itu baik hati, hanya saja kalau udah tersinggung marahnya gak rampung-rampung, kalau belum ada yang menyelesaikan alias minta maaf, hehehe….egois tinggi!
Rasanya lain banget, sudah sejak subuh tadi Nay merasa dalam hatinya ada yang kosong, ada yang hilang entah kemana, tak tahu kenapa yang jelas ia merasa sangat tidak nyaman, ia terusik dengan kata-kata teman sekamarnya. “Nay, kamu sekarang berubah ya? Udah gak badung lagi?” seperti itu kata-kata zizah selalu asal nyolot. Dan sekarang gara-gara omongan zizah yang seperti itu, Nay jadi mikir-mikir “Apa benar ya?” Tanya nay dalam hati. Tapi kalau dipikir-pikir ada benarnya, akhir-akhir ini nay rajin mutholaah, rajin jamaah, dhuha, qiyamullail.
“Ah, peduli amat, bukankan itu perubahan baik? Bukannya itu malah bagus?” batin nay cuek dan ia segera duduk di aula bersama teman sekelasnya menanti pelajaran imrithi dimulai. Kali ini nay lebih enjoy coz ia sudah tak perlu susah-susah ngafalin, paling banter yang ditanya, itu sih bisa dapet bocoran kalau lagi kebetulan. Gak mudeng karena melamun hehehe, masih suka ngalamun. Memang nay sudah tercetak menjadi generasi yang seneng ngalamun.
Menit berikutnya tanpa nay sadari, the killer telah memasuki aula, memulai pelajaran dengan membacakan 5 nadzam lebih dulu baru diterangkan. Ia mulai menerangkan panjang lebar sambil corat-coret papan tulis. Zizah yang tahu nay melamun segera melemparnya dengan kertas “Pluk!” kertas mengenai tangan nay. Nay segera menoleh menatap zizah yang tengah memberitahunya untuk memperhatikan dengan isyarat. Tanggap dengan maksud zizah, nay segera memperhatikan uraian the killer yang sama sekali tak dimengertinya.
“Baik, saya kira itu uraiannya. Ada yang belum jelas?” Tanya the killer, semua diam bukan berarti udah mudeng, tapi mubeng yang dirasakan mereka. Gak ada yang mudeng sampai-sampai gak tahu mau Tanya apa.
“Baiklah kalau begitu, Naylul Muna coba nadzamnya dihafalkan! Kamu kan sudah hafal semua, saya kira yang 5 ini lebih mudah bagi kamu”
“Apa, tapi kan?” protes nay gak terima. Sebenarnya nay mau aja disuruh ngafalin tapi berhubung udah pada lupa dia protes. Jaim dikit, masa baru beberapa hari udah lupa.
“Kenapa gak mau atau kamu udah lupa?” katanya telak
“Ya, memang saya lupa. Saya memang bodoh, ngafalin 1 bulan gak hafal-hafal, begitu hafal langsung lupa, ya pak emang otak saya di atas normal Ups…” keceplosan deh.
“Apa di atas normal, gila dong?” katanya tanpa disangka-sangka yang disambut tawa oleh teman-teman nay. “Sialan!” kutuk nay dalam hati. Ia cemberut, marah, benci setengah mati.
“Diam, jangan tertawa!” Bentaknya tiba-tiba. “Naylul, meurut kamu… saya ada salah sama kamu? Saya rasa kamu sangat memusuhi saya. Tak sepantasnya begitu, bila gurunya saja kamu benci gimana dengan pelajarannya. Bagi saya itu tak masalah toh saya tidak rugi. Tapi saya kasihan sama kamu Naylul. Semua untuk kebaikanmu juga. Kalau dengan saya gak masalah kamu boleh membenci saya tapi bagaimana dengan ustadz yang lain. Baiklah, begini saja naylul. Untuk memperbaiki segalanya, kiranya ada salah saya, saya mohon maaf. Saya tak punya niat apa-apa, saya Cuma menerapkan metode yang baik dalam mengajar anak yang kurang minat, menurut yang saya pelajari kalau ada anak yang kurang minat belajar harus diberi perhatian lebih. Setelah saya renungi sepertinya saya perlu minta maaf pada kamu naylul” Katanya datar.
Mendadak aula menjadi hening, tak ada yang berani bicara. Bahkan nay yang tadi girang sekarang manunduk dalam-dalam. Bahunya bergoncang, yang bener aja nay nangis?
“Hiks…hiks…hiks…” Tangis bay pelan karena sekuat tenaga ia menahannya.
“Baik, saya bisa memahami perasaan kamu…merenunglah sekali lagi naylul saya mohon maaf atas kelakuan saya selama ini” Kata khoirul muna merendah
“hiks…sa…sa…saya….hiks…ya…yang…se…se…se…harusnya minta maaf….. sa….saya… sa…ya…salah….pak” kata nay terbata dan serak
“Sama-sama, saya harap setelah ini bisa lebih baik.” Pesan khoirul muna dengan suara lembut lalu mengakhir pertemuan
Sejak kejadian permintaan maaf itu, nay menjadi pendiam, kelihatannya ada sesal yang begitu hebat dalam hatinya. Sesal karena mengapa ia begitu sombong, mengapa ia merasa benar padahal ia salah besar dengan membenci ustadnya. Benar-benar tindakan yang tak pantas disebut sebagai seorang santri.
Tak jarang dalam malam-malamnya ia suka menangis memohon ampun pada Allah karena ia belum berani minta maaf secara langsung pada khoirul muna, baginya kemarin belum cukup mewakili rasa bersalahnya dan rasa sesalnya.
“Nay, ayo ngaji Tafsir Jalalain” Teriak rahmi yang sudah lari membawa kitab ke ndalem. Meski malas nay segera menyusul, ia berjalan bersama-sama santri lain berbondong-bondong seperti rombongan semut membawa makanan.
Tak lama setelah santri putri dan santri putra duduk rapi di aula ndalem, KH. Rahmatullah segera rawuh. Beliau langsung memulai kajian tafsir jalalain seperti biasanya, membacakan ayatnya, makna perkata kemudian baru diterangkan panjang lebar.
“Seperti yang tersebut dalam ayat tadi. Bahwa sesungguhnya segala sesuatu yang kita miliki di dunia ini jangan sampai menjerumuskan kita ke jurang neraka jahannam.” Kata-kata itu terekam jelas di telinga nay. Ia menyimak dan memaknai kajian mala mini dengan khusyu. Sampai-sampai nay merasa baru saja kajian dimulai dan waktu berjalan terlalu cepat, rasanya masih kurang uraian dari KH. Rahmatullah tapi kenapa sudah selesai.
“Wallahu A’lam, Wassalamu’alaikum Wr. Wb” Kyai mengakhiri kajian malam itu. segera saja santri putra berebut untuk mencium tangan penuh berkah kyai. Santri putri tak dapat melihat kegiatan itu kecuali hanya suara kasa-kusu. Ya mereka dipisahkan oleh satir (Pembatas). Sementara santri putra mencium tangan ta’dzim kyai, santri putri segera berbaris keluar satu per satu dengan menunduk, berjalan lutut dengan runtut. Begitu pula nay, ia ikut berbaris, sebenarnya ia ingin tahu santri putra diperbolehkan bersalaman dengan kyai. Tak apa-apalah bukannya santri putri bisa bersalaman dengan ibu nyai, iya kan? Jadinya impas.
“Naylul, kesini dulu!” panggil kyai membuyarkan angannya tentang rasa iri itu. serta merta nay menghentikan langkah dan menyingkir dari urutan-urutan. Ia segera duduk menunduk di hadapan kyai sedikit jauh. Seperti itulah adat di pondoknya, ia tetap akan duduk menunduk bersimpuh tanpa bergerak, eh maksudnya pendah posisi meski seluruh badan terasa pegal. Setelah para santri berlalu…
“Begini Naylul…apa kau… punya masalah kok kelihatannya…sedang tidak bersemangat?” Tanya kyai perhatian. “Aduh! Apa kyai tahu masalahku dengan irul?” Batin nay gemetar. Takut kalau dirinya ketahuan belangnya. Seketika jantung nay berdetak begitu cepat, kencang, keringat dingin membasahi seluruh tubuhnya, apalagi telapak tangannya.
“Mboten” lirih nay sambil menggelengkan kepala. Ia tak yakin kyai mendengar suaranya
“Ehem, kalau begitu… kamu tahu khoirul muna?” Tanya beliau lagi. “DEG!” jantung nay segera berhenti berdetak, ia makin takut, ia yakin kyai tahu apa yang telah ia perbuat pada khoirul muna santri kepercayaan beliau.
“…dia mau mengajak kamu membangun keluarga yang sakinah, mawadah, warahmah! Bagaimana?” lanjut beliau tanpa nay duga-duga. “DUOR” bagai disambar petir di siang bolong. Saat ini rasa-rasanya jantung nay telah berhenti berdetak.
“Nderek!” sahut nay lirih setelah sekian menit terdiam dan didesak beberapa kali
“Alhamdulillahi rabbil’alamien… istikhorohmu baik kan Rul?” Tanya kyai pada khoirul muna yang ternyata ada di ruangan yang sama namun tidak tampak karena tertutup satir.
“Alhamdulillah saya menemukan telaga yang sangat bening lagi melimpah airnya”

Cerpen Cinta Kasih sang Rembulan


 
CINTA KASIH SANG REMBULAN
Di tengah heningnya malam di hiasi indahnya sinar rembulan yang menawan, dalam hati aku berkata”indahnya rembulan itu yang dikelilingi tiga bintang kecil yang berkerlip merayu sang rembulan”, rembulan pun tersenyum gembira melihat bintang kecil merayu didepan nya, karena bintang tak mungkin berkerlip bila sang rembulan tak mau memberikan sinarnya, sinar rembalan yang begitu terang menyinari alam semesta ini, semua keadaan gelap pun menjadi terang karena sinarnya. Semakin hening nan damai ku rasakan ditambah nyayian burung hantu yang merdu.
Didalam rumah bambu terdengar rengekan tiga anak kecil yang menangis, Rozi adalah salah satu dari ketiga anak seorang janda dirumah itu, Rozi dan kedua saudaranya duduk didepan dapur tempat ibunya memasak, sambil menangis rozi dan kedua saudaranya berkata“ bu kami lapar, bu kami lapar, bu kami lapar?“
“nak bersabarlah ibu cari hutangan beras dulu kepada tetangga untuk makan hari ini“  ibu khomsah yang sedang memasak air menjawab rengekan ketiga anaknya yang kelaparan, dengan rasa sakit dan hati yang tak kuasa membendung air mata melihat ketiga anak nya merengek nangis karna lapar, mata yang keriput itu pun berkaca-kaca berlinanglah air mata belas kasih sayang kepipinya yang belepotan angus karna habis meniyupi tungku yang buat memasak dengan menggunakan kayu bakar.   
dengan membawa kucuran air mata yang semakin deras ibu khomsah beranjak dari tempat duduknya berjalan menapakan kakinya yang hitam nan kurus itu menuju rumah tetangganya.sesampainya disana ibu khomsah dilanda rasa ragu-ragu dan takut mendekati rumah tetangganya“kemarin kan aku baru saja meminjam beras, masak sekarang mau pinjam lagi, tapi taka apa ah kasian anak-anak ku dirumah kelaparan, demi anak-anakku akua akan menanggung semua resikonya apa pun yang ter jadi nanat” dalam hati ibu khosah berkata, ragu-ragu
“tok tok tok, Assalamu’alaikum“ sambil menghapus air mata di pipinya yang keriput ibu khomsah mengayunkan tangan kanannya  mengetok pintu dan menggucapkan salam.
“wa’alaikumsalam, siapa ya..?“ibu anis, pemilik rumah yang sedang meja membaca Koran. duduk bertumpang kaki diatas sofa dan ngemil krizpi yang berada diatas pangkuannya mulutnya yang belum selesai mengunyah dengan suara lantang dia menjawab salam ibu khomsah 
“saya bu komsah“ sambil tertunduk ibu komsah menjawab pelan
pintupun tak ter buka-buka ibu khomsah hanya diam dan termenung didepannya, sambil teringat ketiga anaknya dirumah.
“astagfiruallahal ‘azdim“ ibu khomsah kaget tiba-tiba kaki besar pendek memakai celana legeng berdiri didepannya. Ibu khomsah yang lagi termenung teringat ke tiga anak nya dia tak tahu kalau Daun pintu sudah di buka dan ibu anis sudah berdiri didepannya,
“kenapa bu? kaget? kayak lihat king-kong aja“ dengan bola mata yang hampir keluar ibu anis bertanya ke ibu khomsah, kesal.
“ng ng enggak papa kok bu Cuma kaget aja“
“ada keperluan apa! bu khomsah datang kemari, mau pinjam beras lagi? yang kemari aja belum ibu lunasi masak sekarang mau meminjam lagi, uh sorry ya“ dengan nada galak dan meng hina ibu anis tak mau meminjamkan beras .
“tapi kasian anak saya dirumah bu“
“itukan derita ibu, sudah sana ibu pulang aku sudah mau muntah lihat ibu, udah, bauk, hitam, kurus, dan. lihat baju dan rok ibu dekil robek-robek lagi  ih dah sana cepat pulang“  ibu anis dengan kejamnya mengusir ibu khomsah.
“ ta…”
“darrr!“
“astagfiruallahal ‘azdim“ belum selesai ibu khomsah mengucapkan kata ”tapi” ibu khomsah sudah dikagetkan dengan suara pintu yang ditutup dengan sangat keras” ini kedua kalinya aku dikagetkan oleh ibu anis, semoga saja allah memberikan hidayahNya pada bu anis“ gunemnya dalam hati.
            kecewa, gundah, malu dan lara ibu khomsah menggulung semua rasa itu dalam hatinya dengan kepla ter tertunduk ia berjalan pelan meninggalkan rumah ibu anis.
Angin kemarau yang bertiup kencang menambah suasana hati ibu khomsah semakin gundah,
Ibu khomsah menhentikan langkah kakinya sambil melihat tangannya yang kosong tak membawa apa-apa dalam hatinya ia ber do’a“ya allah apakah aku pantas menjadi seorang ibu, member makan tiga anak amanah Mu saja aku tak kausa. Ya Allah berikanlah hambamu ini petujuk, bukakanlah jalan rizqi Mu pada hamba yang hina ini karna engkau sebaik-baiknya zdat yang memberikan rizki dan enkau maha pengasih lagi maha penyayang“ dengan keyakinan dan keteguhan hati bahwa allah itu tak buta dan tak tuli, Allah pasti mendengar do’a hambaNya dan menolong hambanya yang lagi kesusahan.
“tes tes tes“ tak terasa air mata ibu khomsah menetes lagi. Debu depan rumah ibu anis yang kering karna panasnya musim kemarau terbasai oleh tetesan-tetesan air mata kesedihan ibu khomsah.
“Assalamu’alaikum bu khomsah“ tiba-tiba ada seorang memengang selendang menggendon belanja mengucapkan salam pada bu khomsah.
“wa’alaikumsalam, e….bu karomah“ sembari menghapus air mata di pipinya bu khomsah menjawab salam bu karomah tetangga dekatnya yang kebetulan liwat habis pulang dari pasar.
“lagi apa bu di situ?“ Tanya bu karomah, heran
“ini habis dari rumah ibu anis“
“ibu khomsah menangis ya“
“ngak kok bu“ dengan ter tunduk ibu khomsah menjawab, malu
“jangan bohong bu dari raut wajah ibu keli hatan kalau ibu khmsah itu habis menangis, cobadeh bilang sama saya masalah ibu sipa thu saya bisa membantu ibu khomsah” bu karomah yang merasa kasihan mencoba membujuk ibu khomsah untuk mengatakan masalahnya pada bu karomah .
Bu khomsah akhirnya menceritakan masalahnya dan apa yang ter jadi padanya tadi. Perasaan sesama perempuan pun timbul di benak ibu karomah tanpa sadar butir demi butir air mata di teteskan oleh  kedua mata bu karomah.
Dengan rasa belaskasih bu karomah memberikan sedikit makanan, beras dan uang kepada bu khomsah,
“bu ini ada sedikit rejeki untuk bu khomsah mohon diterima” bu karomah menurunkan belanjaannya lalu mengambil makanan, beras dan uang tuk diberikan kepada bu khomsah
“ tak usah repot-repot bu“ , ibu khomsah menolak pemberian ibu karomah,
“tak apa bu terima saja ini rejeki dari Allah buat ibu dan anak ibu di rumah saya hanya menjadi perantara Nya saja untuk memberikan rejeki ini, semua yang saya lakukan atas kehenda Nya bukan atas kehendak dan kemauan saya, jadi mohon diterima ya bu, semoga saja ber mangfaat buat ibu dan anak ibu bdi rumah,
“kalau begitu saya terima semoga Allah membalas lebih atas kebaikan ibu karomah”sambil mennenteng baran-barang pemberian bu karomah ibu khomsah meruduk sedikit dan mendo’akan bu karomah
“Amin“ dengan ter senyum ibu karomah menjawab do’a“sekarang bu khomsah pulang kasian anak-anak ibu sudah menunggu kedatangan ibu“, bu karomah sambil memegang kedua pundak bu khomsah ia menyuruhnya pulang bu khomsah  karna ketiga anaknya sudah menunggunya
“kalau begitu aku mohon pamit, assalamu’alaikum”, ibu khomsah dengan semyum gembira mengucapkan salam perpisahan pada ibu karomah,
“wa’alaikumsalam” bu karomah menjawab sembari berkata dalam hatinya sunggu besar perjuangan mu bu khomsah semoga Allah memberikan kesabaran untuk mu dan kekuatan menjalani cobaan-Nya
Dengan membawa hati gembira ibu khomsah menapakan kaki menuju rumahnya yang hampir roboh sesampainya dirumah ibu khomsah sudah disapa oleh ketiga anak nya, rozi dan kedua saudaranya yang melihat ibu mereka pulang langsung berlari dan berteriak ”ibu……”
Bu khomsah dengan berlinang air mata memeluk ketiga anaknya, rozi dan kedua saudaranya yang melihat sang ibu meneteskan air mata dengan memeluk erat sang ibu mereka meminta maaf,
“ibu kami meminta maaf karna selalu membuat ibu repot dan susah karna kami”, air mata ibu khomsah menjadi semakin deras mendengar ketiga anaknya meminta maaf, dia berkata”tak apa-apa nak itu sudah menjadi kewajiban seorang ibu menjaga dan menyanagkan buah hatinya” 
“sekarang kalian makan ibu tadi memper oleh rejeki makanan untuk kalian”bukhomsah melepaskan pelukan nya dan menyuruh anak nya makan makanan yang dibawanya, , rozi dan kedua saudaranya akhirnya bisa mengisi perut mereka yang kelaparan, ibu khomsa pun tersenyum memandangi ketiga anaknya makan .
“Allahuakbar Allahuakbar“ terdengar lantang suara muazdin mengagungkan Allah dengan mengumandangkan azdannya .
Waktu sholat dhuhur pun tiba bu khomsah menyuruh ketiga anaknya yang yang sedang makan untuk mengambil air wudhu dan bersip-siap sholat dhuhur .
“anak-anak setelah makan kalian berwudhu lalu kemasjid sholat dhuhur ya“
“baik bu“ rozi < 12 th > anak ketiga dari tiga bersaudara sambil mengunyah-ngunyah makanan terkhir yang masih tersisa di mulutnya ia men jawab ibunya
“nikmah dan doni dirumah aja jangan ikut kemasjid karna kalian masih kecil“
“iya bu“ dengan wajah yang lucu meka menjawab singkat perintah sang ibu mereka
            Sarung, kupia, baju koko sudah lengkap rozi dengan wajah riang dia pergi ke masjid untuj melakaukan ibadah sholat dhuhur.sesampenya di sana.
“e… akukan belum berwudhu kata ustazd fahrur kan sholat seseorang itukan tidak sah bila tanpa berwudhu. Wudhu dulu ah” tiba-tiba rozi teringgat kalau dirnya belum wudhu. Diapun melepas semua peralatan sholatnya dan memakai serandal meli merah hijaunya lalu ia menuju tempat wudhu yang jaraknya kurang lebih  sepuluh meter dari masjid.
“Sholaatum tum tum tum tum……apa ya?” rozi berjalan sambil geleng-geleng dan manggut-manggut mendendangkan sholawat tapi dia lupa akan kelanjutan syiir sholawat yang ia dendangkan. akhirya ia Cuma mendendangkan sholawat dengan syaiir seadanya yang ia hafal.keenakan bergeleng-geleng dan manggut-manggut bersholawat ”bruk” ia menabrak seseorang didepannya
“innalilahi wa innailaihirojiun roz, rozi”fahrur pak ustazd yang mengajar ngaji rozi kaget ter tabra diriya 
“maaf pak ustadz keenakan membaca sholawat jadi gak tau kalau pak ustadz ada di depan saya” tanpa mengurangi rasa tawaduknya pada guru rozi meruduk cengar-cengir meminta maaf atas kehilafannya.
“dah sana cepat berwudhu ntar kamu telat lagi sholatnya” perintah pak fahrur pada muridnya mendidik kedisiplinan pada muridnya.
“ya pak ustadz permisi mohon liwat assalamualaikum” dengan rasa malu ia berjalan pergi ber pamitan pada pak fahrur.
“Waalaikumsalam”
 Basuhan demi basuhan pun ia lakukan untuk menyempunakan wudhunya setelah selesai lalu ia beranjak kembali kemasjid menunaikan sholat dhuhur.setelah takbir, niat rokaat demi rokaat sholat dhuhurpun ia lakukan.
“assalamualaiku warohmatullah. assalamualaiku warohmatullah” dua salam telah di ucapkan rozi mertandakan usainya sholat dhuhur. Dia pun membaca wirid-wirid yang sudah diajarkan oleh pak ustadz.semua wirid sudah dibacanya rozi mengangkat tangannya yang hitam dan kurus itu keatas dia pun siap melontarkan do’a-do’anya.
   “ya Allah yang maha pengasih lagi maha penyayang ampunilah dosa-dosa ku dan dosa ke dua orang tuaku tempat kanlah ayah ku ditempat yang mulya di sisih Mu, berikanlah ibuku ketabahan dan ketawakalan atas semua cobaan Mu, bukakanlah pintu rizqi yang halal padanya kasihanilah mereka sebagai mana mereka mengasihi ku dari waktu kecil sampe sekarang.ya Allah berikan kejayaan dan ampunan pada umat islam didunia ini. Jadikanlah kami anak-anak yang sholeh dan sholihah yang bisa membanggakan kedua orang tua kami. Robbana atina fiddunya kasanah wafil akhirati kasanah washolallahu ‘ala saiyidina Muhammad, Amin wal halhamdulillahirobilalamin”
“sholat udah wirid udah berdo’a juga udah berarti sekarang waktunya aku pulang nea” katanya dalam hati sambil menghitung apa yang sudah ia kerjakan dengan jari-jarinya.
Diapun berkemas-kemas pulang dengan seraldal melinya ia berjalan pulang sebelum dia masuk kerumah diapun tak lupa mengucapkan salam.
“assalamualaikum”terdengar sura cemeng si rozi dari dalam rumah
“wa’alaikumsalam emas rozi udah ulang” dengan hangat kedua adik rozi menyambut
“dek ibu dimana”
“ibu disini nak, kamu dah pulan” jawab ibunya yang sedang menanak nasi didapur mendengar rozi anaknya mencarinya
“iya bu”jawabnya sambil berjalan bersama adek-adeknya menghampiri ibunya yang sedang memasak di dekat ibu mereka rozi ditanya oleh ibunya 
“tak lupa tow kamu sesudah sholat berdo’a untuk ayah, ibu dan juga adek-adek kamu”
“tak lupa dong bu kan aku sayang ibu, ayahdan adek” jawabnya sambil tersenyum di depan sang ibu.
Sambil menunggu tanaknya nasi sang ibu bertannya pada ke tiga anaknya tentang keinginan dan cita-cita mereka
“setelah kalian besar nanti kalian mau jadi apa”
“aku mau jadi dokter” dengan mengangkat tangannya rozi anak pertama dari tiga bersau dara mengatakan cita-citanya pada sang ibu. Disusul si nikmah anak bu khomsah yang ke dua.
“kalau aku mau jadi perawat biar bisa bantu mas rozi menyembuh kan pasien”
“kalau doni mau jadi apa” Tanya bu khomsah pada si bungsu yang masih ber umur 4empat tahun.
“kalau adek mau jadi superman”
“lo kok jadi super man” Tanya bu khomsah sambil tertawa.
“iya biar bisa menolong bayak orang dan terbang…” sambil memeragakan gaya terbang super man dengan tangan kanan melentang ke atas dan tangan kiri melipat ke dada sibungsu berlari-lari mutar-mutar sambil bahagia, rozi dan nikmah yang melihat adek mereka yang berlari-lari kayak super man tertawa gembira, sang ibu yang melihat anaknya tertawa gembira ia haya tersenyum dan berkata dalam hatinya
“sungguh mulia cita-cita kalian nak semoga Allah meridhoinya, karna tanpa ridho Allah kita tak bisa apa-apa.
Terpancarlah cahaya kasih sayang dan kebahagiaan dirumah bambu itu walupun mereka tak tau apa yang akan mereka makan besok tapi Allah maha adil pasti Allah member makan pada hambanya yang hidup di dunia ini. Itu keyakinan bu khomsah yang selama ini di peganginya.dan alngkah mulianya hati seorang ibu pada anaknya kasih sayang yang ia berikan tak pernah pudar dan tak pernah fana cinta dan kasih sayang pun selalu kekal dalam hatinya, bagaikan rembulan menyinari malam yang gelap, seorang anak tak mungkin bisa melihat keindahan alam semesta bila tanpa sinar kasih sayang sang ibu dan tak ada seorang anak yang bisa membalas kebaikan sang ibu kepadanya walaupun dia bisa memberikan dunia ini pada ibunya.
Oleh : fahrurozi

Cerpen Aku Ingin Sekolah

 
AKU INGIN SEKOLAH
Seminggu yang lalu aku merasakan sakit tiada terkira,  sejak mengenal bangunan itu aku jadi semakin keset,  jarang setor sama ang jabrik,  dan ujung-ujungnya seminggu yang lalu aku dihajar habis-habisan oleh kakai tangan bang jabrik yang tak punya perasaan itu. Rasa sakitnta membekam hingga ke ulu hati,  mesti hanya di cambuki pake seutas tali yang sering disebut dadung yang sebesar jari kelingking yang di simpul di beberapa tempat bagi gadis ringkih seusiaku tentu sangat menyakitkan .
Dan sekarang setelah kupikir masak-masak akibat yang aku terima aku tetap mendatangi gedung itu,  aku sangat ingin masuk kedalamnya aku lewati gerbang hijau dengan plakat SDN 1 PANDAWA itu,  aku ingin bermain bersama teman-teman seusiaku menggendong tas,  membawa buku,  baju putih merah bersih-bersih tak seperti aku yang gembel sengan kaos oblong penuh noda semir dan celana pendek seluput yang tak pernah ganti,  membawa bekas akua gelasan mengemis kesana kemari,  terkadang menawarkan jasa semir  dan yang lebih mengerikan uang hasil jerih peyahnya harus ia relakan dirampas oleh bang jabrik si npreman pasar yang ganas itu, ”kira-kira apa yang mereka lakukan di dalam? pasti asik bila main bareng teman-teman?”batinku sedih .
Ku tatap tiap-tiap gerombolan putih merah berjalan memasuki gerbang sambil bercanda ria,  bajunya putih,  bersih,  licin lagi,  membuat aku iri,  dengan sedih kuraih ujung kaos kumalku ku tarik dank u pandangi lekat-lekat,  sudah bolong di beberapa bagian,  lalu ku sentuh rambut sepundakku yang gembel,  kusam dan bau,  selain tak pernah karmas,  ah boro-boro karmas mau mandi aja gak sempat,  tepatnya malas dan lebih memilih tidur di antara kardus-kardus karna sangking lelahnya setelah seharian jalan kesana kemari dengan kaki telanjang di bawah terik matahari .
“BUBH”tiba-tiba seorang menabrak ku kami jatuh terduduk ku lihat ia tampak takut melihat ku,  buku-bukunya berserakan,  usianya munkin sama dengan ku,  dipundak ah mungkin lengan bajunya ada tany seperti angka satu ber jaja dua dan garis setrip diatas dan dibawahnya .”maaf”katanya ketakutan sambil memungut buku yang paling dekat dengannya .”taka pa kamu sakit?”Tanya ku sambil membantunya memunguti buku- bukunya,  dan terkhir ku pungut botol akua senjata ku,  dari penampilannya aku tau dia dia juga sering masuk gedung yang sejak tadi aku amati dan kupandangi penghuninya dengan iri .
“apa yang kalian lakukan disana?”tanyaku setelah berdiri dan dia juga telah berdiri
“apa yang di lakukan?”ia balik tanya heran.
“ya…. Kelihatannya bahagia seklali,  pasti bermain-main,  pasti bayak permainanan disana seperti di taman permainan gitu”brondongku sambil menatap mata bulatnya yang membuatnya tampak seperti donat didukung pipi putih yang montok membutnya tampak sehat tidak seperti diriku yang berkulit besisik,  hitam seperti kulit ikan karna tersengat sinar matahari tiap saat dan tercekik hawa dingin tiap malam .
“tidak,  disana kami belajar,  ada bu guru,  pak guru,  yang mengajari kita berhitung,  menulis dan………”
“teng…teng….teng…”sebuah suara terdengar nyaring dari dalam,  gadis di depanku tampak kaget dan tergesa lari meniggalkan ku .
Malamnya tentusaja setelah aku dimaki-maki sama bang jabrik karna setoranku cuma dikit,  demgan kejamnya ia tak menyisakan uang di tanganku  walhasil,  malam ini aku harus mendengar nyayian dari perutku . dengan sedih ku usap-usap perukku yang sedikit bunjit meski sangat lapar,  mencoba menenangkan cacing-yang mengeliat marah minta jatah makan tapi rasnya sia-sia,  cacing-cacing itu tetap marah dan menggeliat brutal dalam usus ku . membuat perutku serasa di pilin-pilin .
“belajar itu apa ya?”pikirku dalam hati,  perlahan ku rebahkan tubuhku  di antara kardus-kardus bekas yang sengaja aku tumpuk-tumouk berserakan,  sebagian agar ruang gedung yang setengah rusak ini terasa hangat mesti aku tidur diatas selimut beralas kardus,  ku tatap langit yang sesungguhnya gedung rusak ini sebagian atapnya telah rusak bahkan beberapa risuknya ada yang patah kalu lagi apes bisa-bisa kejatuhan genting yang mungkin tinggal 20-anan yang masih nagkring diatas sana . langit tampak kelabu berhias seribu bintang dan bulan tanggal setengah .
“menulis…..menghitung itu apa?”tanyaku dalam hati makin penasaran,  dulu pernah ada mba’-mba’ pake baju putih abu-abu dengan dan buku-buku,  bilang”aku mau belajar di perpus”pada temannya,  apa belajar itu pakek baju sama,  kau kecil putih merah,  kalau besar dikit putih biru lalu yang terakhir putih abu-abu ya pakek sepatu,  tas dan buku apa itu yang disebut belajar pikirku makin penasaran”ah lebih baik aku tidur ,  besok aku harus masuk kedalam gedung itu,  aku mau belajar dengan gadis gendut itu,  apa pun belajar itu aku mau sama-sama anak-anak seusiaku yang kelihatannya selalu bahagia itu,  aku harus bisa masuk” tekadku dalam hati .
Benar saja paginya aku pergi tanpa botol aqua gelasa yang dekil itu,  menapaki aspal yang masih berembun,  aku sengaja dating lebih pagi karna aku sudah tidak bisa menahan rasa penasaran lagi,  dalam hatiku bayak pertayaan timbul tengelam.
Sampe disana gerbang baru saja dibuka,  aku melangkah lalu aku ragu,  aku takut,  orang dewasa yang membuka itu tampak sangar,  nyalinya jadi ciut,  dengan pasrah dan rasa penasaran yang menumpuk-numpuk,  aku Cuma bisa kembali memandangi bangunan megah itu,  aku baru tahu diatas gerbang tepatnya menempel di gapura ada jam dinding bulat .
“wah gimana masangnya ya?”batiku,  ku bayangkan seorang punya syap lalu terbang memasang jam itu atau….. ah mana ada orang punya sayap kayak burung aja atau seorang memanjat gapura itu seperti aku pernah manjat pohon mangga orang waktu itu ah mana bisa …gapuranyakan gede gitu,  sedang asik ngelamunin gapura tiba-tiba .
“din.. din…”sebuah mobil silver menghampiri,  lagi heran kut tatap mobil yang berhenti didekatku .”dasar gak tahu diri mentang-mentang kaya senaknya saja ngagetin orang”batinku jengkel
Perlahan pintu terbuka,  seorang berpakeyan putih merah keluar dari sana,  seperti aku kaenal tas itu batinku saat melihat tas punggung pink itu meyebul diri daun pintu yang terbuka .
“kamu yang kaemarin”sapanya ramah,  pipinya yang tembem tampak memerah,  ia tersenyam senang kearah ku yang hanya diam
“kenalin nama ku diva,  kamu siapa?”
“namaku?”
“ya namamu,  kamu punya namakan?”
“namaku sarah”sambil melirik mobil diva yang masih terbuka .
“tingal dimana?”
“gak punya rumah,  aku tidur dimana-mana asl kantuk disitu aku tidur”
“aduh sarah jangan ngomong gitu”sahut diva serak matanya berkaca-kaca
“div aku pengen masuk kesana”akhirnya aku mengungkapkan perasaanku pada orang yang baru aku kenal tapi rasanya aku sudah begitu dekat denagannya .
“apa mau masuk gimana ya …”
“neng,  masuk kesana nanti dimarahi pak heru lho”tiba-tiba orang di dalam mobil menegur .
“oh ya pak bentar deh”
Setelah itu diva mengajakku mendekati gerbang tapi tiba-tiba Diva mengajakku menjauh dari gerbang itu,  aku tak perlu malu sekolah masih sepi dan lagi supir tadi sudah pergi begitu diva melangkah menuju gerbang bersamaku.
“tunggu sini dulu ya”katanya lalu melangkah ke gerbang seperti maling berjingkat dan pelan-pelan, aku jadi heran, kuarahkan pandangan ke gerbang dengan sedikit menjulurkan kepala, kulihat orang yang tadi membuka gerbang berdiri di samping gerbang kaku dan wagu menurutku. Tanpa senyum, sok angker padahal gak terlalu angker sekarang.
Tiba-tiba orang itu mengelus perut buncitnya dan segera lari setelah tengok kanan kiri.
“ssssst……..ssssst…sarah sini cepat lari”perintah diva, seperti ter hipnotis sarah segera lari ke gerbang, diva segera menggandeng tangannya mereka begitu dekat, mereka lari tunggang langgang menjauh gerbang, tapi aku berhenti ditengah jalan terkagum-kagum menatap bangunan yang berjajar rapi dengan taman di depannya di pinggir lapangan ada tiang bendera yang tinggi, bendera merah putih ber tengger agung disana, emang udah tau agung ya
Si dekil ini he…he… namanya juga fiksi agak lebar dikit gak papa kan he….he…….
“sarah, ayo nanti ketahuan”rengek diva, aku tergagap dan kembali lari .
“Diva menyembunyikan ku di…….. wc …….. ya?”kata diva, tempat untukku sembunyi itu wc, aku tak pernah tau ada tempat aneh seperti ini, biasanya aku buang kotoran di sembarang tempat, asal gak ada orang atau agak tertutup dikit lah.
Lama-lama bosen juga di wc ini, udah pengap,  bau, gak bisa duduk, dingin lagi, perlahanku tajamkan pendengaranku, Ha!seri! sorakku yakin, pelan – pelan lagi seperti maling aku keluar dari persembunyian, aku mengendap-ngendap dari ruang ke ruang, yang tak dapat ku lihat seperti apa isinya karna jendelanya lebih tinggi dariku, tiap kelas beda bunyinya.ada yang cuma sunyi, ada yang rame.
“2x + 3y = terdengar kata-kata aneh itu dari sebuah kelas, ah aku tak tahu maksudnya,
“1 + 1 = 2,  2 + 2 = 4………..”lagu itu menari perhatianku, aku duduk di belakang kelas yang sedang menyanyikan angka itu mendengarkan baik-baik suara dewasa membimbing suara-suara anak-anak tok….. tok……….”Terderngar lagi suara guru itu, ”menghitung”batinku … oh …. Itu namanya menghitung,  5 + 5 menghitung .
“kamu siapa?”tiba-tiba sebuah suara mengagetkanku, aku tersentak mundur takut kalau –kalau orang berjilbab itu akan mengusirku  dengan kasar.
“tak usah takut, siapa namamu?”katanya lagi sambil membelai gembelku, ada rasa nyaman yang merasuk dalam hati, sangat nyaman dan belum pernah ku rasakan sebelum ini, dan aku tak mau kehilangan rasa nyaman itu, tapi minder juga, mau-maunya dia menyentuh gembelku yang baud an lengket sementara tangannya begitu putih dan halus.
“Siapa namamu?” ulangnya karena aku hanya diam dan sedikit cemas menatapnya, ia tersenyum mendamaikan.
“Sarah” Kataku akhirnya, sentah siapa yang member nama itu aku juga tak pernah tahu. Yang bisa aku ingat saat ini Cuma tindasan-tindasan di gang pabrik dan anak buahnya, eh yang aku ingat nama sarah itu karanganku sendiri saat kemarin pertama kali melihat gedung ini dan ditanya seseorang siapa namaku, dan nama itu aku dengar ketika aku mengemis di depan Matahari, seorang ibu-ibu memanggil anaknya yang lucu dengan sebutan sarah.
“Wah, bagus sekali namamu, tinggal dimana?”
Aku menggeleng menjauh agar dia tak kotor.
“Sini, gak apa-apa, namaku… panggil aku Bu Mita!”
“Bu… Mita?”
“Ya… sedang apa kamu di sini?”
“Menghitung.”
“Menghitung apa?”
“Itu di dalam 5+5 menghitung” Jawabku singkat ku lihat bu mita tersenyum, lalu diam tampak sedang berpikir. Menatap ke atas, tak lama kemudian bu mita menatapku serius memegang kedua pundakku lalu berkata.
“Kamu ingin sekolah?”
“Sekolah” Apa itu sekolah?” kataku balik Tanya, ia tampak mengerutkan dahi lalu tersenyum kembali.
“Kamu senang berada disini?”
Aku mengangguk
“Mau masuk ke dalam bareng teman?”
Aku kembali mengangguk mantap
“Baiklah, akan ibu usahakan.” Katanya lalu mengajakku ke warung tapi bu mita menyebutnya kantin, memberiku makan dan minum, terang saja dalam sekejap nasi putih, sayur+lauk di depanku ludes, udah 2 hari gak makan. Ternyata membuat makanan itu terasa begitu lezat, makanan terlezat yang pernah aku makan. Pikirku saat itu, tapi memanglah makanan itu sangat lezat.
“Besok 3 hari lagi kamu kesini ya? Tapi gimana kamu masuk?”
“Tadi pas pak…”
“Satpam” Sahutnya
“Iya, pak satpam tiba-tiba pergi, aku lari sama diva.”
“Ooo…sama diva.” Sahut bu mita laggi-lagi sambil tersenyum yang membuatku sangat damai, dan kian kerasan bersamanya. Ingin selalu bersamanya, dan meninggalkan dunia liar yang selama ini kujalani.
Hari yang berat, sangat berat, segala rasa penasaranku kian mencuat, aku semakinrajin menyelinap masuk ke sekolah yang nama bangunan itu SDN 1 Pandawa mendengarkan uraian guru dari balik tembok. Sudah tentu Kegiatanku itu berimbas buruk akan hubungannya dengan bang jabrik, tapi peduli amat aku benar-benar ingin ada di sini bersama diva dan yang lain.
Seperti pagi ini, meski bekas-bekas cambukan masih terasa perih, aku tetap pergi ke sekolah itu sampai di sana, sekolah masih sepi, aku berdiri mematung di seberang jalan kembali mengamati gerbang seperti awal kedatanganku. Tiba-tiba sebuah mobil berhenti di depanku. Ku tatap mobil itu, bu mita keluar dari sana dengan pakaian rumahnya, beliau segera menghampiriku.
“Sarah, ayo ke rumah ibu dulu, mandi dang anti baju” katanya panjang lebar dengan mata berbinar-binar bahagia.
“Untuk apa?”
“Ah, sudahlah ayo!” Kata beliau lalu menyeretku ke dalam mobil. Ak hanya menurut, aku memang sangat percaya dan bergantung pada beliau.
Sampai di sana beliau memandikanku, tubuh dan rambutku jadi wangi dan ringan, wajahku jadi sedikit berseri meski masih legam. Dengan halus beliau menyisir rambutku yang gembel, ah…betapa damainya di perlakukan seperti ini.
“Sekarang kita ganti baju” Ujarnya “Sarah… sarah sudah siap sekolah?”
“Sekolah?”
“Iya, sekolah. Kamu suka kan?” tanyanya sambil terus memakaikan bajuku
“nah, selesai. Sekarang kita sarapan dulu, lalu berangkat sekolah.” Tambahnya seraya mengajakku ke ruang makan untuk sarapan, tap iaku jadi bingung, gimana aku bisa sekolah bila keadaanku begini?
“sarah, mulai hari in kamu sekolah di sana dan pulang ke sini ya? Tak mungkin kan kamu sekolah sementara kamu masih menggelandang?” Rayu bu mita
Ya Allah betapa senangnya mendengar semua itu, harapan-harapan berkembang dalam pikiranku. Air mataku melelh karena rasa yang tak tertahan, rasa yang dulu terasa asing dan mendebarkan dan menyesakkan.